“Di Bali ada sebuah kepercayaan, ada kalanya dimana kematian seseorang yang tubuhnya belum diaben atau minimal diupacarai akan menarik perhatian orang-orang yang berkekuatan mistis, atau orang yang meninggal secara tidak wajar dan belum diupacarai maka arwahnya akan tetap berada di tempat terakhir dia menghembuskan nafas terakhirnya.”
Aku ada tugas kantor untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh sebuah instansi di Bali selama tiga hari. Sebenarnya akomodasi sudah lengkap disediakan termasuk penginapan. Tapi aku lebih memilih tinggal menumpang tidur di rumah kakakku. Kak Anto, begitu aku biasa memanggilnya. Dia bekerja di kota ini dan sudah pula punya rumah sendiri. Sudah begitu dia masih single alias belum berkeluarga, jadinya aku lebih bebas berada di sana. Apalagi kami sama-sama lelaki, jadi klop deh. Aku dipinjami motor olehnya untuk datang dan pulang dari pelatihan. Sedang dia membawa mobil sendiri.
“Hayooo... sudah mandi belum?” hardik kak Anto mengagetkanku dari arah belakang. Dia lalu ikutan duduk di sampingku. Aku sih hanya cengar-cengir saja karena aku memang belum mandi.
Kami ada di lantai dua, di belakang ada dua kursi dimana kami sekarang duduk. Rumah kak Anto memang bertingkat. Di lantai satu terdapat garasi, kamar tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan sebuah kamar tidur. Sedang di lantai dua ada sebuah kamar tidur, ruang keluarga serta ruang menjemur pakaian. Nah di belakang ruang itu ada kursi yang menghadap keluar, kami bisa melihat pemandangan dari atas. Rumah kak Anto merupakan perumahan yang belum padat penghuni, lokasinya agak jauh dari kota, letaknya di paling ujung bagian belakang yang berbatasan dengan lahan persawahan jadinya kak Anto menempatkan kursi itu di situ. Katanya sih buat refreshing.
“Pemandangan di sini bagus kan?” serunya sambil menghirup udara pagi yang menyegarkan.
Saat itu masih pagi benar, jam belum menunjuk angka enam. Aku hanya perlu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di tempat pelatihan bila mengendarai motor. Pelatihan itu sendiri dimulai pukul delapan pagi. Jadi masih banyak waktu bagiku untuk bersantai ria.
“Iya masih bagus, bayangin bila nanti persawahan itu berubah jadi pemukiman... wah... nggak ada pemandangan bagus lagi tuh!” tukasku.
“Hahahaha... makanya sebelum berubah kita nikmati sepuasnya!” timpalnya renyah.
“Kalau sore selepas pulang kerja aku biasa duduk santai dulu di sini melihat pemandangan persawahan dan menanti detik-detik terbenamnya matahari. Indah sekali... suasana yang sepi dengan hembusan angin sepoi-sepoi menyatu dengan alam yang belum terpolusi, apalagi bila tumbuhan padi mulai tumbuh, daunnya yang hijau terhampar bak permadani...”
“Wah cocok tuh jadi penyair...” potongku menanggapi celotehan kakakku yang panjang lebar itu.
“Diceritain malah protes!” gerutunya.
“Bukan protes Kak, cuma cara Kakak menggambarkan pemandangan alam di sini seperti kisah dongeng dongeng yang aku baca di majalah anak-anak... hahahah!” sergahku diringi tawa berderai.
“Tapi memang asyik sih! Rasanya teduh melihat asrinya alam!” akhirnya memilih kata kata yang manis untuk mendukungnya karena kulihat dia mulai manyun.
“Tidak salah kakak memilih lokasi rumah di perumahan ini, bayangin aja kalau posisi rumah kakak ada di bagian depan... wah paling cuma bisa lihat pos satpam!” tambahku lagi.
Kak Anto tersenyum bangga. Dia senang aku sanjung rupanya.
“Eh kak, perempuan itu siapa sih?”
Aku mengalihkan pembicaraan, ketika kulihat seorang perempuan berlenggang di jalan yang ada di antara perumahan dan persawahan, memang sih ada pagar tinggi yang membatasi, tapi dari tempat kami duduk kami bisa melihatnya. Jalan itu tidak lebar-lebar amat hanya cukup untuk satu mobil, jadi kalau berpapasan pasti salah satu akan kerepotan, tapi kayaknya tidak ada mobil yang melintasi jalan itu karena jalan itu masih berujud tanah belum diaspal.
