Monday, August 12, 2019

TELEPON TENGAH MALAM (SAMARINDA)


Rina baru saja pindah ke rumah ini, beberapa kotak berisi barang-barang masih teronggok di depan pintu, tidak banyak sih barang yang dibawa tapi cukup membuatnya kewalahan. Maklum dia sendirian dan itu cukup membebaninya.

“Perlu bantuan?” seorang pria di sampingnya bertanya. Dia menunjuk ke kotak-kotak itu.

Rina menengok ke arah pria itu, dia merasa tidak asing melihatnya. Sepertinya dia pernah bertemu... tapi dimana ya? Pria itu tersenyum kepadanya.

“Lupa ya? Nama saya Burhan!” tiba-tiba Pria itu menjulurkan tangan, Rina terpaksa menyambutnya. Meski ragu tapi hati kecilnya meyakinkan kalau pria yang mengaku bernama Burhan itu orang baik baik.

“Rina!” jawabnya pendek.

Tanpa diminta, Burhan segera mengangkat salah satu kotak miliknya dan membawanya menuju pintu, sedang ia sendiri merasa heran, pria itu tampak sangat terbiasa.

“Bisa membukakan pintu ini Rina?” pinta Burhan seraya menatapnya, Rina sendiri diam mematung menyaksikan kelakuan orang itu.

“Ooh...!” Rina tergagap, segera dia beranjak ke pintu itu, lalu merogoh tasnya untuk mengambil kunci. Begitu pintu terbuka Rina masuk diikuti Burhan, dengan sigap Burhan menaruh kotak itu lalu keluar lagi untuk mengambil kotak-kotak yang lainnya.

“Sudah beres, semua kotak sudah dimasukin!” ucap Burhan begitu semua kotak sudah berpindah ke dalam ruangan.

“Terima kasih Burhan, mmhmm... apa mau mampir dulu atau...!”

Burhan memotong ucapan Rina dengan cara melambaikan tangan, “Terima kasih, tidak perlu, aku masih ada pekerjaan yang lain. Selamat malam!”

Dia lalu meninggalkan Rina yang masih terpaku. Rina memandangi punggung pria yang berlalu meninggalkan dirinya, setelah itu dia segera menutup pintu dan menguncinya.

“Burhan?” dia bertanya dalam hati. Kenapa dia merasa aneh dengan pria itu? Dia seperti asing dengannya tapi di saat yang bersamaan merasa terbiasa. Ah sudahlah, mungkin itu cuma perasaannya saja, kilahnya dalam hati. Kembali dia menengok ke kotak-kotak itu, malas rasanya mau membuka untuk mengeluarkan isinya, sudah malam sih... mendingan buat tidur aja, toh besok masih ada waktu, jadi nggak perlu tergesa gesa. Kalau dipaksakan mengerjakan sesuatu di saat kondisi tubuhnya lelah pasti akan berakibat kesehatannya terganggu, jadi repot nanti. Dia menyadari kalau dia sendirian di kota ini, kalau terjadi sesuatu hanya menyusahkan tetangga dan teman-temannya saja.

Setelah mematikan lampu, diapun pergi ke tempat tidur untuk merebahkan badan, diambilnya selimut di atas bantal lalu di tutupkannya ke seluruh badan. Sebelum memejamkan mata dia menatap kerah jam dinding bulat warna putih dengan angka angka berwarna hitam. Jarum menunjukkan pukul dua puluh satu lebih beberapa menit. Tidak berapa lama dia pun jatuh tertidur.

Kriingg... suara telepon terdengar keras di telinganya. Meski matanya masih terasa lengket bak dilem, tapi suara itu tetap saja membuat matanya sedikit terbuka. Siapa sih yang telepon malam-malam begini? Malas rasanya untuk beranjak dari tempat tidur hanya untuk mengangkat telepon, apalagi kalau itu ternyata cuma ulah orang iseng... gangguin orang tidur aja. Enggan menanggapi telepon, Rina kembali tidur, selimut dinaikkan lagi untuk menutupi badan dan wajahnya agar dingin yang menyergap bisa tertahan selimut itu.

