Wednesday, October 30, 2019

HANTU ANAK KOST


Aku baru saja turun dari bis di sebuah terminal yang cukup terkenal di ibu kota, dan segera berjalan menuju lokasi yang sebelumnya sudah diberitahukan oleh temanku, Andi. Dia memintaku untuk menunggu di situ sampai dia datang menjemput, karena kalau saling mencari bakalan nggak ketemu. Andi memang benar, ketika mataku menatap ke arah lalu lalang orang yang begitu banyak di hadapanku –sulit rasanya menebak Andi yang mana. 

“Hai… Bagus…!” seru seseorang memanggilku. 

Aku terkejut, ternyata Andi sudah berdiri sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri, kulihat ia sedang melambaikan tangannya. Akupun segera berlari ke arahnya dengan tas ransel berisi beberapa potong pakaian menggantung di pundakku.

“Terima kasih sudah menjemput!” ucapku senang. 

Bisa kubayangkan bila aku tidak dijemput, wah… bisa senewen karena aku sama sekali belum pernah ke ibukota.

“Sama-sama…!” balasnya seraya menepuk bahuku. Kami lalu bersama-sama berjalan keluar dari terminal.

“Kok aku nggak lihat kamu ya tadi, padahal aku sudah lihat sekeliling lho!” kataku.

“Yah… begitulah kalau ada banyak orang! Kayak kerumunan semut kan?” jawabnya.

“Tapi nanti lama-lama juga terbiasa kok!” lanjutnya.

“Iya sih... kalau diterima kerja di sini! Kalau enggak ya mending balik ke kampung saja!” ujarku santai.

Andi tertawa, “Ya, iyalah… biaya hidup di ibukota sini kan mahal banget! Jadi, kalau nggak punya penghasilan mending balik ke kampung saja!”

Ternyata Andi membawa motor sendiri, kami lalu berboncengan menuju ke tempat kost-nya. Sebelum sampai tujuan, kami mampir sebentar untuk makan di warung pecel lele.

“Kita sekalian makan aja Gus! Karena kalau sudah sampai di tempat kost nanti, dan kemudian mesti keluar lagi untuk membeli nasi bungkus atau entah apa yang bisa dimakan, wah… malas. 

“Soalnya jalanan di ibukota sering macet, jadinya aku malas keluar rumah!” kata Andi sambil membimbingku masuk ke dalam warung.

“Aku ikut sajalah, kamu yang lebih tahu kondisi kota ini!” jawabku ringan. 

Kami lalu makan bersama dengan lahap. Aku sudah kelaparan sejak tadi di dalam bus. Andi juga tampak menikmati makan malamnya. Mungkin dia juga kelaparan seperti halnya aku.

Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat kost Andi, dan itu benar-benar menghabiskan energi karena jalanan macet, mau bergerak satu dua meter ke depan pun mesti berebut jalan dengan pengendara lain. Masih untung Andi pakai motor sehingga bisa fleksible dan leluasa mengikuti luangya jalan yang sempit karena tertutup banyak kendaraan. Sekilas aku sempat melihat banyak sekali mobil yang mesti jalan di tempat karena susah bergerak.

Sesampainya di tempat kost, hari sudah malam, Andi memasukkan motor ke garasi lalu mengajakku masuk ke dalam kamar kost-nya.

“Itu kamar mandinya ada di ujung deretan kamar kost ini!” dia menunjuk ke sebelah kanan deretan kost. Ada sekitar lima kamar setelah kamar Andi. 

Setelah menaruh barang di dalam kamar aku segera bergegas menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Seharian di dalam bus membuatku merasa sangat gerah, apalagi hawa panas kota Jakarta yang begitu menyengat. Aku jadi teringat kampung halamanku di sebuah pedesaan kecil di Jawa Tengah. Jam-jam segini tentu sudah terasa dingin. Sehabis mandi aku kembali ke dalam kamar kost dan ngobrol sejenak dengan Andi. 

“Aku tidur dulu ya, ngantuk nih!” ucap Andi sambil menguap beberapa kali. 

Aku mengangguk karena aku juga sudah mengantuk. Andi naik ke tempat tidur dan aku menggelar kasur lipat di samping meja.

Malam itu cuaca panas dan gerah, membuatku tidak bisa tidur, padahal sudah menghidupkan kipas angin. Kayaknya angin dari kipas yang berputar itu tidak sanggup menghalau panasnya cuaca. Kulihat Andi nyenyak sekali tidurnya, mungkin dia lelah setelah seharian kerja dan sorenya mesti menjemputku pula. 

