Pada saat itu aku sedang pergi ke Bali naik kendaraan umum berupa bis. Biasanya dari Surabaya ke Denpasar, bis akan turun di terminal Ubung. Tapi sekarang bis malam tidak bisa langsung, melainkan turun di Mengwi di daerah Badung, Bali baru disambung ke terminal Ubung. Nah di dalam bis dari Mengwi inilah aku bertemu teman lamaku.
“Ketut Indrawan ya?” teriakku girang.
Saat itu tanpa sengaja aku berjumpa dengan salah seorang temanku masa kuliah di Surabaya dulu di terminal bus.
“Ooh... Dimas kan ini?” jawabnya tak kalah suka cita.
Kami lalu berjabat tangan dan saling memandangi satu sama lain. Bukan apa-apa, karena sudah sekian lama tidak berjumpa pasti ada perubahan paling tidak secara fisik... lebih tua...hahahah. Indra yang kulihat saat itu tidak jauh berbeda dengan ketika masih remaja dulu. Kepalanya tetap saja pelontos, perawakannya masih kerempeng, seperti halnya aku... hanya raut mukanya tampak lebih tua dibanding dulu... ya jelaslah kan memang usia kami sekarang sudah tua.. Tampaknya dia juga sedang menilaiku karena aku melihat sorot matanya yang menelusuriku dari atas sampai bawah.
“Indrawan... aku panggil Indra apa Ceking nih!” aku mencoba bercanda.
Dulu si Indrawan itu kami panggil dengan sebutan “Ceking” maklum badannya tidak bisa gemuk, malah bisa dibilang kurus abadi. Dia tidak marah disebut begitu, bahkan dia tertawa tawa saja seperti tidak ada beban.
“Terserah kamu sajalah, dipanggil yang mana saja mau!” jawabnya kalem
“Ok Indra sajalah. Mau kemana nih?” tanyaku lagi.
“Pulang kampung, kamu sendiri?” balasnya balik bertanya.
“Loh kok sama...!” jawabku.
Indrawan terkejut, “Mmmhm... bukannya kamu asli Surabaya?”
“Hehehe bercanda saja... aku kerja di Denpasar sekarang!”
“Oh ya? Rumahmu di Denpasar? Wah bisa sering-sering main dong kita!” seru Indrawan senang.
“Bukan... bukan rumahku yang di Denpasar, tapi aku kerja di Denpasar. Rumahku tetap di Surabaya. Aku ini harus siap ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia. Kebetulan saat ini aku ditugaskan di kantor cabang di Bali. Enggak lama paling satu dua tahun, jadi aku hanya kost di Denpasar.” jelasku kepadanya.
“Ah, rumah atau kost, yang jelas kamu sekarang tinggal di Bali. Kita bisa saling mengunjungi dan berbagi cerita kan?”
Aku tertawa, “Iya deh... nurut kamu saja. Oh ya kamu sekarang kerja dimana?”
“Ah, aku cuma jualan di pasar!” jawabnya terdengar agak malu malu, “Beda sama kamu yang orang kantoran!”
“Halah... kamu tuh, aku ini masih ikut orang, karyawan rendahan saja. Kalau kamu kan jadi bos bagi diri sendiri. Wirausaha sejati gitu loh!”
“Hahaha... bisa aja kamu! Eh tuh bisnya!” tunjuk Indrawan, “Wah, asyik ya... kita bisa satu bis!” dia lalu merangkulku dan mengajakku ke sebuah bis, dia tampak senang sekali.
Dalam hati aku juga senang, berarti ada teman selama dalam perjalanan menuju Denpasar. Bis yang kami tumpangi belum terlalu banyak penumpang, maklum sekarang bukan akhir minggu apalagi hari libur. Duduk di deretan belakang untuk kursi yang berjumlah dua dan berada dekat pintu, membuat kami berdua lebih leluasa bercerita kesana kemari.
“Kerja apa kamu Dim? Bajumu rapi amat!” seru Indrawan, matanya mengarah ke arahku.
“Karyawan biasa saja di sebuah perusahaan makanan dan minuman. Kalau kamu sendiri, katanya berjualan di pasar, jualan apa tuh?” aku ganti bertanya.
“Jualan cinderamata di pasar seni Sukawati, kalau perlu oleh-oleh buat keluarga bisa hubungi aku...!”
“Wah hebat tuh, pasar seni Sukawati kan sangat terkenal. Banyak wisatawan yang mampir ke situ?” aku jadi ingat saat adikku yang terkecil ikut wisata study tour ke Bali, dia membawa oleh-oleh yang dibelinya di pasar seni Sukawati.
“Kamu sudah menikah ya? Sudah ada berapa anak?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, agar tidak ditawari barang jualannya... heheheh... Kulihat dia mengenakan cincin kawin di salah satu jarinya. Agak kelihatan longgar sih, tampak tidak pas masuk di jarinya yang kurus itu.
