Liburan sekolah kali ini aku dan teman-teman kelasku mengadakan liburan ke pantai. Rencana ini sudah dirancang sekitar tiga bulan yang lalu agar kami bisa menyisihkan sebagian uang jajan untuk biaya liburan, maklum kami bukan golongan orang mampu yang mau kemana saja tinggal berangkat. Apalagi kami juga berencana menginap semalam di penginapan agar bisa menikmati eloknya pemandangan saat matahari terbit dan terbenam.
Wah, pasti bakal asyik nih, bisa bebas lepas menikmati alam, bermain-main air dan pasir sepuasnya. Tapi orang tuaku sudah mewanti-wanti agar tidak berenang ataupun bermain air terlalu jauh ke arah laut karena berbahaya, bila ombaknya besar takutnya kebawa arus.
“Ingat ya Ari… jangan sok jagoan terus nekat berenang sampai ke tengah!” seru ibu memperingatkanku.
“Siap, Bu!” balasku pendek sambil mengemasi pakaian ganti dan memasukkannya ke dalam tas ransel.
“Rencananya mau pulang kapan Ari?” tanya Ibu.
“Besok sore, Bu!” balasku lagi.
“Menginap dimana?” lanjut Ibu.
“Di Penginapan Srikandi! Kakaknya Cahyo kan kerja di situ, satu kamar buat berempat kok, Bu… biar hemat!”
Kulihat Ibu manggut-manggut, lalu bilang, “Ya syukurlah kalau ada yang bisa mengarahkan. Hati-hati dan jangan bikin onar!”
“Iya, Bu!”
Selesai mengemasi barang aku keluar menuju teras depan. Sesuai rencana kami berempat akan berboncengan naik motor menuju pantai. Kulihat jam yang melingkar di tanganku, baru pukul tiga sore lebih beberapa menit. Sebentar lagi teman-temanku pasti datang, dan benar juga, tak seberapa lama kulihat ketiga temanku; Bagus, Cahyo dan Doni.
Bagus dan Doni berboncengan, sedang Cahyo akan berboncengan denganku.
“Sudah siap Ari?” tanya Cahyo seraya menghentikan motornya tepat di depanku.
“Yoi, aku pamit ibu dulu ya!” aku segera masuk ke dalam untuk menemui Ibu.
“Hati-hati ya semua!” ucap ibu sambil melambaikan tangan.
Kami lalu berboncengan meninggalkan rumah, menurut perhitungan kami, perjalanan perlu waktu sekitar dua jam, jadi kami nanti bisa istirahat sebentar di kamar penginapan dilanjutkan menuju pantai menikmati matahari terbenam. Penginapan Srikandi letaknya juga tidak begitu jauh dari pantai, jadi cukup berjalan kaki. Karena sudah booking kamar sebelumnya, maka kami tak perlu repot-repot memilih kamar, kakaknya Cahyo sudah memesankan.
Kami menempati kamar nomor dua ratus dua, letaknya di lantai dua baris nomor dua. Saat masuk, kami mendapati satu kasur ukuran besar, televisi, satu buah almari besar dan sebuah meja kecil, serta dua buah kursi yang mendampingi. Kamar hotel yang cukup sederhana sehingga terjangkau untuk ukuran kantong kami.
“Wah, untung ukuran kasurnya besar jadi kita nggak perlu pesan extra bed!” seru Doni seraya merebahkan badan di atas kasur.
“Iya... nggak perlu keluar uang lagi!” timpalku.
“Kita tiduran sekitar lima belas menit aja ya, ntar langsung ke pantai!” ucap Bagus mengingatkan jadwal acara kami.
“Iya, kalau terlambat nggak bisa menikmati pesona matahari terbenam!” tambah Doni.
“Yang terlanjur tidur kita tinggal aja!” lanjut Doni sambil tersenyum simpul.
Sambil tiduran kami melepaskan penat setelah mengendarai motor, sekitar lima belas menit kemudian kami keluar kamar dan menitipkan kunci di resepsionis. Benar kata Cahyo kalau jarak penginapan dengan pantai tidak terlalu jauh, kami bisa melihat debur ombak pantai dari pintu keluar Hotel.
