Kisah ini merupakan pengalaman pribadiku ketika sedang bepergian ke Surabaya dengan naik bus malam. Aku berangkat dari rumahku di Kutoarjo pada jam 17.00. Waktu itu aku tidak beristirahat sama sekali sejak berangkat ke kantor di pagi hari dan pulang ke rumah jam 16.30 sore harinya. Praktis aku hanya mempunyai waktu kurang dari 1 jam untuk berbenah dan mempersiapkan keberangkatanku ke Surabaya.
Begitulah, karena lelah setelah seharian bekerja dan kurang istirahat, sehingga begitu naik ke dalam bus, aku langsung mencari tempat duduk sesuai yang tertera di tiketku, menyimpan barang bawaanku di loker atas, dan segera tertidur di kursi yang lumayan empuk bagi orang yang sedang kelelahan sepertiku.
Begitu lelapnya aku, sehingga tidak mendengar ketika pak kondektur berulang kali mendatangi kursiku untuk menanyakan tiketku, aku bahkan tidak menyadari setiap kali bus berhenti di pom bensin atau karena hal lain. Hingga akhirnya aku terbangun dengan tiba-tiba karena bus yang kutumpangi berhenti mendadak dengan bunyi rem yang terdengar sangat tidak merdu di telinga. Usut punya usut, ternyata pak sopir berusaha menghindari agar tidak menabrak seekor sapi yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana.
Kala itu, jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 12:00 tengah malam. Menurut para orang tua jaman dahulu, tengah malam adalah waktu yang paling disukai para makhluk ghaib untuk keluar dan mengganggu manusia.
“Ah, jangan-jangan sapi tadi bisa saja jelmaan makhluk halus yang ingin mengganggu manusia…?” gumamku dalam hati.
Namun setelah kupikir lebih mendalam lagi, menurutku tak ada seorangpun yang bisa mengetahui kapan sebenarnya para makhluk ini akan keluar untuk mulai “beraktivitas”, pikirku sambil mengedip-ngedipkan mata karena masih mengantuk.
Ya, benar… aku memang benar-benar masih mengantuk sekalipun sudah mendapatkan “shock therapy” dari seekor sapi yang menyeberang jalan sembarangan. Apalagi ketika aku merasakan kepala mulai berdengung dan mata mulai berair, seharusnya ini adalah waktu yang tepat untuk merebahkan kepala di bantal yang empuk dan memejamkan mata.
Tapi untunglah tak lama kemudian bus menepi dan masuk ke halaman sebuah area transit yang cukup luas dengan berbagai fasilitas pendukung yang lengkap di dalamnya. Dari balik tirai jendela bus malam yang kunaiki, sepintas aku bisa melihat bahwa di situ tersedia restoran, tempat ibadah, toilet, booth telepon, minimarket, dan free wi-fi.
Tapi satu-satunya fasilitas yang menarik hatiku adalah restorannya. Aku sudah tidak sabar untuk segera meneguk secangkir kopi hitam agar rasa kantuk dan penat yang seharian ini hinggap di badanku segera sirna.
Dan akhirnya bus pun berhenti dan parkir tepat di samping restoran. Aku pun buru-buru turun dan segera berjalan menuju ke sana. Sampai di restoran lebih kurang jam 12:15 malam. Banyak juga yang masih belum tidur di malam yang dingin begini.
Namun begitu menginjakkan kaki ke dalam restoran, tiba-tiba kurasakan dadaku berdebar-debar.
“Ada apa ini?” pikirku dengan heran.
Aku sempat mengentikan langkahku untuk sementara, dan setelah kurasa agak nyaman, segera kucari kursi yang terdekat dari tempatku berdiri. Dan akupun segera duduk di sana. Kusandarkan punggungku di kursi yang tidak begitu nyaman itu dan mulai memesan kopi hitam.
Sementara menunggu kopi pesananku datang, mataku mulai memperhatikan sekeliling restoran hingga ke langit-langit ruangan. Entah bagaimana, tiba-tiba mataku tertuju ke arah pintu masuk. Aneh, mengapa hatiku menjadi resah. Mungkin salah lihat tetapi rasanya aku seperti melihat sebuah botol kecil diselipkan di ventilasi di atas pintu masuk restoran itu. Tak terasa bulu romaku pun meremang.
Mataku terus memandangi sekeliling restoran lalu kembali kuperhatikan pintu masuk itu. Di situ kulihat semacam bayangan hitam yang setelah kuperhatikan baik-baik ternyata seorang perempuan berpakaian serba hitam sedang berdiri bersandar di pintu masuk restoran. Matanya memperhatikan setiap pelanggan yang datang. Sesekali tubuhnya diayun ke kiri dan kanan, sehingga terlihat seperti goyangan monyet di kebun binatang ketika dilempari kacang.
