Monday, October 21, 2019

HANTU PEREMPUAN GANTUNG DIRI


Dewi memandang wajah Nina yang begitu terlihat mendung, kepedihan terpancar di matanya. Keduanya duduk lesehan di atas lantai tanpa tikar dan punggung mereka menempel di tembok, awalnya Dewi tidak memperhatikan wajah temannya tapi begitu nada sesenggukan terdengar lirih, dia secara refleks memandang wajah temannya itu, barulah dia sadar kalau Nina begitu tertekan. Beberapa saat mereka berdua terdiam sampai tiba-tiba Nina mengucapkan kalimat yang membuatnya terperangah.

“Wi… kamu pernah terpikir untuk bunuh diri?” tanya Nina saat itu.

“Bubb… bubb… bunuh diri?” teriak Dewi terbata-bata, dia tidak percaya dengan yang dia dengar barusan.
Nina menggangguk, air matanya mulai menetes.

“Rasanya sudah tidak ada semangat hidup, Wi…!” 

“Kamu sudah gila…!” potong Dewi cepat.

“Paling tidak aku bisa lepas dari beban ini, dan aku menjadi orang yang bebas!!” tukas Nina putus asa.

Dewi terdiam sejenak, dia lalu teringat cerita ibunya, 

“Nin, aku pernah diceritain sama ibuku… beliau juga pernah mencoba untuk bunuh diri… kamu mau mendengar ceritaku kan?” bujuk Dewi pelan.

Nina menengok ke arah Dewi dengan terpengarah… 

“Ibumu…?” sahut Nina tak percaya.

“Tidak mungkin lah, ibumu kan shalihah sekali… beliau memakai kerudung, rajin ke masjid… ah, kamu cuma mau menghiburku ya…?” lanjut Nina setengah protes.

“Mungkin kamu tidak percaya kalau ibuku pernah berusaha untuk bunuh diri, tapi cobalah kau dengar ini…”
Lalu meluncurlah cerita Dewi.

“Ibuku sudah tiga kali mencoba bunuh diri saat aku SD dulu, dengan tujuan agar bisa menyatu dengan almarhum ayah selamanya. Ibu frustasi dengan keadaan ekonomi yang begitu berat. Ayahku wafat dengan meninggalkan beban tiga orang anak yang masih kecil-kecil.”

Dewi menghela napas sejenak, lalu melanjutkan ceritanya.

“Saat aku kelas 6 SD, ibu pernah mencoba untuk bunuh diri. Pernah loncat dari angkot, menyayat nadi, dan minum racun pembersih. Tapi anehnya selalu saja ada yang menghalangi beliau mati, mungkin belum waktunya. Saya tidak bisa menyalahkan ibu. Dia hanya ingin hidup tenang bebas dari segala masalah yang membelit hidup dan selamanya bersama mendiang ayah. Dia panik dan terpukul sekali saat ditinggalkan oleh ayah menghadap Tuhan.”

“Terus, kenapa ibumu tidak jadi bunuh diri? Dan berubah menjadi alim begitu?” 

Jawab Nina yang mulai tertarik dengan cerita Dewi, meski sebenarnya dia agak kurang percaya juga.

“Mmmhhhh… setelah pada akhirnya beliau bertemu hantu yang mati bunuh diri. Sampai sekarang tidak pernah terbesit sedikitpun kata 'bunuh diri’.”

“Bertemu hantu yang bunuh diri?” seru Nina kaget setengah mati.

Dewi mengangguk,

“Saat itu ibuku berusaha bunuh diri dengan minum racun pembersih di kamar mandi, tapi untungnya ketahuan sama nenek, meski agak terlambat, karena waktu itu ibu sudah tidak sadarkan diri. Dengan dibantu oleh para tetangga, ibu segera dibawa ke rumah sakit. Nah setelah siuman, ibu tampak seperti orang bingung dan sering berdiam diri.”

“Ibumu ketemu hantu di rumah sakit…?” cetus Nina.

Dewi menggeleng, “Bukan hantu rumah sakit.”

“Lalu… hantu apa yang ibumu bilang?” tanya Nina lagi penasaran.

“Nenek berusaha keras menyadarkan ibu dan memintanya bercerita… ternyata ibu selalu didatangi oleh seorang wanita yang berwajah manis, dulunya dia adalah teman dan juga tetangga ibu sebelum ibu menikah. Dia gantung diri di kamarnya akibat pacarnya tidak mau bertanggung jawab, dia kebingungan dan takut sekali. Biasanya ‘orang yang tidak sadar dan hampir mati’ bisa bersinggungan dengan dunia lain, makanya ‘mereka para hantu’ bisa mengenali orang-orang yang demikian.” jelas Dewi panjang lebar.

“Kata ibuku, seringkali Sri –nama teman yang bunuh diri itu– mendatangi dan meminta tolong. Nah, Sri yang meninggal gantung diri ini agak ekstrim. Dia mendatangi ibu untuk minta bantuan melepaskan tali di leher yang masih mencekiknya. Dengan menangis tersedu-sedu dia datang menembus pintu kamar rumah sakit, ibu ketakutan sekali tapi tidak bisa apa-apa karena beliau tidak sadar jadi tidak bisa ngomong sama nenek atau siapa saja yang sedang menjaganya di rumah sakit. Sementara Sri terus saja berbicara.”

“Tik... Titik…” Begitu dia biasa memanggil ibu saat masih kecil dulu, “…bisa bantu aku Tik…”

Meski ketakutan tapi ibu berusaha menjawabnya –tentu saja dalam bahasa batiniah yang hanya bisa dimengerti oleh ibu dan Sri temannya itu, 

“Mau dibantu apa, Sri?”

