Friday, October 11, 2019

Satu Sel dengan Hantu (Purwokerto)


Cerita tentang seseorang yang satu sel dengan hantu itu aku dapatkan saat masih duduk di Sekolah Dasar. Tanpa sengaja saat itu aku sedang bermain di halaman depan di pinggiran jalan perumahan tempat aku tinggal. Seperti biasa setiap pagi sekitar jam enam ada seorang pedagang sayur keliling yang mangkal sebentar di tempat itu, ibu-ibu yang tinggal di sekitaran kompleks perumahan akan datang untuk berbelanja kebutuhan sehari hari, termasuk ibuku. Dan seperti anak kecil pada umunya, kami selalu mengekor orang tua untuk sekedar bermain atau bahkan ikutan memilih belanjaan, tapi yang utama kami bisa minta dibelikan jajanan. Memang pedagang sayuran keliling itu tidak hanya membawa aneka sayuran dan bahan lauk, tapi juga aneka jajanan pasar yang jadi kesukaan anak-anak kecil.

Pagi itu hari Minggu, suasana jalan tidak terlalu ramai seperti biasanya. Beberapa rumah terlihat kalau pintu dan jendela masih dalam kondisi tertutup, bisa dipastikan penghuninya masih tidur. Memang kalau hari Minggu dan libur nasional suasana pagi di perumahan tampak sepi, beda dengan hari-hari lainnya. Bahkan hanya ada beberapa orang saja yang datang berbelanja di pedagang sayuran keliling itu.

“Kalau hari Minggu begini, hanya sedikit yang datang!” seru bapak penjual sayuran itu tanpa bermaksud mengeluh.

Memang hanya ada tiga ibu yang mengerumuni dagangannya, kalau hari biasa malah lebih banyak yang datang.

“Iya Pak, biasa hari Minggu, bisa bangun siang, nggak keburu buat berangkat kerja atau sekolah!” balas ibuku sembari memilih sayuran segar.

“Lhah... Bu Pertiwi tetap belanja tuh meski hari Minggu? Kan nggak harus berangkat ngajar?” celetuk bu Partini ditujukan kepada ibu.

Kulihat ibu tersenyum, lalu jawabnya, “Persediaan bahan dapur dan sayuran lagi habis nih Bu, makanya beli!”

Ibu memang tidak setiap hari belanja sayuran, biasanya beliau membeli dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan tiga hari. Maklum ibuku bekerja jadi harus bisa mengatur waktu, kalau sedang belanja sayuran begini dan ketemu ibu-ibu yang lainnya sering kelupaan waktu karena dilanjutkan dengan acara ngobrol-ngobrol dulu. Makanya kalau ada jadwal mengajar pagi, ibu memilih tidak belanja sayuran karena tidak ada waktu.

“Ya iyalah... kalau Bu Pertiwi kan nggak bisa tiap pagi belanja kayak kita ini yang hanya ibu rumah tangga!” timpal bu Sumiati.

“Ah Bu Sumiati bisa aja! Eh... omong-omong mana nih bu Saripah? Biasanya setiap hari kan nggak pernah absen beli sayuran?” tanya ibu sambil matanya mengarah ke sekeliling.

Bu Saripah itu salah satu tetangga kami yang hidupnya kurang beruntung, semenjak suaminya meninggal, beliau harus banting tulang untuk menghidupi ketiga anaknya. Tiap hari dia belanja sayuran tapi dalam jumlah sedikit. Bahkan kata orang-orang seringkali dia hutang dulu dan membayar belakangan. Pekerjaan bu Saripah serabutan, dari jasa cuci seterika sampai antar jemput anak sekolah. Bahkan di hari-hari tertentu di saat ada acara pertunjukan, dia berjualan aneka makanan kecil dan minuman.

“Lho, Bu Pertiwi nggak tahu berita terkini ya?” jawab bu Sumiati sembari melempar pertanyaan yang menggelitik.

“Iya nih! Berita panas loh, Bu!” tambah bu Partini dengan memasang wajah serius.

“Wah kayak berita artis aja nih!” si pedagang sayuran ikutan nimbrung.

