Wednesday, August 21, 2019

Celurit Berdarah (Madura)

Saat itu aku dan teman-teman sekolah sedang mengikuti acara study tour di Jawa timur. Ada beberapa tempat wisata yang kami kunjungi dan salah satunya adalah Pulau Madura. Untuk itu kami akan melewati Jembatan Suramadu yang terkenal itu. Sebenarnya kegiatan wisatanya lebih banyak di daerah Jawa Timur, kami ke Madura untuk agenda Suramadu dan numpang singgah saja. Pastinya ada banyak tempat wisata di pulau itu, tapi karena jadwal wisata yang padat dan dibatasi oleh waktu yang sudah ditentukan, kami hanya mampir sebentar untuk selanjutnya kami kembali masuk ke bus untuk kembali ke Jawa Timur melalui jembatan itu lagi. 

Bus yang kami tumpangi mulai masuk Jembatan Suramadu, ketika itu sudah sore. Walau begitu sinar matahari masih memancar membuat suasana sedikit gerah dan silau sinar yang memantul di kaca bus begitu terasa. 

“Jendelanya dibuka saja, gerah nih!” pinta Agus teman yang duduk di sampingku. 

Aku segera membuka kaca jendela karena aku juga merasakan gerah seperti halnya Agus. Udara luar pun spontan menyeruak masuk, rasanya segar sekali. Angin pun melibas kami dengan menerbangkan ujung-ujung rambut, demikian juga dengan gorden yang tadi sudah kugeser di sudut, ikut meliuk-liuk mengikuti arah angin. 

“Nah gini kan enak!” seru Agus sambil mengarahkan wajah ke arah jendela, matanya terpejam seperti benar-benar mau menghayati udara yang bertiup ke arahnya. 

“Hmm... segar sekali!” gumamku. 

Seperti halnya Agus, aku juga ikut menghadap ke arah jendela. Kami berdua sama-sama menikmati aliran udara yang terasa melegakan itu. Ternyata teman-teman yang lain juga melakukan hal serupa, banyak dari mereka yang membuka jendela untuk menikmati angin laut itu. 

Sesaat kemudian pemandu wisata menerangkan bahwa kami sudah ada di Jembatan Suramadu, jembatan yang membelah lautan tapi menyatukan dua pulau yaitu Pulau Jawa dan Pulau Madura. Jembatan yang berdiri megah dan kokoh ini mengiringi kami menuju Madura. 

Pemandu wisata itu juga menjelaskan bahwa kami hanya akan melewati jembatan ini, sesampai di Madura, bus akan berhenti sebentar untuk memberi waktu kepada kami keluar dan melihat-lihat, ada banyak orang berjualan di sekitar tempat itu jadi kami bisa juga berbelanja oleh-oleh. 

“Wah, jembatannya panjang sekali ya!” seru Aris, teman yang duduk di belakangku. 

“Ya iyalah kan menghubungkan Surabaya dan Madura!” celetukku menanggapi ucapan Aris. 

“Kata pemandunya itu kalau malam hari ada kerlap kerlip lampu yang menghiasi jembatan ini!” tambah Agus. 

“Wah sayang kita lewat sore hari, jadi nggak lihat lampu warna-warninya tuh!” sesal Aris. 

“Yah nggak apa-apa juga, yang penting kita sudah pernah melewati jembatan ini, bisa buat cerita anak cucu kelak... hahahah!” canda Agus diikuti tawa kami semua. 

“Katanya nanti kita akan mampir sebentar di Madura ya?” tanya Budi, teman di sebelah Aris. 

“Singgah sebentar saja nanti terus masuk kembali ke dalam bus, lalu kembali ke Surabaya!” jawabku menirukan arahan pemandu wisata tadi. 

“Yaaah... rugi dong!” seru Budi kecewa. 

“Yang penting kita pernah menginjakkan kaki di Madura, bisa buat cerita...”

