Alas Purwa merupakan taman nasional yang terletak di Kecamatan Tegaldlimo dan Kecamatan Purwoharjo di sebelah selatan dan tenggara Banyuwangi. Alas Purwo atau Hutan Purwo adalah sebuah kawasan hutan yang ada di Banyuwangi dan berbatasan dengan Samudera Indonesia di pantai selatan yang diyakini memiliki arti hutan yang pertama atau hutan yang dianggap tertua di Pulau Jawa. Hal ini ditandai dengan banyaknya situs-situs yang dianggap keramat oleh masyarakat seperti Gua Padepokan ataupun Gua Istana. Di Alas Purwo juga masih banyak terdapat satwa langka seperti banteng, lutung, burung merak, ayam hutan, rusa, dan macan tutul. Selain itu Alas Purwo juga mempunyai banyak pantai indah seperti Teluk Grajagan dan Plengkung yang mempunyai satwa langka dan dilindungi seperti penyu lekang dan penyu belimbing.
Bagi kita orang awam, Alas Purwo cuma merupakan hutan yang lebat dan penuh dengan binatang buas. Namun tidak dalam pandangan batin, Alas Purwo merupakan keraton makhluk halus yang bermacam-macam. Berjenis-jenis makhluk halus menghuni tempat ini. Ada kuntialanak, banaspati, jin, ilu-ilu bahkan genderuwo. Memang hutan dengan luas 43.420 hektar ini seringkali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat ghaib karena masih banyak tempat-tempat yang tersembunyi dan tidak tersentuh tangan manusia karena keangkeran dan juga kebuasan alamnya. Apalagi banyak orang yang berkunjung ke Alas Purwo bukan hanya untuk berekreasi menikmati hutan yang masih alami namun juga untuk tujuan lain yaitu melakukan ritual di sebuah gua yang ada di Alas Purwo. Keangkeran Alas Purwo ternyata juga merupakan daya tarik bagi para pelaku spiritual untuk menjalankan lelaku di tempat tersebut. Karena itu tidak aneh kalau sering ditemukan banyak orang yang melakukan semadi di segenap pelosok Alas Purwo.
Bertahun lalu, aku pernah pergi ke hutan Alas Purwo, bukan untuk bersemedi ataupun melakukan ritual tertentu, aku hanya ingin menenangkan diri karena saat itu aku sedang terbelit masalah yang sangat berat. Ada kehidupan di dalam perutku yang sebenarnya tidak aku inginkan dan aku tidak tahu mau berbuat apa. Siang itu aku duduk sendirian di bawah sebuah pohon besar sambil mendengarkan lagu-lagu sendu dari headset yang terpasang dari handphone-ku.
Dari balik kaca mata hitam aku melihat beberapa orang yang berjalan hilir mudik di depanku, mereka itu sama sepertiku yaitu pengunjung hutan Alas Purwo. Tapi tentu saja mereka punya tujuan yang berbeda-beda. Aku tidak tahu apakah mereka hanyalah ingin menikmati alam sepertiku ataukah punya tujuan tertentu semacam semedi atau ritual lainnya. Angin yang betiup sepoi-sepoi dan hawa sejuk alam yang belum terkena polusi membuatku terkantuk-kantuk.
Tak terasa mata ini begitu saja terpejam, hingga aku merasa ada seseorang yang duduk di sebelahku. Saat itu aku hanya ingin sendirian sehingga aku merasa kalau kehadiran seorang di sampingku membuatku tidak nyaman, akupun bermaksud pindah tempat.
“Maaf, bisa geser sedikit...!” ucapku kepada seseorang yang ternyata perempuan paruh baya itu, karena ujung jaketku rupanya tanpa sengaja diduduki olehnya.
“Ooh... saya yang minta maaf karena menduduki jaket Anda!” jawabnya ramah. Dia lalu bergeser sedikit, jaket itu pun bisa kutarik.
