Wednesday, November 20, 2019

Ajian Penangkal Maling (Jogjakarta)


Gandung Teguh Supriyanto, direktur sebuah Bank Perkreditan Rakyat di Bantul, Yogyakarta benar-benar merasa sangat terpukul. Pasalnya, hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun, rumah mewahnya yang terletak di sudut Timur kota gudeg ini telah tiga kali dibobol maling. 

Pelakunya pasti orang yang sama, demikian bisik hatinya. 

Ya... sebagai salah seorang direktur yang sukses, tentu saja Gandung sangatlah sibuk dan jarang tinggal di rumah, karena itulah dia dan keluarganya memberikan kepercayaan penuh kepada keluarga Mulyono untuk ikut serta tinggal, merawat, dan sekaligus menjaga rumah mewahnya itu. Yang paling aneh, Mulyono dan keluarganya seolah-olah baru terbangun dari tidurnya ketika Gandung menanyakan apa yang baru saja terjadi sehingga rumahnya berantakan seperti itu.

“Di tahun ini, dalam waktu kurang dari 12 bulan, sudah tiga kali rumah saya disatroni maling. Modusnya pun sama...” demikian kata Gandung kepada beberapa polisi yang datang untuk melakukan penyelidikan. 

Polisi pun hanya mengangguk sambil terus mencari petunjuk. Setelah meminta agar Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk sementara jangan diganggu, mereka pun kembali ke markas sambil membawa Mulyono untuk dimintai keterangan. Dan menjelang pukul 22.00 WIB, Mulyono baru kembali dengan muka pucat dan kusut.

“Bagaimana Pak Mul...?” tanya Gandung. 

“Pak... saya cuma bisa minta maaf dan siap menerima hukuman atas semua kesalahan ini.” sahut Mulyono lirih.

Gandung hanya terdiam. Walaupun sebenarnya ia merasa kesal dan hatinya masih panas, tetapi ia tak mungkin menjatuhkan hukuman apalagi mengusir keluarga ini dari rumahnya, kesetiaan keluarga ini sudah benar-benar teruji. Maklum, sudah lebih dari sepuluh tahun mereka ikut bersama dengannya. Boleh dikata, Gandung, Saras -istrinya, dan Gendis -anak kesayangan mereka sudah menganggap keluarga Mulyono sebagai bagian dari keluarga mereka sendiri.

“Ufh...” hanya itu yang keluar dari mulut Gandung.

“Pak Mul, karena peristiwa ini sudah terjadi sampai tiga kali, maka saya tidak mau terjadi lagi untuk yang keempat kalinya!!” tegur Gandung dengan tegas.

“InsyaAllah Pak, saya akan menjaga rumah ini lebih ketat lagi.” sahut Mulyono dengan wajah penuh penyesalan. 

“Ya sudah, bagus kalau begitu...!!” ujar Gandung sambil berlalu menuju ke kamarnya. 

Mulyono pun mengangguk sambil berdiri dan mohon diri dengan suara yang nyaris tak terdengar.

Setibanya di kamar, Mulyono langsung memeluk Welas, sang istri dan Wahid anaknya yang masih balita dengan penuh perasaan.

“Kenapa belakangan ini nasib kita selalu jelek ya Dik...?” keluhnya di antara isak tangisnya.

 “Sabar Mas, kita sedang mendapat ujian dari Allah.” sahut sang istri berusaha membesarkan hatinya. 

“Yang tak bisa aku mengerti, kenapa setiap kali peristiwa perampokan itu terjadi, kita tertidur sangat lelap, mata kita sepertinya lengket, tak bisa dibuka ya?” jawab Mulyono sambil balik bertanya. 

Welas terperangah! Tak lama kemudian terdengar suaranya penuh keheranan,

“Ya ya ya... kenapa bisa begitu ya Mas?” 

“Wah... jangan-jangan kita disirep.” jawab Mulyono dengan penuh keyakinan. 

“Aku harus segera pulang kampung.” desis Mulyono.

 “Mau ngapain Mas?” tanya sang istri dengan perasaan khawatir. 

“Aku mau minta syareat dari simbah.” jawab Mulyono mantap. 

“Tapi kalo udah dapet langsung pulang kembali ya Mas...” pinta Welas. 

Mulyono pun kembali merengkuh istri dan anaknya dengan penuh kasih.

Esoknya, dengan perasaan mantap, Mulyono pun minta izin dan mengutarakan niatnya pada Gandung dan keluarganya yang kala itu sedang sarapan. Gandung hanya tersenyum sambil berkata,

“Pak Mul, zaman sudah berubah, kenapa harus mencari-cari yang seperti itu? Apalagi, sekarang sudah ada satpam yang selalu siap siaga...!!” 

“Saya masih penasaran. Saya cuma minta ijin dan restu dari Bapak.” jawab Mulyono dengan mantap. 

“Baiklah kalau begitu, salam untuk seluruh keluarga di kampung.” kata Gandung sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dan diserahkannya kepada Mulyono. 

“Berikan ini kepada nenek untuk sekadar beli sirih.” 

“Terima kasih Pak.” Sahut Mulyono sambil menerima uang tersebut.

Singkat cerita, setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, Mulyono pun akhirnya tiba di kampung halamannya di dusun terpencil yang terletak di kaki gunung di wilayah Jawa Timur. Sekali ini ia tak ingin membuang waktu, setelah sejenak beristirahat dan menyerahkan amplop titipan pak Gandung kepada ibunda tercinta, ia pun segera menuju ke rumah mbah Dirgo, sesepuh yang disegani di desanya. 

Setelah menceritakan maksud kedatangannya, Mulyono kemudian menceritakan kejadian yang menimpa keluarga Gandung. Sambil tersenyum, mbah Dirgo pun bangkit dan menuju ke salah satu ruangan yang selalu tertutup di rumahnya yang tak seberapa besar itu. Hampir satu jam Mulyono menunggu. Tak lama kemudian terdengar suara derit daun pintu yang dibuka, dan kemudian tampak mbah Dirgo keluar dari kamar tersebut, kemudian mendekat ke arah Mulyono sambil membawa empat butir buah pinang.

