Mungkin banyak dari kita yang pernah mendengar kabar tentang rumah yang berhantu, meski sulit untuk diterima dengan akal sehat tapi kadang fenomena seperti itu bisa terjadi. Dulu aku tidak percaya dengan hal-hal semacam itu, karena aku tidak pernah melihat sendiri, walaupun sebenarnya penasaran juga tapi demi Tuhan aku lebih memilih untuk tidak diberi kesempatan buat membuktikannya, daripada nanti malah merugikan diriku sendiri mendingan aku berkeyakinan bahwa dunia nyata dengan dunia ghaib sudah dipisahkan oleh-Nya.
Namun, kejadian beberapa tahun silam membuatku sadar bahwa memang kadang ada persinggungan antara dua dunia yang berbeda itu. Beginilah kisahnya.
Sekitar lima tahun lalu, aku mengikuti suamiku yang bekerja di Batam, sebenarnya sih kami lebih memilih untuk tinggal di pulau Jawa karena dekat sanak saudara dan orang tua, tapi apa mau dikata lapangan kerja yang semakin sempit membuat kami mesti realistis. Selepas lulus dari perguruan tinggi kami berdua berusaha mencari pekerjaan, bahkan kami juga mencoba berwirausaha. Tetapi memang antara impian dan kenyataan kadang tidak sejalan. Puluhan surat lamaran sudah dikirim baik melalui pos maupun email, tiap kali ada kesempatan walk in interview/wawancara pasti tidak pernah kami lewatkan. Intinya setiap kali ada informasi lowongan kerja kami selalu berusaha untuk mencobanya. Tapi karena belum rejeki, kesempatan kerja belum juga singgah kepada kami, hingga suatu ketika di suatu sore saat aku sedang memasak, suamiku menghampiri.
“Dik, seandainya kita ada penghasilan, bisakah kita mengontrak rumah sendiri?” Tanya mas Pram suamiku- mengagetkanku.
Aku menengok ke arahnya, saat itu aku sedang mengiris sayuran untuk dibuat masakan, jadi aku hentikan sementara.
“Ya iyalah... aku dukung seratus persen deh. Kita kan sudah menikah masak mau menebeng orang tua terus!” jawabku terdengar riang.
Mas Pram tersenyum mendengarnya, kami akui semenjak kami menikah sampai saat itu kami masih bagai kutu loncat, kadang tinggal di rumah orang tua mas Pram kadang ke rumah orang tuaku. Kedua orang tua kami sebenarnya tidak mempermasalahkan, mereka memahami kondisi kami yang belum bisa memenuhi kebutuhan kami sendiri karena belum ada pekerjaan tetap.
Tapi bagaimanapun perasaan sungkan tetap menaungi, masak sudah disekolahkan tinggi dan sudah pula berkeluarga tetap menjadi beban hidup mereka? Memang sih kami juga ada sedikit uang hasil kerja serabutan, tapi itu hanya cukup buat keperluan pribadi saja, untuk biaya hidup secara garis besar masih bisa dikatakan orang tua yang menanggung.
“Aku mendapat pekerjaan Dik!” ucap mas Pram singkat tapi benar-benar membuatku terpana karena tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
“Beneran Mas...?” teriakku, seketika aku melepaskan pisau dan sayuran di mangkok, aku menghambur memeluk mas Pram.
Mas Pram kaget melihat reaksiku, tapi kemudian dia menyambut pelukanku.
“Kerja di perusahaan apa Mas? Kapan mulai kerja? Bagian apa? Kok tidak memberitahu sebelumnya? Bikin aku kaget saja!” serbuku seperti aliran air yang mengalir deras.
Lagi-lagi mas Pram cuma tersenyum. Setelah mengendurkan pelukan, dia membimbingku duduk di atas bangku panjang di dalam dapur, dan mulailah dia bercerita, aku mendengarkan ceritanya dengan tidak sabar dan sangat antusias.
“Seminggu yang lalu aku mengikuti walk in interview yang diadakan di hotel Akbar di pusat kota. Meski sebenarnya aku tidak terlalu yakin diterima karena peminatnya berjibun tapi aku berusaha mencoba, karena syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan bidangku.
