Kita pasti pernah mendengar kalau ada lelembut atau hantu yang berpindah tempat, menurut orang yang mengetahui dunia perghaiban, makhluk-makhluk itu tidak bisa begitu saja berpindah tempat seperti kita para manusia. Mereka perlu bantuan sebuah media.
Pengalaman pamanku ini bisa menjadi bukti kalau hal-hal seperti itu bisa terjadi. Saat itu paman main ke rumah, ditemani ayah dan ibu, mereka asyik bercerita. Mereka asyik ngobrol di teras rumah dan aku yang kala itu masih kecil sedang bermain di depan rumah dekat teras, jadi aku bisa mendengar obrolan mereka. Awalnya aku kurang menghiraukan tapi ketika cerita mereka mengarah tentang hantu –aku jadi tertarik untuk mencuri dengar.
“Mas Haryo dan Mbak Nunik boleh percaya boleh tidak, kadang-kadang ada sejenis makhluk halus yang suka numpang pada sepeda motor atau mobil.”
Itu kata paman Harno ketika memulai menceritakan kisah hantu itu, aku yang sebelumnya asyik bermain… langsung mengalihkan perhatian ke cerita paman, mungkin mereka tidak mengira kalau aku mendengarkan karena yang mereka lihat aku masih bermain-main sendiri.
“Wah bisa numpang pesawat sekalian dong, bisa piknik kemana-mana gratis… heheheh!” gurau ayah terkekeh.
Paman seperti tersinggung dengan ucapan ayah, dengan memasang mimik serius dia melanjutkan kisahnya,
“Kalau itu aku nggak tahu Mas, yang pasti itu pengalamanku sendiri dan Wulan juga melihatnya!”
“Wulan? Anakmu balita juga melihatnya?” Ayah dan Ibu tampak terpengarah ketika Paman menyebut Wulan.
Wulan itu sepupuku, dia masih berusia sekitar tiga tahun lebih sedikit, ayah dan ibu jadi tertarik untuk mengikuti cerita paman, maklum Wulan si anak balita juga ikut melihat. Balita kan masih sangat polos dan biasanya bisa melihat hal-hal seperti itu tanpa dia sadari.
“Bagaimana bisa Wulan melihatnya?” tanya Ibu.
“Begini Mbak, misalkan ada seorang pemotor atau pengendara mobil habis berhenti di suatu tempat untuk istirahat, buang air dan lainnya, tanpa disadari sebenarnya di tempat tersebut ada makhluk halus dan ketika mau melanjutkan perjalanan makhluk itu ikut ndompleng karena ada media yang bisa dia pakai.”
Paman menghentikan ceritanya sejenak lalu melanjutkan lagi, dua hari lalu paman sekeluarga sedang nonton TV tapi karena lapar mereka bermaksud beli makanan.
“Mas… lapar nih!” begitu kata tante Wati –istri paman.
“Iya, wulan juga!” Wulan anak mereka yang sedang asyik main boneka ikutan nimbrung.
“Wah, malam-malam begini mana ada warung yang buka?” seru paman sambil melirik ke arah jarum jam dinding yang menunjukkan pukul sepuluh malam lebih sedikit.
Rumah paman ada di sebuah perumahan yang agak jauh dari perkotaan. Kalau mau ke kota mesti melewati hamparan sawah dulu baru masuk ke jalan. Jalan itu juga hanya ramai oleh warga sekitar sini di saat pagi sampai petang hari saja, kalau sudah malam begitu biasanya sepi, maklumlah itu hanya jalan perkampungan. Baru setelah sekitar satu kilometer akan masuk ke jalan utama menuju kota.
“Ayah… kan bisa beli ke kota, banyak warung makan yang buka 24 jam!” jawab tante Wati. “Lapar banget nih… pingin makan bakmie goreng!”
“Nggak bikin mie instant aja?” Paman sebenarnya enggan keluar malam buat beli makanan.
“Bosan, kepingin makan mie pak Sastro yang di depan toko Besi Makmur Jaya itu lho… Ayah nggak kepingin?”
“Wulan juga mau mie!” sambil tertawa senang Wulan berlari ke arah ayahnya. Mungkin dia pikir akan diajak ke kota buat beli mie.
“Ya sudahlah, aku akan ke kota buat beli mie, tapi Wulan tidak usah ikut, ntar ngantuk lagi… kan sudah malam!”
Wulan menangis ketika tidak diajak, tante Wati segera mengambil Wulan dari kursi dan menggendongnya.
“Wulan bobok saja, nanti kalau ayah datang akan kita bangunin buat makan mie bareng!” Tante Wati mencoba menenangkan putrinya.
Akhirnya dengan mengendarai motor paman Harno berangkat ke kota buat beli mie.
“Antrian beli mie-nya ternyata panjang…!” seru paman kepada ayah dan ibu.
“Sekitar jam sebelas malam lebih baru dapat!” lanjutnya lagi.
“Trus…?” Ayah dan ibu menjadi penasaran, begitupun dengan aku yang sedang mencuri dengar.
“Setelah dapat dua bungkus mie aku segera pulang, tidak ada apa-apa saat itu. Hanya saja saat di tikungan jalan di Jalan Mawar Sari…”
“Oh… tikungan setan itu? Di situ kan banyak yang meninggal karena kecelakaan!” potong Ibu.