Sebenarnya ibu kurang suka bergossip, tapi mendengar perkataan demikian, rasa ingin tahunya muncul juga, tentu saja ibu menanggapi dengan gurauan dulu.

“Jangan-jangan... bu Saripah sudah jadi artis ya!” canda ibuku –diikuti tawa ibu-ibu yang lain, termasuk si pedagang sayuran.

“Artis apaan... bu Saripah tuh masuk penjara!” jawab bu Sumiati dengan suara tinggi.

“Iya betul!” bu Partini mengamini dengan mengangguk-anggukkan kepala.

“Apa? Masuk penjara?” seru ibu tidak percaya, dia sampai terlonjak saking kagetnya, “Bagaimana bisa?”

Ya, selama ini bu Saripah tidak pernah terlibat hal-hal yang berbau kriminal. Meski hidup dalam kesusahaan dia tampak tegar dan tidak pernah terdengar melakukan sesuatu yang merugikan tetangganya.

“Kepepet kebutuhan!” seru bu Sumiati lugas.

“Maklum janda tiga anak! Kebutuhan anak-anak kan mahal!” tambah bu Partini menggarisbawahi alasan kenapa sampai hal itu terjadi.

Ibu terdiam sesaat, ada kesedihan yang terpancar di wajahnya. Bu Saripah itu seringkali dimintai bantuan oleh ibu sekedar cuci seterika kalau kami semua lagi banyak kegiatan. Ibu tidak menyangka kalau nasib tetangganya apes begitu, kasihan sekali.

“Tapi jangan mencuri dong! Malah jadi begini kan!” tiba-tiba si penjual sayur unjuk suara. 

Tampaknya si penjual sayur sudah tahu gossip itu sebelumnya. Walaupun tidak bermaksud menyalahkan, tapi tersirat di ucapannya kalau perbuatan itu tetaplah tidak bisa dibenarkan.

“Mencuri...?” seru ibu mengambang, setengah tidak percaya.

“Iya mencuri beberapa kotak susu bayi di pusat perbelanjaan di Purwokerto!” potong bu Sumiati. 

“Hah... Purwokerto?” lagi-lagi ibuku kaget, karena Purwokerto jauh dari tempat kita tinggal.

“Iya, dia mencuri di Purwokerto. Makanya dia masuk sel di kota itu. Nah repot kan?” bu Partini berkata dengan lantang.

“Kasihan!” gumam ibu, menggeleng-gelengkan kepala.

“Saya juga kasihan sih Bu, tapi alamat hutang belanjaan di tempat saya nggak bakalan kebayar!” keluh si pedagang sayur.

“Iya sih... tapi mau bagaimana lagi!” sergah ibu.

“Terus anak-anaknya gimana dong! Mereka disini di Kebumen... eh ibunya di Purwokerto... masuk sel pula!” lanjut ibu.

“Makanya, salah seorang saudaranya terpaksa kesini buat menemani anak-anak itu!” bu Partini menjawab kegundahan ibu.

“Ya syukurlah, jadi anak-anak tetap terjaga dan terawasi. Kalau mereka dibiarkan sendirian tentu akan membuat mereka sedih dan bingung seperti anak ayam yang kehilangan induknya!” ibu bernapas lega, sebagai pengajar, sedikit banyak dia tahu bagaimana psikologis anak.

“Tapi itu belum seberapa loh... karena...” bu Sumiati menghentikan sebentar ucapannya.

“Karena apa, Bu?” 

“Katanya... bu Saripah dihantui di sel itu!”

“Ah mana mungkin?” teriak mereka hampir bersamaan.

“Iya benar!” tanpa dikomando mereka saling melempar pernyataan.

“Satu sel kan dihuni beberapa orang! Kata orang sih kalau banyak penghuni di suatu ruangan hawanya jadi panas makanya jarang ada hantu yang nongol di tempat keramaian!” argumen ibu seakan tidak percaya.

“Disitu kan juga banyak polisi yang menjaga!” imbuh si pedagang sayur.

“Masak hantu ada di dalam sel... pilih kek tempat yang lebih enakan...!” timpal bu Partini.

“Hantu kesasar kaliiii...” gurau si pedagang sayur.

