Tuesday, October 15, 2019

Penampakan di Kuburan Angker Batu Bulan (Bali)

Peristiwa itu sudah beberapa tahun berlalu, tapi sampai sekarang aku tidak bisa begitu saja melupakannya, maklum itu adalah kali pertama aku melihat penampakan. Bukan sembarang penampakan karena kejadiannya di sebuah kuburan angker.

Saat itu aku belum lama tinggal di Bali, belum genap sebulan. Ya, aku memang seorang perantauan yang sedang mencari rejeki di pulau Dewata. Aku bekerja di sebuah toko cinderamata yang banyak berdiri di kota itu, maklum namanya juga kota wisata tentu banyak wisatawan. Bali juga sudah sangat terkenal di dunia internasional jadi banyak wisatawan asing yang berlibur kesana.

Aku yang kerja di kota Denpasar tentu harus mencari kost di daerah sekitar situ, jadi kalau bisa cukup jalan kaki menuju tempat kerja, maklumlah aku belum ada motor sendiri. Kalau mesti naik angkot buat pulang-pergi kerja bisa habis uang gajianku hanya untuk transportasi. Jadi pertimbanganku dalam mencari kost adalah lokasi dan lokasi. Untunglah aku akhirnya mendapatkan kost yang tidak terlalu jauh, meski sebenarnya tempat kost-ku kurang begitu bagus, ditambah aku mesti berbagi kamar kost bersama orang lain agar biaya yang ditanggung tidak terlalu besar. Aku sekamar dengan Naning, gadis seusiaku yang juga bekerja di kota wisata ini. Tapi dia bekerja sebagai seorang resepsionis di sebuah hotel kecil.

“Yuni, besok kamu libur kan?” tanya Naning pada suatu sore.

Aku baru saja masuk kamar setelah selesai mandi, handuk masih terselampir di pundakku dan di tangan kiriku memegang gayung berisi peralatan mandi.

“Memang mau kemana sih? Jangan main ke mall dulu lah! Cekak nih... tanggal tua!” jawabku sambil meletakkan gayung di bawah rak. 

Lalu aku mengambil hanger dan memasang handuk, “Aku keluar dulu buat jemur handuk!” seruku lagi.

Segera aku keluar dan menjemur handuk di jemuran baju yang ada di depan. Kutengok sebentar ke arah kamar mandi yang terletak di luar itu, semua pintu sudah tertutup alias semua sudah terpakai. Ada dua orang yang ikut mengantri, maklumlah hanya ada dua kamar mandi untuk sepuluh kamar kost.

Kembali ke kamar, aku segera melanjutkan obrolan bersama Naning.

“Mau kemana sih?” tanyaku lagi.

“Dewi, teman kerjaku berulang tahun!” jelas Naning.

“Ooo... Dewi yang kemarin main kesini itu ya?” seruku.

Aku sudah mengenal Dewi, dia itu teman kerja Naning. Tapi dia kerja di bagian administrasi pembukuan. Sudah tiga kali Dewi main ke kost kami bahkan di kunjungan kedua dia menginap di sini. Saat itu Naning kerja shift malam, sedang Dewi sedang tidak enak badan sehingga dia tidak berani untuk naik motor sendirian pulang ke rumahnya karena letaknya cukup jauh, makanya dia ikut numpang tidur di sini.

“Nah... Dewi mau mentraktir kita buat merayakan ulang tahunnya... asyik kan?” lanjutnya gembira.

“Wah kalau itu sih aku setuju pol!” jawabku sambil mengacungkan kedua jempolku ke arahnya. Di tanggal tua begini... lumayan dapat makan enak gratis.

Naning tersenyum simpul ke arahku.

“Eh... tapi kan Dewi tinggalnya di daerah Gianyar! Memang kamu sudah tahu rumahnya?” tanyaku.

“Wah... aku sudah berkali-kali main kesana! Aku kan sudah dua tahunan kerja di Denpasar. Sudah tiga kali pindah kost pula...!” jawab Naning.

“Jadi nggak akan kesasar dong!” gurauku.

“Emang kamu, keluar wilayah RT sudah kesasar... hahahah!” balasnya juga bergurau.

“Yaah... maklumlah aku belum genap sebulan tinggal di sini! Kerja pula, jadi waktu luangku kurang banyak buat main kesana-sini!” 

“Makanya, kalau ada acara keluar begini jangan ditolak! Biar lebih tahu Bali!”

“Siapa pula yang nolak! Aku senang kok! Apalagi acaranya makan-makan!” timpalku senang.

“Ok... kalau begitu besok jam enam tigapuluh kita berangkat. Kata Dewi dia akan mengajak makan di warung Bebek yang terkenal di Gianyar!”

“Wah nggak sabar nih... nunggu sampai besok! Aroma bebeknya langsung terasa... heheheheh!” aku bergurau lagi. Naning ikutan terkekeh.

Keesokan harinya tepat jam enam lebih tigapuluh menit kami berdua sudah siap di teras depan kost.