“Ini buah pinang yang jatuh pada hari Jumat Kliwon. Tanam buah-buah pinang ini di empat sudut rumah majikanmu sambil membaca mantra sebagai berikut,

“Singa barong kang mbaurekso ana ing lodaya, ingsun njaluk tulung, reksanen pomahanku yan ana kang ganggu gawe sira balekno.”

“Biasanya, jika ada orang yang berniat apalagi berbuat tidak baik, maka ia pasti akan melihat seekor macan besar yang mengaum dan siap menerkam. Sekarang, segeralah kembali ke Jogja, istri dan anakmu sudah menunggu kedatanganmu.” papar mbah Dirgo panjang lebar. 

Mulyono langsung mohon diri dan kembali ke rumah orangtuanya untuk pamit dan langsung pulang ke Jogja. Setibanya di rumah, ia pun langsung mengerjakan apa yang diperintahkan oleh mbah Dirgo. Dan benar, seminggu kemudian, satpam yang menjaga rumah Gandung tiba-tiba mengajukan pengunduran diri. Pasalnya, ketika akan buang air kecil di balik pepohonan di pojok pagar tembok, ia merasa melihat kelebat seekor harimau yang menggeram. 

“Saya melihat ada macan....” ujarnya penuh ketakutan kepada Gandung. 

Dan sejak itu, sampai dengan sekarang tak pernah lagi ada maling yang menyatroni rumah Gandung. Keluarga Gandung Teguh Supriyanto pun hidup dengan tenang dan damai, semua berkat pertolongan Tuhan melalui ajian penangkal maling yang telah diusahakan oleh pak Mulyono.

Misteri Patung Loro Blonyo Antik (Jogjakarta)


Awalnya aku juga tidak tahu apa itu Loro Blonyo, tapi setelah aku mengalami kejadian aneh beberapa tahun silam, aku jadi tertarik untuk mencari informasi tentang itu, jadi sebelum aku menceritakan peristiwa itu alangkah baiknya kalau aku berbagi informasi kepada kalian apa itu patung Loro Blonyo.

Loro Blonyo merupakan patung yang berujud sepasang pengantin Jawa yang menggunakan pakaian adat Jawa dengan atribut lengkap, menggunakan beskap untuk pengantin pria dan basahan untuk pengantin putri. Pada awalnya patung Loro Blonyo berbentuk pengantin Jawa dengan posisi duduk, namun seiring perkembangan jaman dan perkembangan seni-rupa kontemporer, patung Loro Blonyo mengalami proses perubahan bentuk. Ada yang berdiri dan ditambah aplikasi lain-lainnya, namun dalam perubahan bentuk tersebut patung Loro Blonyo tetap memperhatikan pakemnya yaitu sepasang pengantin Jawa dan bentuk pasangan pengantin Jawa tersebut adalah pakem dari patung tersebut, mengenai busananya menyesuaikan daerah setempat, yaitu gaya pakaian adat Jawa gaya Surakarta ataupun gaya keraton Yogyakarta. 

Dalam menggambarkan suatu fenomena budaya, orang Jawa senantiasa terlingkupi oleh pengaruh alam semesta yang bersifat material maupun yang tidak kasad mata. Demikianlah visualisasi Loro Blonyo terbuat dari sepasang patung dibuat dari bahan kayu, atau tanah liat, yang terdiri dari patung seorang perempuan –rara– yang didampingi seorang laki-laki dengan mengenakan busana perkawinan adat Jawa, gaya basahan dalam posisi duduk yang penempatannya pada rumah joglo, yaitu tepatnya di senthong tengah, atau di sebelah kanan, dan kiri krobongan yang berfungsi simbolis bagi pemiliknya.
Nah kisah yang terjadi adalah seperti ini. Siang itu, aku dan dua orang temanku, Yuli dan Nani, sudah siap di teras rumahku. Tas punggung mereka yang kelihatan sangat tebal diletakkan begitu saja di ujung sofa. Aku tiduran santai di atas sofa, kakiku kusilangkan di atas tumpukan tas mereka, Yuli duduk di kursi di sisi kiri, dia asyik membaca koran, sesekali dia memandang ke arah jalan. Sedang Nani, sedari tadi celingak-celinguk mengawasi jalan, menunggu dua teman kami lainnya yang belum datang.

“Ratna dan Dewi mana sih... kok belum datang juga...!” keluh Nani dengan berkacak pinggang.

“Santai kenapa? Sebentar juga nanti datang, kan tadi sudah sms kalau masih dalam perjalanan.” jawab Yuli santai.

“Huuh... tahu begini aku kan ikutan lambat!” sungut Nani lagi. Dia memang tIpe orang yang tidak sabaran. Tapi bagusnya dia memang tepat waktu, setiap kali ada janji dengan dia dijamin dia pasti sudah datang duluan.

“Yaa... sabar ajalah!” jawab Yuli pendek.

Aku menengok ke arah mereka lalu kataku, “Namanya juga numpang... hehehe!” kulihat Nani menyorongkan mulutnya sedang Yuli menendang kakiku pelan. 

Kami berlima memang berencana mau wisata ke Yogyakarta dengan menumpang mobil Ratna. Sebelumnya kami kalkulasi perkiraan jumlah pengeluaran, lalu kami bagi rata berapa iuran per orangnya, tentu saja itu khusus biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan bersama, sedang kebutuhan pribadi masing-masing ya ditanggung sendiri sendiri..

“Hei tuh... mereka datang!” teriak Nani senang, jarinya menunjuk nunjuk ke arah jalan. 

Yuli menutup koran dan meletakkannya kembali ke atas meja lalu ikut bergabung dengan Nani. Aku juga bangun dari tiduranku lantas ikut bergabung. Kulihat mobil Ratna dan Dewi beberapa meter di depan kami, setelah berhenti di depan teras, mereka keluar mobil dengan tertawa-tawa.

“Maaf... maaf...!” teriak Ratna sambil nyengir.

“Iya nih tadi mamanya Ratna menumpang sampai swalayan, jadilah kita menunggu mamanya siap dulu!” terang Dewi kepada kami.

“Kalau nggak mau ngantar mama... bisa repot aku, bisa nggak jadi wisata!” sambung Ratna setengah bercanda.

