Wednesday, November 6, 2019

Dikuntit Genderuwo Perempuan (Banyuwangi)


Kisah menyeramkan tentang dikuntit genderuwo perempuan ini saya alami ketika berada di desa pelosok di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Waktu itu saya dapat tugas di daerah tersebut untuk beberapa hari. Pengalaman ini merupakan peristiwa yang sangat menyeramkan bagi saya terlebih kejadian ini terjadi ketika tak ada orang lain di samping saya, maklumlah saat itu saya sedang bekerja sendirian karena teman sekerja saja sedang pulang karena ada urusan keluarga.

Nama saya Hartono, seorang lulusan sarjana Pertanian yang bekerja menjadi seorang asisten peneliti di salah satu lembaga penelitian di kantor pusat Surabaya. Meskipun pekerjaan ini mengaharuskan saya jauh dari keramaian kota, namun sebagai seorang pemuda yang baru saja tamat kuliah saya sangat bersyukur mendapatkan pekerjaan ini karena sesuai dengan disiplin ilmu yang saya pelajari, tidak perlu lama-lama menganggur dan yang pasti saya sangat menikmatinya.

Menurut senior-senior saya, ditugaskan ke berbagai daerah pelosok di seluruh nusantara sudah jadi hal biasa, kejadian-kejadian mistis seperti melihat penampakan pocong, genderuwo, kuntilanak dan lain sebagainya juga kerap dialami ketika tengah berada di tempat-tempat tersebut. Maklumlah biasanya lokasi kerja jauh dari perkotaan bahkan bisa dibilang berada di daerah terpencil. Awalnya itu kuanggap sebagai bumbu-bumbu humor antar para karyawan, atau bahkan hanya untuk menakut-nakuti kami para junior dalam bekerja. Namun ternyata itu semua benar adanya, saya mengalamai peristiwa yang tidak akan pernah bisa dilupakan seumur hidup.

Beberapa tahun yang lalu lembaga tempat saya bekerja mendapatkan proyek untuk melakukan penelitian di sebuah pedesaan di Banyuwangi. Sebenarnya ada dua orang yang ditugaskan di daerah itu, namun karena ada masalah keluarga dari teman saya yang satu lagi, terpaksalah untuk beberapa hari saya mesti kerja sendiri. Sudah menjadi kewajiban bagi kami para pekerja untuk tolong-menolong satu sama lain, kalau satu orang mesti ijin karena sesuatu hal maka teman yang lain yang akan menghandle pekerjaan itu, pokoknya semua harus berjalan dan laporan bisa sampai di kantor pusat sesuai tenggat waktu.

“Maaf banget ya Har... aku mesti pulang sebentar ke Kebumen, anakku sakit keras, istriku sampai menangis waktu menelpon aku!” kata Yanto, rekan kerjaku itu.

“Ah sudahlah nggak apa-apa!” balasku seperti tidak mengapa, padahal aku senewen juga karena mesti kerja seorang diri di tempat terpencil seperti ini.

“Nggak lama kok Har... paling dua hari lagi aku juga akan balik kesini!” paparnya. 

“Jangan sampai kantor pusat tahu ya kalau aku mencuri waktu!” lanjutnya dengan nada suara yang butuh support.

“Ngertilah... kita saling bantu saja!” jawabku meyakinkan dia.

“Terima kasih Har...!” ucap dia sembari menepuk bahuku pelan.

Karena hanya masih sisa waktu dua hari untuk pengumpulan data dan itu harus saya kerjakan sendiri, terpaksalah saya mesti pontang-panting seharian bekerja. Maklumlah saya harus merangkap tugas si Yanto. Maka pada hari kamis selepas shalat Subuh saya berangkat menuju salah satu desa di daerah Banyuwangi. Hanya dengan menggunakan motor butut keluaran tahun kelahiranku itulah aku berjibaku menaklukkan waktu menyusun dan mengumpulkan data. 