“Wuih... mau kemana nih! Cantik-cantik amat!” seru Winda teman kost yang lain. Dia memandang kami yang berpakaian rapi. Maklum biasanya kalau jam-jam segini kami hanya memakai kaos oblong dan celana pendek motif bunga cerah... itu adalah seragam baju harian kami kalau ada di kost... heheheh.

“Ada teman yang ulang tahun!” jawab Naning.

“Oh... pantesan rapi amat, mau makan-makan dimana nih?” tanyanya berbasa basi.

“Di Gianyar!” jawabku.

“Hahh... Gianyar? Jauh amat... ya baguslah sekalian jalan-jalan!” Winda lalu meninggalkan kami menuju kamar kostnya. Dia baru saja pulang dari kerja.

Setelah memakai helm, kami lalu berboncengan menuju jalan utama. Naning ada motor sendiri, jadi kalau kemana-mana dan satu arah tujuan aku bisa nebeng.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30-35 km akhirnya sampai juga di rumah Dewi di Gianyar. Jam menunjukkan pukul tujuh lebih duapuluh menit malam. Kemudian kami berempat menuju rumah makan Bebek di Gianyar. Aku bersama Naning dan Dewi dengan adiknya.

Rumah makan Bebek tempat Dewi merayakan ulang tahun sangat asri. Bangunannya terbuat dari bambu dan banyak tanaman perdu di sekitarnya.

“Bebek goreng di sini enak banget lho! Gurihnya pas, dagingnya empuk dan sambelnya... nyos abiss!” seru Dewi kepada kami semua.

“Lebih enak lagi... GRATIS!! Hahahah!” timpal Naning.

Dewi membalas gurauan Naning dengan memonyongkan mulutnya.

Ternyata ucapan Dewi benar adanya, bebek gorengnya sungguh enak, persis dengan ceritanya tadi. Selesai makan kami kembali ke rumah Dewi, di sana kami ngobrol kesana kemari bercanda ria, dengan perut kenyang dan suasana yang asyik kami jadi lupa waktu.

“Ning... sudah jam sebelas malam lebih nih!” bisikku pelan ke telinga Naning.

Kulihat Naning terkejut lalu mengalihkan pandangan ke jam yang melingkar di tangannya.

“Gila... sudah jam sebelas lebih duapuluh menit nih!” serunya keras.

“Wi... kami pulang dulu ya? Besok kan kami mesti kerja!” lanjutnya.

Dewi juga tampak terperanjat, mungkin dia nggak menyangka kalau sudah larut. Yaaa... namanya juga kalau lagi ngobrol seru sering lupa waktu.

“Nggak nyangka... ternyata sudah malam!” kata Dewi tidak percaya.

Dia lalu mengantar kami sampai pintu depan, setelah itu bergegas kami naik motor untuk pulang kembali ke kost. Tak kusangka kota Gianyar jam segitu sudah sepi, berbeda banget dengan kota Denpasar yang selalu hidup selama duapuluh empat jam.

Meskipun sepi dan di malam hari, tapi kami tidak mendapati hal-hal yang aneh selama perjalanan. Naning juga menjalankan motornya dengan santai dan tidak tergesa. Jadi kami tenang dan tidak takut sedikitpun. Sampai kami tiba di daerah yang namanya BATU BULAN barulah kami merasa agak merinding, maklumlah daerah itu benar-benar sepi, nyaris tidak ada rumah penduduk yang kami temui, sepanjang beberapa kilometer, hanya terlihat semak-semak di kanan kiri tanpa penerangan jalan sedikitpun, begitu juga kendaraan bermotor sudah jarang sekali yang lewat sampai akhirnya benar-benar sepi tidak terdengar sedikitpun deru motor ataupun mobil.

“Ning... kok hanya kita yang lewat jalan ini!” ucapku agak ketakutan.

“Jangan nakut-nakutin dong, Yun...!” balas Naning dengan tenang.

Dari nada suaranya aku tidak menangkap ketakutan di dirinya. Aneh... kenapa dia bisa sesantai itu ya? Padahal aku sudah merasakan ada yang aneh di daerah itu. Dan entah kenapa tiba-tiba saja motor Naning berhenti.

“Kenapa berhenti Ning?” seruku kaget bercampur gemetaran.

“Nggak tahu ya, Yun... motornya tiba-tiba macet!” jawab Naning sambil turun dari motor, aku juga ikutan turun dari boncengan.

“Lhah... ini bensin juga masih ada!” kata Naning setelah memeriksa tanda bensin, meski tidak menunjuk ke arah full tapi masih ada separuh.

“Lewat masa servis kali!” seruku lagi.

“Bulan ini aku sudah servis motor tuh!” balas Naning mantap.

Akhirnya kami celingak-celinguk melihat ke kanan kiri, aku merasa ada yang ganjil dengan tempat kami berhenti ini dan tanpa sengaja aku melihat sebuah papan besar bertuliskan SETRA.

“Ning, itu apa!” seruku menunjuk ke arah papan itu.

Mata Naning mengikuti telunjuk jariku, tiba-tiba dia berteriak, “Aduh... kuburan... kuburan, Yun!”

“App... apppaa...?” aku terkejut.