Kami menyadari itu mobil orang tua Ratna, jadi ya harus tahu dirilah.

“Tapi kita beruntung... nih!” Ratna mengangkat bungkusan plastik besar berisi aneka makanan dan minuman ringan, “Ini bekal dari mama untuk kita.”

Kami berlima tertawa, asyik juga dibekalin sama orang tuanya Ratna jadi kita bisa menghemat biaya.

“Ayo, kita berangkat sekarang!” ajak Nani.

“Bentar aku numpang ke kamar kecil dulu.” potong Dewi sambil menggandeng tanganku minta diantar ke kamar kecil.

“Iya, aku juga mesti ambil tasku... masih di dalam tuh!” kataku pada mereka sambil berjalan masuk ke dalam bersama Dewi.

Sesaat kemudian, kami sibuk memasukkan tas-tas bawaan kami ke dalam mobil, setelah selesai aku berpamitan dulu kepada kakakku.

“Kak berangkat dulu ya, pamitkan ke ayah bunda ya?”

“Yoi... hati hati ya!” jawab kak Leli. Ia keluar rumah dan menyalami kami satu persatu, lalu ia melambaikan tangan ke arah kami.

Selama perjalanan kami bersenda gurau, bergembira bersama. Ratna dan Dewi duduk di depan, Ratna yang pegang kemudi. Sedang Nani, Yuli dan aku duduk di belakang. Tiga dari kami, Ratna, Dewi dan aku bisa menyetir jadi kami bisa bergantian. Kami juga sudah reservasi penginapan di kota gudeg itu jadi kita tidak perlu repot-repot mencari hotel. Rencananya kami akan menghabiskan tiga hari berwisata di kota itu.

“Sampai Jogja kira kira jam berapa ya?” tanya Nani.

“Sabar sayang...!” canda Ratna.

“Iya nih Nani... nggak sabaran amat!” kata Dewi menimpali.

Nani cengar-cengir dikerubut tiga orang. Jawabnya, “Iya deh... aku tinggal tidur aja dulu!”

Kami perkirakan kita akan sampai di Yogyakarta menjelang malam, mungkin sekitar jam tujuh atau jam delapan malam, tergantung situasi jalan, maklum liburan begini jalan pasti ramai.

Benar juga, sampai hotel yang terletak di belakang kawasan Malioboro, jam menunjuk pukul delapan kurang beberapa menit. Setelah Ratna memarkir mobilnya, kami berjalan menuju lobby dengan membawa tas masing-masing. Di sisi kanan depan lobby kami melihat banyak penjual cinderamata menggelar barang dagangan mereka, kebanyakan produk fashion semacam kaos, baju baju batik dan sebangsanya, tapi juga ada cinderamata kecil-kecil seperti gantungan kunci, tas,dompet kecil, kipas dan banyak lagi.

Sampai meja resepsionis Dewi si ketua kelompok yang mengurus. Setelah mendapat dua kunci untuk dua kamar, dia memberikan satu ke Nani. Kami memang menyewa dua kamar untuk dua dan tiga orang. Ratna dengan Dewi di satu kamar, sedang Nani, Yuli dan aku di kamar yang lainnya. Nomor kamar kami berurutan.

“Eh teman-teman, nanti aku keluar sebentar ya, mau lihat-lihat cinderamata di depan. Bagus-bagus tuh kayaknya.” Ucapku sambil menunjuk depan lobby.

“Yaaahhhh kamu tuh, baru nyampai sudah mau belanja!” protes Yuli.

“Mestinya acara belanja tuh nanti kalau mau pulang.” sambung Nani

“Iya nih... ntar kehabisan uang baru tahu rasa tuh!” timpal Ratna sambil mencibirkan bibirnya ke arahku.

“Loh... yang mau belanja juga siapa? Aku kan bilang cuma mau lihat-lihat! Lagian daripada bengong ngantri mandi mendingan waktu dimanfaatkan buat cuci mata.” aku mencoba membela diri

“Iya... tidak apa-apa... tapi jangan lama-lama loh, nanti segera kembali ke kamar... terus mandi dan gabung dengan kita. Rencana kan mau makan malam bersama-sama!” Dewi membelaku. Dia memang pantas dijadikan ketua kelompok, bijaksana gitu loh... heheheh.

“Huuuu.” sungut teman-teman yang lain, tapi mereka tidak memaksakan kehendak. Setelah menaruh tas bawaan di dalam kamar, aku keluar seorang diri menuju depan lobby. Di situ sudah banyak pengunjung hotel yang berbaur dengan para penjual. Sebagian cuma melihat-lihat, sebagian lagi ada yang sudah tawar menawar dan melakukan transaksi. 

Aku sendiri sebenarnya cuma melihat-lihat, aku memang tidak bermaksud membeli, cuma ingin tahu harga-harganya saja. Tapi saat mataku tertuju pada pada sekumpulan patung kayu, aku jadi tergoda untuk melihat lebih lanjut. Di antara patung patung kayu itu ada yang berujud patung sepasang pengantin -lelaki dan perempuan dengan ukiran pakaian model Jawa. Patung patung itu tampak manis dengan hiasan manik-manik di bagian kepalanya laksana hiasan sanggul pengantin. Ada juga sepasang patung kayu yang kelihatan antik dengan warna memudar. Kuakui aku memang suka aneka macam boneka dari kayu. Mungkin terdengar konyol, hari gini suka boneka kayu... tapi namanya juga suka mau gimana lagi!!! Sebenarnya aku tidak bermaksud membeli, cuma sekedar melihat-lihat, setelah dirasa cukup akupun bermaksud kembali ke dalam untuk giliran mandi. Namun sebuah tangan menarik jaketku pelan, aku menengok ke belakang. Kulihat seorang perempuan muda yang tampak cemas memandangku nanar.

“Saya punya patung Loro Blonyo, milik sendiri, Mbak bisa lihat dulu!” kata dia dengan logat Jawa kental dan bibir sedikit bergetar. Sebenarnya aku malas menanggapinya. Tapi melihat dia seperti sungguh-sungguh akupun jadi tertarik, siapa tahu patung yang dia tawarkan memang istimewa?