Saya sendiri tidak percaya kalau ternyata ada desa di daerah Banyuwangi yang masih pelosok. Meskipun akses jalan tergolong sudah baik namun keadaan curam dan berkelok serta dikelilingi perbukitan rimbun dengan pohon-pohon besar mungkin mejadi salah satu kendala melajunya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah tersebut. Awalnya saya sama sekali tidak kepikiran bakal dikuntit genderuwo perempuan di tempat ini.

Setelah perijinan pada pemerintah desa selesai, langsung saja saya bergegas mencari rumah warga yang akan menjadi responden. Memasuki dusun-dusun kecil dengan rumah-rumah warga yang berjarak cukup jauh membuat kendala bagi saya menemukan rumah responden. Terlebih ketika itu warga setempat tengah memasuki masa panen dan kebanyakan berada di ladang untuk memanen singkong, tak heran jika rumah-rumah yang saya datangi banyak yang kosong.

Seharian saya mondar mandir dari satu dusun ke dusun lain rupanya masih menyisakan satu responden. Singkat cerita saya mesti menyelesaikan pada hari itu juga, padahal hari sudah menjelang senja. Tapi mau tak mau saya harus menunggu responden yang belum pulang dari ladang itu untuk melengkapi data.

Selesai shalat Maghrib di masjid pinggir jalan saya bergegas kembali ke rumah pak Sastro yang menjadi responden terakhir dengan harapan beliau sudah pulang dari ladang.

Suasana gelap dan mencekam di kampung itu memang sangat terasa selepas matahari tenggelam, lampu penerangan jalan tak satupun mampu menerangi sudut-sudut gelap di balik pepohonan nan rimbun. Ketika melintasi sebuah pohon beringin tua yang menjulang tinggi dan rimbun sebenarnya perasaan saya sudah tidak karuan

“Aduh... kenapa aku merasa ada sesuatu di belakangku ya?” bisik hati kecilku.

Ya aku merasakan sesuatu yang aneh, jantungku berdegup tidak karuan, bulu kudukku tiba-tiba merinding. Semenjak motorku melewati pohon beringin itu aku batinku mengatakan ada sesuatu yang muncul dan menguntitku. Laju motor seakan berat, alias tidak bisa dipacu dengan cepat. Ataukah itu karena ini motor tua? Ah kayaknya bukan... aku lebih merasakan kalau motor ini ada yang mencoba menahannya dari belakang sehingga tidak bisa lari kencang. 

“Bisa-bisa senam jantung nih,” seru batinku. 

Yang kupikirkan hanya satu yaitu segera sampai di rumah pak Sastro dan menyelesaikan data secepatnya. Sambil tetap melaju dan memilih jalan yang tidak berlubang tiba-tiba saya dikejutkan dengan seekor kucing yang tiba-tiba muncul dan saya hampir menabraknya, untung saya sigap dan segera menginjak pedal rem sehingga kucing itu selamat. Sejenak kucing itu terdiam di tempat dan matanya memandang tajam ke arahku. Lewat sorot lampu motor, saya bisa menangkap kalau pancaran mata dari kucing itu tidak biasanya, ada sesuatu yang menakutkan disitu.

“Payah nih si kucing!” gerutuku kencang.

Sudah jantung ini tidak karuan, eh... malah ditambah kucing yang tidak tahu jalan... nyelonong seenaknya. Padahal yang namanya kucing memang demikian, memang kucing mau tengok kanan kiri dulu kalau mau menyeberang? 

Saya pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, namun belum sempat aku menjalankan motor... tiba-tiba kucing itu menghilang begitu saja dan munculah sosok perempuan yang entah datang dari mana, dia tiba-tiba saja berdiri kaku di depan saya. Perempuan itu sangat cantik, rambutnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin. 

“Siapa perempuan itu? Cantik sekali!” gumamku pelan.

