Tuesday, November 19, 2019

Bertemu Monyet Misterius di Sangeh (Bali)


Beberapa tahun yang lalu saat aku masih duduk di Sekolah Menengah Atas, aku mengikuti wisata study tour ke pulau Bali. Salah satu tempat tujuan wisata yang kami tuju adalah Sangeh. 

“Adik-adik peserta wisata, sekarang kita akan mengunjungi Sangeh!” seru pemandu wisata yang ada di dalam bis bersama kami. Namanya pak Made. Dia asli orang Bali.

“Sangeh? Apa itu pak? Pantai atau apa ya?” celetuk salah seorang teman kami.

Jawab pak Made, “Sangat mungkin banyak yang belum tahu, Taman Wisata Alam Sangeh memang belum seterkenal Kuta, Tanah Lot, Danau dan Gunung Batur di Bali. Sangeh itu sebuah tempat pariwisata di pulau Bali yang terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.”

 Lanjutnya lagi, “Sangeh terkenal karena suasananya yang masih sangat alami dan yang utama di tempat itu ada hewan monyetnya. Lokasi Objek Wisata Sangeh hanya terletak sekitar 20 km saja dari Denpasar. Salah satu pesona dari Taman Wisata Alam Sangeh Bali adalah wisata hutan yang termasuk hutan lindung yang dilindungi dengan luas sekitar 14 hektar.”

“Wah kalau hanya lihat monyet... ini teman kami sudah mirip monyet!” canda Joni sambil jarinya menunjuk ke arah Boby, teman yang duduk di sebelahnya. 

“Enak aja, kamu tuh si Raja Monyet!” balas Boby tak mau kalah.

“Hahahahah...” kami semua yang ada di dalam bis tertawa terpingkal-pingkal.

Joni itu teman kami yang terkenal lucu dan suka bercanda. Pak Made yang mendengar hanya tersenyum simpul demikian para guru yang kebagian tugas mengantar kami wisata ke Bali juga cuma tersenyum.

“Baiklah adik-adik semua, saya akan terangkan sedikit tentang Sangeh. Mungkin banyak dari kalian yang belum tahu,” kata pak Made lagi.

Lalu meluncurlah informasi tentang Sangeh dari mulut pak made, 

“Padahal taman wisata ini memiliki daya tarik yang sangat kuat, mulai dari hutan lindungnya yang sangat asri, ribuan monyet yang saling bermain dengan kawanannya, bahkan kalau ada nyali alias keberanian maka kita juga bisa bermain bersama para monyet itu. Selain terkenal karena monyetnya, tempat itu juga terkenal karena kawasan hutan yang luas dan tertata rapi. Dominan pohon-pohon yang tumbuh di hutan ini adalah tumbuhan pala, bahkan konon katanya tumbuhan pala ini tidak dapat tumbuh di tempat lain selain di hutan Sangeh ini. Pohon-pohon pala di Sangeh berdiri kokoh dengan batang yang lurus nan tinggi. Usia dari pohon-pohon tersebut bisa dibilang sudah tidak muda lagi. Ada yang sudah berumur seratus tahunan dan bahkan ada yang sampai berumur tiga ratus tahunan. Wisata alam Sangeh, Bali ini memiliki sejarah yang membuat tempat ini menjadi tempat yang disakralkan oleh warga setempat. Bahkan tidak ada warga sekitar yang mau menebang 1 pohon pun di area hutan Sangeh ini. Itu karena pohon-pohon di hutan Sangeh sangat dijaga ketat oleh para warga setempat. Tidak ada yang berani menebang pohon tersebut meskipun pohon itu telah layu dan mati. Mereka akan membiarkan pohon tersebut tumbang dan rapuh dengan sendirinya.”

Kami yang mendengar cerita pak Made jadi tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Sangeh, sebab selama ini yang sering ditayangkan di televisi adalah pantai-pantainya yang indah, Pura yang sakral dan bangunan-bangunan lainnya yang penuh ukiran dan indah dilihat selain banyaknya turis asing yang berkunjung ke pulau Dewata ini.