“Patung Loro Blonyo... apa itu?” tanyaku pendek.

“Patung Loro Blonyo itu patung pengantin ala Jawa!” jelasnya pendek pula.

“Ini Mbak.” jawab dia sambil mengeluarkan sepasang patung pengantin ukuran kecil dari dalam tasnya yang lusuh.

Kuamati sebentar patung yang terbuat dari kayu itu, berukuran kecil saja. Polos tanpa manik-manik di bagian sanggulnya, mungkin tampak tidak menarik karena wujudnya patung kecil diukir laksana pengantin sederhana saja, tapi aku terkesima dengan kondisi patung itu, tampak tua dan antik. Sepertinya patung itu sudah cukup tua. Warna kayunya mulai menghitam di beberapa bagian karena faktor usia.

“Murah Mbak, limaratus ribu saja. Buat makan Mbak!” rengeknya memelas.

“Beneran patung pengantin ini punyamu?” tanyaku setengah tidak percaya, masak orang seperti dia bisa punya patung antik yang sehalus dan sebagus ini? 

“Punya nenek saya Mbak, tapi sudah meninggal dan patung ini diberikan kepada saya. Sudah saya coba jual di toko barang antik... tapi ditawar murah Mbak, padahal mereka kalau jual dengan harga sangat tinggi, apalagi kalau dijual ke pelancong, jadi mending dijual langsung ke pemakai.”

“Tiga ratus ribu ya?” tawarku sekenanya alias tidak sungguh sungguh.

Dia diam sebentar, kupikir dia tidak akan melepasnya eh ternyata dugaanku meleset.

“Iyalah Mbak...!” dia menyerahkan patung itu kepadaku, terpaksa deh aku membayarnya.

Setelah menerima uang, perempuan itu tampak tersenyum lega lalu dia beringsut dari hadapanku berjalan meninggalkan hotel. Tinggal aku sendiri yang sebenarnya agak kecewa dengan keputusanku membeli patung itu. Apakah aku membeli terlalu mahal karena aku menawar langsung diberikan? Tapi sudah terlanjur mau bagaimana lagi? Akupun kembali ke kamar.

“Yuli baru mandi ya?” tanyaku pada Nani, dia duduk kursi sedang menyisir rambut. Bunyi gemericik dari kamar mandi terdengar, pasti Yuli baru mandi..

“Iya... nanti giliran kamu.” jawabnya pendek sambil terus menyisisr rambut.

“Eh beli apaan tuh?” teriaknya mengagetkanku. Rupanya dia melihatku meletakkan patung pengantin itu di atas meja.

“Patung Loro Blonyo.” jawabku pendek sambil membaringkan tubuh di atas tempat tidur.

Nani bangkit dari duduknya dan mengambilnya, ia melihat-lihat sebentar lalu katanya, “Patung pengantin ini kayaknya sudah tua tuh?” Seperti tidak percaya ia mengamati dengan lebih teliti, “Iya nih... antik kayaknya. Mahal pasti, berapa kamu beli?” tanyanya lagi.

“Murah kok cuma dua ratus ribu!” aku berbohong, kan malu nanti diolok-olok kalau aku menyebut harga yang sebenarnya.

“Kubeli tiga ratus ribu boleh nggak?” tawar dia seperti tertarik

“Yee... antik gitu loh!” jawabku semaunya.

Nani bersungut-sungut mendengarnya, dia lalu meletakkan kembali patung Loro Blonyo itu di atas meja. Sebentar kemudian Yuli selesai mandi, dia keluar dengan handuk di atas kepalanya.

“Wah sudah datang nih... cepetan mandi sana.” ujarnya begitu melihatku. Aku bangkit dan masuk ke kamar mandi. Kunyalakan air panas dan air dingin berbarengan untuk mencari suhu yang pas untuk badanku yang capek ini, hangat-hangat kuku begitu kata orang.

Selesai mandi dan berdandan tipis, kami berlima berkumpul di lobby sebentar untuk membahas acara malam ini. Kami sepakat untuk keluar dengan berjalan kaki saja, makan di sepanjang jalan Maliobroro, lalu dilanjutkan jalan-jalan menikmati malam. Kami kembali ke hotel sekitar pukul sebelas malam, kaki kami pegal-pegal dan ingin segera tidur.

“Met tidur semua, besok jam tujuh pagi harus sudah siap loh!” Dewi, si ketua kelompok mengingatkan kami.
“Yaaaaa... bos!” jawab kami berbarengan sambil saling melambaikan tangan, lalu kami masuk kamar masing-masing.

“Wah capeknya...!” ujar Yuli sambil memijit kakinya. Dia langsung rebahan di tempat tidur. Nani juga ikut rebahan di samping Yuli, lalu berujar, “Tidur... tidur...”

“Iya... mari kita segera tidur, agar besok tidak kesiangan.” sambungku juga ikutan merebahkan diri.

Karena kami semua kelelahan setelah seharian menghabiskan waktu di perjalanan, kami langsung terlelap dalam tidur, namun entah jam berapa aku tiba tiba terbangun, seperti setengah sadar, kudengar bunyi bunyi aneh yang berasal di atas meja, hidungku juga mencium bau melati yang begitu wangi. Dalam keadaan masih mengantuk aku menengok ke arah suara itu, kulihat sepasang manusia lelaki dan perempuan dalam balutan pakaian tradisional Jawa berdiri di samping meja dan bermain-main dengan patung itu, anehnya lagi mereka itu terlihat transparan, namun begitu mereka tahu aku menatap mereka, dalam hitungan detik mereka menghilang. Aku sangat kaget dan secara reflek menjerit.

Nani dan Yuli terbangun mendengar teriakanku.

“Ada apa nih... ada apa?” tanya mereka bersahutan.

“Eee... aaaa...” aku seperti sulit berkata-kata.

“Iya ada apa?” tanya mereka sedikit jengkel bercampur penasaran.

“Patung itu...” kataku tercekat sambil menunjuk ke arah kedua patung yang jatuh ke karpet.

“Lhah... cuma patung jatuh aja!” ucap Yuli sambil kembali tidur.

“Iya nih... bikin kaget aja...” timpal Nani manyun, dia juga kembali tidur.