Sesampai di bibir pantai, kami segera membaur dengan pengunjung lain berjalan menyisir pantai dan bermain air. Cuaca saat itu agak mendung tapi untunglah tidak hujan, jadi kaki kami tidak terlalu panas berjalan telanjang di pasir yang terhampar luas. Suasana pantai juga tidak terlalu ramai karena ini adalah hari pertama libur sekolah, biasanya dua atau tiga hari kemudian pantai akan ramai oleh pengunjung luar kota yang mengadakan liburan sekolah.
“Ayo duduk disini saja!” ajakku kepada teman-teman yang lain.
Aku duduk dengan kaki selonjor di pasir pantai, bila debur ombak datang tentu akan menerjang ke badan kami, selanjutnya badan ini terasa terbawa karena pasir bergerak ke depan mengikuti ombak.
“Eh, kata orang, pantai ini ada jin-jin penunggunya loh…katanya sih ada ratunya juga…” Doni membuka pembicaraan sesaat kami duduk bersama.
“Katanya juga, pamali kalau pakai baju warna hijau… hijau yang seperti apa ya… aku lupa.” tambahnya lagi.
“Ah itu kan mitos. Gunung ada penunggunya, pantai ada juga…” kataku santai.
“Bangunan juga ada loh… apalagi bangunan tua. Contohnya sekolah kita, ada penunggunya...” sela Cahyo.
Kami terkejut dan saling berpandangan.
“Beneran?” seru Doni, mulutnya sampai menganga.
“Kayaknya belum pernah ada yang lihat?” tambah Bagus seakan tidak percaya.
“Iya nih… jangan nakut-nakutin!” ujarku tak kalah kaget.
“Kita semua kan pernah lihat!” jawab Cahyo seenaknya.
“Penunggunya kan pak Semin.” lanjutnya geli.
Kamipun tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya, pak Semin tukang kebun merangkap penjaga sekolah kami. Cahyo memang suka bercanda.
“Tapi ini beneran loh,” Doni berusaha meyakinkan kami,
“Eyangku yang dari Yogyakarta cerita ada ritual tertentu semacam sesajen untuk sang ratu. Juga ada warna hijau tertentu yang nggak boleh dipakai…” lanjutnya.
“Huuuuu...” kompak kami mencibir.
“Sudah ah, ayo kita main-main air, mandi ramai-ramai...masak ke pantai hanya duduk duduk saja...” kata Bagus,
Kami pun berlarian ke arah laut. Bermain ombak yang memecah pasir, berbasah-basah bercanda ria bersama.
“Hai Mas...” suara seorang perempuan muda hinggap di telingaku.
Aku menengok ke arah suara itu, kulihat seorang perempuan seusiaku tersenyum ke arahku. Wajahnya manis sekali, tatapannya menggoda, entah mengapa aku seperti terhipnotis olehnya.
Belum sempat aku menjawab sapaannya, dia sudah bicara lagi.
“Ayo kejar aku kalau berani.” tantangnya.
Ia berjalan pelan mendahuluiku lalu lari-lari kecil ke arah laut sambil mencibirkan bibirnya. Akupun tertantang untuk meraihnya, aku lalu berlari menembus air laut yang semakin dalam, tiba-tiba aku terjatuh, air mulai menggenangi mukaku, mataku pedih terkena air laut tapi aku masih bisa melihat secara samar-samar kalau perempuan itu berlarian tidak terlalu jauh di depanku sambil melambaikan tangan menantangku untuk menangkapnya. Aku berusaha bangun untuk mengejarnya, tapi kakiku ada yang menyeret keras menuju pantai.
“Ari, kamu nggak apa-apa kan?”
“Udah dibilangin sama ibumu jangan terlalu jauh ke laut, tuh kamu hampir terbawa ombak!”
“Makanya jangan sok…”
“Kalau kamu terbawa ombak kita mau omong gimana sama ibumu!”
“Iya nih… udah dibilangin masih aja…!”
“Kamu kenapa sih...?”
