Kejadian itu terjadi saat aku ke Bali, ada tugas dari kantor untuk menemui beberapa toko pakaian di sana. Aku adalah karyawan marketing di sebuah perusahaan pakaian jadi atau lebih afdol disebut garment. Perusahaan tempatku bekerja memproduksi aneka pakaian jadi berupa atasan dan bawahan motif bunga-bunga sepatu yang eksotis dan disukai turis-turis asing, tas-tas selempang dari bahan kain dan masih banyak lagi.
Sebagian produk adalah desain kami sendiri tapi sebagian lainnya adalah pesanan para pembeli yang membawa gambar desain mereka. Tidak masalah bagi kami untuk memproduksi barang tersebut, tapi biasanya ada kesepakatan bahwa desain itu tidak boleh digunakan selain bagi si pemesan.
“Suryawati dari PT Java-sehati!” ucapku pada seorang resepsionis hotel tempat aku akan menginap. Sekretaris di kantor sudah membuat reservasi sebelumnya.
“Oh iya. Untuk empat hari tiga malam ya, Bu!” jawab si resepsionis.
“Iya!” kataku sambil menyerahkan kartu identitas diri.
Setelah mendapat kunci aku segera bergegas menuju kamar dengan nomor seperti yang tertera. Tidak banyak barang yang aku bawa selain sebuah tas besar berisi pakaian dan sebuah tas kerja berisi katalog dan contoh pakaian jadi produksi perusahaan kami. Kamarku ada di lantai tiga, hotel tempat aku menginap memang tergolong berbintang. Ada tersedia banyak kamar dan fasilitas lainnya.
Masuk ke kamar, aku menaruh tas di dalam almari, kusibakkan gorden jendela, dari balik kaca aku bisa melihat pemandangan di bawahnya. Ada sebuah kolam renang ukuran besar di tengah tengah bangunan ini, dan banyak orang baik wisatawan nusantara maupun mancanegara yang asyik berenang di kolam itu.
Karena cukup lelah, aku putuskan rebahan dulu di tempat tidur, aku berangkat dari Yogyakarta tadi siang, karena paginya rapat dulu di kantor. Belum sempat aku memejamkan mata, handphone-ku berbunyi, aku segera mengambilnya dari dalam tas.
“Hallo!” ucapku.
“Ibu Suryawati? Ini Wanda, ada pesan dari boss, ibu diminta membuka email karena boss baru saja email ke Bu Suryawati!” terang Wanda, sekretaris kantor. “Ini Wanda hanya memberitahukan saja, Bu!” lanjutnya.
“Terimakasih Wanda!”
“Baik Bu, saya tutup dulu telponnya. Selamat sore Bu!” balasnya sambil mematikan telepon.
Ah boss, mengapa tidak dari pagi tadi saat mengadakan rapat sih? Aku menggerutu dalam hati, setelah membuka laptop memang ada sebuah pesan masuk dan ada lampirannya juga. Ternyata boss menggaris bawahi bahwa model pembayaran harus lebih ketat lagi, maklum beberapa art shop seringkali lambat dalam hal pembayaran, itu membuat perusahaan kesulitan menjalankan cash flow-nya.
Belum selesai aku membaca email dari Wanda, ada telepon masuk lagi. Kupikir itu dari dia lagi, eh ternyata bukan. Di layar handphone tertera nama Setyawati. Dia itu adikku yang kuliah di Surabaya, dia sudah semester enam dan sekarang lagi libur. Aku bisa memprediksi kalau dia akan ikutan ke Bali.
“Hallo... Kak Surya!” sapa Setya dari seberang.
“Setya, ada apa? Aku lagi ke Bali nih ada tugas dari kantor!” terangku sambil terus membaca email.
“Yaah... ke Bali kok nggak bilang-bilang sih!” celetuk adikku itu.
Aku tersenyum, “Cuma tugas kantor, masak mesti bilang-bilang sih, kayak pejabat penting aja!” balasku setengah bercanda.