“Terus... terus...” aku tidak sabar mendengar penjelasan selanjutnya.
“Sabar Dik… sabar Dik!” ucap mas Pram geli, dia lalu melanjutkan, “Ternyata aku diterima... tadi siang aku cek melalui email, sempat ragu lho... sampai aku menelpon perusahaan untuk memastikan, tapi memang aku diterima kok, senin depan aku harus sudah masuk kerja di cabang perusahaan PT Maju Gemilang yang ada di Batam...!”
“Apaaa? Batam?” aku terlonjak mendengar kata Batam.
“Kan masih di wilayah negara Indonesia!” tukas suamiku seakan menegaskan bahwa aku tidak perlu khawatir.
“Mmhmmm... aku... mmhmm,” aku tergagap, tidak tahu mau bicara apa. Aku senang mas Pram berhasil mendapatkan pekerjaan, tapi aku juga ragu karena kami harus bertolak ke Batam. Selama ini aku belum pernah meninggalkan pulau Jawa, jadi perasaan cemas tentu menggelayutiku.
“Ya, kalau Dik Tiwi tidak berkenan, aku bisa mengundurkan diri kok...” ucap mas Pram terdengar lesu.
“Oh… jangan Mas... ini kesempatan buat mencari pengalaman kerja, lagian kita kan belum ada anak, jadi tidak terlalu repotlah!” entah darimana aku mendapat ide seperti itu yang pasti kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Mas pram membelalakkan mata, mungkin tidak yakin dengan ucapanku tadi, tapi sejurus kemudian dia tertawa senang dan kembali memelukku.
“Tidak ada salahnya buat mencoba Mas... toh masih di wilayah negara Indonesia!” candaku ringan. Mas Pram kembali tertawa.
Tugas kami selanjutnya adalah memberitahukan berita ini kepada orang tua dan keluarga dekat, kami juga bersiap siap menyiapkan alasan untuk meyakinkan mereka semua. Tapi ternyata kami tidak mengalami kendala yang berarti karena mereka semua mendukung dan mengatakan tidak masalah kerja dimanapun di negara ini asalkan pekerjaan itu pasti dan bisa menopang kami. Bahkan salah satu paman membantu kami dengan memberi referensi untuk tinggal sementara di salah satu saudara teman kerjanya yang tinggal di Batam.
Paman menasihati bahwa tinggal menumpang di rumah orang lain tidak massalah karena kami belum ada dana yang cukup untuk langsung mengontrak. Yang penting kami harus bisa membawa diri dengan baik, dan segera setelah dana mencukupi kami harus berpindah tempat bisa dengan mengontrak maupun kost saja terlebih dahulu agar hemat biaya. Kata pamanku, saudara temannnya itu tidak keberatan bahkan senang bisa membantu kami. Mas Pram dan aku sudah menelpon pak Wijaya nama saudara teman paman itu dan kami mendengar sendiri bahwa pak Wijaya dan keluarga siap untuk menampung kami.
Akhirnya waktunya tiba juga, kami berangkat ke Batam dengan pesawat. Pak Wijaya dan keluarganya sangat baik, mereka menjemput kami di bandara. Sesampai di rumahnya ternyata kami sudah disiapkan sebuah kamar. Rumah pak Wijaya tidak terlalu luas, hanya ada dua ruang tidur, satu untuk pak Wijaya dan istri, sedang satunya untuk anak tunggal mereka yang sekarang ini kost di Bandung untuk kuliah di universitas ternama di kota itu.
Kami sudah menyatakan siap bila sang putra pulang maka kami akan pindah di ruang tengah. Tapi mereka menyatakan kalau anaknya itu biasanya pulang enam bulan sekali saat libur semesteran. Kami bernapas lega, berarti kami ada cukup waktu untuk mengumpulkan uang buat pindah tempat tinggal. Mas Pram dan aku sudah membuat target bahwa kami paling lama akan tinggal di rumah itu selama tiga bulan saja, selanjutnya kami akan cari kontrakan atau kalau dana tidak mencukupi kami akan mencari kost saja. Meski pak Wijaya dan istri tidak berkeberatan dengan kehadiran kami, bahkan senang karena ada teman, kami tetap harus bijak menyikapinya. Seperti nasihat paman dulu, tidak baik membebani orang lain terlalu lama juga kami harus bisa mandiri dengan hidup kami.