Saya pandangi dia dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sejenak saya pun terpesona, namun hati kecil saya langsung mengingatkan ada yang tidak beres dengan perempuan itu. Segera saya mengucap doa sebisa saya... benar saja sosok perempuan itu lalu menghilang dan berubah menjadi sosok yang menyeramkan. Tampak seorang perempuan bertubuh tinggi besar penuh bulu dengan hanya memakai celana dalam saja, sedangkan bagian dada tidak tertutup apapun berdiri tepat di hadapanku.

“Hah... genderuwo perempuan...!” jerit saya.

Bayangkan saja... hanya dalam jarak sekitar satu meter dari roda ban motor muncul sosok genderuwo perempuan. 

Saking takutnya saya langsung tancap gas tanpa menghiraukan lagi kondisi jalan. Motor saya belokkan ke arah samping kanan untuk menghindari genderuwo itu, bahkan motorku sampai nyaris menyasak rerumputan liar yang tumbuh di sisi bahu jalan. Pokoknya saya harus segera melarikan diri secepatnya. 

Sekitar sepuluh menit akhirnya saya sampai di halaman depan rumah pak Sastro. Setelah memarkir motor saya celingak celinguk untuk melihat apakah genderuwo perempuan itu mengikuti saya ataukah tidak. Karena sepanjang saya mengendarai motor dari pohon beringin itu berada saya merasa sosok hantu tadi menguntit saya, meski dari spion saya tidak melihat apapun tapi hati kecil saya merasakan demikian. Syukur alhamdulilah semua aman, saya tidak melihat penampakannya lagi. Saya langkahkan kaki menuju pintu rumah pak Sastro, pelan-pelan pintu rumahnya saya ketuk dan mengucapkan salam. Untunglah, tak lama kemudian seorang perempuan setengah baya keluar dan menyambutku.

“Ini petugas yang mau ambil data itu ya?” sapa ibu itu sambil tersenyum dan mempersilakanku masuk.

“Iya Bu!” jawabku seraya mengikuti beliau masuk ke dalam rumah.

Lega rasanya ada manusia lain selain diriku... heheheh. Kulihat beliau masuk kembali ke dalam rumah, namun tidak seberapa lama keluar dengan membawa baki.

“Saya istrinya pak Sastro!” ucapnya memperkenalkan diri seraya memindahkan gelas berisi teh hangat dari baki ke atas meja tamu.

“Saya Hartono, petugas pengambil data!” balasku, “Pak Sastro ada, Bu?”

“Maaf Nak Hartono, pak Sastro masih ada di masjid. Katanya sih nanti setelah shalat Isya akan ada rapat sebentar dengan petugas takmir masjid...!”

“Waduh...!” tak terasa saya menyebut kata itu.

Bu Sastro yang mendengar celetukanku tersenyum, katanya, “Tidak lama kok Nak. Sebentar juga nanti pulang!”

“Jadi saya bisa menunggu disini ya, Bu?” tanyaku.

“Iya Nak... tunggu disini saja, daripada bolak-balik,” jawabnya ramah, “Oh ya, tadi lewat jalan mana kok...”

Bu Sastro tidak melanjutkan ucapannya, dia hanya memandangku dengan sorot mata khawatir... sepertinya dia tahu apa yang barusan aku temui.

“Mmmh... lewat jalan desa yang ada pohon beringin besar itu Bu...!”

“Hah? Sudah Maghrib lewat jalan itu?”

Kali ini bu Sastro yang terperangah kaget.

“Loh emang kenapa Bu? Itu kan jalan desa yang seringkali dilalui banyak orang, tapi... kalau sudah Maghrib kok sepi ya Bu?” jawabku sambil bertanya.

“Aduh Nak Hartono, pohon beringin itu angker!” seru bu Sastro.

“Angker?” saya terperanjat.

“Iya... angker! Pohon beringin tua itu ada penunggunya!” paparnya dengan mimik serius.