“Anak cucu kelak!” potong kami semua menanggapi gurauan Agus. Kembali kami tertawa bersama. Selama melewati jembatan ini kami berkelakar bercanda ria sambil menikmati keindahan lautan yang terbelah jembatan ini. Tak terasa kami sampai juga di Madura, setelah bus beringsut meninggalkan jembatan dan mencari tempat parkir, kami semua keluar bus untuk menikmati udara luar dan sekedar meluruskan kedua kaki kami yang pegal karena kelamaan duduk. 

Kami hanya diberi waktu tiga puluh menit, dengan waktu sependek itu kami cuma bisa melihat lihat gerai-gerai tempat penjual aneka macam cinderamata. Memang beberapa dari kami membeli aneka barang, tapi sebagian kami cuma jalan-jalan buat melihat lihat saja. Termasuk aku dan teman-temanku, kami cuma sekedar meluruskan kaki saja, bukannya nggak ingin beli oleh-oleh tapi uang saku kami memang cekak, jadi harus pandai-pandai mengatur pengeluaran. Apalagi masih banyak tempat wisata yang akan kami kunjungi nanti, tentu kami perlu dana paling tidak buat sekedar membeli makanan dan minuman di tempat wisata itu. Dari pihak travel sudah memberitahu kami kalau ada jatah makan tiga kali sehari buat pagi, siang dan sore. Jadi di luar itu tentu kami harus mengeluarkan uang sendiri. 

“Eh teman-teman, aku mau buang air sebentar. Tunggu ya!” teriakku sambil berlari ke arah kamar mandi umum. 

Aku sudah merasakan ingin ke toilet sejak turun dari bus tadi tapi aku belum menemukannya, maka begitu aku melihatnya aku langsung berlari menghampiri. 

Keluar dari toilet, tidak kulihat teman-temanku. Wah payah ternyata mereka meninggalkanku. Saat sedang berjalan mencari mereka, kulihat sebuah kotak tempat sampah, kurogoh saku jaketku dan kukeluarkan satu tas plastik kecil berisi barang yang harus dibuang alias sampah, di bus tadi kami makan aneka camilan dan aku kelupaan membuangnya karena aku masukkan ke dalam tas plastik dan kujejalkan ke dalam saku jaketku, baru aku ingat saat aku merapatkan jaket, kok seperti ada yang mengganjal, ternyata sampah, ya sudah aku akan membuangnya dulu di tempat sampah itu. Sesampai di tempat itu, aku segera melemparkan tas plastik ke dalamnya, tapi saat aku mau berbalik aku melihat ada sesuatu di balik tumpukan sampah itu, ada sesuatu yang membuatku penasaran, sepertinya ujung sebilah pisau. 

Tak ingin rasa penasaranku berkepanjangan aku segera mengambil bilah bambu yang aku temukan di dekatku, aku pun mengaduk pelan sampah itu, ternyata benar.... bukan pisau sih, tapi sebuah celurit. Pikiran jahilku mulai tersulut, pasti teman temanku akan terkagum-kagum melihat celurit ini. Aku pasti akan tampak gagah dan garang dengan memamerkan celurit ini di hadapan mereka. Heheheh.... buat nakut-nakutin mereka boleh juga tuh celurit. 

Dengan dibantu bilah bambu itu aku mengambil celurit itu dan kuamati, ada sedikit bercak darah, segera aku membersihkannya dengan kertas bekas yang ada disitu. Untung tidak ada orang yang memergokiku, maklum di dekat tempat sampah, siapa pula yang peduli. Selanjutnya aku menaruh celurit itu di ikat pinggang dan menutupnya dengan jaket yang aku kenakan, sehingga tidak terlihat dari luar. Setelah itu aku kembali mencari teman-temanku. 

“Kalian ninggalin aku ya!” teriakku kepada mereka saat aku menemukannya. 

“Ngapain juga nungguin orang kencing!” seloroh Agus sambil jarinya menutup lubang hidungnya. 

“Iya nih, lagian waktu kita pendek, masak cuma dilewatkan dengan menunggu orang ke toilet!” timpal Budi ikutan berseloroh. 

“Ah sudahlah, ayo kita jalan-jalan lagi. Sebentar lagi juga kita harus kembali ke dalam bus!” Aris menengahi. Kamipun lalu melanjutkan langkah mengitari para penjual yang menjajakan aneka dagangan, setelah itu kami kembali ke dalam bus. 