“Mengapa mesti pindah?” tanya perempuan itu seraya memegang tanganku seakan mau menahanku.
Tapi aku memang sedang ingin sendirian sehingga tangan itu aku tepiskan, tapi dia malah semakin kencang memegang tanganku.
“Aku tahu masalah yang kamu hadapi! Kamu bingung... ingin menggugurkannya bukan?” tanya dia kalem.
Itu sungguh mengagetkanku, bagaimana mungkin dia tahu? Padahal usia kehamilanku masih sangat dini dan tidak terlihat? Maksudku perutku masih rata tidak terlihat seperti orang hamil?
“Jangan sok tahu urusan orang deh!” balasku ketus.
Eh dia hanya tersenyum manis, lalu dia berkata dengan lembut, “Anak yang akan kau lahirkan itu akan menjadi anugerah untukmu. Tolong putrimu nanti diberi nama “CAHAYA”, aku akan turut merawatnya kelak!” selesai berkata demikian dia lalu pergi meninggalkanku.
Tinggallah aku sendirian yang terbengong-bengong, bagaimana dia begitu yakin kalau bayi yang akan lahir berjenis kelamin perempuan?
Waktu berlalu, aku memutuskan mempertahankan isi perut ini hingga akhirnya anak itu lahir di dunia, dan ternyata... perempuan! Dan aku menamainya Dinda, aku tidak mau memberi nama Cahaya. Ini adalah anakku bukan anaknya. Entah mengapa pertemuan singkat dengan perempuan misterius itu begitu membekas di benakku, kadang saat aku memandangi bayi yang kulahirkan itu terbesit bayangan wajah perempuan yang kutemui di hutan Alas Purwo itu, namun pelan tapi pasti bayangan itu hilang dari ingatan. Berjalannya waktu aku berkonsentrasi mengurusi anakku dan hidupku sendiri.
“Dinda kok nggak punya ayah seperti mereka ya, Bu?” tanya anakku ketika masih kecil.
Saat itu dia kuajak pergi ke sebuah mall untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-empat. Kupandangi sinar matanya yang memancarkan kecemburuan melihat anak-anak kecil seusianya berjalan bareng dengan kedua orang tuanya. Mereka tampak sangat bahagia. Sebenarnya akupun ingin kehidupan seperti mereka yang lengkap, tapi realita kehidupanku memang seperti ini.
“Ayah ada kok, tapi sudah di Surga!” jawabku bohong.
Anak seusia dia pasti tidak mengerti kalau kuceritakan yang sebenarnya. Nanti... kalau sudah waktunya tentu akan aku beberkan seluruhnya.
“Emang kalau sedang ada di Surga nggak bisa sesekali main kesini menengok kita?” tanyanya lagi dengan nada polos.
“Tidak, Sayang...” aku tersenyum getir, “Dinda tidak usah sedih, ayah sudah dengan Tuhan!”
Dinda diam saja, mungkin dia berusaha mencerna ucapanku. Sejak dini aku berusaha mengenalkan pendidikan agama untuknya, tentu dengan materi sederhana yang mudah untuk dipahami. Aku sudah menerangkan bahwa tidak selamanya kesempurnaan itu ada, kadangkala sesuatu itu ada yang tidak lengkap. Seperti halnya sebuah keluarga. Untuk memberi contoh nyata kubawa dia ke sebuah panti asuhan jadi dia bisa melihat dan merasakan langsung, ada banyak anak yang tidak punya ayah dan ibu, namun Dinda masih beruntung karena memiliki ibu di sampingnya.
“Dinda nggak apa-apa tidak punya ayah... kan sudah ada nenek peri cantik yang menjaga Dinda setiap saat!” tuturnya sambil lalu.
“Nenek peri?” tanyaku bingung.
“Iya nenek peri!” jawabnya santai dan tenang.