“Bukan begitu Kak Surya...! Aku kan lagi libur jadi ada waktu yang longgar kan? Aku bisa nyusul kesitu buat nemenin Kakak... heheh!” suara Setya terdengar merajuk.
Yaahhh... mulai deh, tapi kupikir-pikir tak apalah. Justru aku senang karena ada teman di sini daripada bengong sendiri di kamar. Setya juga sudah dewasa jadi dia bisa menjaga diri kalau aku tinggal bekerja.
“Boleh aja sih, tapi kakak nggak bisa menemani kamu seharian lho... kakak kan kerja...” jawabku, “Tapi sudah pamit dan minta ijin Bunda kan?” lanjutku.
“Bunda kan lagi pergi mengunjungi mas Sugeng di Jakarta, mungkin sekitar satu mingguan. Aku bengong di kost sendirian, tidak ada teman... pada mudik sih!”
“Oh jadi kamu nggak mudik karena Bunda ke rumah mas Sugeng ya? Ya udah... kamu kesini saja, aku menginap di...!”.
“Sebentar aku ambil pena.” potong Setya.
Dia mencatat nama dan alamat hotel yang aku berikan, kemudian katanya, “Ok deh, aku kesana besok sore!”
“Perlu dijemput nggak nih?” tanyaku.
“Nggak usah, aku naik taksi saja dari bandara ke hotel tempat Kakak menginap!”
Setelah ngobrol sebentar, kami memutuskan pembicaraan karena aku masih ada tugas dan Setya mesti mengemasi barang-barang serta membeli tiket ke Bali.
Ah senangnya jadi Setya, sebagai anak bungsu dia mendapat banyak kemudahan, bagaimana tidak? Kakak-kakaknya sudah pada bekerja, jadi dia sering dapat uang dari sana sini selain dari Bunda. Beda dengan aku dulu, waktu aku kuliah ada dua kakak yang juga kuliah... sehingga Bunda mesti memeras otak untuk mencukup-cukupkan hasil pensiun mendiang ayah.
Malam itu, setelah aku mempersiapkan berkas-berkas yang akan kubawa esok aku mencoba untuk tidur, agar aku merasa segar keesokan paginya. Kalau kurang tidur, mata jadi sembab, badan kurang fit dan buat berpikir juga susah. Namun dalam kondisi setengah terjaga aku merasa ada suara tangisan lirih.
Kucoba untuk membuka mata agar lebih bisa menangkap suara itu dan buat meyakinkaku apakah suara itu benar adanya ataukah cuma halusinasiku semata. Namun setelah aku berhasil membuka mata tidak lagi kudengar suara itu. Karena kemudian aku tidak bisa tidur akupun lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Selanjutnya aku tiduran saja di ranjang sambil menyalakan televisi, biasanya kalau melihat program acara yang tidak begitu aku suka aku akan tertidur sendiri... hahahha...
Esok paginya aku bangun karena suara alarm handphone berbunyi. Setelah mandi dan merapikan diri aku keluar untuk makan pagi yang sudah disediakan oleh pihak hotel, selanjutnya aku memesan taksi untuk membawaku keliling kota mengunjungi klien-klien perusahaan.
“Jalan Itu menuju underground ya Pak?” tanyaku kepada supir taksi.
“Iya Bu, pernah mengunjungi?” dia balik bertanya.
“Belum sih, tapi nanti setelah pekerjaan selesai dan ada waktu longgar aku akan mengunjunginya!” jawabku.
“Oh... kerja apa Bu?”
“Marketing garment, Pak. Kami memasok ke beberapa art shop di sini!”
“Sekarang kondisi Bali jauh lebih baik Bu, dibanding saat kejadian bom bali itu!”
“Pengaruhnya besar sekali ya Pak? Aku belum kerja saat itu, aku masih kuliah!”
“Wah... Bali jadi sepi. Para wisatawan jadi takut datang kesini karena tidak aman, padahal sebagian besar dari kami warga Bali menggantungkan hidup kami dari sektor pariwisata!” terang pak supir panjang lebar.