“Jadi...” saya tak sanggup melanjutkan ucapanku, kejadian bertemu genderuwo perempuan tadi melintas kembali di benakku.

“Nak Hartono sudah diganggu ya?” selidiknya seakan tahu apa yang sudah saya alami.

Saya mengangguk pelan.

“Bukan hanya Nak Hartono kok, sudah banyak orang yang lewat jalan itu yang melihatnya. Makanya setelah Maghrib jalan itu jadi sepi karena orang tidak mau lewat situ!” terangnya. 

Ternyata sudah lama beredar mitos kalau jalan menuju kampung yang tadi saya lewati sudah terkenal akan keangkerannya. Terlebih pohon beringin tua itu, tak ada yang berani menebangnya, karena katanya ada sosok penunggu berupa genderuwo perempuan yang sangat jahil dan kerap menampakkan diri. Akhirnya saya pun menceritakan kejadian yang barusan aku alami.

“Wah berarti benar kata orang!” celetuk bu Sastro setelah aku selesai bercerita.

“Benar apanya, Bu?” aku jadi penasaran.

“Kata orang sih, genderuwo perempuan itu suka kecentilan kalau melihat laki-laki!” katanya.

Lalu meluncurlah cerita-cerita tentang hal tersebut. Masih beruntung saya tidak terpikat kecantikan perempuan jadi-jadian itu. Memang biasanya hantu itu memalsukan diri saat menampakkan di hadapan laki-laki, dia akan menjelma sebagai sosok perempuan cantik yang membuat para pria terpesona dan terpikat. 

Konon ada seorang laki-laki tetapi bukan penduduk asli kampung ini tergoda oleh sosok jadi-jadian itu. Sepeda motornya ditemukan di samping pohon beringin sedang si laki-laki alias pemilik motor itu menghilang tidak tentu rimbanya. Sudah dicari kemana-mana tapi tidak ketemu. Akhirnya oleh warga kampung dicarikan orang pintar untuk mencari keberadaanya. Dengan bantuan orang pintar itu, akhirnya selang beberapa hari pria itupun ditemukan sedang duduk santai di salah satu dahan beringin dengan tatapan kosong.

“Dia tidak mau turun, sudah dibujuk berkali-kali tetap tidak mau!” cerita bu Sastro.

Akhirnya dengan doa-doa dari pak Kyai, laki-laki malang itu seperti tersadar dan akhirnya mau turun.

“Nak Hartono tahu nggak apa yang dia ceritakan setelah dia sadar?” 

Aku menggeleng.

“Dia bercerita kalau diajak seorang perempuan cantik main ke rumahnya. Rumah itu sangat mewah bak istana. Disana hanya berisi orang-orang yang berpesta pora bersenang senang terus-menerus!”

Meski saya takut mendengar cerita itu, tapi saya berusaha tegar dan menyembunyikan ketakutan saya. 

“Itu pak Sastro sudah datang!” tunjuk bu Sastro ke arah pintu.

Saya menengok ke arah telunjuk bu Satro, memang benar ada seorang pria setengah baya berpeci hitam sedang memasuki ruang tamu.

“Maaf Nak Hartono tadi ada rapat dulu di masjid! Sudah lama menunggunya?” tanya pak Sastro sembari menghampiri diriku.

Saya bangkit dari kursi dan menyalaminya.

“Belum lama kok Pak, ini sedang ngobrol sama bu Sastro!” jawab saya.

“Nak Hartono ini, tadi diganggu sama penunggu pohon beringin itu!” ucap bu Satro.

Lalu meluncurlah cerita bu Satro kepada suaminya kejadian yang menimpa saya.

“Memang benar Nak Hartono, pohon beringin itu angker dan ada penunggunya. Sosok genderuwo perempuan. Tapi tenang saja, kalau kita diganggu kita bisa melawannya dengan berdoa. Biasanya doa akan membuat lelembut itu tidak bisa memalsukan diri, akan tampak wujud aslinya. Dan kalau masih tetap bandel menganggu kita... terus saja berdoa. Maka hantu akan menjauh karena tidak tahan dengan doa-doa yang kita lafalkan!”