“Aku juga kurang tahu tuh!” jawabnya pendek.
“Memang aku sering melihatnya lewat di jalan itu di pagi dan sore atau menjelang petang. Mungkin dia bekerja dan itu rute jalannya!” tambahnya.
“Wah jangan-jangan perempuan itu memang sengaja lewat di situ biar dilirik sama Kakak!” gurauku.
“Enak aja... lihat tuh!” tangannya lalu menunjuk ke arah perempuan itu yang sudah ada beberapa meter ke depan.
“Usianya pasti sekitar empat puluhan!”
“Tapi terlihat masih seperti gadis tuh bentuk tubuhnya!” gurauku lagi... kali ini aku nggak bisa menyembunyikan rasa ingin tertawaku.
Kak Anto meninjuku pelan, lalu dia berdiri dan berkata, “Aku mau mandi dulu, sudah jam enam lebih nih, bisa terlambat kalau nanti mesti berebut kamar mandi!”
“Yoi... silakan!” jawabku pendek.
Sepeninggal kakak aku kembali menatap perempuan itu, dia memang seperti perempuan matang berusia empat puluhan. Dari tempat aku duduk aku memang bisa melihat dengan jelas.. Dia memakai baju atau mungkin seragam warna putih dibalut jaket warna coklat. Sebuah tas terselempang di pundaknya. Sepatunya jenis formal dengan hak belakang yang tidak terlalu tinggi. Rambutnya yang panjang sebahu ia biarkan lepas tergerai sehingga anginpun leluasa menerbangkan helai-helai rambutnya. Di saat aku sibuk mengamatinya, tiba-tiba wanita itu menengok ke atas ke arahku, mungkin dia merasa kalau ada orang yang mengawasinya. Buru-buru aku memalingkan muka pura-pura melihat pemandangan di bagian samping. Namun demikian aku sempat menangkap tatapan matanya. Mata itu... kenapa seperti tajam menghujamku? Ah mungkin itu cuma perasaanku saja karena aku tertangkap basah mencuri pandang ke arahnya. Begitu aku menghibur diri.
“Hayoo... gantian mandi, jangan sampai telat!”
Suara kakak memecahkan kegalauanku, aku segera beranjak dari kursi tempat aku duduk dan menuruni tangga menuju kamar mandi yang terletak di lantai bawah. Dia mengikutiku dari belakang.
“Nanti selepas mandi langsung ke ruang makan ya? Aku akan mempersiapkan sarapan roti bakar!” lanjut dia setelah kami berpisah arah, aku menuju kamar mandi dan dia menuju ruang dapur.
Benar saja, saat aku ada di ruang makan, di atas meja sudah tersedia dua piring dengan setangkup roti bakar dan selai di tengahnya. Dua cangkir teh hangat juga tersaji.
“Ayo kita sarapan!” ajaknya melihatku yang sudah berada di ruang makan. Kami lalu sarapan bersama-sama.
“Nanti aku pulang agak terlambat, kamu sudah bawa kunci candangan rumah ini kan?” tanyanya sambil membereskan piring dan cangkir dan membawanya ke wastafel dapur.
“Aku juga akan pulang terlambat ah... mau putar-putar kota dulu, cari hiburan!” candaku.
Kak Anto tertawa, “Terserah kamu aja! Asal jangan bikin masalah! Kalau itu terjadi aku nggak bakalan nolong kamu!”
Aku mencibir, aku jadi ingat beberapa tahun lalu saat aku masih duduk di kelas menengah atas. Aku pernah terlibat perkelahian antar pelajar yang mengakibatkan aku dan geng-ku diciduk aparat. Memang sih kami tidak sampai ditahan tapi orang tua mesti datang menjemput kami, jadilah sampai rumah aku dimarahi atau dinasehati ya... habis-habisan sama orang tua. Aku memang beda dengan kakkakku, meski sama-sama lelaki tapi kak Anto itu lebih kalem dan sabar, kalau aku lebih suka banyak canda dan semaunya sendiri. Tentu saja semakin kesini alias semakin tua aku juga akhirnya bisa berubah. Apalagi setelah lepas dari orang tua, aku mesti menjaga diri dan menjalani hidup dengan lebih tertib, kalau terjadi apa-apa terhadap diriku, aku sendiri yang mesti menanggungnya maklum sudah dianggap dewasa.