“Mmhmm...” aku mengangguk setuju. Memang dari berita di koran yang aku baca dulu serta tayangan di televisi, kondisi Bali pasca bom Bali menjadi lesu, banyak wisatawan yang membatalkan kunjungannya, roda perekonomian pun terganggu karena Bali merupakan kota tujuan wisata, sektor pariwisata mendominasi kegiatan penduduknya.
“Semoga kejadian itu tidak terjadi lagi Pak, kita semua jadi susah!” kataku.
“Iya Bu! Bukan hanya perekonomian yang jatuh, tapi bahkan banyak kejadian mistis Bu. Setelah beberapa bulan pasca kejadian, masih ada saja kisah angker yang terjadi. Hal ini diakui oleh beberapa supir taksi di kawasan Denpasar. Mereka memilih untuk tidak mau mengantar bule dengan alasan tertentu. Konon ada seorang supir taksi yang mengangkut seorang bule dari rumah sakit ke sebuah hotel berbintang di kawasan Nusa Dua. Saat itu malam hari, dan ketika sudah dekat lokasi tujuan sang supir menyadari tak ada penumpang di belakangnya. Yang ada hanyalah bau anyir darah dan daging gosong menyengat yang mengerikan. Hiiii... ngeri Bu!” cerita supir taksi panjang lebar.
Aku yang mendengar ceritanya ikutan merinding. Dalam hati aku merencanakan akan mengunjungi underground itu bersama Setya. Ingin turut mengenang, dan berdoa semoga arwah para korban diterima disisiNya juga berharap kejadian yang merugikan diri bangsa kita tidak terulang lagi karena ulah segelintir orang mengatas namakan agama untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya jauh dari ajaran.
Hari pertama aku awali dengan mengunjungi lima buah art shop yang tersebar di sepanjang jalan ini, keesokan harinya aku juga akan mendatangi tiga toko yang tersisa lainnya. Jadi di hari ketiga aku bebas, ada waktu luang buat aku dan Setya jalan-jalan dan mencari oleh-oleh.
Kegiatan di lima art shop di hari itu menghabiskan waktu seharian. Sore menjelang petang aku baru tiba kembali ke hotel. Setelah mengisi perut di restaurant hotel buat makan malam, aku kembali ke kamar. Agenda malam itu cuma satu yaitu tidur!! Aku lelah sekali setelah seharian bekerja.
Anehnya, kejadian kemarin malam terulang kembali, aku mendengar tangisan lirih itu lagi. Suara itu terdengar berasal dari dalam kamar ini, meski mengantuk berat telingaku masih bisa menangkapnya, sepertinya berasal dari arah kamar mandi. Namun kali ini aku tidak bangun, sebab aku merasa mungkin itu cuma telingaku saja yang bermasalah... paling juga pikiranku sendiri yang berkhayal karena kelelahan dan mata belum sepenuhnya terpejam.
Akan tetapi... saat tanpa sengaja kepalaku memutar ke arah kamar mandi, secara samar aku melihat ada seorang wanita bule keluar dari kamar itu sambil menangis lirih, aku tidak bisa melihat wajahnya karena rambut pirangnya tergerai ke depan menutupi muka, hanya saja ada yang aneh dengan kondisi tubuhnya... ya tubuhnya tidak lengkap dan rusak. Aku mencoba membuka mata dan berusaha terjaga, tapi sosok wanita itu menghilang menembus dinding kamar hotel -hanya meninggalkan bau gosong dan anyir darah, jadi sia-sia saja aku memaksakan diri untuk sadar.
Aku bingung dan heran, tidak percaya dengan yang aku lihat, apakah hal itu nyata atau hanya permainan pikiranku saja? Aku berdoa dalam hati dan memohon pada Tuhan agar aku bisa tidur dengan tenang dan nyenyak.