Seperti yang sudah dikatakan oleh si pemandu, bus itupun kembali melaju melewati Jembatan Suramadu menuju Surabaya. Menurut jadwal agenda wisata, kami akan bermalam di sebuah penginapan di Surabaya, keesokan harinya kami akan pergi ke tempat wisata lainnya. 

Sesampai di hotel, kami mendapat sebuah kamar yang akan diisi oleh empat anak untuk tiap kamarnya, aku bersama Agus, Aris dan Budi akan tidur di kamar yang sama. 

“Siapa yang duluan mandi?” tanya Aris begitu sampai di dalam kamar. 

“Aku saja ya!” seruku. 

“Tumben mau mandi duluan!” seru Budi. 

“Kebelet lagi tuh kayaknya!” timpal Agus bercanda. 

Aku cuma mencibirkan mulut ke arah mereka, aku segera menaruh tas di atas meja lalu membukanya untuk mengambil handuk dan peralatan mandi. Kami menginap di hotel kelas melati, biasanya tidak disediakan alat mandi, maklum biaya wisata juga ditekan karena menyesuaikan kondisi keuangan orang tua siswa. Namun kami bersyukur bisa berwisata bersama satu kelas untuk terakhir kalinya. Soalnya kami sudah naik ke kelas tiga, tidak ada agenda buat wisata lagi karena waktu kami akan terfokus dengan kegiatan belajar menghadapi ujian masuk perguruan tinggi.

Di dalam kamar mandi, kukeluarkan celurit itu dari balik jaketku, kuamati lagi, meski kali ini tidak ada bercak darah karena tadi aku sudah membersihkannya, namun entah mengapa aku merasakan energi yang menjalar di tanganku, ada perasaan seolah-olah celurit itu memiliki jiwa. Ah segera kutepiskan pikiran anehku itu, dengan gayung kuambil air dan kuguyurkan ke badan celurit, air yang dingin turut membasahi tanganku. Kubersihkan celurit itu dengan sabun dan kubilas hingga bersih. Setelah itu aku menggantungkan celurit itu di gantungan baju yang menempel di tembok kamar mandi, lalu aku mandi membersihkan diri. 
“Hai teman-teman... tahu nggak apa yang aku bawa?” seruku sekeluar dari kamar mandi, aku sengaja membungkus celurit itu dengan jaketku. 

“Apaan tuh? Paling buntalan baju kotor!” jawab Aris sambil tersenyum sinis. 

“Nggak tertarik....” gumam Budi tidak hirau, ia asyik tiduran di tempat tidur sambil memencet-mencet tombol telepon genggamnya. 

“Emang apaan sih? Pakai berteka-teki segala?” tukas Agus penasaran. 

“Nih.... c-e-l-u-r-i-t!” ejaku seraya mengeluarkan celurit itu dari lipatan jaket. 

“Gila!” seru Agus tidak percaya. Aris dan Budi melongo melihatku mengacungkan celurit ke arah mereka. 

“Kamu beli saat di Madura tadi ya?“ tanya Agus. Ketiga temanku lalu mengerumuniku untuk melihat celurit itu dengan lebih jelas. 

“Emang disana tadi ada yang jual celurit? Kok aku tidak lihat ya?” Aris berucap dengan penuh tanda tanya. 
“Aku juga tidak lihat tuh ada penjual celurit!” tambah Budi menimpali ucapan Aris. 

“Aku tadi beli celurit ini dari seseorang!” seruku berbohong. Kan malu kalau aku bilang terus terang bahwa aku memungutnya dari tempat sampah, entar mereka malah mengejekku. 

“Berapa harganya? Mahal?” tukas salah seorang temanku. 

“Pasti murah... kan celurit bukan barang yang mahal. Orang lagi butuh duit kali!” sergah Agus membuatku punya ide lain tentang celurit itu. 