Sedang aku duduk termangu di atas tempat tidur, aku tidak berani mengambil patung itu. Keringat dingin membasahi tubuhku. Mungkin aku akan terjaga semalamam. Kejadian tadi membuatku bergidik. 

Wanita Misterius di Jalan Malioboro (Jogjakarta)


Kisah ini terjadi sekitar tiga tahun yang lalu. Berawal ketika Joni mau pulang kerja. Joni sengaja melewati jalan Malioboro, yang merupakan jalan terdekat menuju rumahnya. Ketika hendak menyeberang, Joni melihat seperti seseorang melintas begitu cepat. Karena kaget, Joni berhenti dan memaki-maki orang itu sebagai luapan kekesalannya. Namun anehnya, orang yang dimarahi Joni adalah seorang perempuan yang pada saat yang hampir bersamaan perempuan itu sudah berada di seberang jalan.

Tiba-tiba saja datang seorang laki-laki tua menyapa Joni. 

“Ada apa Nak, kok marah-marah begitu. Ada yang bikin kesal ya?” tanya laki-laki tua itu. 

Kemudian Joni menceritakan apa yang barusan terjadi padanya. Keduanya kemudian saling memperkenalkan diri. 

“Broto, Broto Sumitro.” kata lelaki tua itu memperkenalkan dirinya.

 Lelaki tua itu hendak menyeberang jalan menuju rumahnya yang berada di salah satu gang di seberang jalan itu. Sebelum lelaki tua itu menyeberang, ia sempat membisikkan sesuatu kepada Joni.

 “Hati-hati Nak dijalan ini ada penunggunya, seorang perempuan yang suka mengganggu orang lewat seperti yang Nak Joni ceritakan barusan. Apabila perempuan itu tidak berhasil membuat orang yang diganggunya mengalami kecelakaan, maka perempuan itu akan mengikuti dan mengganggu terus sampe ke rumah.” bisik lelaki tua itu.

Mendengar itu spontan Joni langsung melihat lagi ke seberang ke arah perempuan tadi berada. Aneh, perempuan itu tiba-tiba melambaikan tangannya dengan wajahnya yang sangat putih pucat pasi dan seketika lenyap. Melihat itu, Joni langsung memalingkan muka lagi ke arah pak Broto ingin menanyakan sesuatu. Namun pak Broto terlanjur sudah menyeberang dan berjalan memasuki salah satu gang yang ada di seberang jalan itu. Kemudian Joni langsung tancap gas pulang menuju rumahnya.

Sesampainya di rumah saat Joni menonton TV, tiba-tiba terdengar suara orang sedang makan dari arah ruang makan. Kemudian Joni beranjak dari sofa tempat dia nonton TV untuk memastikan suara tadi. Ternyata sepi dan semuanya masih dalam kondisi rapi. Kemudian Joni kembali ke ruang tengah melanjutkan menonton TV.

Pada saat Joni asyik menonton TV, tiba-tiba kain gorden jendela melambai-lambai seperti tertiup angin. Ternyata Joni lupa menutup jendela. Ketika Joni akan menutup jendela, ia melihat perempuan yang dilihatnya tadi siang berdiri di luar pagar rumahnya. Dengan wajahnya yang putih pucat, perempuan itu tersenyum dingin kepada Joni. Joni bergegas menutup jendela dengan perasaan tidak karuan. Kemudian ia melanjutkan menonton TV. 

Beberapa saat kemudian terdengar pintu diketuk. Joni kaget sekali dan spontan melihat jam sudah menunjukkan pukul 23.55. 

“Duh, jangan-jangan perempuan tadi.” pikirnya. 

Joni mencoba mengintip dari lubang kunci, dan tiba-tiba... bruk... Joni ambruk tak sadarkan diri di lantai.

Saat adzan subuh di TV berkumandang, Joni mulai sadar dan agak bingung kenapa dia tidur di depan pintu dan TV masih dalam keadaan menyala. Joni mencoba mengingat apa yang terjadi. Begitu Joni teringat kejadian semalam, ia bergegas mengambil air wudhu dan melakukan shalat subuh.

Pagi itu, Joni sengaja berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya. Karena penasaran, Joni memutuskan sebelum ke kantor ia akan singgah di tempat kejadian itu dan mencoba menemui pak Broto. Sesampainya di tempat kejadian, Joni memasuki salah satu gang dimana pak Broto kemarin juga memasuki gang tersebut. Di situ Joni berpapasan dengan salah satu penduduk gang tersebut. 

“Maaf Mas, numpang tanya. Rumah pak Broto mana ya?” tanya Joni. 

“Pak Broto... Broto siapa ya?” jawabnya. 

“Broto Sumitro” lanjut Joni menegaskan.

“Ooo... pak Broto Sumitro almarhum? Jalan aja terus, rumahnya no 5 berwarna putih.”

“Lho pak Broto sudah meninggal ya Mas?” tanya Joni kaget.

“Iya, sekitar tiga tahun yang lalu karena kecelakaan waktu menyeberang jalan di seberang jalan itu.” jawabnya sambil menunjuk tempat kecelakaan yang dialami pak Broto. Dan ternyata tempat itu sama persis tempat dimana Jono memaki-maki perempuan itu.

Ada Minul di Mobilku (Jogjakarta)


Memang sudah menjadi kebiasaan di setiap hari Senin dan Kamis aku bermain badminton bersama teman-teman klub badminton tempatku bergabung, mulai dari jam 18.00 hingga jam 20.00, di gedung olahraga di komplek Mandala Krida. Seperti biasa kalau sedang ada jadwal main badminton, aku akan tinggal di kantor lebih lama, melakukan segala yang bermanfaat sambil menunggu waktu bermain badminton dimulai.

Kantorku terletak di Jl. Timoho, cukup dekat dengan komplek Mandala Krida. Aku biasa menempuh kurang dari sepuluh menit untuk sampai ke sana dengan mengendarai mobil kantorku.

Aku lebih suka berangkat ke gedung olahraga tersebut langsung dari kantorku daripada pulang ke rumah terlebih dulu. Yaah... supaya hemat waktu. Sebab dari rumah ke kantor jaraknya cukup jauh. Rumahku berada di Jl. Wates, sedangkan kantorku di Timoho, cukup jauh bukan? 