Keesokan paginya aku melanjutkan tugas mengunjungi sisa art shop yang kemarin belum sempat kusambangi. Kuharap sorenya semua agenda tugasku selesai. Dan rencanaku berhasil, sore hari semua sudah kelar, akupun langsung menuju ke hotel tempat aku menginap karena tadi Setya sms kalau sore ini dia akan langsung ke hotel. Dan ternyata benar sesampai di lobby saat aku mau mengambil kunci kamar, resepsionis memberitahu kalau ada seseorang yang menungguku.
“Setya...!” seruku. Kulihat dia sedang duduk di sofa lobby sambil membaca koran.
“Kak Surya...!” balasnya riang, dia lalu mengembalikan koran di tempatnya dan berdiri untuk menyambutku.
Kami berangkulan dan tertawa bersama.
“Kenapa nggak bilang kalau sudah sampai, kelamaan nunggunya nggak nih?” tanyaku sambil mengguncangkan bahunya.
“Ah belum lama kok, aku sengaja nggak telpon Kakak, takut mengganggu kerja Kakak!” jawabnya kalem.
Kucubit dia dan kuajak ke kamar, “Kita ke kamar saja biar lebih bebas ngobrol, kalau di sini mau berbicara keras kan malu...!”
“Yoi...!” balas Setya.
Kami berdua lalu berjalan bersama menuju kamar tempat aku menginap, senang rasanya ada yang menemani di sini.
“Numpang tiduran dulu ah...!” seru Setya begitu kami sampai di dalam.
“Iya silakan, aku tinggal mandi dulu ya? Gerah nih!” aku menaruh tas kerja di atas meja dan meninggalkan adikku.
Selesai mandi kuhampiri Setya, “Kamu mau mandi nggak?”
“Ya jelas dong, biar badan jadi segar!” katanya sambil diiringi tawa kecil, dia lalu bangkit dari ranjang dan bergegas menuju kamar mandi. Tak seberapa lama suara gemericik air terdengar.
“Nanti malam kita mau kemana nih?” tanyanya setelah selesai mandi.
“Kalau makan di luar aja gimana? Esoknya baru seharian kita menghabiskan waktu, aku lelah sekali nih!” jawabku dengan nada lesu, aku memang kelelahan setelah bekerja seharian. Mendingan tenaga disimpan buat esok hari.
“Aku juga capai kok, ok acara malam ini makan di luar aja lalu tidur, besok baru kita jalan!”
Malam itu kami keluar untuk makan di sebuah rumah makan khas masakan Bali. Setelahnya kami kembali ke hotel untuk berisitirahat.
“Masakan di rumah makan tadi enak ya!” seru Setya, “Bisa buat referensi kalau ada acara wisata ke Bali!”
“Ajak dong pacarmu... buat mencicipi makanan referensimu! Lumayan kan sekalian buat promosi kalau kamu suka makan!” selorohku.
“Mestinya Kak Surya dong yang promosi ke pacar Kakak!” balasnya.
“Belum laku nih... belum ada pacar!”
Kami berdua lalu tertawa.
“Sudahlah Kak, nanti kalau sudah waktunya pasti juga akan datang sendiri, Tuhan sudah mengatur semuanya!” urai Setya bijak.
Aku mengangguk setuju, “Doanya ya... biar cepat dapat pendamping!”
Malam itu kami tidur bersama di kamar ini, aku sangat kelelahan sehingga aku cepat tertidur dengan pulas, tampaknya sih Setya juga demikian, tapi aku kurang tahu pasti.
Namun di saat aku terbuai tidur yang nyenyak, bahuku diguncang-guncang olehnya.
“Ehmm... eh... mhmm... ada apa?” tanyaku sambil menguap, aku masih mengantuk berat.
Dengan mata sedikit terpejam kulihat Setya yang tampak ketakutan.
“Kamu kenapa?” tanyaku lagi, kali ini mencoba untuk membuka mata.
“Aku... aku... lihat hantu...!” kata Setya terbata-bata.
“Hantu??” seruku terkejut, mulutku sampai melongo, “Beneran nih?”
Setya mengangguk cepat, dengan gemetaran tangannya menunjuk ke arah kamar mandi, “Tuh dari sana!”