“Yoi... nggak mahal kok, tadi ada seorang bapak tua yang menghampiriku saat di toilet, ternyata bapak itu mau menjual celurit ini, butuh duit buat pulang katanya!” Aku mulai mengarang cerita, dalam hati aku tertawa, mungkin sedikit bumbu ceritaku akan terdengar afdol. 

“Bapak itu juga bilang kalau celurit ini bertuah karena sudah membunuh banyak orang!” lanjutku lagi dengan mimik serius. 

Kulihat teman temanku seakan tersihir dengan cerita gombalku, aku tergelak dalam hati, “Kasihan deh aku kibulin,” begitu aku berucap, tentu saja dalam hati. 

“Wah kita harus melapor ke Pak Guru nih, kan kita tidak boleh membawa senjata tajam. Bahaya loh!” tukas Budi di luar dugaanku. 

Wah bisa kacau nih, aku pasti akan ditanyai macam-macam oleh Pak Guru pembimbing yang menyertai kami selama wisata ini. 

“Eit... jangan! Kamu pingin kena tuah ya!” teriakku sedikit emosi. 

“Tapi.... kita kan tidak boleh membawa....” 

Belum sempat Budi menyelesaikan ucapannya, Aris mencoba menengahi. 

“Sudahlah, kalau tidak ketahuan juga tidak apa-apa kok. Tapi kamu harus menyembunyikannya baik-baik, jangan sampai kepergok teman lain. Cukup kita berempat saja yang tahu. Oke?” 

Setelah saling menatap satu sama lain untuk meminta persetujuan, akhirnya kami sepakat menyembunyikan hal ini dari guru dan teman-teman yang lain. Kami menganggap celurit itu sebagai oleh-oleh yang aku beli. 

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, berarti waktunya untuk makan malam yang disajikan oleh pihak pengelola hotel. Kami berjalan menuju ruang makan di aula ruang samping kanan hotel, tentu saja kami mengunci pintu kamar terlebih dahulu. Di saat acara makan kami diberitahu kalau tidak ada jadwal khusus di malam hari jadi kami bebas main keluar dengan catatan besok pagi jam enam harus sudah siap untuk terus melanjutkan perjalanan ke tempat wisata yang lain, jadi kami harus bisa mengatur waktu agar tidak tidur terlalu larut malam. 

Malam itu kami sepakat menghabiskan waktu dengan bercengkerama bersama di alun-alun lapangan kota, di sekeliling lingkaran lapangan banyak orang berjualan. Kami bisa duduk di atas tikar dan ngobrol lama sambil menikmati hidangan murah meriah disitu. 

“Kamu nggak takut punya celurit yang sudah banyak membunuh orang itu?” tanya Budi di sela obrolan kami. 

“Iya, biasanya kan ada energi negatifnya tuh!” tambah Aris seraya menyeruput kopi panasnya. “Cari masalah saja namanya!”

“Yah, sesekali punya barang bertuah apa salahnya?” balasku enteng. Ada perasaan senang sudah berhasil mengelabui teman-temanku. 

“Halah siapa bilang barang bertuah! Itu kan akal-akalan si penjual saja agar barangnya laku... Badu sudah ketipu tuh!” sergah Agus. 

“Hai... siapa juga yang tertipu. Waktu aku beli ada tetesan darah di bilah celurit itu!” bantahku sengit, tak kusangka aku terbawa emosi dan sedikit kebenaran tentang celurit itu terungkap ke permukaan. 

Ketiga teman terbengong-bengong mendengar ucapanku, seakan tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan. Sesaat kami semua terdiam, mungkin mereka terbayang celurit yang aku tunjukkan tadi dan berasumsi bahwa celurit itu baru saja dipakai buat membunuh orang. 

“Ah sudahlah teman-teman, nggak usah diperdebatkan lagi. Anggap saja itu sekedar oleh-oleh!” 

Aku berkata demikian pada akhirnya, karena aku takut kalau semakin diperlebar bisa jadi kami terbawa emosi dan akhirnya terbuka semuanya dengan sendirinya. Aku juga khawatir kalau sampai ke telinga Pak Guru pembimbing, maka aku bermaksud menyudahi perdebatan ini. 