Hingga suatu malam ketika kami mau tidur, mas Pram mengatakan sesuatu kepadaku.
“Dik Tiwi, kita sudah dua bulan lebih tinggal di sini, bagaimana kalau kita mengontrak rumah?” ujarnya saat itu.
“Aku sih setuju saja Mas, kalaupun uangnya tidak cukup kita kan masih bisa kost!” jawabku hati-hati, aku tahu pasti bahwa kondisi keuangan kami belum mencukupi untuk kontrak rumah. Jangka waktu mengontrak rumah biasanya minimal satu tahun, beda dengan kost yang bisa dihitung secara bulanan.
“Mas Pram sudah ada pandangan mau kost atau kontrak?” tanyaku lagi. Aku tahu kalau suamiku itu sudah mempersiapkan semuanya, kalau dia menyatakan sesuatu biasanya dia sudah memegangnya. Dia selalu mengatakan hal-hal yang sifatnya pasti. Dan benar juga dugaanku.
“Iya, aku mendapat informasi dari harian lokal setempat ada rumah yang dikontrakkan. Aku sudah melihat rumah itu, meski tidak terlalu besar tapi cukuplah untuk kita berdua, dan yang paling menarik harga kontraknya bisa dibilang miring, memang minimal satu tahun, tapi aku bisa mengangsur tiga kali.” terang suamiku panjang lebar.
“Pemiliknya baru butuh uang kali ya… kok bisa dicicil tiga kali!” sambungku dengan nada bertanya.
“Semua orang juga butuh uang... heheheh.” gurau suamiku, lanjutnya, “Aku sudah mengambil gambar rumah itu, kalau kamu ingin melihatnya,” dia lalu mengambil laptop dan membuka filenya.
Di situ aku melihat beberapa foto tentang rumah itu. Tampaknya cukup bersih dan cantik.
“Wah rumahnya bagus juga ya?” sahutku senang.
“Aku juga sudah membayar uang muka sebagai tanda jadi lho, jadi kapanpun Dik Tiwi siap, kita bisa pindah ke sana!” jawab mas Pram tampak senang dan puas karena pilihannya tidak meleset alias tidak ada protes dariku. Kucubit dia sebagai tanda kekesalanku karena dia langsung saja memutuskan tanpa minta pendapatku terlebih dulu.
Aku mengangguk-angguk tanda setuju, tapi sesaat mataku tertuju pada foto bagian belakang rumah –dimana berdiri tegak pohon jambu yang sangat indah karena buahnya yang bergelantungan berwarna merah muda menggoda selera.
“Ini apa, Mas?”
Mas Pram menyorongkan wajah ke laptopnya untuk melihat lebih dekat, “Lhah... pohon jambu! Berbuah lagi... banyak ya buahnya, lagi musim jambu kaliii!”
“Bukan pohon jambunya... tapi kok ada kilatan cahaya?” tanyaku sambil menunjuk ke arah salah satu bagian dari pohon jambu, di situ ada seperti kilat cahaya. Tepatnya ada di bagian atas pangkal cabang.
“Apa ya? Mungkin kilat cahaya lampu!” jawabnya sekenanya.
“Mhm... mungkin saja!” gumamku pendek. Kami lalu fokus dengan foto-foto lain yang terpampang di layar laptop, tampaknya sih kami mulai suka dengan rumah itu.
Kami sudah membicarakan kepada keluarga pak Wijaya, bahwa kami bermaksud pindah untuk mengontrak rumah. Meski masih satu kota tapi jarak rumah kontrakan itu dengan rumah pak Wijaya cukup jauh, mungkin sekitar sepuluh kilometer. Untunglah mereka mendukung keputusan kami, bahkan mereka mengatakan salut kepada kami karena berusaha untuk mandiri.
Hari itu hari Sabtu, hari yang sudah kami rencanakan untuk pindahan. Kami sudah mempersiapkan barang-barang yang mau dibawa –tidak terlalu banyak sih– karena selama kami tinggal di rumah pak Wijaya kami memang berusaha untuk memiliki sedikit barang saja, hanya yang benar-benar diperlukan dan ringkas agar tidak memakan banyak tempat. Hari Sabtu juga mas Pram tidak masuk karena cuma lima hari kerja, jadi kami lebih leluasa, kalaupun tidak selesai hari itu masih ada hari Minggu.