“Beres Kak... kebandelanku sudah mentok saat masih muda!” balasku ringan.
“Ya sudahlah... aku berangkat dulu. Tahu sendiri kan kantorku lumayan jauh dari sini!” dia lalu pergi meninggalkanku.
Dari dalam rumah aku mendengar deru mobil dari arah garasi menuju jalan perumahan lalu menghilang. Kutengok jam dinding yang tertempel di tembok, sudah menunjukan angka tujuh lewat sepuluh menit. Aku segera bangkit dan berjalan ke arah kamar tidur atas, di rumah ini ada dua kamar tidur, di bawah untuk kakak dan aku kebagian di bagian atas.
Setelah berganti pakaian dan membawa tas berisi makalah dan laptop aku segera keluar rumah. Kukunci rumah itu dan kuhidupkan mesin motor selanjutnya aku berlalu menuju tempat pelatihan. Sampai sana sudah banyak peserta yang datang. Setelah memarkir motor aku segera bergabung dengan mereka.
“Sudah siap dengan makalahnya?” tanya pak Rudi teman sejawatku.
Seharusnya aku tinggal di penginapan sekamar dengannya, tapi aku lebih memilih menumpang di rumah kakakku, lebih nyaman dan bisa ngobrol mengobati kerinduan. Untung pak Rudi tidak keberatan, apalagi aku bilang padanya kalau aku sering mengorok kalau tidur, pak Rudi lebih merasa beruntung.
“Yoi, Pak Rudi juga kan?” aku balik bertanya.
Aku memang sudah membaca makalah yang dibuat satu kelompok, tapi ya membaca sekilas saja. Menurutku kalaupun aku kurang siap toh ada teman-teman yang lain yang akan mempertahankan makalah itu... hahahah. Aku memang bandel sih.
Entah mengapa selama mengikuti pelatihan perhatianku tidak tertuju kesitu melainkan terbayang perempuan yang tadi pagi lewat di jalan belakang perumahan. Meski cuma sekilas ternyata memori tentang dia tergambar jelas di benakku. Wajah perempuan itu tidak terlalu cantik bahkan bisa dibilang biasa biasa saja. Tapi kesan misterius terpancar lewat auranya,apalagi dengan sepasang mata yang dingin laksana es, membuat wajah itu mirip yang tervisualisasikan di film-film horror itu, misterius, dingin dan tidak ada senyum sama sekali. Padahal baru kali pertama aku bertemu dengannya, sekilas pula, kok jadi begini sih? Aku jadi jengkel sendiri, aku mencoba melupakan bayangan itu dan berusaha berkonsentrasi dengan pelatihan itu.
“Sampai besok ya...!” ujar pak Rudi ketika kami berpisah di pelataran, aku akan menuju tempat parkiran dan dia akan kembali ke kamar hotel yang terletak di atas.
“Ya Pak, sama-sama!” jawabku pendek.
Senang rasanya bisa menyelesaikan tugas di hari pertama, tapi... masih ada dua hari lagi nih.!! Yah, dijalanin sajalah.
Pelatihan di hari pertama selesai jam lima sore, aku masih ada waktu untuk memantau kehadiran si perempuan misterius itu. Gila kenapa aku jadi terobsesi begini? Padahal baru tadi aku melihatnya dan kepergok pula, kenapa sekarang aku jadi penasaran ingin melihatnya lagi?
Aku segera menjalankan motor dengan kecepatan tinggi, tergesa aku ingin segera sampai rumah kak Anto. Dia bilang perempuan itu biasa lewat di pagi dan sore atau petang hari, jadi aku masih ada waktu untuk bersiap menunggu kedatangannya. Sampai rumah sudah menunjuk pukul lima lebih duapuluh menit. Setelah memasukkan motor aku segera berlari ke atas menuju kursi di ruang jemuran itu.
Aku belum sempat berganti baju karena aku nggak mau terlewat bila dia nanti lewat di jalan itu. Untung kaca mata hitam yang aku pakai saat mengendarai motor masih menempel, jadi nggak akan terlalu kelihatan kalau dia nanti mempergokiku seperti kejadian tadi pagi.
Suasana sore menjelang petang terasa sepi, maklum hampir Maghrib, biasanya orang orang sudah selesai dengan kegiatannya dan berdiam diri di rumah dulu. Di balik kaca mata hitam aku terus mengawasi jalan itu, hingga aku dikejutkan oleh suara telephon genggamku. Kulihat nama kak Anto tertera di layar handphone.
