Wednesday, November 6, 2019

Jasad Mbah Sastro


Cerita seram berikut ini terjadi pada pertengahan tahun 1993 bertepatan dengan malam Jum’at Legi, persisnya tanggal berapa Surya sudah tidak ingat lagi karena kejadiannya memang sudah terlalu lama. Surya hanya ingat bahwa malam itu adalah malam Jum’at Legi karena di kampungnya sangat mensakralkan malam Jum’at Legi tersebut.

Langsung saja, ketika itu Surya, Hendra dan beberapa teman lainnya sedang kumpul-kumpul sambil bermain gitar. Di kampung mereka biasa menyebut acara kumpul-kumpul seperti itu sebagai “cangkruk”. Ketika itu memang sedang liburan kenaikan kelas dimana Surya dan Hendra naik ke kelas 2 SMP, dan di masa liburan itu, waktu luang mereka sering diisi dengan cangkruk. 

Dulu liburan kenaikan kelas lamanya bisa lebih dari 1 bulan, jadi ketika mereka cangkruk yang pasti ada rasa bosan karena setiap malam selalu cangkruk dan usia mereka masih remaja dengan kondisi keuangan yang selalu minim, jadi hiburan mereka satu-satunya hanyalah kumpul dan main gitar, begitu terus. Kalaupun ada kegiatan lain mungkin hanya bakar ketela, jagung atau apalah (maklum mereka anak kampung). Oh ya, Surya tinggal di Banyuwangi daerah selatan di pinggiran hutan Purwo, jadi tidak mengherankan jika di tempat tinggalnya sangat banyak kisah-kisah seram. 

Waktu itu Hendra yang sedang merasa bosan mengajak Surya dan teman-teman lainnya untuk memancing belut di kanal, yaitu sungai buatan yang berukuran kecil dan biasanya difungsikan untuk mengairi sawah. Namun saat itu Surya menolak ajakan Hendra karena ia selalu tidak beruntung dalam hal memancing, dengan kata lain ia tidak mahir memancing.

Akhirnya Hendra dan tiga teman Surya yang lain berangkat memancing. Sampai di kanal tidak ada masalah meskipun kondisinya gelap gulita dan tidak ada satupun rumah penduduk di sekitar situ. Mereka bergerak perlahan mencari lubang demi lubang tempat belut bersarang. Lumayan... dalam dua jam mereka sudah mendapatkan banyak tangkapan sampai akhirnya alur kanal tersebut berbelok ke arah desa. 

Nah, ada beberapa rumah di pinggir area persawahan tersebut, termasuk rumah mbah Sastro. Mbah Sastro adalah seorang duda yang hidup sendirian sedangkan anaknya merantau dan tidak pernah kembali. Di depan rumah tersebut merupakan pekarangan, sedangkan di belakangnya adalah rimbunan pohon bambu. Di samping kanannya ada pekarangan juga dan di sebelah kirinya langsung berbatasan dengan kanal tempat Hendra dan teman-temannya memancing.

Pada waktu itu Hendra dan teman-teman merasa curiga karena rumah tersebut ada penerangannya, meskipun hanya dimar ublik yaitu lampu tempel berbahan bakar minyak tanah. Padahal mereka tahu kalau mbah Sastro sudah meninggal, bahkan belum sampai pada 7 harinya. Sedangkan anaknya tidak mengetahui kabar tersebut, apalagi dulu belum ada HP, telepon juga belum masuk ke kampung mereka, jadi urusan menyampaikan kabar bisa memakan waktu cukup lama. 

Rasa penasaran yang semakin menjadi membuat Hendra dan teman-temannya mencoba mengintip ke rumah mbah Sastro yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang sudah lama sehingga sangat mudah untuk membuat lubang untuk mengintip. 

Namun begitu para remaja tersebut mengintip, mereka langsung kaget, terperanjat, dan tanpa ada komando langsung lari kocar-kacir, sampai-sampai alat pancing dan belutnya pun tertinggal.

Ternyata diantara celah lubang dinding anyaman bambu yang mereka buat, mereka melihat sebuah dimar ublik yang diletakkan di atas meja panjang dan di hadapan dimar tersebut terdapat sesosok tubuh yang terbalut kain kafan yang kotor oleh tanah dalam keadaan duduk memandangi dimar tersebut dengan tatapan kosong. Dan mereka dengan sangat jelas bisa melihat wajah di antara celah kain kafan kotor yang membungkusnya tersebut adalah... wajah mbah Sastro!

No comments:

Post a Comment

La Planchada