Kriiinggg... suara telepon terdengar lagi, bahkan lebih keras, Rina menurunkan selimut dari wajahnya. Kok dering telepon itu terdengar lagi untuk yang kedua kali? mungkinkah telepon itu bukan dari orang iseng? Siapa tahu itu penting ada keluarga yang mau mengabarkan sesuatu? Akhirnya, meski malas Rina beranjak dari tempat tidur menunju meja di mana telepon itu berada.

“Halloo...? Siapa ini?” sapanya begitu dia mengangkat telepon. Ditatapnya jam dinding, menunjuk ke arah jam dua belas. Siapa pula tengah malam begini telepon?

“Bisa dihubungkan dengan Wawan?” suara seorang perempuan terdengar bergetar.

“Wawan? Wawan siapa? Di sini tidak ada yang bernama Wawan tuh!” Rina bingung menjawabnya, sebab memang tidak ada siapapun di rumah ini kecuali dirinya.

“Ini Bougenville nomor 21 kan?” tanya perempuan itu lagi.

 “Iyaaa... benar! Tapi tidak ada...”

“Hah... benar kan? Tolong deh panggilin Wawan! Cepat!” 

Rina terkesima mendengar suara perempuan yang tampak sangat kesal itu. Ada apa ini?
“Maaf, di sini tidak ada yang namanya Wawan!”

“Ini Bougenville nomor 21 kan?” ulangnya lagi lebih keras.

“Iya, tapi...” belum selesai Rina bicara, perempuan itu sudah memotongnya.

“Mana Wawan... cepat suruh dia angkat telepon ini!” hardiknya.
Rina jadi kesal dan naik pitam, “Kok ngotot sih... dibilangin tidak ada yang bernama Wawan masih aja nggak percaya. Sudah saya mau tidur aja, selamat malam!” Rina menutup dan meletakkan gagang telepon dengan keras. 

Kriing... kriingg... kriingg... dering telepon terdengar berulang ulang, tapi Rina sudah enggan menanggapi, dia ambil kapas dan menyumpalkannya di telinga. Sudah telepon orang tengah malam... eh marah-marah pula... gerutu nya dalam hati, lebih baik ditinggal tidur saja... toh dia juga tidak mengenal orang itu... kenapa pusing pusing amat?

Entah mengapa Rina sulit memejamkan mata, gangguan telepon tadi ternyata menancap di pikirannya, siapa perempuan itu? dan Wawan... siapa pula dia? Kenapa dia seperti pernah menyebut nama itu di waktu lalu? Bahkan nama itu kayaknya terukir di memorinya, samar dia merasa nama itu telah terucap berulang kali, dan suara perempuan itu juga acap kali dia dengar, tapi kenapa dia lupa segalanya?

Di pagi hari, Rina sudah mandi dan merapikan diri. Dibukanya tirai jendela untuk melihat pemandangan di luar.

“Pria itu...!” Rina melihat dengan lebih seksama... ya, bukankah dia yang tadi malam membantunya memasukkan kotak-kotak bawaannya ke dalam? Diamatinya lelaki itu dari balik jendela. Rina juga berusaha keras mengingat namanya. Kenapa jadi pikun begini, bukankah baru tadi malam dia bertemu dengan pria itu. 

“Ah lebih baik aku menghampiri pria itu, siapa tahu dia ada informasi tentang penghuni sebelum dirinya!” gumam dia dalam hati.

Setengah berlari Rina keluar dari pintu dan menghampirinya. “Hai...!” sapa Rina sambil menepuk bahu pria itu. “Kamu kan yang membantu saya memasukkan kotak-kotak tadi malam?” tambahnya lagi.

Pria itu tersenyum... datar saja.

“Nama saya Rina, kamu...”

“Burhan!” jawabnya pendek.

“Oh iya, Burhan... aduh maaf aku lupa... sudah pikun kali ya aku? Mmh... bukankah kamu yang membantu memasukkan kotak-kotak ke dalam rumahku?”

Pria yang bernama Burhan itu tertawa, lalu mengangguk.