“Pasti banyak yang dihantui, bukan hanya bu Saripah!” bu Partini mengira-ngira.

“Lah... dikeroyok aja tuh hantu!” balas si pedagang sayur.

“Satu hantu lawan satu rombongan di dalam sel...!” ibu menambahi.

Suasana pun jadi riuh.

Bu Sumiati tertawa, “Bu Saripah tuh sendirian di sel tahanan!”

“Sendirian?” tiba-tiba mulut mereka melongo karena kaget.

“Yup, dia itu terlibat kasus pencurian. Makanya mesti ditahan dulu untuk melengkapi berkas-berkas dan menunggu disidangkan. Katanya sih sebelum dia masuk sel, kamar tahanan itu sudah lama kosong, maklumlah... kebanyakan yang ditahan itu lelaki. Karena bu Saripah perempuan tentu harus dipisahkan alias disel di tahanan khusus perempuan. Nah disitulah masalahnya... Lokasi tahanan perempuan itu mojok dan jarang terlihat ada polisi lalu lalang. Berbeda dengan tahanan lelaki yang dihuni banyak orang dan lokasinya dekat sejumlah ruang kerja anggota polsek!”

“Aduh... kasihan tuh bu Saripah! Bagaimana ya kondisi psikologisnya?”

“Menurut kabar yang saya dengar... baru sehari menghuni sel tahanan, dia sudah benar-benar menderita lahir dan batin. Ia stress karena harus jauh dari keluarga dan yang sungguh memprihatinkan, konon dia dihantui... di ruangan itu ternyata dia tidak sendiri... ada sosok lain yang turut tinggal disitu... hiiiiii... sereeeemmmm...!”

“Bagaimana tuh ceritanya... masa para polisi tidak tahu kalau ada cerita hantu disitu?”

“Cerita tentang hantu itu sudah beredar sejak lama, tapi karena tidak bisa dibuktikan ya mau bagaimana lagi, siapa juga yang mau percaya?”

“Kan bu Pertiwi sendiri juga bilang kalau hantu tuh tidak mau nongol kalau ada banyak orang disitu... panas... makanya tidak ada yang percaya!”

“Karena bu Saripah lagi apes... mesti di sel seorang diri di tahanan itu... ya akhirnya si hantu nongol... ngeri kan? Udah sendirian nggak ada teman... eh... dihantui pula!”

“Tapi... maaf nih sebelumnya...! Bisa saja itu hanya akal-akalan dia saja buat mengelabuhi petugas! Barangkali dia depresi karena mesti terpisah dari anak-anaknya...! Karena sendirian di dalam sel, dia jadi tidak ada teman buat berbagi rasa... alias curhat gitu deh!”

“Ya mungkin saja kalau pengakuan itu dianggap tidak masuk akal oleh banyak orang karena tidak bisa dibuktikan! Tapi kondisi bu Saripah yang membuktikan itu semua, dia menangis histeris... dia depresi dan menangis tiada hati, dia mengaku dihantui makhluk halus, dia bahkan bersumpah bahwa ceritanya benar adanya. Orang juga akan bisa membedakan mana yang nangis bawang bombai alias bohongan sama yang nangis beneran sampai histeris begitu!” 

“Dia memang hanya sendirian di dalam sel itu, tapi rasanya ada makhluk lain yang menghuni sel itu selain dia, dan penghuni lain yang dilihatnya bukan manusia biasa... tapi hantu! Roh gentayangan!”

“Hantunya kayak bagaimana nih?”

“Gini nih ceritanya! Malam itu Bu Saripah sedang tidur di dalam tahanan. Entah jam berapa dia kurang tahu... maklum dia kan sedang tidur. Dia merasa ada seseorang yang masuk ke dalam sel itu dan langsung tidur di sebelahnya. Dia tidak berprasangka yang bukan-bukan karena dia pikir ada penghuni baru, makanya dia kurang peduli, dia pun tetap melanjutkan tidurnya!”

“Mmhm... terus bagaimana dia tahu kalau itu hantu?”