Ya… aku datang ke Jakarta untuk test wawancara kerja di salah satu perusahaan di ibukota. Untung ada Andi, teman baikku yang tinggal dan bekerja di ibukota, jadi aku bisa menghemat uang untuk penginapan dan tidak perlu repot cari-cari lokasi perusahaan itu, Andi sudah hapal dengan wilayah yang akan kutuju dan sudah memberiku denah serta rute transportasinya.

Karena mata sulit dipejamkan, aku keluar kamar, lalu duduk-duduk di depan kamar kost untuk menikmati malam. Meski sudah malam, suasana kota malah lebih hidup dan ramai. Kupalingkan mata ke arah kamar-kamar kost yang lain, semuanya sudah tertutup. Yah… begitulah, kebanyakan penghuni kost ini kalangan pekerja, jadi nggak bisalah mau begadang semalaman kecuali pas hari libur.

Kost yang ditempati Andi bukanlah termasuk kost yang mahal, jadi fasilitas yang tersedia juga apa adanya. Selain itu, tempatnya juga berada di tengah perkampungan penduduk yang padat, tidak ada akses jalan mobil karena hanya cukup buat lewat sepeda motor, itupun juga mesti berhati-hati kalau lewat bila tidak ingin spion-nya nyerempet tembok rumah penduduk. Namun kelebihan kost ini adalah terletak di tengah kota yang strategis, sehingga mau kemana saja mudah. 

Di saat aku termenung menikmati suasana malam, tiba-tiba pundakku seperti ditepuk seseorang. Akupun menoleh, ternyata sudah ada seorang pria muda sepantaran usiaku tersenyum dan duduk di sebelahku. Akupun sedikit bergeser untuk memberi cukup ruang baginya.

“Belum tidur?” tanyanya ramah. 

“Kok aku belum pernah lihat kamu ya?” tanyanya lagi.

“Iya nih nggak bisa tidur, aku temannya Andi. Numpang beberapa hari di sini karena mau test wawancara kerja…” 

Lalu kami pun hanyut dengan cerita masing-masing. Aku cerita soal sulitnya cari pekerjaan dan test wawancara yang akan aku jalani esok harinya. Sedangkan dia sudah bekerja di sebuah club dan banyak bercerita soal pekerjaanya. Sama seperti Andi, dia juga orang perantauan. Tak terasa malam terus merambat, akupun lalu undur diri untuk kembali ke kamar. Aku ingin cukup istirahat agar terlihat segar esok harinya. Sesaat sebelum masuk ke dalam kamar, sekilas kulihat laki-laki itu masih duduk di teras.

“Kok dia enggak tidur ya? Apa nggak kecapaian setelah seharian kerja?” aku bertanya dalam hati. Tapi sudahlah, itu bukan urusankui.

Aku bangun pagi-pagi, setelah mandi dan sarapan aku berganti pakaian yang sesuai untuk test wawancara. Aku sebenarnya mau pamit sama Andi untuk pergi test wawancara, tapi ketika kulihat Andi membuka almari pakaiannya dan aku melihat sebuah photo tertempel di pintu almari itu, akupun bertanya.

“Foto wisata kemana nih?” tanyaku saat kulihat di foto itu ada beberapa pria muda, salah satunya Andi.
“Oh itu di Ancol, kapan-kapan kalau kita punya waktu luang, aku bisa antar kamu kesana”

“Mmh…” gumamku.

“Kalau yang ini? Sudah lama kost di sini?” tanyaku seraya jariku menunjuk ke arah foto seorang pria yang tadi malam berbincang-bincang denganku di teras. Di foto itu, dia tampak gembira, kelihatannya dia sangat menikmati liburannya.

“Dia itu Anton, teman sekamarku dulu. Kami patungan menyewa kamar kost agar bisa berhemat biaya. 
“Tapi…” 

Andi tidak melanjutkan ucapannya, dia lalu memandang sejenak foto itu, raut mukanya berubah menjadi sedih. Dia lalu bercerita bahwa temannya itu dulu bekerja di sebuah club tapi telah meninggal karena terjadi kerusuhan di tempat kerjanya, dia menjadi korban salah sasaran beberapa bulan silam.

“Dia berada di tempat dan waktu yang salah! Akhirnya menjadi korban dan nyawanya melayang sia-sia!” tutupnya dengan sendu.

Tiba-tiba lidahku kelu, tidak bisa berkata apa-apa. Ingatanku kembali ke tadi malam saat aku duduk di depan kamar kost ini dan berbincang panjang lebar dengannya, sebenarnya aku ingin berbagi cerita dengan Andi soal kejadian semalam itu, 

Tapi…

Ah… lebih baik aku urungkan, aku tidak ingin merusak suasana, biarlah ini menjadi pengalamanku saja.

No comments:

Post a Comment

La Planchada