Thursday, October 31, 2019

ADA HANTU DI RUANG TENGAH


Namaku Azizzah. Aku tinggal di perumahan Blue Paradise. Tiga bulan yang lalu kami baru saja pindah ke rumah yang baru kami tempati ini, dan sejak itulah kami mendapatkan gangguan dari makhluk halus yang entah dari mana asalnya, dan seperti apa bentuknya… 

Ceritanya begini,

Aku tinggal bersama mas Iqbal (suamiku), dan Ilham, anakku yang baru berusia setahun, serta mbak Darsih seorang pembantu rumah tangga yang tidur di kamar samping. 

Pertama kali kami diganggu, adalah di minggu pertama kami tinggal di rumah baru kami di Blue Paradise. 

Malam itu, mas Iqbal yang bekerja di luar kota sebagai seorang kepala satpam, sedang bertugas jaga malam di pabrik. Tinggal aku dengan Ilham yang berusia setahun tidur di kamar utama kami, dan pembantu kami tidur di kamar sebelah. Pada waktu itu sekitar pukul 02.00 dini hari, Ilham terbangun dan mulai menangis. Yah, seperti biasalah, aku sudah menduga bahwa dia ingin minum susu dan sekaligus ingin aku mengganti popoknya.

Biasanya, aku akan bangun dan pergi ke dapur untuk membuatkan susu untuk Ilham. Tapi malam itu, anehnya, aku tergerak hati untuk menelepon mbak Darsih untuk membuatkan susu untuk Ilham, sementara aku akan mengganti popoknya. Dia pun mengangkat telepon dan aku menyuruhnya membuatkan susu untuk anakku. Tidak sampai lima menit setelah itu, mbak Darsih masuk ke kamarku, menyerahkan botol susu untuk Ilham, dan bertanya kepadaku, 

“Bu, apa Ibu tadi lupa mematikan TV di ruang tengah ya?” 

Aku terdiam sejenak… 

“Sejak kapan aku menyalakan TV di ruang tengah, lewat tengah malam pula? Dari dulu aku kan selalu nonton TV di ruang utama sambil tiduran...?!” gumamku masih sedikit mengantuk.

Pikiranku menjadi penasaran. Setahuku, biasanya begitu Ilham tertidur, aku akan menyusul masuk ke kamar dan menemaninya tidur setelah mandi dan shalat Isya. Tak pernah sekalipun aku menyentuh pesawat TV di ruang tengah itu.

“Ah… apa Mbak Darsih selama ini tidak pernah memperhatikan kebiasaanku...?!” pikirku penuh tanya.
TV yang dimaksud mbak Darsih itu berada di rak TV berbentuk seperti almari dengan banyak laci dan kompartemen. Di sebelah almari TV itu ada sofa yang modelnya aku tidak suka. Selain pesawat TV, di rak tersebut juga terdapat satu set sound-system, dan sebuah DVD/VCD/MP3 player. 

Sofa, dan almari TV tersebut sudah ada di ruang tengah itu semenjak kami pindah ke rumah ini. Sound-system dan player untuk DVD/VCD/MP3 kami beli sendiri di toko elektronik di sebelah timur perumahan kami, sedangkan pesawat televisinya memang sudah ada di situ sejak kami pindah ke rumah ini. Mungkin itu adalah barang peninggalan penghuni lama, dan sengaja ditinggalkan karena sudah tidak menginginknnya.

 TV, player, dan sound-system tesebut semuanya terhubung menjadi satu rangkaian. Harus ada yang menekan tombol “power” pada panel sistem itu untuk menghidupkan atau mematikan sistem tersebut, dan setelah itu baru dia bisa menggunakan remote-kontrol untuk mencari chanel TV, menaikkan atau menurunkan volume suara atau untuk berpindah ke menu lainnya. Remote kontrol itu sendiri tersemat di dalam kantung mini yang digantung di lengan sofa sebelah kanan. 

Pendek kata, tidak mungkin ada (sekalipun tanpa sengaja) yang bisa menghidupkan sistem ataupun menekan remote kontrol itu dengan sendirinya. 

Untung aku tadi menyuruh mbak Darsih membuatkan susu untuk Ilham. Sebab kalau tidak, aku yang penakut ini pasti langsung kaget dan pingsan ketika melewati ruang tengah dan menemukan bahwa TV-nya dalam keadaan menyala.

Setelah mbak Darsih memberitahuku tentang TV yang menyala di ruang tengah itu, aku segera menyuruhnya kembali ke ruang tengah dan mematikan TV itu. 

Nasibku memang baik. Mbak Darsih, pembantu rumahku yang oleh para tetangga dipanggil “bibi” itu, orangnya pemberani. Tidak penakut seperti aku. Dan mbak Darsih senang mengaji di rumahku yang baru ini.)

Mbak Darsih kemudian keluar untuk mematikan TV itu. Setelah itu aku pun menjadi gelisah, tak bisa tidur! Akhirnya aku menelepon mas Iqbal dan memberitahunya tentang TV yang menyala sendiri di ruang tengah itu. 

Mas Iqbal mencoba menenangkan hatiku dan berkata, mungkin sound-systemnya yang rusak. 

“Ah... Mas Iqbal ini, bagaikan aku tidak paham saja tentang bagaimana sound-system yang rusak itu.” gerutuku sedikit kesal 

Karena pikiranku masih juga tidak tenang, maka aku pun membaca Ayatul Kursi, Ayat Tiga Qul dan sambil mendengarkan surah “Al-Baqarah” di alat pemutar ayat-ayat suci Al-Qur'an, aku kemudian melanjutkan tidur bersama anakku Ilham.