“Sering-sering main ke sini ya Nak Pram, Nak Tiwi!” ucap bu Wijaya lembut.
“Kalau perlu bantuan atau apa saja, jangan sungkan untuk mendatangi kami!” lanjut pak Wijaya dengan tulus.
“Iya Pak, iya Bu!” jawab kami gembira.
Setelah berbincang sejenak, kami lalu memohon diri untuk menuju rumah kontrakan. Apalagi barang-barang bawaan semua sudah ada di dalam mobil angkut sewaan. Sekitar tiga puluh menit kemudian sampailah kami di rumah itu. Barang-barang selanjutnya dikeluarkan dan dibawa masuk ke ruang tamu. Setelah semua barang berpindah, sopir itupun meminta diri untuk pulang.
Rumah itu memang tidak terlalu besar, sekitar empat puluh lima meter persegi dengan sedikit teras di depan. Tidak ada yang istimewa sih, teras juga kecil saja yang hanya mampu menampung satu bangku panjang, lokasinya memang berada di pemukiman padat penduduk. Kami sih senang saja, karena rumah kecil tidak perlu perawatan yang mahal. Semua bisa dikerjakan sendiri. Juga dengan harga yang miring lumayanlah tidak mengganggu kondisi keuangan. Setelah menutup pagar besi, kami berdua beranjak ke dalam rumah.
“Untuk ruang tamu, cukuplah digelar karpet dulu!” ujarku dengan nada pasti. Kupikir meja kursi tamu belum begitu perlu, mending uangnya buat hal lain yang mendesak. Karena ruangan yang tidak terlalu luas, kamar tamu itu terasa penuh dengan menumpuknya barang bawaan kami di situ, padahal barang kami juga tidak banyak.
Suamiku mengangguk menandakan setuju, kami lalu berjalan ke arah tengah. Tentu saja kami mengunci pintu depan terlebih dahulu karena ada barang-barang kami di situ. Ruang tengah itu lumayan luas sekitar dua kali ruang tamu, tapi kalau kami menempatkan terlalu banyak perabot tentu juga akan terlihat padat.
“Di sini mungkin bisa dipasang satu almari buffet, jadi bisa buat menaruh televisi, player dan barang-barang yang bisa disimpan di almari!” begitu aku merancang, “Dikasih satu sofa panjang juga bagus tuh, mungkin ditempatkan menempel di tembok agar terlihat luas.” Aku lalu mengambil buku kecil dan bolpen yang aku simpan di saku bajuku, lalu aku menuliskan satu buffet, satu sofa. Sedangkan untuk televisi dan player kami sudah punya sebelumnya.
“Wah dicatat juga ya?” kata mas Pram ingin tahu.
“Ya iyalah Mas, nanti akan ketahuan berapa banyak perabot yang dibutuhkan. Selanjutnya dibuat skala prioritas, mana yang harus dibeli dan mana yang bisa ditunda!” jawabku laksana seorang guru yang menerangkan kepada muridnya. Mas Pram tidak berkomentar apa-apa, dia hanya tersenyum dikulum saja.
Kamar selanjutnya yang kami lihat adalah dua ruang tidur, satu ruang tidur lebih besar, kami memutuskan untuk menjadikan kamar tidur itu sebagai ruang tidur kami. Sedang ruang tidur yang kedua yang lebih kecil bisa dibiarkan kosong dulu sehingga flexible bisa difungsikan sebagai apa saja. Lalu aku menuliskan satu buah kasur berikut bantal, guling, sprei dan selimut, juga sebuah almari pakaian.