Biasanya bila akan pergi main badminton aku akan membawa serta laptop-ku, karena sehabis bermain badminton aku bisa langsung pulang ke rumah tanpa harus mampir dulu ke kantor untuk mengambil laptop. Tapi semalam entah angin apa yang membuatku melenceng dari kebiasaan... hingga aku berencana, setelah selesai bermain badminton aku pergi ke kantor sebentar untuk mempersiapkan sedikit pekerjaan, ambil laptop dan pulang... 

Baru kutahu beberapa waktu kemudian kalau itu benar-benar sebuah rencana yang bodoh...

Hari itu, setelah selesai bermain badminton dengan kawan-kawan, aku mampir makan sate di warung dekat minimarket ASRI. Cukup lama juga aku di sana, soalnya warung sate tersebut sangat laris dan aku harus antri, menunggu cukup lama sampai pesananku dihidangkan. Selesai makan sate, aku langsung pergi ke kantor. Sampai di kantor sudah jam 21.00 lebih, menghadap laptop sebentar dan ternyata sempat pula membuat postingan yang asyik punya... dan ketika hendak menyiapkan sedikit pekerjaan, eh... kok rasanya badan jadi letih sehabis memeras tenaga dan otak, dan tiba-tiba... 

“Beep... beep... beep...!!”

Ada bunyi pesan SMS masuk di HP-ku. Rupanya SMS dari istriku yang berbunyi, 

“Papa pulang pukul berapa, tolong sekalian beli susu buat Nonik, sudah kehabisan nih... maaf terlambat kasih tahu.” 

“Oke, sayang... ntar aku belikan.” jawabku singkat

Aku melirik ke jam dinding di kantorku, 

“Oh... la... laa... sudah hampir tengah malam!”

Sungguh tak terasa, ternyata aku sudah ngendon di kantor cukup lama.

Pikiranku menerawang... di mana pula aku bisa membeli susu di tengah malam buta begini...? Sambil mengemasi barang dan kemudian mengunci kantor, aku segera masuk ke mobil dan langsung cabut...

Aku mulai berkeliling mencari-cari susu pesanan istriku. Sudah kucoba ke minimarket ‘KOMPLIT’ tidak ada, di kedai ‘Shopping 24 jam’ pun tak ada.

Hingga akhirnya aku pun berkelana dan mencari-cari, dan... dapat juga akhirnya tapi dalam bentuk paket kecil, tapi tak apalah... yang penting ada stok untuk sementara waktu dan si kecil tidak akan kelaparan malam ini...

Dalam perjalanan pulang, aku singgah di pom bensin di Jl. Tamansiswa untuk mengisi bahan bakar, waktu itu sudah menjelang pukul 02.00 dinihari, dan jalanan juga sudah sangat sepi... sepiii sekali... 

Selesai mengisi bahan bakar, sewaktu hendak keluar dari pom bensin itu... aku merasa ada sesuatu yang lain tapi entah apa itu, aku sendiri tak tahu... dan terus saja mengemudi. 

Ketika mulai masuk ring road... aku merasa mobil yang aku kendarai menjadi berat dan bulu romaku tiba-tiba saja meremang... dalam hati aku berkata, 

“Ada sesuatu yang salah di sini...” 

Dengan iseng, aku kemudian melihat di kaca spion... 

Brerrgh...!!

Berdesir darahku... akupun jadi gugup dan mobil yang kukendarai pun mulai berjalan zig-zag tak tentu arah... 

Dalam keadaan kalut, aku mencoba menepi dan berhenti di pinggir jalan dengan mesin mobil masih menyala.
Pikiranku buntu sejenak, namun kemudian aku mendapatkan ide, aku pura-pura memeriksa kursi di sebelah kiriku sambil mengerling ke belakang... 

“Alamaaak... a... a... ada sesuatu di kursi belakang...!!” jeritku dalam hati

Kucoba mengerling ke belakang sekali lagi. Benar!! Ada sesosok perempun dengan aura yang sangat aneh dan cenderung menakutkan, sedang duduk dengan enaknya di kursi belakang.

Sekilas ia terlihat langsing semampai, mengenakan gaun berlengan panjang. Wajahnya putih pucat, dengan rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai lepas. Kedua tangannya bersandar lepas di punggung kursi. Matanya yang tak memiliki sinar kehidupan itu, dengan dingin menatap lurus ke depan, bagaikan tak pernah berkedip sama sekali.

 Aku merasakan denyut jantungku yang berdetak dag... dig... dug tak karuan. Untuk sesaat aku terdiam tak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya aku mencoba hendak mengalihkan kaca spion... tapi kemudian aku malah jadi risau, jangan-jangan aku nanti malah tak bisa melihat apa yang dia lakukan di belakang, bisa saja dia menjulurkan tangan ke leherku lalu mencekiknya...

Tiba-tiba saja aku sudah mulai berpeluh karena membayangkan hal-hal menyeramkan yang bisa saja terjadi.
Namun akhirnya aku sadar, mau tak mau aku harus tabahkan hati ini dan kendalikan diri sebaik mungkin...

Ketika aku sudah bisa mengendalikan diri dan hilang rasa panik, dan mental dalam keadaan stabil, aku mulai memikirkan apa yang seharusnya kulakukan dan mencoba berbicara dengan si ‘Minul’ yang tak di undang ini, yang rambutnya lurus tergerai melewati bahu dan berbaju hitam atau mungkin juga kelabu aku tak tahu pasti... karena dalam keadaan remang-remang hanya mengandalkan lampu jalan. Tentunya aku tak bisa memperhatikan dengan jelas, mungkin saja baju lusuh dan sudah lama tak dicuci... 

Sayangnya aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas... apakah ia secantik gadis model untuk kapal selam, atau secantik gadis model yang berumur belasan tahun atau mungkin malah secantik Jennifer Lopez... aku tak tahu pasti... 

Aku bilang padanya,

“K... k... kau dan aku adalah sama-sama makhluk, ciptaan Allah SWT, bedanya aku ini makhluk yang dimuliakan, sedangkan k... k... kau naik mobilku tanpa izin, aku hantar k... kau ke tempat k... kau naik tadi, dan aku ingin k... k... kau turun di situ!” gertakku sedikit gugup karena merasa seram dan ketakutan.