“Ok, sekarang kamu cerita ya ke aku? Pelan-pelan saja, sebentar aku ambilkan minum!” aku bangun dari ranjang dan mengambil air mineral yang ada di meja, lalu kuberikan padanya. Setya minum beberapa tegukan, dia jadi agak mendingan.
Setelah lumayan tenang dia lalu bercerita,
“Waktu itu aku lagi tidur, tapi tiba-tiba aku mendengar tangisan lirih. Kupikir aku lagi mimpi, makanya aku tidak hirau dan tetap melanjutkan tidurku. Namun karena aku kehausan aku bermaksud mengambil air mineral dari atas meja. Eeh... tanpa sengaja mataku menangkap sosok wanita bule muncul dari kamar mandi. tapi kondisi tubuhnya tidak lengkap dan rusak, dia berjalan menuju dinding dan menerobosnya begitu saja, setelah itu bau gosong dan anyir darah tercium sangat kuat... hiiii... aku takut sekali.”
Kuusap kepala Setya dengan lembut untuk menenangkannya, di benakku aku berkata,
“Kok ceritanya mirip dengan yang aku alami? Berarti yang aku lihat malam kemarin benar adanya.”
Tapi aku memutuskan menunda menceritakan kejadian itu, takutnya nanti Setya jadi tambah senewen, dia itu tipe cewek penakut, dia pasti nggak mau tidur di sini kalau aku ceritakan sekarang. Toh besok kita sudah akan check out.
“Sudahlah Setya, kita tidur lagi saja!” pintaku.
“Mana aku bisa tidur kalau kamar ini berhantu!” ucapnya cemberut.
Wah repot nih kalau dia minta pindah kamar, kutengok jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari, masak dini hari begini mau pindahan kamar. Malas ah. Aku sendiri kurang tertarik dengan cerita hantu, bagiku dunia hantu berbeda dengan dunia kita. Tuhan pasti sudah menggariskan secara terpisah. Jadi hantu tidak akan bisa mengganggu kita, mungkin cuma penampakan penampakan kecil lalu akan menghilang dengan sendirinya. Bagiku itu bukan masalah besar, cuek saja dan ditangkal dengan doa-doa pasti akan berlalu.
“Ya sudah kalau begitu kita menonton televisi aja menunggu pagi menjelang!” usulku mencoba mencari solusi agar Setya tenang.
Tampaknya dia setuju meski hanya anggukan kecil saja. Aku lalu mengambil remote televisi dan mencari saluran yang ada.
“Ada film dari jaringan televisi asing nih! Mau lihat nggak? kayaknya juga baru mulai tuh!” aku menawarinya melihat sebuah tayangan film.
“Boleh, tapi kamu jangan tidur ya? Kita sama-sama menonton!” pintanya merajuk.
“Beres, aku juga terlanjur terjaga nih, nggak bisa tidur lagi!” hiburku kepadanya.
Lalu kami berdua sama-sama menonton film itu, kelihatannya sih Setya belum sepenuhnya bisa melupakan kejadian tadi, karena dia tampak masih sedikit risau, seringkali kali aku memergokinya menengok ke arah kamar mandi dan dinding kamar ini seolah-olah ia khawatir hantu itu akan nongol lagi.
Dalam hati aku sendiri juga bimbang mau menceritakan kejadian yang kualami dua malam itu ataukah tidak. Kadang kita perlu sedikit berbohong agar ketenangan dapat terkendali daripada menceritakan yang sebenarnya tapi membuat kacau suasana. Apalagi menghadapi Setya yang super penakut itu. Pandangan mataku memang tertuju ke arah layar televisi, tapi pikiranku melayang ke hantu wanita bule itu? Ada kejadian apa dengannya? Mungkinkah dia korban bom bali itu dan sebelum meninggal dia sempat menginap di hotel ini? Banyak pertanyaan yang muncul tapi kucoba untuk aku tepiskan, lebih baik aku fokus dengan kehidupanku sendiri.
No comments:
Post a Comment