Dan yang paling akhir alias paling belakang, ada ruang dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi dan ruang cuci, tapi yang membuatku terpesona, ternyata ada halaman belakang yang cukup luas dan bisa terlihat dari jendela dapur. Halaman belakang itu dibatasi pagar tembok yang tinggi di sekelilingnya, sehingga ada privasi bagi kami untuk bersantai ria tanpa terlihat orang. Kulihat ada satu pohon besar berdiri di tengah halaman yaitu pohon jambu itu, di sekitarnya hanyalah rerumputan yang tumbuh liar dan beberapa tanaman perdu yang tidak terawat. Tampaknya sudah cukup lama halaman belakang ini tidak dibersihkan. Padahal kondisi rumah dan bagian depan cukup bersih. Aneh, kenapa bagian belakang seperti dibiarkan begitu saja? Tapi aku tidak begitu menghiraukannya, toh nanti bisa dibersihkan sendiri.
“Wah, ada halaman belakang yang cukup luas ya, Mas?” seruku senang. “Sayang kurang terawat.” lanjutku.
Mas Pram tersenyum, “Iya nanti kita bersihkan sama-sama.”
“Aku jadi bisa menyalurkan hobi berkebunku nih dengan menanam aneka tanaman bunga!” tambahku suka cita, “Tapi kenapa pemilik rumah tidak memanen buah jambunya ya, Mas? Kan buahnya lebat sekali tuh!”
“Malas kali... membersihkannya saja enggan apalagi memanen!” jawab suamiku santai.
Aku sih nyengir aja... tapi pikiranku sudah melayang, membayangkan aku bisa menata halaman belakang itu dengan menanam aneka tanaman hias, rumput-rumput akan aku potong sehingga tampak rapi. Dan bila kubentangkan sebuah tikar di situ akan nyaman sekali buat tidur-tiduran. Hehehe aku tertawa sendiri di dalam hati.
Kami lalu kembali ke ruang tamu dan mulai membongkar isinya, tak lama kemudian menata dan menempatkan barang-barang di ruangan yang sesuai, karena barang bawaaan kami tidak banyak, jadi hanya ruang tidur utama, dapur dan kamar mandi saja yang diisi barang, ruang lain masih kosong melompong. Bahkan televisi dan player kami tempatkan di ruang tidur karena kami belum mempunyai buffet dan sofa. Untuk sementara kami tidur di atas kasur tipis dulu. Pakaian, buku dan barang lainnya masih teronggok di sudut kamar menunggu kami mempunyai almari yang bisa menampungnya. Tapi tak apalah… kami senang saja, bagaimanapun ini rumah tinggal kami dan kami bebas merdeka untuk mengaturnya.
Karena itu adalah hari pertama kami menempati, kami baru menyadari kalau lampu-lampunya ada yang sudah mati dan perlu diganti dengan yang baru. Hanya ada tiga lampu yang masih berfungsi, yaitu lampu teras halaman depan, lampu tengah dan lampu dapur. Karena darurat kami lalu memindahkan lampu dapur di kamar mandi, toh malam ini kami belum menggunakan dapur, sedang untuk halaman belakang ternyata tembok pagar yang mengelilinginya ada yang retak dan berlobang, tapi itu malah menguntungkan karena cahaya lampu tetangga belakang bisa masuk menyinari halaman belakang kami meski cuma sedikit. Untuk halaman depan kami tidak berani memindahkannya takut dikira rumah ini tidak berpenghuni. Untuk ruang tengah kami juga membiarkan lampu di situ karena sinarnya bisa masuk ke dalam kedua ruang tidur bila pintunya dibiarkan terbuka.
“Wah besok kita mesti belanja barang-barang yang dibutuhkan nih!” cetus suamiku seraya meraih buku catatan yang aku letakkan di samping kasur. Dia membaca sekilas lalu mengembalikan lagi ke tempatnya. “Tapi kayaknya tidak semua bisa terbeli nih!”
“Santai sajalah Mas, beli yang utama dulu semacam lampu dan alat memasak. Lainnya masih bisa ditunda kan?” ujarku tenang.
“Iya, kita ini merantau, kalau tidak ada dana cadangan sama sekali bisa repot!” timpal suamiku tanpa maksud menggurui.
“Jadi besok minggu kita belanja ya?” tanyaku girang, namanya perempuan tentu senang mendengar kata belanja.
“Iya, kita belanja sama-sama. Tapi tetap sesuai pedoman!” jawabnya bijak.
Sambil membaringkan badan di atas kasur tipis itu, kami berbincang sejenak, karena kelelahan setelah seharian mengurusi pindahan rumah, kamipun dengan cepat tertidur pulas.