“SETRA itu bahasa Bali, artinya KUBURAN DESA!” jelas Naning sedikit gugup. Tapi kenapa aku tidak menangkap ketakutan di dirinya ya?

Saya baru ingat! Dulu waktu Dewi main ke kost, dia sempat bercerita kalau ada SETRA yang berarti kuburan desa yang sangat luas di daerah Batu Bulan yang dibelah oleh jalan raya, sebelum masuk dan keluar daerah SETRA itu akan ada jalan menanjak dan menurun di satu sisinya. Dan ciri-ciri SETRA angker yang Dewi ceritakan kepadaku ternyata persis sama dengan SETRA yang kami temui ini.

Dengan sigap Naning kemudian mencoba menstarter motornya, sedang aku celingak-celinguk melihat sekeliling, dan saat itulah... tanpa sengaja aku melihat sesuatu. Aku sungguh kaget dengan apa yang kulihat. Ada sesosok perempuan berpakaian putih lusuh dengan muka yang pucat berdiri tepat sekitar tujuh meteran di sebelah kananku, segera aku memalingkan muka dari sosok yang menakutkan itu.

“Ning... lihat sebelah kanan!” pintaku kepada Naning dengan suara bergetar.

“Nggak ada apa-apa tuh...!” jawab Naning lugas, dia lalu kembali mencoba menstarter lagi motornya.

Aku semakin gemetaran ketika aku merasakan angin dingin yang berhembus ke arahku, aku tidak berani menengok ke samping, tapi aku merasa perempuan berbaju putih itu seakan semakin mendekat. Aku pun berdoa sebisaku meminta pertolongan Tuhan.

Keajaiban terjadi, motor Naning akhirnya nyala kembali. Tanpa banyak berpikir kami langsung naik motor dan tancap gas meninggalkan SETRA itu tanpa menoleh kemana mana kecuali ke arah depan. Dan kami semakin lega setelah kami sampai di jalan yang cukup ramai. 

Setelah sampai kost dan menenangkan diri sejenak kami lalu saling berbagi cerita. Eeehh... ternyata Naning juga melihat sosok seperti kuntilanak yang aku lihat itu, dia sengaja berbohong agar aku tidak semakin ketakutan. Dia konsentrasi menstarter motornya sambil berdoa sekuat tenaga. Pantesan meski dia menjawab dengan lugas tapi aku masih bisa menangkap keresahannya, Bahkan dia juga cerita kalau dia bisa melihat hal-hal ghaib.

“Jadi kamu bisa melihat dunia ghaib seperti itu, Ning?” seruku kaget.

Tak kusangka dan benar-benar mencengangkan ternyata Naning mempunyai indera keenam.

“Iya Yun, aku melihat banyak makhluk astral di situ. Ada yang berwujud anak-anak, orang dewasa dan orang tua. Ada yang parasnya pucat tapi utuh namun ada juga yang mukanya hancur berantakan, dan yang menolong aku menghidupkan motor biar bisa kabur adalah sosok tua berjubah putih!” tambahnya panjang lebar.

“Kenapa kamu tidak bilang tadi waktu aku cerita melihat sosok kuntilanak? Kamu malah berkata tidak melihat apa-apa? Aku jadi ketakutan sekali nih...!” aku pikir tadi hanya aku yang melihatnya ternyata dia juga.

“Lha... entar kamu semakin ketakutan, aku juga nanti yang repot!” balasnya santai.

“Ya... iya sih... heheheh!” aku kalah set nih.

“Kok kamu nggak pernah cerita sebelumnya sih kalau kamu punya kemampuan indera keenam yang bisa melihat hal-hal seperti itu? Mengapa baru sekarang?” tanyaku sungguh sungguh. 

“Buat apa? Ntar aku dibilang cuma membual? Lagian... emang enak punya kemampuan seperti itu? Jadi tolong nggak usah cerita ke teman-teman yang lain ya!” pinta Naning.

Aku mengangguk, kupikir benar juga kata dia, apa untungnya buat Naning kalau banyak yang tahu. Mungkin sebagian hanya menganggap bualan atau cari simpati, bisa juga malah dimanfaatkan orang untuk memburu hantu... hehehe... 

“Eh kamu tahu nggak? Tadi kuntilanak yang mengikuti kamu di belakang sempat bertanya kepadaku begini, “Mau ngapain di sini?” 

“Terus kamu jawab apa?” tanyaku penasaran.

“Tidak aku jawab... toh sosok Pak Tua sudah menolong kita kan?” 

“Kenapa? Kan asyik tuh bisa ngobrol sama makhluk dunia lain, bisa tahu dunia setelah kematian itu bagaimana?” aku bertanya lagi.

Naning menggeleng pelan, lalu ucapnya, “Hanya akan ada cerita kepedihan bagi makhluk-makhluk yang tertahan seperti si kuntilanak itu, dan itu bukan urusanku! Hidup kita adalah tanggung jawab kita masing-masing!”

Aku terdiam, benar juga kata dia. Ah... ternyata Naning teman kost-ku itu bisa melihat hal-hal ghaib, pantas saja dia tidak segugup dan setakut aku. Sudah berpengalaman rupanya...!!!

No comments:

Post a Comment

La Planchada