Besoknya, mas Iqbal tidak mendapat giliran jaga malam. Aku merasa sedikit tenang karena itu artinya akan ada mas Iqbal yang menemaniku di malam hari. Dan seperti malam sebelumnya, Ilham menangis sekitar pukul 02.00 dini hari karena dia menginginkan susu. Mas Iqbal pun bangun lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan susu buat Ilham. Tapi belum sampai semenit, dia sudah kembali masuk ke kamar dan berbisik, 

“Mama, pesawat TV di ruang tengah kok menyala lagi ya...?” 

Meremang bulu romaku. Tapi aku hanya bisa diam melongo, tak tahu harus menjawab apa, karena aku sendiri juga heran dengan kejadian ini. 

Mas Iqbal kemudian keluar dan mengetuk kamar mbak Darsih. Setelah dia kembali ke kamar dan memberikan botol susu untuk Ilham, kami menyuruh mbak Darsih duduk menemani Ilham sementara kami keluar untuk memeriksa keadaan. Ketika kami hendak keluar kamar menyusuri lorong ke ruang tengah, tiba-tiba suara TV kedengaran semakin keras…!!! 

Aku jadi merasa amat takut…!!! Kugenggam erat tangan mas Iqbal. Aku tak mau terlepas darinya. 

Aku jadi berpikir yang aneh-aneh, sebab beberapa hari sebelum kejadian ini, pintu utama rumah kami beberapa kali pernah diketuk-ketuk dari luar, tapi setiap kali kubuka, tidak ada orang!!!

Aku jadi teringat,

Waktu itu, mas Iqbal mendapat giliran kerja shift petang, dan peristiwa itu terjadi sekitar pukul 11.30 malam. Saat itu ada yang mengetuk pintu utama dan aku langsung membukanya sebab memang sedang menunggu mas Iqbal pulang ke rumah pada waktu itu. Tapi setelah pintu aku buka, ternyata...

Tak ada seorangpun di luar. 

Hanya angin dingin yang berhembus menerpaku pelan. Aku jadi merinding, padahal tadi jelas-jelas aku mendengar ada yang mengetuk pintu tersebut.

Aku pun segera menelpon suamiku, ternyata mas Iqbal baru turun dari kereta di stasiun kota. Aku jadi semakin ketakutan dan langsug kututup kembali pintu itu, aku kunci, dan langsung lari ke atas, ke kamar tidur utama, dan langsung kupeluk Ilham yang sedang tertidur pulas. Dan ketika mas Iqbal sampai di rumah, dia terhenti di luar rumah dan tak bisa masuk. Dia pun menelponku agar membukakan pintu untuknya. 

Aku segera turun untuk membukakan pintu, dan di sana kulihat mas Iqbal dengan wajah terlihat lelah sehabis bekerja seharian, menatapku dengan mata tidak percaya. Seolah-olah hendak berkata, 

“Mama, kenapa bersikap kekanak-kanakan begini...?!”

Aku bisa memahami mas Iqbal yang hingga kini masih sering keheranan dengan sifat penakutku yang kadang kelewat batas.

Tapi rupanya kali ini aku salah. Rupanya mas Iqbal menatapku dengan tatapan tidak percaya karena sikap dan ketakutanku selama ini memang beralasan. Hal itu kuketahui ketika mas Iqbal kemudian menggandeng tanganku dan membawaku keluar rumah. Kami berhenti di depan rumah dan berdiri sejauh kurang-lebih 4 meter dari rumah.

Dari tempat kami berdiri, mas Iqbal menunjuk ke atas, memperlihatkan kepadaku sesuatu yang berada di atas atap rumah kami yang bertingkat tiga. Di tingkat tiga bangunan itu, kami melihat bayangan hitam sedang tegap berdiri di atas atap. Lama juga kami perhatikan, sebelum akhirnya kami bersama membaca Ayatul Kursi, Ayat Tiga Qul, dan kembali masuk ke rumah kami. 

Aku dan mas Iqbal berusaha saling menguatkan hati masing-masing, mungkin karena rumah yang baru kami tempati ini sudah dalam keadaan kosong cukup lama, maka bisa jadi ada makhluk-makhluk lain yang menghuni sebelum kami pindah ke rumah ini. Namun kami sepakat untuk bersikap biasa saja, karena kami lebih percaya akan selalu mendapat perlindungan dari Allah swt. Malam itu pula anak kami tidak bisa tidur nyenyak, tapi ketika itu, kami mengira hanya karena perutnya kembung.

Kembali kepada kisah awalnya, 

Sesampainya di ruang tengah, mas Iqbal segera mematikan pesawat televisi tersebut dan mencabut “plug” utama. Mas Iqbal mengambil keputusan untuk mengembalikan sound-system itu ke toko sekaligus menjual pesawat televisinya dengan sistem tukar-tambah. Dia beralasan, fungsi televisi tidak boleh tertukar dengan fungsi lain. Entah apa yang mas Iqbal bicarakan dengan si pemilik toko, akhirnya dia dapat menukarkannya dengan yang baru. Cukup susah juga, sebab pihak toko tidak menemukan kerusakan sedikitpun. 

Semenjak malam itu kami akan pastikan bahwa “plug” utama akan dimatikan jika kami tidak menggunakan salah satu dari ketiga barang elektronik di rak tersebut. Entah itu televisi, player, maupun sound-systemnya.

No comments:

Post a Comment

La Planchada