“Sore Kak...!” ucapku memberi salam.
“Sore juga, sudah pulang nih?” tanyanya dari seberang sana, suara printer komputer terdengar, tampaknya dia masih sibuk dengan pekerjaannya alias masih ada di kantor.
“Barusan sampai nih, kakak lembur ya? “ tanyaku singkat, maklum perhatianku terfokus ke arah jalan itu.
“Ya nih... payah! Bisa sampai malam. Ntar kamu makan sendiri aja di luar ya? Banyak warung tenda di luar perumahan, kalau malam berderet tuh, kamu tinggal pilih aja sesuai keinginanmu. Tapi kalau nggak selera ya kamu bisa cari alternative di pusat kota, banyak rumah makan dan restaurant...”
Aku tidak hirau dengan celotehan kakakku, urusan makan mah gampang! Asal ada uang dan ada yang jual makanan –apalagi di kota– pasti banyak penjual kan? Tinggal pilih.
“Kamu nggak dengerin ucapanku ya?” suara di seberang terdengar protes.
“Denger kok! Katanya demi kesopanan kita nggak boleh memotong ucapan orang apalagi yang lebih tua... hehehehe!” aku mencoba mencairkan suasana.
“Bisa aja kamu!” tawa ringan terdengar, lalu lanjutnya, “Kamu lagi ngapain nih?”
“Cari angin di belakang...”
“Pasti di ruang jemuran...” potongnya cepat.
“Wah, tahu saja nih!”
“Mhmm... pasti menunggu si ‘dia’ ya... hehehe... penasaran ya...?” canda kakakku dengan suara agak genit.
Aku tertawa, “Iya nih...!” Aku nggak bisa membohonginya.
“Perempuan banyak... ngapain pilih dia? Usianya kan jauh di atasmu!”
Kali ini aku yang kena ejeknya.
“Bukan buat pacar kok, penasaran aja dengan raut mukanya yang misterius itu!” jawabku lugas.
“Mmhmm... iya sih... aku juga penasaran!” rupanya kak Anto juga tidak bisa menutupi keingin tahuannya siapa perempuan itu.
“Nah loh... benar kan?” serbuku.
“Sejak kapan sih perempuan itu lewat jalan di belakang perumahan?” tanyaku memancing.
“Aku membeli dan menempati rumah ini belum lama, baru sekitar dua bulan!”
Tanpa diminta kak Anto mulai bercerita ikhwal dia mulai tertarik dengan kehadiran perempuan misterius itu.
“Tapi baru sekitar sebulan lalu aku penasaran untuk mengawasinya, nggak tiap hari sih karena kalau ada lembur kan bisa bisa sampai rumah di atas jam tujuh malam!”
“Wah... kayak detective aja nih!” potongku
“Hehehe... nggak tahu ya, kenapa jadi penasaran gini!”
“Pernah kepergok nggak?” tanyaku
“Nggak pernah lah youw... malu lah! Emang kamu pernah ya? Kapan?
“Eit... aku kan baru tadi lihat dia!” sergahku.
“Kakak tuh yang pasti pernah kepergok! Sudah sekitar sebulan diawasi masak perempuan itu tidak menyadarinya sih!”
“Mungkin saja, tapi yang jelas aku dan dia tidak pernah bertatap muka langsung, aku tidak pernah beradu pandangan mata!”
“Mhmm...!” gumamku.
“Udah dulu ya Kak! hampir Maghrib nih, aku mau mandi dulu!” potongku.
“Yoi, ntar dingin... segera mandi sono!”
“Kalau dingin ya nggak suah mandi sekalian!” bantahku.
“Huuuhh... bauuuuu!”
“Ok deh, udah dulu!”
Akhirnya kak Anto menutup handphone-nya. Aku pikir perempuan itu tidak lewat karena waktu hampir menjelang Maghrib, aku bermaksud beranjak dari kursi untuk menuju kamar mandi, tapi mendadak pandanganku melihat sosok dari ujung jalan yang melangkah santai melewati jalan itu, dan si perempuan misterius itu... dia memakai baju warna putih dengan jaket... sama seperti yang tadi pagi aku lihat! Dia berjalan dengan pelan saja, sepertinya dia tidak tahu kalau aku menatapnya dari atas di balik pagar pembatas perumahan.