“Kayaknya Mas Burhan ini tinggal di sekitar sini ya?” selidik Rina.

“Mmhmm... iya!” jawab Burhan.

“Kebetulan nih, aku mau tanya apa ada nama Wawan di sini, karena...”

Belum selesai dia mengutarakan maksudnya, Burhan sudah memotong sambil berkata, “Nanti jam sembilan aja ya? Dik Rina bisa menceritakan apa saja, bisa mengeluarkan uneg-unegnya!”

“Ooh... jam sembilan?” 

Burhan mengangguk, lanjutnya, “Nanti jam sembilan saya dan seorang teman akan mengunjungi Dik Rina, ok?”

Rina terpaksa mengangguk, sebenarnya dia ingin sekali saat ini juga dia mengungkapkan permasalahannya, tapi ya sudahlah... dia mesti mengalah karena dia melihat Burhan ada yang mau dikerjakan.

“Ok, sampai nanti jam sembilan. Rumahku yang itu tuh...”

“Bougenville nomor 21” ucap Burhan fasih.

Rina mengangguk penuh keheranan, Burhan kok tampak tahu betul alamat rumahnya itu, padahal dia merasa baru tadi malam berjumpa dengannya. Atau mungkin karena Burhan asli orang sini sedang dia cuma perantau yang barusan pindah ke rumah itu, tapi kalau itu benar malah kebetulan sekali... dia bisa banyak bertanya tentang orang yang bernama Wawan, mungkin dia salah satu penghuni sebelum dirinya dan perempuan yang menelpon tadi malam mengira Wawan masih tinggal di rumah itu. Ah sudahlah, toh Burhan berjanji mau menemuinya lagi, tak apalah menunggunya, Rina pun lalu kembali ke rumahnya.

Tepat jam sembilan, Rina mendengar suara ketukan pintu.

“Oh... Mas Burhan!” seru Rina senang. Burhan benar-benar datang menepati janjinya. Dia datang tepat jam sembilan dengan membawa seorang teman.

“Dik Rina, ini pak Dahlan!” Burhan memperkenalkan seorang pria paruh baya kepadanya. Rina menyambut jabatan tangan pria bernama pak Dahlan itu.

“Kata Burhan, Rina ada masalah ya?” tanya Pak Dahlan dengan suara tenang.

Rina memandang sejenak ke arah pak Dahlan, agak ragu dia untuk mengungkapkan masalahnya kepada orang yang baru dikenalnya.

“Dik Rina tidak usah takut, pak Dahlan ini ketua RT di sini, dia tahu pasti keberadaan warga yang ada di sini. Jadi nanti akan banyak membantu Dik Rina.” kata Burhan seperti memahami kekhawatriannya.

Rina tersenyum, dia lega, oh ternyata pak Dahlan ini pak RT. “Begini pak RT, saya kan belum lama pindah ke sini, di rumah ini di...”

“Bougenville no 21!” potong Burhan.

Pak Dahlan mengangkat tangannya ke arah Burhan pertanda dia dilarang memotong ucapan Rina.

“Silakan Dik Rina!” ucap pak Dahlan.

“Tadi malam ada orang menelpon saya, menanyakan seseorang yang bernama Wawan. Saya kan baru saja pindah ke sini, jadi saya kurang tahu, saya sudah bilang kalau saya tidak mengenal orang yang bernama Wawan tapi tetap saja dia ngotot minta bicara... Ya sudah telponnya saya tutup saja.”

“Dik Rina apakah mengenal pria yang bernama Wawan itu?” tanya pak Dahlan serius, dia melihat berkas yang dibawanya.

“Tidak, sama sekali tidak! Saya kan masih baru di sini! Mungkin pak RT yang lebih tahu, yang tinggal di rumah ini sebelum saya... siapa ya?” selidik Rina.

“Oooh... yang tinggal dirumah ini sebelumnya adalah seorang perempuan bukan pria!”

“Nah... itu dia, mungkin Wawan itu mantan pacar atau mantan suaminya!” Rina seperti mendapat titik terang.