“Awalnya dia tidah ngeh kalau itu hantu! Dia memang merasakan hawa dingin yang tiba-tiba menyergapnya, bahkan dia mencium bau busuk yang menusuk hidung! Ah... paling perempuan itu belum mandi... begitu pikirnya.”

“Lalu...?”

“Nah disinilah puncak ceritanya...”

“Aduh… penasaran nih!”

“Karena dia sudah tidak tahan dengan bau itu, terpaksalah meski mengantuk berat dia bangkit dan bangun untuk berpindah tempat. Tanpa sengaja dia menengok ke arah sebelahnya yang dikira penghuni baru di sel itu... eh ternyata...”

“Ternyata apa?”

“Tidak ada siapapun disitu!”

“Hahh?”

“Beneran! Dia sampai mengucek-ucek mata berkali-kali dan memandang sekeliling dengan mata terbuka lebar! Tidak ada apapun... bahkan bau busuk itu juga hilang begitu saja!”

“Ah itu sih barangkali cuma perasaannya saja!”

“Atau mungkin sedang terbawa mimpi!”

“Maklum sendirian... jadi berpikir yang tidak-tidak.”

“Eh... belum selesai nih ceritanya!”

“Dia pikir juga demikian, dia hanya terbawa mimpi! Makanya dia tidur lagi, tapi dia bergeser ke tempat lain.”
“Hantunya nongol lagi?”

“Iya benar!”

“Saat bu Saripah setengah tertidur, lagi-lagi bau busuk itu tercium. Bahkan dia merasa ada yang mencolek-colek dari belakang!”

“Namun saat dia membalikkan badan... tidak ada sesuatupun!”

“Akhirnya dia putuskan tidak melanjutkan tidur karena sudah nanggung dan terganggu terus, dia lalu duduk menyelonjorkan kaki, memandang sekeliling dengan santai... di saat itulah dia tiba-tiba menangkap sosok seorang perempuan yang duduk meringkuk di pojokan.”

“Bu Saripah tentu kaget juga, perasaan tadi tidak ada siapapun... eh tiba-tiba nongol seseorang!”

“Dia lalu memandang perempuan yang menangis sesenggukan itu dengan lekat. Dari tangisan yang terdengar begitu pilu dia tampak sangat sedih dan ketakutan. Rambutnya yang panjang tergerai ke depan menutupi wajahnya yang dia benamkan diantara kedua lututnya. Kedua tangannya memeluk kaki dengan begitu kuat!”
“Kenapa, Jeng?” tanya bu Saripah saat itu, dia melihat kalau sosok perempuan itu belumlah setua dirinya. Diperkiraan masih berumur duapuluhan!”

“Saya ingin pulang!” begitu jawah si perempuan misterius itu pelan di sela-sela tangisnya.

“Yah... sama dong... saya juga ingin pulang!” celetuk bu Saripah santai.

Dalam hati dia juga agak tenang karena ada yang menemai di sel itu. Paling tidak ada teman buat bercakap dan bercerita.

“Emang Jeng ini kena kasus apa sih?” iseng-iseng bu Saripah menanyakan hal yang lebih mendalam.

Siapa tahu perempuan itu mau berbagi cerita, tentu suasana sel jadi hidup alias tidak terlalu sepi. Sendirian di dalam sel dirasa bu Saripah begitu menyesakkan karena dia merasa tidak ada teman untuk berbagi kisah kelamnya. Tapi kalau dia tidak mau membuka kisahnya juga tidak apa-apa, bu Saripah juga tidak akan memaksa, itu adalah hak pribadi masing masing. Ada teman di sel saja sudah membuatnya senang dan tidak merasa sepi.

Lama perempuan itu tidak mau menjawab pertanyaan dan hanya menangis, bu Saripah jadi tidak enak hati sudah menanyakan hal itu. Di pikiran bu Saripah mungkin perempuan itu begitu menyesali perbuatannya sehingga tidak mau mengungkit dan menceritakan ke orang lain.

“Sudahlah Jeng... kalau tidak mau membahasnya juga tidak apa apa kok. Maaf, Jeng!” akhirnya bu Saripah mengucapkan permintaan maafnya.

“Kalau saya terkena kasus pencurian!” tanpa diminta bu Saripah menceritakan kasus yang membelitnya. “Jujur baru kali ini saya melakukan itu, dan itu sangat saya sesali!”