“Memang apa sih istimewanya pohon-pohon itu hingga sakral?” tanya seorang teman kami.

“Baiklah, ini saya ceritakan sejarahnya, Hutan Wisata Sangeh dibuat sebagai taman dari kerajaan Mengwi. Agar terlihat cantik taman ini ditanami pohon pala yang khusus didatangkan dari Gunung Agung. Sebenarnya rencana pembuatan taman ini sangat dirahasikan namun akhirnya pembuatan taman ini diketahui oleh beberapa orang, akibatnya pembuatan taman itu dihentikan, hingga akhirnya kawasan itu diberi nama Sangeh, yang artingya ada orang yang melihat. Jika kita sempat mengunjungi taman wisata ini, kita pasti akan tertarik dengan keindahan pohon pala yang tumbuh di hutan ini, karena selain tumbuhnya lurus, pohon pala juga memiliki kayu yang sangat bagus. Namun anehnya, menurut beberapa sumber, pohon pala Sangeh konon tidak bisa ditanam di tempat lain. Hingga orang-orang yang ingin memiliki kayu pohon pala tidak pernah kesampaian. Ada hal menarik yaitu tentang sebuah pohon yang telah tua dan akan roboh. Dari perkiraan banyak orang, pohon tersebut akan roboh ke arah Pura Bukit Sari, namun kenyataanya semua ternyata melenceng. Awalnya pohon tersebut akan ditebang namun tidak ada yang berani karena takut mendapat kutukan.”

Pak Made terdiam sebentar, lalu dia melanjutkan ceritanya. “Sekitar awal Januari, akhirnya pohon itu roboh sendiri, mengarah ke barat daya. Persis antara bangunan Bale Kulkul dan Pewaregan, sehingga hanya sedikit sekali menimbulkan kerusakan, hanya pada tembok luar Pewaregan saja. Ini mengherankan karena seharusnya pohon itu tumbang persis di bangunan utama pura, Selain pohon pala, masih ada tanaman yang terkenal di hutan Sangeh. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Pohon Lanang Wadon, karena bagian bawah pohon itu berlubang sehingga menyerupai alat kelamin perempuan, sedangkan di tengah lubang tersebut tumbuh batang yang mengarah ke bawah yang terlihat seperti alat kelamin pria. Pohon itu tumbuh persis di pelataran depan tempat wisata Sangeh dan sebenarnya merupakan pohon pule.”

“Pohon pule itu apa sih Pak, kegunaannya untuk apa?”

“Di Bali, pohon pule memiliki banyak keistimewaan karena kayunya sering digunakan untuk keperluan khusus, misalnya, membuat topeng yang dipakai sebagai sungsungan. Masyarakat kadang-kadang ada yang meminta kayu pule itu,” jelas pak made, “Tetapi, tentu saja tidak boleh begitu saja orang mengambil kayu atau dahannya karena harus disesuaikan dulu hari baiknya serta memberi persembahan sebagai tanda minta ijin.

“Terus kalau monyet-monyet di sini apa juga punya keistimewaan?”

“Monyet Sangeh memiliki beberapa kelompok yang masing-masing kelompok memiliki satu pemimpin. Namun kelompok-kelompok tersebut memilki pimpinan tertinggi atau bisa dibilang raja dari seluruh raja monyet yang ada di Sangeh. Pemimpin tertinggi ini berdiam di tempat yang paling luas di. Ditempat raja monyet ini tinggal terdapat sebuah pura yang sangat terkenal kesakralannya yaitu Pura Bukit Sari. Entah bagaimana caranya, pemimpin monyet dipilih karena memiliki kekuatan dan kharisma yang sangat luar biasa. Bahkan mereka memiliki hak-hak yang lebih dibanding monyet lainnya, seperti saat mengawini si betina atau saat mendapat jatah makanan. Biasanya raja monyet akan mendapat jatah pertama sampai ia puas, sebelum memberikan jatah tersebut pada monyet-monyet lain.Sebagian besar kawasan hutan wisata ini, menjadi tempat bermukim monyet, hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan para pengusaha untuk membuat beberapa kios tempat menjual beraneka ragam cinderamata.” terang pak Made panjang lebar.