Aku tertawa, ah Dinda terlalu terbawa dengan dongeng yang aku bacakan tentang peri. Mungkin di saat malam dia tidur dia membayangkan dijaga oleh peri-peri yang ada di buku dongeng itu. Imajinasi anak memang luar biasa.
Setiap Dinda ulang tahun aku berusaha merayakannya dengan acara makan di luar dan memberinya hadiah, biasanya aku akan memberikan nominal uang tertentu dan dia bebas memilih mainan atau barang yang dia sukai, anak itu seperti mengerti bahwa ibunya juga terbatas keuangannya sehingga dia tidak pernah sekalipun meminta sesuatu yang berlebihan. Memilih barang pun pasti dia sesuaikan dengan anggaran yang aku sudah jelaskan sebelumnya. Dia tidak berkebaratan kalau pilihan barangnya kukatakan melebihi target, dia akan mengembalikan barang itu dan berganti ke yang lain.
“Dinda ganti boneka yang ini saja, tidak mahal tapi tetap cantik!” ucapnya riang.
Hadiah ulang tahunnya saat usia empat tahun dia memilih boneka kelinci warna pink dengan pita kecil di salah satu telinganya. Boneka itu dia letakkan di tempat tidurnya sebagai teman katanya. Sampai kini boneka itu masih ada.
Tahun berganti dan Dinda mulai beranjak dewasa, dia sudah berusia 16 tahun kini. Duduk di kelas satu sebuah sekolah menengah atas favorit di kota kami, dia tumbuh menjadi anak gadis yang tangguh dan mandiri. Nilai pelajarannya juga bagus meski tidak selalu masuk tiga besar. Pernah aku mencoba menceritakan tentang ayahnya tapi dia seperti enggan menanggapinya.
“Dinda, ibu ingin bercerita tentang ayahmu!” itu ucapku beberapa minggu yang lalu saat kami makan di sebuah rumah makan cepat saji, ketika itu Dinda merayakan ulang tahunnya yang ke-16.
Sudahlah, Dinda sudah ada ibu dan nenek peri kok!” jawabnya enteng, dia lalu melanjutkan makan ayam goreng kesukaannya.
“Dinda nggak ingin tahu tentang ayah...”
“Tidak Bu,” potongnya cepat, dia lalu menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya sudah kalau begitu. Tapi Dinda kan sudah besar, jangan bawa nenek peri lagi ah!”
Dinda hanya tertawa. Aku jadi tidak enak hati untuk melanjutkan ceritaku, padahal aku sudah mempersiapkan diri berbulan-bulan sebelumnya, aku berusaha akan menceritakan kejadian itu, kupikir dia tidak akan terlalu kaget karena usianya sudah cukup dewasa, juga kelakuannya sehari-hari yang kutangkap mencerminkan kalau dia tabah menghadapinya, sudah berkali-kali orang terutama teman sebayanya menanyakan mengenai ayahnya, tapi Dinda terkesan cuek saja, dia hanya menyebutkan kalau orang tuanya ya aku, ibunya.
“Ya sudah kalau Dinda tidak mau, tapi ibu selalu terbuka kalau kamu ingin ibu menceritakannya. Lebih baik kamu dengar langsung dari ibu bukan dari orang lain...”
Lagi-lagi dia memotongnya, “Sudahlah Bu... cukup. Dinda nggak mau cerita soal ayah lagi. Ngobrol yang lain kenapa? Yang asyik-asyik gitu!”
Aku tersenyum lagi, “Oke lah kalau itu maumu,” kuelus pundaknya dengan lembut, lalu ujarku kemudian, “Mau hadiah ulang tahun apa nih?” aku lalu menyebutkan nominal uang yang bisa dia gunakan sebagai hadiah ulang tahun.
“Uangnya sajalah! Fleksibel bisa beli macam-macam sesuai kebutuhan!”
“Oh ya?” seruku kaget. Baru kali ini dia memilih mendapatkan uang bukan barang.