Lanjutnya lagi, “Karena kepepet keadaan, saya jadi gelap mata.”

Bu Saripah menghela napas panjang, “Saya benar-benar menyesal!”

“Kalau Jeng ini pasti bukan karena pencurian!” bu Saripah mengamati perempuan yang tampak bersih dan bukan dari kalangan orang melarat seperti dia. Tak mungkinlah kalau sampai mencuri demi kebutuhan perut.
Walaupun berusaha menahan diri untuk tidak menanyakan kasus yang membelit perempuan itu tapi rasa ingin tahu bu Saripah mendidih juga. Bayangkan di dalam sel hanya berdua, cerita yang paling menarik tentu saja tentang kasus masing-masing.

“Kasus Jeng ini pasti berkelahi rebutan lelaki!” pancing bu Saripah sekenanya.

Perempuan itu menggeleng.
Wah ada respon nih, begitu pikir bu Saripah.

“Tabrakan mungkin... kecelakaan karena nyetir dalam keadaan mabuk!” pancingnya lagi.

Eh... lagi-lagi perempuan itu menggeleng.

“Waduh.. .lantas apa dong!” seru bu Saripah menyerah.

“Pembunuhan!”

“Hah?” bu Saripah terlonjak. 

Dia terkejut setengah mati, perempuan semuda itu terlibat pembunuhan... itu kasus yang tidak main-main. 

 “Waduh... kasus berat tuh! Bisa lama di penjaranya!”

 “Tahan dulu deh keinginan untuk pulangnya... masih lama! Nggak usah nangis gitu... percuma!” lanjut bu Saripah berapi-api.

“Tapi saya takut!” ucap perempuan itu lirih.

“Takut?” tanya bu Saripah keheranan.

“Iya!”

“Takut dihantuin orang yang sudah kamu bunuh ya?”

Dia menggeleng.

“Lantas takut kenapa?”

“Takut tidak bisa pulang!”

“Kalau masa hukumannya selesai bisa pulang kok! Tapi ya itu... karena kasus pembunuhan bisa bisa lama di penjaranya!”

“Saya tidak bisa pulang!”

“Bisa... tapi nanti kalau hukumannya selesai!” jawab bu Saripah.

Perempuan itu menangis. 

“Saya tertahan disini... saya terperangkap... tidak bisa pulang!”

“Sudahlah nggak usah nangis... sini duduk dekat ibu, kita bisa ngobrol atau curhat... kalau istilah anak muda sekarang kayak gitu... c-u-r-h-a-t!”

Saat itulah, bu Saripah melihat pemandangan yang mengerikan. Perempuan itu mendongakkan kepala dan berdiri bangkit mau menuju ke tempatnya duduk. Ternyata perempuan itu berwajah mengerikan, rambutnya yang panjang awut-awutan dia sibakkan sehingga bu Saripah bisa menangkap raut mukanya itu. Sangat pucat! Kedua matanya merah menyala seperti orang menahan amarah dan kekecewaan. Di lehernya terkalung sebuah tali, dan dia tidak berjalan melangkah namun melayang di udara. Bu Saripah menjerit histeris saking takutnya, dia lalu tidak sadarkan diri.

Ternyata bertahun-tahun lalu ada seorang penghuni sel yang gantung diri disitu. Saat itu dia sendirian sehingga tidak ketahuan. Namun polisi tidak menceritakan kejadian itu kepada bu Saripah yang dikhawatirkan akan membuatnya semakin depresi. Mereka hanya meminta untuk lebih mendekatkan kepada Yang Maha Kuasa dan banyak melakukan shalat. Sesekali polisi yang jaga juga menyambangi bu Saripah untuk melihat keadaanya.

Ibu-ibu dan pedagang sayuran termasuk diriku terdiam terpaku mendengar penjelasan bu Sumiati. Benar-benar tidak menyangka kalau bu Saripah akan mengalami kejadian yang mengerikan seperti itu. Kami semua hanya berharap semoga dia sanggup dan kuat menjalani itu semua.

No comments:

Post a Comment

La Planchada