“Bukan... bukan begitu, ini khusus perempuan, tidak boleh ada pria di sini.”

Rina terkejut... “Oh ya? Khusus perempuan?”

Lalu lanjutnya lagi, “Jadi kenapa perempuan yang telepon itu mencari Wawan? Kalau tidak ada pria yang boleh tinggal di lingkungan ini?”

“Apakah Dik Rina tahu? siapakah yang menelpon tadi malam?”

“Mmmh...” Rina tergagap, menyadari kebodohannya tidak menanyakan nama si penelepon.

“Besok lagi kalau perempuan itu menelepon tolong ditanyakan namanya, apa maunya! Jadi kita tahu maksud si penelepon itu!”

“Pak RT bisa bantu ya?”

“Tentu saja, kalau tahu dari siapa dan maunya apa tentu kita bisa cari data-datanya. Makanya entar kalau ada telepon lagi tolong dicatat semuanya.” Pak Dahlan lalu memberikan sebuah buku dan bolpen kepada Rina.

“Harus dicatat?” tanya Rina seraya menerimanya.

“Iya agar tidak kececer dan tidak lupa! Dik Rina kan selalu mendapat telepon tengah malam dari seorang perempuan dan menanyakan Wawan... jadi…”

“Maaf... saya baru mendapat telepon tadi malam, kenapa Pak RT bilang selalu?” protes Rina dengan nada kesal, bagaimana tidak? Bertemu dengan pak Dahlan juga baru kali ini kok bisanya dia bilang selalu.

Pak Dahlan mengeryitkan dahi, dengan sigap dia membuka berkas yang dibawa dan dibacanya dengan teliti, lalu dia manggut-manggut.

“Baiklah Dik Rina, besok jam sembilan kita akan bertemu lagi. Nanti Dik Rina bisa menceritakan semuanya, tapi ingat harus dicatat! Siapa yang menelpon, maunya apa, pokoknya semuanya tercatat, jadi kita bisa membahasnya bersama-sama!”

Rina diam sesaat, dibukanya buku yang diberikan oleh pak Dahlan lembar demi lembar, semuanya masih kosong belum ada tulisan sama sekali.

“Ingat ya? D-i-c-a-t-a-t!” kata pak Dahlan lagi menekankan kata itu.

Rina mengangguk, karena kedua tamunya beranjak dari kursi, Rina pun lalu mengantar keduanya menuju pintu.

Beberapa saat setelah meninggalkan pintu itu Burhan bertanya kepada Pak Dahlan, “Bukankah Pak Dokter sudah tahu kejadiannya?”

Burhan mengerti meski baru sekali ini pak Dahlan menemui Rina tapi dia pasti sudah membaca berkas yang ada.

Pak Dahlan tersenyum, ucapnya, “Biarkan Rina tahu dengan sendirinya, kejadian apa yang sudah menimpanya, itu membantu memori dan penyembuhannya.”

Burhan manggut-manggut, dia ingat berita di koran berapa pekan silam tentang kejadian kriminal yang menimpa seorang perempuan muda, di situ diceritakan kalau perempuan itu terluka parah di bagian kepala dan mengalami depresi berat. Perempuan itu bernama Rina, dia selalu menyebut nama Wawan. Tapi sampai sekarang belum ada titik terang tentang siapa orang yang bernama Wawan itu. Katanya masih dalam proses penyelidikan di kepolisian. Tapi dari berita itu Burhan jadi tahu kalau dia dan Rina berasal dari kota yang sama dan sama-sama orang perantauan yang bekerja di kota Samarinda. Rina bekerja di sebuah Bank terkenal sedang dia bekerja sebagai seorang perawat.

Sebelum pergi menuju tempat selanjutnya, Burhan menengok sebentar ke belakang ke arah pintu itu, di situ terpampang tulisan Bougenville no 21, itu nama salah satu pavilyun di rumah sakit jiwa tempat dia bekerja selama ini.

“Kasihan kamu Rina, nasibmu begitu tragis,” gumam Burhan getir.

No comments:

Post a Comment

La Planchada