“Kalau belum perlu barang kan bisa ditabung dulu!” ucapnya lagi.
Ah, ternyata anakku sudah dewasa sekarang. Kenapa aku tidak menyadarinya? Dia sudah bukan anak kecil lagi yang ngiler melihat barang-barang bagus di toko. Lalu kuambil sejumlah uang dari dalam dompet dan kuserahkan kepadanya.
“Selamat ulang tahun, Nak!” ucapku memberi selamat.
Dinda menerima uang itu dengan riang, dia menganggukkan kepala sebagai tanda terima kasih.
Selesai makan, aku bermaksud membayar tagihan tapi buru-buru Dinda melarangku.
“Dinda kan sudah ada uang, biar aku saja yang membayarnya!”
Aku terpana mendengar ucapannya, tak kusangka dia begitu mengerti. Tapi... entah kenapa hati kecilku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya? Segera kutepis pikiran konyol itu. Dinda sudah bukan anak-anak lagi, mestinya aku bangga bisa memiliki anak yang pintar, penurut dan patuh sama orang tua, meski awalnya aku tidak menginginkan kehadirannya tapi kini aku bersyukur sekali.
Malam itu aku merasakan hawa yang sangat dingin, kusibak tirai jendela, langit tampak hitam kelam tanpa setitik pun bintang. Angin yang sedikit kencang bertiup membuat sekeliling menjadi lebih dingin lagi. Sebentar lagi pasti hujan, itu perkiraanku. Sendirian di rumah membuatku merasa sepi dan galau. Dinda sedang pergi wisata dengan teman-teman sekolahnya. Musim hujan begini kok piknik. Aku hanya bisa berdoa semoga aman dan keselamatan menyertainya.
Aku masuk kamar dan memeriksa catatan hasil penjualan barang hari ini. Aku memiliki warung kelontong kecil-kecilan di dekat pasar. Setiap hari dari pagi sampai sore aku ada disitu untuk berjualan. Meski warung itu kecil tapi lumayan juga hasilnya bisa menopang kehidupan kami berdua. Rejekinya selalu mengalir walaupun tidak banyak. Setelah selesai aku menutup buku itu dan menaruhnya di atas meja, aku lalu beranjak tidur. Kuambil selimut dan kutupi seluruh tubuhku agar bisa mengusir rasa dingin yang menyerang.
Aku tidak sepenuhnya dalam kondisi sadar ketika kudengar ketukan pintu dari arah depan. Aku hanya merasa kalau aku bangkit dari tidur dan berjalan menuju ruang tamu. Kubuka pintu itu ternyata ada seseorang disitu, kuamati sebentar... aku seperti mengenalnya. Dia seorang perempuan paruh baya yang cantik, tapi siapa ya? Hanya saja aku yakin kalau aku pernah melihat orang ini sebelumnya.
“Cahaya sudah besar dan cantik ya!” dia berkata dengan pelan nyaris tidak terdengar.
Aku belum sempat menjawabnya, ketika dia lalu berbalik dan pergi begitu saja.
Aku terbangun, ternyata aku sedang bermimpi. Aku masih ada di tempat tidur, selimut pun masih membungkus badanku. Mimpi yang aneh... aku lalu bangkit dari tidur dan menyalakan lampu kamar, kulihat jam dinding di tembok sebelah kanan di atas jendela, sudah menunjuk angka dua. Kudengar suara gemericik hujan memecah sepinya malam. Kuambil air lalu meminumnya, sesaat ketenangan mengalir ke tubuhku, aku duduk dengan lesu dan mencoba mengingat-ingat mimpiku tadi. Perempuan itu... aku sepertinya pernah mengenalnya.
“Siapa dia? Mengapa dia menyebut nama Cahaya?” pertanyaan itu menghujam benakku yang paling dalam.
Ah sudahlah, kan cuma mimpi? Kenapa mesti dipikirin sih?