Rambutnya yang panjang tergerai dibiarkan acak-acakan, tampak kusut seperti tidak pernah keramas. Wajahnya pun gelap dan bopeng-bopeng, seakan terlalu sering terpapar sengatan mentari di siang hari. Tangannya juga terlihat seperti tongkat yang dibalut plastik tipis… sangat kurus!!
Ia melambai-lambaikan tangannya hingga menyentuh kepala setiap pelanggan yang baru masuk.
“Ini kopinya, Pak. Apakah Bapak ingin makan sesuatu?”
Tiba-tiba terdengar suara pelayan restoran menyapaku. Sebuah cangkir berisi kopi hitam telah diletakkan di atas meja dan tertumpah sedikit. Suara si pelayan restoran telah membuatku menoleh ke arahnya. Di dalam hati aku merasa agak kesal dengan layanan restoran ini.
“Tidak, terima kasih.” jawabku dingin.
Setelah si pelayan pergi, mataku kembali mengerling ke arah perempuan berpakaian serba hitam tadi. Ah, rupanya ia telah pergi, entah ke mana. Aku pun jadi teringat nasehat para tetua tentang keselamatan duniawi,
“Lidah mulai dilagakan ke lelangit”
Yang artinya; sekiranya lelangit tidak terasa apa-apa dan lidah terasa kebas, maka sebaiknya menghindari memakan atau meminum segala yang terhidang.
Begitu juga dengan perihal merasakan sesuatu di bawah bekas minuman atau makanan. Yang artinya kurang lebih adalah; Ketika disajikan minuman panas, namun dibawah cawan atau bekas minuman itu terasa sejuk, maka sebaiknya hindari untuk meminumnya. Begitu juga sebaliknya.
Sebelum menyentuh minuman, aku sengaja membaca beberapa ayat suci, sehingga rasa berdebar di dada pun berkurang, dan pikiranku menjadi agak tenang. Kemudian aku mengulurkan tangan ke arah mug minuman. Namun tiba-tiba,
“PRAKKK…!!”
Cangkir kopi itu langsung retak dan terbelah begitu tersentuh oleh tanganku.
Dalam sekejap mata kopi hitam panas mulai tumpah dan mengalir ke bawah hampir mengenai kakiku. Aneh, mataku secara spontan melihat ke arah pintu masuk restoran. Di sana kulihat bayangan hitam tadi menunjukkan diri dan berayun ke kiri dan kanan.
Suara berisik dari cangkir yang terbelah tadi membuat sang pengurus restoran yang duduk di belakang meja kasir berlari ke arah mejaku dan menyuruh salah seorang pelayan restoran untuk membersihkan pecahan cangkir beserta kopi yang tumpah. Aku pun segera mengeluarkan dompet, ingin membayar harga minuman dan segera pergi, tapi ditolak dengan alasan kopi tadi belum sempat diminum. Malah hendak diganti tanpa perlu membayar sepeserpun.
Aku hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kejadian yang baru saja menimpaku. Aku harus lebih berhati-hati karena ada yang sedang memperhatikan dan menguji di restoran-restoran malam semacam ini. Aku segera beranjak hendak keluar. Apa yang barusan terjadi menimbulkan rasa kurang senang kepada pengurus restoran. Entah apa yang dikatakan, aku pun tidak tahu, tapi dari raut mukanya, rasa tidak senang memang jelas kelihatan.
Aku sempat menoleh ke arahnya seraya memberitahu agar membuang botol yang diselipkan di sela-sela ventilasi di atas pintu masuk dan kemudian aku bergegas meninggalkan restoran itu. Mungkin terperanjat dengan apa yang barusan kukatakan, pengurus restoran itu pun tak bisa berkata apa-apa.
Ketika melangkah keluar dari restoran tersebut, aku merasa seakan-akan ada yang mengikutiku dari arah belakang. Aku menoleh sedikit ke arah belakang, dan melihat ada bayangan hitam berjubah sedang mengikuti dengan perlahan. Aku berhenti sejenak dan berpikir, kemudian aku pun memutuskan untuk tidak jadi pergi. Maka aku pun melangkah kembali ke arah restoran. Aku memesan kopi hitam sekali lagi dan meminta sebotol air mineral serta beberapa butir jeruk nipis sebagai tambahan. Kali ini aku sengaja duduk membelakangi pintu masuk restoran.
Setelah menunggu beberapa saat, pesananku pun datang. Segera kuperaskan jeruk nipis ke dalam air mineral sambil membaca beberapa ayat suci serta doa memohon keselamatan dari kejahatan manusia maupun dari makhluk halus yang tidak kelihatan.
Setelah menghabiskan minuman dan membayarnya, aku pun melangkah keluar dengan membawa botol berisi campuran air mineral dan jeruk nipis di tangan. Ada semacam perasaan yang membuatku agak merinding. Aku sempat melirik sekilas ke arah belakang. Ahh... masih mengikut lagi rupanya. Aku pun mulai berhati-hati.