 Setelah berhenti sebentar, pak Made lalu meneruskan ceritanya, “Monyet yang tumbuh dan besar di Sangeh merupakan monyet yang relatif liar. Seringkali monyet-monyet di sana berbuat nakal dengan mengambil barang-barang bawaan para turis atau wisatawan seperti kamera, topi, perhiasan, kacamata dan yang lainnya. Maka disarankan untuk tidak membawa barang-barang yang mudah terambil oleh monyet, barang-barang yang bergantungan di leher misalnya, yang pemakaiannya di atas kepala. Sebaiknya kalian memegang erat barang bawaan yang kalian bawa. Karena kalau tidak, monyet akan terus memantau kalian.”

“Aduh... monyetnya matre ya Pak? Kok tahu barang berharga!” celetuk Andi.

Pak Made tertawa kecil, jawabnya, “Tenang, ada caranya apabila barang bawaan kalian terlanjur diambil oleh monyet. Kalian cukup membeli sebuah pisang atau kacang, kemudian dekati monyet itu dan jika kalian beruntung ia akan mengambil pisang dan menjatuhkan barang yang ia ambil dari kalian. Namun jika kalian kurang beruntung monyet ini akan mengambil pisang sekaligus barang bawaan kalian.”

“Huuuuuuu...!” seru kami semua setelah mendengar kalimat terakhir dari pemandu wisata. 

“Yaahh... rugi dong Pak, sudah dikasih pisang eh barang kita tidak dikembalikan!”

“Makanya tidak usah bawa barang-barang berharga, agar tidak diikuti sama monyet!” pak Sastro –guru kami– menengahi.

Setelah bis parkir di tempat yang disediakan, kami semua turun. Mengikuti langkah pak Made, kami berjalan beriringan menuju tempat wisata Sangeh. Dan memang benar apa yang beliau jelaskan tadi ternyata Sangeh terdapat banyak pohon-pohon yang menjulang dengan monyet-monyet yang bergelantungan di sana-sini.

“Lihat tuh...!” seruku kepada kedua temanku, Andi dan Burhan, sambil menunjuk ke arah monyet-monyet itu, “Mata para monyet itu seperti tatapan anak kecil yang melihat mainan!”

“Betul kata Candra!” ucap Andi membenarkan ucapanku.

“Kalian semua nggak bawa barang berharga kan?” kataku serius.

“Ya iyalah... apalagi dompet! Kalau sampai diambil monyet bisa mampus tuh! Nggak bisa beli oleh-oleh!” balas Burhan sambil nyengir.

Yup, kami bertiga tidak membawa apapun kecuali pakaian yang menempel di badan. Bahkan dompet pun kami tinggal di tas dan tetap di dalam bis. Meski banyak yang berjualan aneka cinderamata di luar area wisata tapi lebih baik kami tidak membawa dompet, toh nanti kami juga akan mengunjungi pasar seni Sukawati yang kata para guru, itu tempat aneka macam kerajinan Bali, nanti juga akan mampir ke toko oleh-oleh. Jadi nggak apalah kalau di Sangeh ini kami semua khusus menikmati alam dan para monyetnya... heheheh.

Entah mengapa selama berjalan-jalan menikmati suasana hutan Sangeh aku merasa diikuti salah satu monyet. Monyet itu memang tidak dekat dekat kepadaku, seperti berjarak beberapa meter. Tapi hati kecilku mengatakan kalau itu monyet yang sama yang mengikutiku sejak aku memasuki tempat wisata ini.

“Burhan, Andi... kamu lihat monyet yang itu bukan!” seruku kepada kedua temanku dengan menunjuk ke atas, di pohon itu seekor monyet yang kuyakini mengikutiku sedang bergelantungan di dahan pohon.