Dia menjawab, “Sesak, Tik... tolong... sesak...”

Ibu memandanginya. Kasihan, mukanya sedih pucat, seutas tambang masih menempel di lehernya, dan kedua tangannya memegangi tali tambang itu.

Dalam keadaan terengah dia terus bercerita, 

“Pacarku, kabur setelah menghamili aku, aku bingung dan takut dimarahi orang tua. Aku gantung diri agar tenang… lepas dari masalah.”

“Dari hanya memandangnya... ibu bisa merasakan rasa sakit yang diderita Sri, temannya itu. Ibu pikir dia juga sudah mati karena bisa berkomunikasi dengan Sri yang sudah meninggal tapi tidak bisa ngomong sama orang yang menungguinya alias orang yang masih hidup. Tapi ternyata salah…”

“Saya sudah mati, Sri… bagaimana cara membantumu...?” ibuku balik bertanya kepada Sri.

Sri tertawa cekikikan terdengar sangat menakutkan. 

“Sesama orang mati penasaran tidak bisa saling membantu. Mereka sibuk dengan derita masing masing!”

Ibu kaget setengah mati mendengar penuturan Sri… barulah beliau menyadari kalau masih hidup.

“Kalau begitu, mengapa kamu tidak minta bantuan orang-orang itu!” Ibu menunjuk ke arah nenek dan salah seorang kerabatnya yang menungguinya di rumah sakit.

“Tidak bisa, Tik… mereka tidak bisa melihat aku. Beda dengan kamu, kamu bisa melihat aku dan kita bisa saling berbincang!”

Ibupun mulai lupa kalau Sri itu hantu dan bertanya lagi, 

“Lalu gimana, Sri?”

Sri menangis lagi dan berkata,

“Tik… aku sudah mati hampir 15 tahun dan rasa sakit di leherku ini masih saja terasa… sesak… sesak sekali rasanya.”

Mungkin kita pernah mendengar, jika kita mati akan ada malaikat yang akan menjemput kita, namun itu tidak terjadi padanya. Tersiksa dengan perasaan sakit di lehernya seperti sakit yang dia rasakan saat nyawanya terlepas karena gantung diri. Lebih parahnya, dia tidak bisa berkomunikasi dengan hantu lainnya yang mungkin gentayangan karena penasaran juga.

Dia bertanya lagi kepada ibu, 

“Sampai kapan aku akan begini ya, Tik? Sakit... sesak di leher ini. Sri pikir dengan bunuh diri, akan lupa pada kepedihan hati...” 

Ibu yang masih kebingungan hanya menggelengkan kepala dan menjawab seadanya,

“Mungkin sampai kiamat, Sri...”

Dan dia terisak keras, suaranya mengerikan dengan nafas terengah karena tali di leher. 

“Coba bantu membuka tali ini, Tik...”

Perasaan takut mulai lewat, ibu mencoba memegang talinya. Tapi tembus lagi tembus lagi. Bahkan tangan ibu tidak bisa memegangnya. 

“Maaf, Sri, saya tidak bisa membantu… tali ini tidak bisa kupegang.”

Dia terisak... terdiam... dan dalam keadaan yang masih terengah sesak, dia meninggalkan kamar ibu sambil berkata, 

“Semoga cepat kiamat ya, Tik, kapan-kapan aku ke sini lagi ya… senang ada teman yang bisa diajak berbicara!” 

Setelah dia meninggalkan kamar, ibu hanya bisa terdiam. Cukup sedih melihat kondisi teman masa kecilnya itu, tidak ada yang bisa membantu. Sendirian menanti kiamat. Lalu ibu teringat kisah dirinya sendiri yang sudah mencoba bunuh diri… tiba-tiba ibu merasa sangat ketakutan. Bagaimana kalau dia nanti mati dan bernasib seperti Sri… merasakan sakit selamanya sampai kiamat datang? Kepada siapa dia akan berkeluh kesah? Sri bilang sesama hantu penasaran tidak bisa saling berkomunikasi dan saling membantu? Dan orang-orang yang masih hidup tidak juga bisa diajak berbicara?

Ibupun lalu berdoa sekuat hati memohon kepada Tuhan agar diberi kesempatan hidup dan menebus kesalahannya selama ini karena telah mencoba bunuh diri.

Syukur alhamdulillah doa ibu dan orang-orang sekitar dijawab oleh Tuhan, ibu akhirnya siuman. Meski beberapa saat terlihat bingung dan berdiam diri, tapi setelah dibujuk nenek dan kerabat yang lain ibu mulai membuka diri dan bercerita kisah yang dialaminya selama dalam keadaan tidak sadarkan diri itu.

Semenjak itu ibu berubah, dia menjadi lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Lebih ikhlas menjalani hidup.
Dewi mengakhiri ceritanya, dia melihat Nina yang mulai berkaca kaca.

“Wi… aku tidak mau sendirian merasakan sakit seperti Sri teman ibumu! Menderita sekali rasanya…! Aku ingin seperti ibumu saja, ikhlas menjalani hidup.”

Nina merangkul Dewi dan kemudian Nina menangis sesenggukan di bahu teman akrabnya itu. Dewi mengelus lembut rambut Nina, terbesit di hatinya: Di saat kita semua ketakutan menghadapi kiamat karena merasa belum siap, di tempat lain ada hantu-hantu yang sangat menanti datangnya kiamat. Untuk yang masih kepikiran bunuh diri, terserah. Dengan membaca cerita di atas mungkin sudah terbayang bagaimana nantinya.

No comments:

Post a Comment

La Planchada