Entah jam berapa aku tidak tahu, tiba-tiba telingaku mendengar suara. Aku terbangun dengan mata yang masih sangat mengantuk, kutajamkan telingaku, aku memang mendengarnya, sepertinya berasal dari belakang. Suara itu begitu lirih seakan tidak terdengar, tapi karena malam yang sepi suara itu bisa tertangkap telingaku. Aku tidak bisa mendengar dengan pasti suara apa itu. Tapi kemudian aku dikejutkan dengan suara sesuatu yang jatuh dengan keras.
Tidak perlu membangunkan suami, dia juga langsung terbangun. Ternyata ia mendengarnya juga, kami lalu bangun dan melangkah ke arah suara tadi. Aku berjalan di belakang mas Pram, menggengam tangannya dengan kencang, aku takut sekali. Kupikir ada orang jahat yang memasuki rumah.
Dengan membawa senter kami berjalan pelan menuju belakang, dari jendela dapur yang dibuka, mas Pram menyinari sekeliling.
“Oh... ternyata ada ranting yang patah... tuh lihat!” mas Pram menunjuk sebuah ranting pohon jambu yang cukup besar jatuh di bawahnya, “Mungkin angin, Dik.” lanjutnya.
Aku bernapas lega, akhirnya kami kembali keruang tidur.
Hari minggu kami belanja, tidak banyak yang kami beli, hanya lampu-lampu, peralatan masak dan sebuah almari pakaian. Itu saja sudah menghabiskan banyak uang. Aku belum bisa membeli tanaman karena uang yang terbatas, sehingga halaman belakang cukup dibersihkaan dulu dan memangkas rumput rumput agar lebih pendek. Ternyata setelah dibersihkan dan dirapikan halaman belakang itu tampak asri. Ah... pasti akan lebih terlihat cantik kalau sudah ditanamai aneka tanaman bunga kesukaanku, meski itu mesti menunggu waktu.
Lelah sekali rasanya setelah seharian membersihkan rumah dan halaman, karena esoknya mas Pram harus bekerja, akhirnya kami tidur agak awal. Entah jam berapa aku terbangun, aku merasa kebelet ingin buang air kecil. Meski masih mengantuk aku segera beranjak dari tempat tidur, sesaat kulihat suamiku yang tertidur pulas meringkuk memeluk guling. Karena sudah tidak tahan aku segera berlari ke arah kamar mandi. Setelah selesai, aku bermaksud kembali ke ruang tidur... maklum masih mengantuk, tapi mendadak aku merasakan sesuatu yang tidak biasa, angin terasa lebih dingin, berbarengan dengan itu menyeruak bau bangkai. Ah... mungkin bangkai tikus begitu pikirku, namun anehnya lagi bau itu berubah menjadi bau bunga yang sangat wangi lalu kembali ke bau semula yaitu bangkai.
Tapi yang mebuatku bergidik, aku mendengar suara lirih yang menyayat hati dari arah belakang. Karena penasaran aku berjalan menuju dapur untuk mengintip dari jendela. Kubuka jendela dapur, dan kulihat sekeliling, cahaya lampu yang kami pasang tadi siang di beranda belakang cukup untuk menerangi meski tidak terlalu terang karena cuma lampu kuning 10 watt. Awalnya aku tidak melihat apa-apa alias tidak mendapati pemandangan yang aneh, hanya pohon jambu dan rerumputan yang sudah rapi, tapi saat aku hendak menutup kembali jendela dapur itu... tiba-tiba kurasakan angin yang begitu dingin menerjangku, dan jantungku benar-benar mau berhenti berdetak begitu kulihat tiba-tiba secara samar muncul pemandangan seseorang menggantung dirinya di pangkal dahan di bagian atas pohon jambu itu, meski cuma sesaat lalu hilang begitu saja, itu sudah membuatku shock... aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat, mungkinkah itu cuma halusinasiku saja karena masih dalam kondisi mengantuk?
Setelah menenangkan diri sejenak... barulah aku ingat... letak bayangan orang yang menggantung itu persis sama dengan letak kilatan cahaya di foto yang pernah diperlihatkan oleh mas Pram melalui laptopnya.
No comments:
Post a Comment