“Iya... kenapa memang?” tanya Burhan sambil mengalihkan pandangan matanya dari pohon ke arahku.

“Monyet itu kok mengikutiku sejak tadi ya!” ucapku agak ketakutan.

“Ah... monyet-monyet di sini kan sama semua, bagaimana kamu bisa mengenali kalau monyet itu mengikutimu?” Andi tampak tidak percaya dengan ucapanku.

“Iya coba kamu jelaskan kepada kami, apa bedanya monyet yang kamu tunjuk tadi dengan monyet di pohon yang ini... pohon yang itu dan pohon yang di sana!”

Aku mengangguk-angguk, ya sepertinya semua monyet sama, aku tidak bisa menyebutkan perbedaan di antara para monyet itu.

“Ah... mungkin itu hanya perasaanku saja. Lupakan sajalah!” kataku sedikit malu.

“Yang penting kita tidak membawa barang berharga, jadi kita tidak repot!” 

Akhirnya kami bertiga tetap melanjutkan berjalan-jalan menikmati alam Sangeh beserta para monyetnya. Meski dalam hati aku mengatakan monyet satu itu terus mengikuti tapi aku berusaha mengalihkan perhatian ke teman-teman dan alam di sini, toh monyet itu tidak menggangguku, jadi kenapa mesti resah dan takut?

Setelah dua jam menikmati pemandangan alam dan serunya bergabung dengan para monyet di Sangeh, kami mesti kembali ke dalam bis. Dan saat akan meninggalkan Sangeh itulah aku mengalami peristiwa yang aneh.

“Aduh... aduh... aduh!” teriakku keras, saat monyet yang kuyakini sejak tadi mengikuti tiba-tiba turun dari pohon dan memelukku dengan erat.

“Tolong... tolong... Candra dipeluk monyet!” teriak kedua temanku Burhan dan Andi berbarengan.

Untung pak Made berada tidak terlalu jauh, sehingga beliau langsung datang dan menolongku, monyet itu diusirnya dengan mudah.

“Adik tidak apa-apa kan?” tanya pak Made sambil menenangkanku.

“Ti... ti... tidak!” jawabku gugup dan gemetaran.

Pak Made lalu bertanya lagi, “Tidak ada barang yang diambil si monyet kan?”

Aku menggeleng, “Saya tidak bawa apa-apa kok Pak Made!”

“Syukurlah, itu hanya monyet iseng, nggak usah takut!”

Akhirnya kami semua masuk ke dalam bis dan bermaksud melanjutkan perjalanan menuju tempat wisata yang lainnya.

“Bagaimana rasanya dipeluk monyet? Asyik nggak?” gurau Joni kepadaku.

“Enak apaan... kaget banget tadi tiba-tiba ada monyet langsung memeluk!” jawabku.

“Itu pasti monyet betina... heheheh!” ujar Joni sambil mengerlingkan mata.

Burhan dan Andi yang mendengar candaan Joni tak kuasa menahan tawa. Sedangkan aku hanya bisa nyengir.

“Sudah... sudah... kembali sana ke tempat dudukmu!” usirku halus, kalau Joni tidak segera kembali ke tempat duduknya bisa habis aku diolok olok sama dia.

Bis berjalan pelan meninggalkan Sangeh, lalu melaju dengan tenang, kami yang kelelahan setelah sekitar dua jam berjalan-jalan di wisata alam itu jadi mengantuk dan banyak yang tertidur. Termasuk juga aku, dan seperti kebiasaanku, aku selalu menyilangkan kedua tanganku di perut kalau sedang tidur di kursi. Saat itulah aku merasakan ada yang mengganjal di balik baju yang aku pakai. Setelah aku raba sejenak, memang ada sesuatu di situ. Kubuka kancing baju di bagian perut dan kuambil. Ternyata ada satu buah pala yang menyelip di balik bajuku. Buah pala itu wangi sekali seperti wangi sesajen.

“Apakah monyet tadi yang memberiku buah pala ini?” begitu aku berkata dalam hati.

No comments:

Post a Comment

La Planchada