Ini adalah hari kedua aku sendirian di rumah, besok sore Dinda baru pulang dari wisata. Seperti biasa setelah memeriksa catatan hasil penjualan hari itu, aku tidur. Seharian di pasar memang melelahkan. Aku cepat tertidur pulas karena udara dingin bercampur dengan letihnya badan, klop lah!
Di tengah tidur lelapku aku merasa seseorang hadir di kamar ini, tapi aku sedang tidur, aku duduk di kursi berhadapan dengannya. Dia adalah perempuan yang kemarin datang di mimpiku.
“Cahaya sudah besar!” begitu dia berucap dan selanjutnya pergi menghilang.
Aku terbangun, keringat dingin mulai membasahi tubuhku! Gila... kenapa aku mimpi yang sama dua hari berturut-turut? Siapakah dia itu? Siapa Cahaya?
Esok paginya saat aku bersiap pergi ke pasar, ada tamu yang datang ke rumah.
“Maaf, ini Bu Prihatini?” tanyanya ketika aku membukakan pintu.
“Iya, saya. Ada apa ya? Anda siapa?” aku balik bertanya.
“Saya Danu Bu, bisa berbicara sebentar kan?” pintanya sopan dan halus.
Aku mempersilakannya, kami duduk diteras depan. Tidak enak kalau ada pria masuk ke dalam rumah karena aku sedang sendirian saat ini, lagipula aku juga tidak tahu siapa dia.
“Ada keperluan apa ya Pak... Pak Danu ya?”
Lelaki itu mengangguk lalu jawabnya, “Saya mewakili keluarga pak Raden Suwiryo Wikromo Sastro Manggolo...”
“Apa?” aku terlonjak mendengar nama yang dia sebutkan tadi.
“Aku tidak ada urusan dengan keluarga itu, tolong Pak Danu bisa sampaikan ke mereka kalau aku sudah menutup masa lalu itu!” aku emosional sekali. Kejadian bertahun lalu seakan kembali hadir di hadapanku..
“Maaf Bu... saya hanya mau menyampaikan kabar penting. Tolong Ibu bisa mendengarkan, setelah itu terserah Ibu!”
Meski emosiku meluap karena jengkel dan marah yang bercampur aduk, tapi kubiarkan dia bercerita. Bagaimanapun rasa penasaran tetap menggelayutiku, kenapa tiba-tiba ada orang suruhannya yang datang menemuiku setelah bertahun-tahun lalu aku dilupakan?
“Pak Raden sudah meninggal Bu, sekitar dua hari yang lalu! Dia berwasiat kepada yang ditinggalkan untuk memberikan sebagian hartanya buat anak Ibu yang bernama Dinda Arum Dalu!”
Pak Danu lalu memberikan sebuah amplop, yang setelah kubuka ternyata berisi sebuah sertifikat deposito atas nama Dinda putriku dan secarik kertas yang ada tulisannya. Tulisan tangan yang acak-acakan, sepertinya orang yang menuliskannya ini mengalamai kesulitan untuk menggerakkan tangan.
“Maafkan aku!” begitu tulisan itu aku baca.
Aku tercekat membaca tulisannya. Mimpi-mimpiku yang hadir dua hari berturut-turut itu membuatku termenung sesaat. Apa hubungan perempuan di mimpiku itu dengan pak Raden yang kukenal dulu. Dia itu dulu tambun, angkuh dan gaya aristokratnya sangat kental. Mungkinkah dia meninggal karena sakit keras?
“Ini kan buat Dinda? Biar dia nanti yang memutuskan!” dengan bibir bergetar kutolak permintaannya secara halus. Kukembalikan amplop beserta isinya kepadanya.
“Tapi Bu...!”
“Biar Dinda yang memutuskan!” potongku cepat dan lugas.
Pak Danu mengangguk-angguk. “Ini kartu nama saya! Ibu bisa menghubungi saya kalau perlu informasi selanjutnya!”