“Iya deh... lupakan saja, kita nikmati malam di alun-alun ini saja!” balas Agus dengan bersemangat, teman-teman yang lain juga setuju. 

Setelah beberapa lama di alun-alun kami memutuskan kembali ke hotel untuk istirahat. Kami ingin tidur pulas menanti pagi menjelang dan berwisata ke tempat lainnya. 

“Lampunya dimatikan saja ya? Kan lampu di luar cukup menerangi kamar ini!” kata Budi, dia pernah bilang tidak bisa tidur di ruangan yang terang. 

Kulihat dia memencet tombol lampu, suasana kamar jadi temaram karena hanya menerima penerangan dari lampu luar. Tapi cukuplah bagi kami yang mau tidur ini. Sedikit cahaya malah bisa membuat kami cepat tertidur. Ada dua buah tempat tidur di kamar kami, masing-masing ditempati dua anak. Aku dan Agus berbagi tempat tidur sedang Budi dengan Aris. Karena kelelahan ditambah hawa dingin malam yang menyergap, kamipun cepat tertidur dengan pulas. 

Entah jam berapa aku kurang tahu pasti, setengah sadar aku merasakan ada seseorang berdiri di hadapanku, tampaknya dia seorang perempuan. Rambutnya yang panjang tergerai di depan menutupi wajahnya. Samar kulihat dia berlumuran darah di sekujur tubuhnya. Mulutku mau menjerit tapi aku tidak kuasa melakukannya, seperti ada lem yang menyatukan kedua bibirku. Tiba-tiba kedua tangan perempuan itu bergerak ke depan ke arahku seakan ingin merengkuhku. Aku berusaha menjerit meminta pertolongan. Lalu aku tersadar. 

“Kenapa kamu Badu?” teriak Agus mengguncang bahuku dengan keras. 

Aris dan Budi juga terbangun dan melihatku dengan pandangan heran. Kurasakan detak jantungku bergerak dengan sangat cepat, keringat mengalir bercucuran membasahi tubuhku. Napasku tersengal-sengal seperti barusan lari cepat dikejar anjing. 

“Aku.... ah.... cuma mimpi saja!” elakku, setelah sesaat menenangkan diri. 

Kulihat teman-temanku menghembuskan napas penuh kelegaan. Mereka lalu bermaksud melanjutkan tidur termasuk juga aku, tapi tiba-tiba mataku tertuju di almari yang ada di hadapanku, kulihat pintu almari itu terbuka. 

Segera kunyalakan lampu untuk meyakinkan diri, ternyata benar adanya, pintu itu terbuka. Aku terhenyak melihat celurit itu ada di lantai di bawah pintu almari yang terbuka, padahal aku sudah membungkus celurit itu dengan jaket agar tidak kelihatan. 

“Siapa yang membuka almari dan membiarkan celurit itu di lantai?” tanyaku kepada teman-temanku. Pasti salah satu dari mereka iseng membuka bungkusnya. 

“Siapaaa?” teriakku gusar. 

“Aris?” kulihat Aris menggeleng. 

“Kamu Budi?” Budi juga menggeleng. 

“Agus pasti ya?” Agus juga menggelengkan kepala dengan lebih keras. 

“Jangan bohong kalian!” Aku emosi sekali, tapi kulihat mereka menggeleng-gelengkan kepala, bahkan Budi sampai menggerak-gerakkan tangannya menunjukkan kalau bukan dia. 

“Masak celurit itu bisa keluar sendiri!” hardikku. 

Ketiga temanku diam membisu, aku jadi sewot sendiri. Namun tiba-tiba kami terkejut dan dibuat menahan napas, ketika kami melihat celurit itu bergerak-gerak sendiri, sebentar saja lalu kembali diam. Kami terhenyak dengan kejadian barusan, seakan tidak percaya dengan yang kami lihat, mana ada benda mati macam celurit itu bisa bergerak sendiri kalau tidak ada yang memainkannya. Hiiiii.... tiba-tiba aku merasa sangat ketakutan. Aku memutuskan untuk membuang celurit itu besok pagi. 

No comments:

Post a Comment

La Planchada