Anda pasti bisa bayangkan bagaimana suaraku ketika berbicara waktu itu.. tergagap... gagap... mungkin mirip suara orang yang sedang gugup ketika sedang melaksanakan akad nikah di depan penghulu sehingga harus mengulang sampai puluhan kali... tapi mau bagaimana lagi... ini keadaan darurat... itu pun aku bersyukur karena dia tak menjawab pertanyaanku... kalau tidak, entah bagaimana dan seperti apa suaranya... pasti langsung bikin nyaliku rontok begitu mendengarkan suaranya...

Akhirnya, tanpa ba... bi... bu lagi, aku langsung tancap gas untuk kembali ke Jl. Tamansiswa, tempat semula aku mengisi bahan bakar tadi. 

Siapapun pasti tahu kalau jalan dari ring road menuju ke Taman siswa bisa menjadi agak jauh karena dipasang pembatas jalan yang cukup panjang. Tapi untunglah sekarang ini sudah ada U-turn di dekat toko obat Jampistress, sehingga aku buat U-turn dekat situ dan menuju ke arah lampu merah terminal Giwangan untuk buat U-turn sekali lagi untuk mengambil jalan ke arah kota, menuju ke pom bensin di Jl. Tamansiswa tadi.

Tapi ada yang aneh...

Mobilku menjadi terasa berat tak terbayangkan... bagaikan berjalan hanya dengan kecepatan tak bisa melebihi 20 km sejam dengan membawa beban kayu balok seberat 50 ton untuk sampai ke pom bensin itu... 

Sambil menyetir aku terkadang mengerling ke kaca spion untuk melihat apakah si ‘Minul’ itu masih ada di situ atau tidak. Aku tak tahu bagaimana mengatakan seperti apa perasaanku waktu itu, dan ketika itu yang pasti mulutku gugup dan mulai berkomat-kamit membaca Ayat Kursi dan bermacam ayat lagi yang kuanggap sakti dan ampuh untuk mengusir makhluk halus, aku juga mencobanya dengan zikirullah. 

Pikiranku, dadaku, perutku, semuanya tak merasa nyaman... barcampur baur jadinya... tapi si ‘Minul’ itu tenang-tenang saja bersandar di tempat duduk belakang... bagaikan tidak terjadi apa-apa... tak merasakan panas, ataupun tersiksa dengan ayat-ayat suci yang barusan aku baca untuk mengusirnya... pusing juga jadinya... atau mungkin aku yang telah salah mengutip ayat-ayat suci untuk ditembakkan padanya... dan karena itulah tidak terjadi respon sama sekali... 

Hhh... benar-benar pusing dibuatnya...

Tak terasa, setelah beberapa waktu akhirnya sampai juga di pom bensin Jl. Tamansiswa tadi, aku hentikan mobil dan kuturunkan kaca pintu mobil belakang sebelah kiri dan kanan sambil berkata padanya, 

“Oke... Mbak, kita sudah sampai... silahkan Anda turun di sini” kataku sambil mengerling ke kaca spion...”

Alamaaak...!!! Ada masalah apa lagi ini, dia tak bergeming, masih saja ngendon di situ... tak mau turun keluar dari mobilku... sudah terpaksa jadi driver gratisan alias tak dibayar, masa pula aku harus turun dan membukakan pintu untuknya... wah..wah... wah... benar-benar kacau kalau caranya begini... 

Ketika pikiranku sedang berkecamuk itulah tiba-tiba aku merasa seperti ada sorot lampu mobil dari arah kanan, sehingga secara otomatis aku menoleh ke arah sisi sebelah kanan...

“Ah, ternyata cuma sebuah mobil kecil yang hendak melewatiku...” 

Ketika aku menoleh kembali ke kaca spion... oh... oh... oh...rupanya si ‘Minul’ itu sudah tak ada di sana...
Aku balikkan badan menoleh ke belakang untuk memastikan... 

Wow...!! Rupaya dia sudah menghilang entah ke mana... kapan dia keluar pun aku tak tahu... benar-benar aneh... 

Aku menengadahkan tangan, berdoa, kuucapkan syukur alhamdulillah... aamiiinnn... dan kuucapkan selamat jalan kepadanya sambil berteriak agar dia berhati-hati dan jaga diri baik-baik dan aku pun juga akan begitu... 

Kupacu mobilku dengan hati riang... ketika aku tekan pedal gas sungguh terasa sangat ringan bagaikan tanpa beban sama sekali

Kulirik angka di speedometer... wuiihh... 170...!!

Aku pun segera memperlambat laju kendaraan... sambil sesekali mataku mengerling ke kaca spion untuk memeriksa ke arah belakang dengan harapan si ‘Minul’ tak mengikutiku lagi... siapa tahu dia lupa mengucapkan terima kasih ketika turun tadi... lalu mengejar mobilku dan berteriak-teriak sambil terbang dekat jendela... 

Tapi tunggu sebentar... 

Ada bau wangi yang ditinggalkannya... seperti aroma bunga mawar atau kemuning kalau aku tak salah... dan pikiranku pun mulai terganggu karena aroma itu... akupun segera berdzikir agar selamat.

Beberapa menit kemudian, akhirnya aku sampai juga di rumah.. mobil kuparkir di luar pagar rumah... 

Namun, tiba-tiba aku teringat pesan para orang tua... aku pun tak jadi masuk ke dalam rumah dan pergi sebentar untuk minum kopi joss dulu di kedai Mang Jalil yang biasa buka sampai pagi menjelang. Setelah lewat setengah jam berada di kedai tersebut, barulah aku pulang ke rumah. Sebelum masuk ke dalam rumah kubaca beberapa ayat suci, kubasuh kaki, lalu meludah ke kiri dan kanan, setelah itu barulah aku masuk ke dalam rumah... hanya saja, ketika hendak tidur, aku tak kunjung bisa memejamkankan mata... masih terbayang-bayang lagi pada si ‘Minul’ itu... jangan-jangan aku jatuh cinta padanya... 