Kuterima kartu nama itu. Danu Prasetyo SH. Itu namanya, rupanya dia seorang pengacara.
“Terima kasih, Bu!”
“Sama-sama! Nanti aku sampaikan ke Dinda!”
Pak Danu lalu pamit, dia kembali ke mobilnya dan pergi. Sedang aku... aku tidak jadi pergi ke pasar. Kepalaku jadi pusing, kejadian bertahun lalu seperti kembali hadir, demi Tuhan aku sudah muak dan lelah dengan itu semua. Harga diriku seperti tercabik-cabik. Kelakuan pak Raden yang nista membuatku hamil. Aku baru berumur enam belas tahun beberapa bulan saat itu –ya seusia Dinda saat ini. Eh... sudah begitu dia tidak mau mengakuinya. Bahkan dia mengusir kami dengan cara memutuskan hubungan kerja secara sepihak terhadap ibuku.
Saat itu ibuku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahnya, aku dibawa serta karena aku sekolah di kota itu biar bisa berhemat dan tidak perlu kost. Ternyata malah jadi begini nasibku.Terpaksalah ibu pergi dari rumah itu dengan membawaku.
Tahun-tahun selanjutnya mesti dilalui dengan sangat berat. Ibu bekerja apa saja asal halal, walau penghasilan yang tidak seberapa ibu bisa menghidupiku dan Dinda –cucunya, tentu saja dengan hidup di bawah garis kemiskinan. Syukurlah Tuhan selalu melindungi, sehingga kami bisa menjalani hidup yang keras ini. Bukan hanya masalah ekonomi tapi juga hinaan orang-orang. Menutup mata dan telinga, kami mencoba acuh dengan itu semua, yang penting berjalan di koridor agama dan lurus ke depan berusaha menggapai kehidupan yang lebih baik.
Kami sudah hidup tenang sekarang, walau ibu sudah meninggal dan aku mesti berjibaku menghidupi diriku sendiri dan anakku tapi aku sudah bisa menjalaninya dengan ikhlas, apalagi Dinda ternyata tidak begitu peduli tentang keberadaan ayahnya. Meski tidak ada sosok ayah di keluarga kami, tapi kami merasakan kami berdua saling melengkapi.
Lalu kenapa si biang kerok tua itu harus muncul? Meski bukan sosoknya yang hadir karena sudah meninggal, tapi deposito untuk Dinda membuatku bertanya-tanya? Darimana dia tahu tentang anakku? Bukankah semenjak kami keluar dari rumah itu dia sama sekali tidak menjenguk. Sekalipun kami tidak pernah bersua. Jadi kenapa dia tahu nama lengkap anakku dan memberinya warisan pula? Darimana dia tahu tentang kami? Ah... kepalaku tambah pusing. Maka setelah mengunci pintu aku minum obat sakit kepala lalu tidur.
Selepas Ashar, Dinda sudah datang.
“Ibu kenapa, kok lesu gitu sih? Dinda bawa oleh-oleh loh... buah carica kesenangan ibu! Enak kalau diminum dingin!”
Aku tertawa kecil mendengarnya, kusambut kepulangan anakku dengan cemas. Ya aku khawatir sekali. Mau tak mau aku harus menceritakannya, nanti biar dia saja yang menentukan karena deposito itu diperuntukkan baginya. Kalau aku sendiri, aku sudah tidak mau tahu, jelek-jelek begini aku masih mampu hidup dengan hasil jerih payah sendiri.
“Nanti malam, ibu akan traktir kamu makan bakso di warungnya pak Kumis!”
“Wah asyik... asyik... ada acara apa sih Bu?” meski sedikit keheranan tapi Dinda tampak sangat gembira.
Aku kemudian diam sejenak, “Nggak ada acara apa-apa kok!”