Teman-temanku bersahut-sahutan ngomong ke arahku.
Aku masih gelagapan karena terkena air. Aku juga seperti orang yang baru bangun tidur sehingga tidak menyadari keadaan sekitar sepenuhnya, yang ada di pikiranku saat itu hanya perempuan muda itu, yang tadi menantangku untuk mengikutinya.
Kuarahkan mataku ke laut, perempuan itu sudah nggak ada, padahal aku yakin dia beberapa meter di depanku, apakah dia terbawa arus? Tapi mengapa keadaan sekeliling tenang-tenang saja? Padahal kalau ada yang terbawa arus, orang-orang pasti sudah berteriak histeris dan suasana jadi ribut. Perlahan mataku menyelidik sekeliling, perempuan berbaju warna hijau... ah hijau… aku jadi ingat perempuan itu berbaju hijau... dan dia memang sudah tak ada.
Tiba-tiba aku merinding…
Apa benar pantai ini ada penunggunya dan bisa berubah wujud seperti cerita-cerita yang sudah beredar selama ini? Atau itu cuma halusinasiku semata? Ah… aku mendesah pelan.
“Ari, kamu kenapa sih?”
“Kok bengong seperti orang linglung!”
“Atau ketemu setan kali ya!”
Teman temanku nerocos terus sambil membimbingku berjalan meninggalkan bibir pantai. Selanjutnya kami duduk di pasir yang agak jauh dari pantai.
“Minum dulu!” Doni memberikan sebotol minuman kemasan kepadaku.
Aku segera menegak minuman itu, meski hanya air putih kemasan tapi rasanya segar sekali, tenggorokanku seperti sungai yang mengering lalu terkena limpahan air hujan.
“Aku tadi ketemu cewek!” ucapku setelah selesai minum sepertiga botol dan mengembalikan botol itu kepada Doni.
“Ha… ha… ha!” berbarengan ketiga temanku tertawa terbahak.
“Ngelindur nih Ari…!”
“Cewek yang mana?”
“Tadi kamu sendirian lari ke arah laut…!”
“Sepeti ngejar sesuatu…!”
“Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak ke laut terlalu jauh…!”
“Tapi kamu seakan tidak mendengar teriakan kami!”
“Kamu terus aja berlari…!”
“Kami jadi takut kamu kenapa-napa!”
“Makanya kami segera mengejarmu!”
“Stop… stop!” teriakku sambil menutup telinga. Suara teman-temanku yang bersahut-sahutan membuatku malah pening kepala.
“Ok, aku akan ceritakan semuanya!” lanjutku,
Aku lalu menceritakan kejadian yang kualami dari awal bagaimana aku disapa seorang perempuan seusiaku sampai aku dibawa teman-temanku ke sini.
Sejenak teman-temanku terdiam setelah mendengar ceritaku, lalu mereka saling berpandangan dengan tatapan agak ketakutan.
“Perasaan kita tidak mendapati ada perempuan berbaju hijau di pantai ini!” seru Bagus sambil matanya berkeliling melepas pandangan ke arah pengunjung.
Aku dan teman-temanku ikut-ikutan melihat para pengunjung. Kami memang tidak mendapati ada yang berpakaian warna itu.
“Mungkin penunggu laut ini sedang mencari tumbal!” timpal Cahyo merinding.
“Ah, sudahlah, yang penting aku selamat!” ujarku mantap. Aku tidak mau suasana liburan jadi rusak gara-gara itu.
“Iya, lebih baik kita menikmati liburan tapi tetap harus hati-hati dan tetap saling mengawasi!” ucap Doni bijak.
Kami semua mengangguk, lalu kembali menuju pantai untuk bermain-main lagi. Namun jauh di lubuk hati, aku masih ketakutan, siapa tahu perempuan misterius itu datang lagi buat menuntaskan misinya mencari tumbal? Ah, aku mesti lebih berhati-hati dan tidak terlalu jauh dari teman-temanku. Untung tadi ada teman-teman yang memperhatikanku dan segera memberi pertolongan. Kalau tidak…
Mungkin aku pulang tinggal nama.
No comments:
Post a Comment