Paman mengangguk, “Di tikungan itu aku memperlambat laju motor, siapa tahu ada kendaraan dari arah depan yang melintas. Malam hari biasanya kendaraan merasa tidak ada saingan sehingga banyak yang ngebut, makanya aku memperlambat motorku.”
“Lalu…” tanya ibuku lagi.
“Entah kenapa motorku tiba-tiba macet, aku terpaksa minggir dulu agar kendaraan di belakangku bisa lewat. Aku mencoba menstarter motor lagi, agak lama sih… tapi berhasil juga akhirnya!”
“Lelembut itu ikutan numpang ya?” ucap Ibu.
Paman mengiyakan.
“Kalau tahu kenapa tidak kamu usir saja...?!” sergah ayah.
“Waktu itu saya tidak tahu, Mas! saya hanya merasa agak berat seperti ada yang membonceng!”
“Dari kaca spion tidak terlihat ya?” timpal ibu.
“Dari kaca spion tidak terlihat apa-apa, aku bahkan juga sempat menengok ke arah belakang untuk memastikan siapa tahu ada orang ikutan bonceng! Yang terlintas di pikiranku malah kalau ada orang jahat yang memaksa ndompleng… bukan hantu atau lelembut.”
“Tapi kamu yakin kalau boncenganmu ada ‘sesuatu’ yang ikutan?” Ibuku semakin tertarik dengan cerita paman.
“Saat ada ‘sesuatu’ yang naik, aku bisa merasakan meski tak bisa melihatnya, tapi setelah itu kondisi normal kembali. Setelah motor aku jalankan terasa ringan saja seperti tidak ada yang membonceng, makanya aku santai saja!”
“Wah… wah…!” Ibu menggeleng gelengkan kepala.
“Lelembut itu numpang sampai rumahmu ya?”
“Itu yang bikin kami sekeluarga merinding!” ujar paman.
“Beneran nih sampai rumah?” Ayah terbelalak.
“Iya, saat aku pulang ternyata Wulan masih belum tidur. Dia bersama ibunya ada di teras. Wati lagi baca majalah dan Wulan bermain boneka.
Begini nih ceritanya:
“Ayah pulang… ayah pulang!” teriak Wulan girang, dia berlari menghambur ke arah paman, kalau tante Wati sih cuek saja tetap membaca majalah, mungkin sedang baca artikel yang bagus.
Sebagai seorang ayah tentu paman senang sekali disambut oleh anaknya. Segera setelah mematikan mesin motor, paman turun untuk menggendongnya.
“Ayah sama siapa?” tanya Wulan setelah dipeluknya.
“Ayah sendiri saja!” jawab paman pendek.
“Tuh… yang duduk di belakang?” seru Wulan sambil jari tangannya menunjuk ke arah belakang paman yang membelakangi motor karena menggendong anaknya.
Secara refleks pamanpun mengikuti arah tangan anaknya. Ya…dia melihat seorang perempuan bergaun putih panjang duduk di boncengan motor. Rambutnya panjang terurai menutup wajahnya sampai pangkuan.
“Wati… tuh temanmu ada yang ikutan nebeng!” seru paman keras. Dia pikir itu perempuan malam yang ikutan nebeng, jadi biar Wati yang menanganinya.
“Ada apa sih, Mas?” jawab Wati sambil menurunkan majalahnya dan mengalihkan pandangan ke arah paman. Tapi selanjutnya Wati berteriak.
“Hantu… hantu!” teriaknya keras sekali sambil menunjuk nunjuk ke arah motor.
Ketika paman kembali mengarahkan pandangan ke motor, dia terkejut setengah mati.
“Aku melihat perempuan itu cuek saja tidak melakukan apa-apa, hanya duduk kaku di boncengan, tapi kemudian ada asap tipis mengepul dari tubuhnya dan seketika itu juga perempuan itu menghilang.” terang paman tercekat.
“Wulan meronta dari gendongan dan tiba-tiba anak yang berumur tiga tahun itu berlari sampai di pintu pagar rumah sambil teriak-teriak, “Jangan pergi... jangan pergi.”
“Aduh… bahaya itu, Wulan masih bisa melihat lelembut itu karena dia mengejarnya!” teriak ibu sedikit histeris.
Ayah menepuk bahu ibu agar tenang, sambil mempersilakan paman meneruskan ceritanya.
“Refleks, saya mengejar anak saya dan segera mendekap erat dari belakang… terlihat anak saya matanya kosong seperti terhipnotis sesuatu!! Kemudian saya menggendongnya membawa masuk ke dalam rumah.”
“Setelah sampai di dalam rumah aku dan Wati segera membaca ayat Kursi. Setelah selesai saya usapkan air putih di mukanya. Alhamdulillah anak saya matanya kembali seperti semula.”
Ayah dan ibu menggut-manggut mendengar cerita paman. Dari wajah mereka aku melihat mereka tampak lega. Beda dengan aku, bulu kudukku berdiri dan keringat dingin membasahi tubuhku. Segera saja aku berlari ke arah orang tuaku.
Ibu menarikku di pangkuannya. Aku merasa sangat aman di pelukan Ibu.
No comments:
Post a Comment