Terasa bagaikan ada tangan yang menghampiri perlahan-lahan dan ingin mencekik leherku dari belakang. Semakin lama semakin terasa dekat. Mulutku pun mulai komat-kamit membaca beberapa ayat suci Al-Qur'an. Kemudian botol air mineral bercampur perasan jeruk nipis mulai kubuka dan airnya kuteguk dan kutahan sejenak di dalam mulut. Setelah dirasa sudah tepat waktunya, secepat kilat aku berbalik ke arah belakang dan serentak kusemburkan air jeruk nipis yang kutahan di dalam mulut tadi ke arah bayangan hitam yang mengikutiku.
Mungkin karena terkejut, bayangan hitam tersebut spontan mengelak dan melompat ke arah salah satu tiang lampu yang berdiri tegak di pinggir jalan. Kuperhatikan matanya yang berwarna merah darah melotot marah ke arahku.
Dadaku semakin berdegup kencang. Mungkin merasa belum puas, ia masih mencoba mendekat ke tempat aku berdiri. Bagaikan terapung-apung, ia bergerak pelan ke arahku.
Dalam keadaan setengah panik, aku terus saja menyemburkan air jeruk nipis ke arah bayangan hitam itu dan ia sepertinya tetap berusaha bertahan dengan terus bergayut di tiang lampu jalan. Beberapa orang pelanggan yang ada di situ mulai memperhatikan perbuatanku yang mungkin terlihat aneh.
Mataku terus saja menatap bayangan hitam yang bergayut di tiang lampu, tanpa berkedip. Rasa geram dan seram bercampur-aduk dalam hati. Rambutnya yang tergerai panjang, melambai-lambai oleh tiupan angin. Ingin aku berteriak agar dia turun. Ingin kutanyakan siapa tuannya dan kenapa ia menggangguku. Namun, aku tidak mempunyai pengetahuan tentang bagaimana berkomunikasi dan menundukkan makhluk halus semacam ini, jadi aku pun hanya diam seribu bahasa tanpa berhenti melotot ke arahnya.
Beberapa orang pelanggan mulai bangkit dan keluar dari restoran tersebut. Mungkin mereka mulai penasaran untuk melihat “drama” siaran langsung yang tertayang di depan mata atau mungkin mereka mulai menyadari bahwa restoran tersebut menggunakan pelaris berupa makhluk halus.
Ketika mengetahui bahwa para pelanggannya keluar beramai-ramai, pengurus restoran itu pun tergopoh-gopoh keluar dan mendekatiku. Mukanya kelihatan pucat pasi. Air jeruk nipis yang masih tersisa setengah botol lagi terus saja kusemburkan ke tiang lampu tempat bayangan hitam itu sedang bergayut. Bagaikan terpaku, ia terus berdiam diri di situ.
“Bapak, jangan berbuat seperti ini dong!! Bisa berantakan bisnis saya nanti,” kata si pemilik restoran dengan kesal.
Tanpa berkata apa-apa, aku segera berlalu ke arah bus malam-ku sambil sesekali menoleh ke arah belakang untuk melihat apakah bayangan hitam itu mengikutiku lagi atau tidak.
Sebenarnya aku tadi ingin menampar si pengurus restoran tetapi tidak sampai hati. Aku bukanlah jenis orang yang suka menghalangi rezeki orang lain, walaupun aku tahu cara yang dilakukannya itu tidak benar. Sehingga ketika aku meninggalkan tempat itu, aku masih dapat melihat bayangan hitam itu bergayut di tiang lampu. Bagus! Semoga ia tidak mengikutiku sampai masuk ke dalam bus.
Hingga bus bergerak meninggalkan tempat itu, sepanjang perjalanan, aku memasang CD ayat-ayat suci untuk memberikan ketenangan, tenaga, dan semangat untukku.
Satu hal yang membuatku tak bisa berhenti berfikir adalah, apakah mereka ini tidak percaya kepada rezeki yang diturunkan oleh Allah? Mengapa sampai harus menggunakan pelaris atau “bantuan-bantuan” dari makhluk lain kalau memang makanan dan minuman yang mereka hidangkan cukup lezat dan harganya bisa bersaing?
Yang ini lebih parah, sudah makanannya tidak enak, layanannya mengecewakan pula, dan harganya pun mahal. Dan mengapa harus mengelabui mata pelanggan dengan menutup pandangan pelanggan terhadap restoran pesaing dengan bantuan makhluk halus?
Bagi mereka yang pernah menghalangi rezeki orang lain, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Terpulang kepada mereka. Biarlah mereka mendapatkan balasannnya di akhirat nanti.
Mengenai bayangan hitam berbentuk perempuan yang telah menggangguku tadi, mungkin telah kembali ke pangkuan tuannya, atau mungkin malah terkena sengatan listrik di tiang lampu tempat ia bergayut. Ah… buat apa dipikirkan, semoga saja ia benar-benar tersengat listrik, biar tahu rasa dan kapok…!!
No comments:
Post a Comment