Setelah bercerita sejenak tentang hantu genderuwo perempuan, kami mengobrol ke persoalan inti yaitu meminta data tentang pertanian. Singkat cerita setelah mendapat informasi serta beberapa pertanyaan terkait penelitian yang saya lakukan, saya pun berpamitan.

“Kalau Nak Hartono mau lewat jalan lain bisa kok!” pak Sastro memang memberi tahu jalur lain yang bisa saya lewati, namun katanya keadaan medan parah dan memutar sehingga butuh waktu lebih lama, setelah dipikir-pikir saya mengurungkan niat untuk mencari jalur alternatif itu. Toh ini belum terlalu malam, dan saya hanya ingin segera sampai di rumah pak Sadikun dimana saya menumpang tinggal sementara selama ada tugas di kampung ini.

Rasa takut sekaligus seram memang saya rasakan, namun apa boleh buat, satu-satunya jalan yang bisa saya lewati dengan cepat memang jalan itu. Sambil komat-kamit membaca doa, saya kembali melewati jalan yang ada pohon beringin tua itu yang tadi waktu kemari ada penampakan genderuwo perempuan. Perasaan was-was dan takut tentu saja menghinggapiku, tapi aku tegaskan diri ini untuk melaluinya, karena inilah jalan yang paling cepat untuk sampai.

Lega rasanya begitu pohon tersebut telah terlewati, namun rasa takut masih menyelimuti. Seolah di belakang saya seperti ada yang mengikuti serta memperhatikan saya, namun setiap kali saya tengok ke belakang rupanya tak ada apa-apa. Mudah-mudahan ini hanya perasaan saya saja. Apalagi saat saya melihat jarum speedometer yang menandakan bensin motor masih terlihat penuh membuat saya sedikit agak tenang. 

Sesekali saya masih menengok ke belakang karena masih merasakan seperti ada yang mengikuti. Aneh... sama sekali tidak ada apa-apa hingga akhirnya saya benahi posisi spion motor untuk membantu melihat keadaan di belakang saya.

Kejadian menyeramkan kembali saya alami ketika melihat spion kiri motor saya, ada bayangan seseorang di belakang motor. Namun begitu saya toleh ke belakang sosok tersebut menghilang entah kemana. Rasa takut serta perasaan tak karuan memaksa saya menarik gas hingga mentok, jalanan berliku serta naik turun tak lagi saya hiraukan, saya pun tak lagi berani melihat arah spion meskipun masih merasa ada sesorang yang mengikutiku dari belakang.

Ketika melewati jembatan penghubung di salah satu jalan menuju arah pulang tiba-tiba motor saya mogok. Entah apa penyebabnya, yang jelas bukan karena kehabisan bensin. Sudah saya starter berkali-kali tetap saja ngadat. Saya semakin gemetaran karena bulu kuduk saya tiba-tiba berdiri dan hawa di sekitar mendadak drop menjadi dingin. Sambil memejamkan mata saya melantunkan doa-doa sebisa saya. Rupanya saran dari pak Sastro benar adanya, suasana berubah menjadi normal dan aneh bin ajaib motor pun bisa distarter dengan mudah. 

Sebelum melanjutkan perjalanan perlahan saya melirik ke arah ujung jalan yang membuat hati penasaran. Rupanya genderuwo itu masih mengikut saya, terlihat makhluk ghaib itu berada di atas semak-semak dan memperhatikan saya dari kejauhan. Segera saya berdoa lagi. Syukur alhamdulilah... makhluk itupun menghilang ditelan gelapnya malam, dan saya bisa mengendarai motor dengan tenang.

No comments:

Post a Comment

La Planchada