Meski hanya dibantu penerangan yang minim karena baru beberapa lampu yang dihidupkan, aku bisa menangkap raut mukanya. Aura yang dipancarkan memang misterius. Siapakah dia itu? Mungkin dia tinggal di perkampuangan di seberang areal persawahan... atau mungkin... ah kenapa aku jadi emosional begini sih.
Syukurlah, dia tidak menyadari kalau aku mengawasinya, mungkin karena lampu rumah belum aku hidupkan jadi suasana rumah masih gelap. Setelah dia berlalu meninggalkan jalan, aku segera melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda sesaat tadi, yaitu mandi. Tentu saja aku menghidupkan lampu-lampu dulu.
Seperti rencanaku sebelumnya, setelah mandi dan shalat Maghrib aku bergegas keluar rumah buat mencari makan. Aku lebih memilih makan di pusat kota karena banyak pilihan, maka aku mengeluarkan motor. Aku tidak perlu tergesa pulang karena kak Anto bawa kunci rumah sendiri begitupun aku. Jadi kami berdua bisa leluasa pergi tanpa membebani orang lain karena mesti menunggu.
Kali ini aku menjalankan motor dengan santai, perut belum begitu lapar, karena sebelum pulang ada kudapan sore yang disediakan selama pelatihan, jadi aku ada banyak waktu buat memilih warung makan. Setelah keliling kota mencari-cari makanan yang menggugah selera, akhirnya aku berhenti di sebuah warung bebek betutu di dekat alun-alun kota. Antriannya sangat panjang, tapi tidak apalah. Biasanya kalau banyak pembeli begini bisa dipastikan makanananya enak, karena cocok buat lidah banyak orang. Menunggu giliran aku duduk santai di atas tikar yang disediakan, kuambil handphone dari saku jaket lalu aku mainkan salah satu game-nya. Aku sibuk memainkan nya sampai tidak sadar ada seseorang yang menghampiriku.
“Wah asyiknya...!” ucap seseorang dari arah samping, tangannya merangkul pundakku.
Kutengok ke arah suara itu, rupanya pak Rudi. Tak kusangka aku ketemu dia di sini.
“Heh... Pak Rudi?” Aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku, “Mau ngantri makan bebek betutu juga nih?” lanjutku, kali ini nada suaraku sudah biasa lagi.
“Enggak, masih kenyang! Sudah makan tadi di penginapan, kan sudah disediakan oleh panitia!”
“Trus, ada acara apa nih?” tanyaku.
“Cari angin saja! Suntuk berdiam diri di kamar, makanya aku keluar, untung deh ketemu kamu, jadi bisa ngobrol dulu!”
“Kayaknya banyak dari peserta yang lagi keluar seperti Pak Rudi, tuh!”
Aku menunjuk beberapa orang yang terlihat di area alun-alun, mereka tampak berjalan-jalan dengan santai.
“Oh iya... betul juga!” serunya setelah matanya mengikuti arah tanganku.
Pak Rudi akhirnya memesan minuman jeruk panas buat menemaniku makan. Kami juga ngobrol kesana kemari soal pelatihan dan kantor. Obrolan kami terhenti kala telepon genggamku berbunyi, rupanya kak Anto. Dia pasti sudah pulang,
“Kak Anto sudah ada di rumah ya?”
“Iya, kamu dimana?”
“Di alun-alun, lagi makan bebek betutu!”
“Ok lah, aku mau tidur... capek! Kamu bawa kunci sendiri kan!”
“Yoi... santai ajalah Kak!”
Kutengok jam yang melingkar di tanganku, sudah menunjuk pukul sepuluh lebih beberapa menit. Aku dan pak rudi melanjutkan bincang-bincang yang tadi sempat terhenti oleh telepon kakakku, tak terasa aku sudah melewatkan malam dengan ngobrol panjang dengannya.
“Sudah malam nih!” celetuknya. “Aku mau kembali ke penginapan... takut besok terlambat bangun!”
“Aku juga!” seruku pendek.
Akhirnya aku berpisah dengannya, dia kembali ke penginapan dan aku kembali ke rumah. Sekitar setengah dua belas malam aku sampai. Pintu kamar kakakku setengah terbuka, jadi aku bisa melihatnya kalau dia sudah tertidur pulas, aku segera berlalu menuju lantai atas, aku juga lelah dan ingin istirahat, apalagi besok pagi masih ada kegiatan pelatihan di hari kedua.