Indrawan tersenyum getir, agak lama dia diam sebelum akhirnya ia mengangguk pelan. Aku jadi penasaran apa yang sudah menimpanya? Biasanya orang akan bersuka cita bila ditanya soal keluarga terutama anak-anaknya. Ini kok dia tampak enggan? Jadi ingin tahu nih!
“Cerita dong... ingin mengikuti jejakmu nih! Sampai sekarang aku masih jomblo, belum laku laku!” rayuku meminta dia menceritakan soal keluarganya.
Dia tertawa meski tampak dipaksakan, lalu mulutnya bergetar mengucapkan, “Istri dan anak-anakku sudah meninggal. Mereka mengalami kecelakaan...” berhenti sebentar dia lalu melanjutkan, “Maaf, gimana kalau tidak cerita soal itu? Aku...”
“Aku ikut prihatin.” Kutepuk bahunya pelan.
Tapi terus terang dalam hati aku bertanya-tanya, kalau keluarganya sudah meninggal kenapa cincin kawin itu masih melingkar di jarinya? Ah sudahlah, mungkin dia sangat kehilangan sehingga dia tidak mau melepasnya.
Aku jadi tidak enak hati karena sudah membuatnya bersedih, maka aku segera mencari bahasan cerita lainnya untuk mencairkan suasana.
“Kamu masih ingat teman-teman yang lain? Pernah ketemu?” tanyaku beruntun berupaya mencari topik lain yang membuat keadaan jadi lebih hangat.
“Aku pernah ketemu Naning! Itu lho teman kita yang rambutnya selalu dikucir kuda? Ingat nggak?” jawabnya, kali ini kegembiraan terpancar dari wajahnya.
“Oh... si Naning yang lugu itu ya? Dimana dia? Kapan kamu ketemu?”
“Sudah lama sih... sekitar tiga tahun lalu. Dia lagi ke pasar naik angkutan kota. Nah tanpa sengaja aku ketemu dia!” dia lalu melanjutkan, “Kamu pernah ketemu siapa?”
Aku menggeleng, “Belum pernah, baru ketemu kamu saja, ya sekarang ini!”
“Kalau ada reuni pasti asyik tuh! Setuju nggak kamu kalau ada reuni?” seruku melempar pertanyaan.
“Boleh saja, kalau bisa di Bali saja jadi sekalian berwisata!” jawabnya mengiyakan.
“Kebetulan kan, kita sama-sama di Bali! Siapa tahu nanti ketemu teman yang lain. Bikin reuni kecil juga nggak apa-apa!” timpalku bersemangat.
Kami lalu bercerita banyak tentang masa lalu, tentang teman-teman sekampus dulu dan dosen-dosen... pokoknya tentang kejadian di waktu lampau karena kupikir hanya itu topik yang menarik bagi kami berdua. Tapi ternyata Indrawan mempunyai cerita lain yang lebih menarik, yaitu tentang bis hantu.
“Kamu pernah dengar cerita bis hantu di Bali?” tanyanya.
Aku menggeleng, “Kamu tuh... emang ada bis hantu? Yang naik hantu semua dong!”
“Bukan, nih dengar ceritaku.”
Dan meluncurlah cerita tentang bis hantu dari mulutnya.
“Kisah mistis bis hantu ini terjadi di Desa Kemenuh dari sisi barat, tepatnya di perbatasan Desa Kemenuh dengan Desa Batuan, Gianyar terdapat Telabah (sungai) Besil. Awalnya pada tahun 1960-an satu unit bus yang membawa kurang lebih 40 penumpang warga setempat, jatuh ke sungai dan menyebabkan semua awaknya meninggal dunia, kejadian tersebut menyebabkan lokasi tersebut sangat angker hingga saat ini. Kabarnya sampai saat ini bis tersebut masih bergentayangan mencari penumpang.”
“Waduh... ngeri sekali! kalau naik bis hantu itu... apakah kita tidak akan kembali ke dunia... maksudku kita akan tertahan di bis hantu itu dan tidak bisa pulang?” aku mulai merinding mendengar ceritanya.
Indrawan menggeleng, “Belum lama ini, seorang warga yang hendak pergi ke pasar Sukawati menumpang bis hantu tersebut. Kira-kira pukul 04.00 WITA, warga menunggu mikrolet. Dari timur datanglah bis. Warga mengira itu bis Sarbagita. Ia pun menaikinya. Namun setelah sampai di perbatasan barat desa, warga disuruh turun. Ia hanya menurut. Setelah turun, bis itu langsung hilang.”
“Syukurlah... jadi dia tidak tersandera di bis hantu itu!” potongku dengan lega. Ngeri juga membayangkan kalau orang itu tidak bisa kembali lagi.
“Iya, dari penuturan warga tersebut, suasana di dalam bis sama seperti bis pada umumnya. Ada yang bercengkrama, tidur, dan anak-anak bermain. Karena itulah saat di dalam bis, ia tidak memiliki firasat buruk,” imbuhnya.
Aku manggut-manggut mendengar ceritanya, nggak kebayang kalau aku yang naik bis itu... wah bisa terbayang seumur hidup nih! Maklumlah aku ini termasuk penakut... heheheh.
No comments:
Post a Comment