Seperti yang sudah kujanjikan aku mentraktirnya makan bakso, tapi tidak dimakan disitu. Aku membelinya dan kubawa pulang. Kukatakan kalau Dinda pasti lelah habis pergi berwisata makanya lebih baik makanannya aku bawa pulang dan dimakan bersama-sama di rumah. Dinda sih setuju meski agak heran.
“Dinda!” aku berkata dengan kaku. Sulit rasanya untuk memulainya.
“Pasti ada yang mau diceritakan sama Ibu... cerita saja! Dinda siap mendengarkan!”
Tenang rasanya mendengar perkataannya, lalu kuceritakan kejadian yang menimpaku bertahun lalu dan membuka rahasia selama ini bahwa Dinda tidak punya ayah karena hanya ayah biologis saja. Dari awal sampai akhir aku ceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat. Aku pasrah bila nanti anakku berbalik membenciku atau terjadi sesuatu yang di luar perkiraan. Yang penting aku sudah membuka kisahku dengan sebuah kejujuran. Aneh... Dinda seperti tenang saja mendengarnya tidak ada emosi sama sekali.
“Ini, kartu nama pengacara itu, terserah Dinda mau bagaimana!” aku mengakhiri cerita kelamku di masa lalu.
Dinda menerimanya dengan muka malas, dia tidak membacanya sama sekali. Aku bahkan kaget ketika dia malah menyobeknya.
“Dinda kamu kenapa?”
“Buat apa, Bu? Kita kan cuma hidup bertiga dan bisa melalui ini semua! Tidak perlu lah bantuan darinya! Iya kan, Bu?”
Aku bingung dengan jawabannya yang menyatakan hidup bertiga itu, bukankah ibuku atau nenek Dinda sudah lama meninggal? Segera kutepis pikirian itu, mungkin Dinda hanya salah ucap saja, apalagi aku sedang berkonsnetrasi menceritakan tentang kronologis pengacara yang datang membawa pesan ayah biologisnya, “Jadi kamu menolak bantuannya?”
“Ya jelaslah... buat apa? Kalau Ibu sendiri gimana?”
“Ibu lebih senang hidup di atas kaki sendiri, lebih nyaman dan tenteram!”
Kulihat Dinda tersenyum penuh kebanggaan.
“Dinda lelah, mau tidur!” dia lalu bangkit dari kursi duduknya dan melangkah menuju kamar.
Malam itu aku tidak bisa tidur, bayangan masa lalu kembali hadir di benakku. Wajah arogan pak Raden begitu nyata terbayang di mata, juga ketika aku merasakan beratnya hidup karena sudah hamil di saat masih belia padahal aku lagi senang-senangnya bersekolah.
Oh iya aku baru ingat. Saat aku stress berat karena hamil, aku mengunjungi hutan Alas Purwo untuk menenangkan diri. Disitu aku bertemu perempuan misterius yang memintaku memberi nama Cahaya untuk anak yang akan aku lahirkan kelak. Tiba-tiba tubuhnku merinding... perempuan yang hadir di mimpiku itu ternyata perempuan yang dulu aku temui di hutan Alas Purwo.
Entah mengapa aku merasakan ketakutan yang luar biasa, bayangan Dinda juga berkelabat di benakku. Tergesa aku menuju ruang tidur anakku. Ketika kubuka pintu kamarnya, kulihat Dinda sedang tidur pulas... dan kulihat ada seorang perempuan yang duduk di samping ranjang. Perempuan itu mengelus lembut rambut Dinda.
“Cahaya sudah besar!” ucapnya seraya mengalihkan pandangan ke arahku.
“Dia Dinda... bukan Cahaya!” seruku sengit.
“Terserah kamu mau bilang apa! Dia tetaplah Cahaya!” balasnya dengan tenang. Matanya yang dingin menatapku tajam. Namun dalam hitungan detik dia menghilang begitu saja.
Tiba-tiba kurasakan seluruh badanku seakan luruh dan lemas.
No comments:
Post a Comment