Aku naik keatas dan masuk ke kamarku, namun entah mengapa aku kesulitan memejamkan mata. Suasana yang sepi dan hawa dingin malam mestinya membuatku semakin mengantuk karena terbantu dengan kondisi itu, kenyataannya mata ini tetap terjaga. Bingung mau ngapain, akhirnya aku keluar kamar menuju ruang jemuran. Aku duduk di kursi dimana tadi pagi dan petang hari aku menunggu perempuan misterius itu, tapi kali ini aku tidak sedang menunggunya karena aku tahu dia tidak akan nongol di malam begini, kan kak Anto pernah cerita hanya di pagi dan petang hari dia lewat, mungkin saat berangkat dan pulang kerja saja.
Kugeser kursi agar lebih mendekati tembok pembatas, aku lalu menyilangkan kedua kakkiku di situ. Mengeluarkan sebungkus rokok di balik saku celana, aku menghirup salah satu batangnya, wah emang enak merokok di malam hari sambil melamun...heheh. Jalanan di luar itu terlihat sangat sepi. Areal persawahan yang ditanami padi menambah hening suasana. Tidak ada aktivitas di situ.
Tiba-tiba di tengah lamunanku aku terhenyak begitu melihat sebuah pemandangan yang tiba-tiba muncul, atau mungkin karena aku melamun sehingga tidak menyadari sebelumnya? Kubuka lebar-lebar mata ini untuk lebih memastikan dengan apa yang kulihat. Perempuan itu... kenapa dia berdiri dan menatapku dari bawah? Rambutnya yang tergerai menari-nari tertiup angin. Wajahnya yang misterius semakin memancarkan keganjilan karena aku menangkap tatapannya yang begitu dingin. Aku bahkan seperti terpaku di kursi tempatku duduk. Kehadirannya yang tiba-tiba membuatku terkejut setengah mati.
Di saat aku mulai sadar diri dengan apa yang kulihat tiba-tiba perempuan itu menghilang dari pandangan. Kemana dia? Kenapa tidak ada jejaknya sama sekali? Itu membuatku menggigil ketakutan, keringat dingin membasahi wajah dan tubuhku. Agak gemetaran juga aku. Benarkah tadi yang kulihat? Aku mulai ragu karena mungkin saja itu cuma khayalanku? Masak ada orang yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba pula menghilang? Tak tahan dengan pertanyaan yang memenuhi kepalaku aku langsung berlari menuju kamar tidur.
Paginya, seperti biasa aku dan kak Anto duduk kembali di kursi ini untuk menunggu kedatangan perempuan itu, aku tidak menceritakan kejadian tadi malam... malu dong.
“Kok dia nggak muncul ya?” tanyaku dengan penuh tanda Tanya. Peristiwa tadi malam begitu saja muncul dibenakku.
“Iya ya? Mungkin lagi bolos kerja kali?” timpal kakak sekenanya.
Karena waktu semakin mepet, akhirnya aku tinggalkan kursi itu untuk pergi ke pelatihan, begitupun kakakku, dia juga pergi ke kantor.
Siang hari saat acara pelatihan rehat sebentar buat makan siang dan shalat, aku dan rekan rekan sesama anggota pelatihan pindah menuju aula tempat makanan disajikan.
Kami sedang makan saat acara di televisi menampilkan berita. Awalnya aku kurang tertarik mengikutinya karena sedang makan kok disuguhi berita... eh kriminal pula. Tapi mendadak mataku tertahan ke layar televisi ketika ditampilkan sebuah foto seorang wanita korban pembunuhan. Wajah perempuan itu sama persis dengan yang aku dan kakakku lihat selama ini di jalan yang letaknya di belakang perumahan itu. Penyiar berita membacakan bahwa kematiannya sudah beberapa bulan lalu dan baru ditemukan jasadnya tadi malam, menurut keterangan polisi memang peristiwa pembunuhan terjadi di pemukiman yang ternyata di lokasi sekitar tempat tinggal kakak, tapi jasad korban lalu dibuang di tempat yang agak jauh.
Aku tercekat, kalau kematian perempuan itu terjadi beberapa bulan lalu... berarti yang kakak dan aku lihat selama ini... arwah penasaran alias hantu?? Pantas saja wajahnya sangat dingin dan misterius. Tiba-tiba lidahku jadi kelu, selera makan langsung pula hilang. Perempuan itu... aku tidak kuasa melanjutkan isi pikiranku.