Ha... ha... ha... tentu saja tidaklah!!

Saat aku menuliskan cerita ini, aku masih berpikir dan merenungkan tentang peristiwa malam tadi... mungkin ada hikmahnya dan aku masih mencari-cari lagi jawabannya... apa pun itu aku wajib mengucap syukur alhamdulillah, karena sifat takut dan panik dapat aku atasi walaupun nyaliku sempat ciut juga dibuatnya.

Lagipula mungkin karena aku pernah punya pengalaman menghadapi gangguan makhluk halus sebelum ini sehingga aku bisa sedikit melindungi diri, walaupun pada mulanya sempat kaget dan terkejut... padahal sebelum ini aku hanya melihat sambil lalu saja dan dari jarak jauh lagi... bukannya face to face seperti ini dan dalam durasi yang cukup lama pula.

Nasihat dan petuah orang-orang tua yang aku gunakan pun banyak membantu... dan tak lupa juga nasihat secara langsung dan tidak langsung dari banyak paranormal yang luas pengalamannya dalam dunia mistik pun banyak membantu juga.

Jadi, itulah pengalaman menyeramkan yang terjadi padaku malam tadi yang dapat aku ceritakan kepada para pembaca semuanya, dan aku berharap peristiwa ini tidak akan pernah terulang lagi... tapi kalau Anda ingin mencobanya... boleh juga, Anda bisa pergi ke lokasi yang telah aku ceritakan tadi... 

Siapa tahu anda beruntung dan bisa berjumpa dengan si ‘Minul’... 

Lumayaaan... bisa untuk hadiah yang di rumah (asalkan Anda siap-siap saja kena damprat, hehehe...)

Sebenarnya sebelum ini pun aku juga pernah mendengar cerita tentang hantu perempuan cantik yang suka mangkal di dekat pom bensin di Jl. Tamansiswa itu, hanya saja aku tak pernah menyangka kalau hal itu bisa terjadi padaku malam tadi. Aku tadinya mengira hal itu hanya rekaan semata... rupanya benar-benar nyata... tapi aku rasa hantu yang satu ini sangat baik kepadaku... karena dia tidak mencekik leherku dari belakang, sehingga aku masih bisa pulang ke rumah dengan selamat, sehat wal afiat dan bisa berbagi cerita ini dengan para pembaca semua.

Arwah Gentayangan di Sekitar Prawirotaman (Jogjakarta)


Masihkah Anda ingat kasus pembunuhan seorang gadis model yang terjadi di sebuah apartemen mewah di pusat kota? Gadis belia keturunan Jawa-Perancis bernama Lolita Buveur, berusia 19 tahun itu telah dikebumikan di komplek pemakaman tidak jauh dari wilayah Prawirotaman, Yogyakarta, wilayah yang banyak dihuni oleh turis dari mancanegara yang melancong ke Yogyakarta, dan tinggal untuk sementara waktu di homestay yang banyak bertebaran di Prawirotaman. 

Lolita dibunuh di kamarnya pada akhir bulan Desember, tahun 2011 yang lalu. Tetapi akhir-akhir ini banyak pengaduan dilakukan oleh penduduk sekitar komplek pemakaman yang kebanyakan mengaku telah bertemu dengan arwah gadis tersebut sedang berkeliaran di sekitar kawasan pemakaman. Akibatnya banyak pedagang kaki lima yang takut untuk berjualan lewat tengah malam dan karyawan-karyawati yang bekerja di gallery seni yang banyak bertebaran di sekitar Prawirotaman enggan bekerja lembur karena takut untuk pulang dari tempat kerja mereka setelah lewat waktu Isya, apalagi sampai tengah malam atau menjelang dinihari. Ini disebabkan oleh kabar burung yang santer beredar di kalangan masyarakat luas, yang mengatakan akan adanya penampakan hantu Lolita Buveur di perhentian bus atau tempat menunggu angkutan yang akan menjemput mereka. 

Kabarnya, minimarket dan gerai burger di kawasan itu yang biasanya buka selama 24 jam, akhirnya juga hanya berjualan di siang hari karena takut kalau-kalau hantu tersebut muncul di tengah malam dan ingin membeli burger. 

Ada gosip yang mengatakan bahwa kuku Lolita dicabut oleh oknum tak dikenal ketika jenazahnya dimandikan dan ini menyebabkan arwahnya gentayangan di waktu malam untuk mencari kukunya tersebut. Selain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa Lolita memakai susuk sehingga menyebabkan arwahnya tidak tenteram dan berkeliaran di waktu malam.

Banyak penduduk yang mendesak pihak berwajib agar memberi payung hukum untuk membongkar kuburan Lolita dan membuang susuk yang dipakainya, supaya arwahnya tenang di alam sana dan tidak lagi berkeliaran mengganggu manusia. Kemudian ada pula gosip yang berkembang yang mengatakan bahwa pengadilan telah memberi ijin untuk menggali kuburan gadis model tersebut, namun ada pula yang membantah berita tersebut. Kemudian muncul pula cerita hantu Lolita akan begini dan akan begitu.

Benar-benar keterlaluan, tapi inilah kabar burung dan kabar angin yang telah tersebar bagaikan virus hingga menimbulkan rasa cemas di masyarakat luas, bahkan sampai ada yang ketakutan untuk beraktivitas di malam hari.

Selain itu, banyak juga spekulasi tentang pekerjaan gadis belia berusia 19 tahun tersebut yang mampu tinggal di apartemen mewah dan mempunyai banyak mobil mewah. Bahkan kabarnya ia mampu mengirim uang hingga Rp 150 juta per bulan kepada ibunya. 

Entah gadis model itu melakukan pekerjaan yang halal atau tidak, tak ada yang tahu secara pasti, tapi spekulasi dan kabar angin yang miring tentang sepak terjang gadis model tersebut semasa hidupnya telah tersebar luas.

Apakah Anda percaya hantu? Apakah hantu Lolita ini benar-benar ada karena berita tentang hantu Lolita yang berkeliaran di sekitar komplek pemakaman telah menjadi berita hangat dan di setiap obrolan penduduk pasti akan membicarakan kasus ini. 

Sebenarnya banyak juga yang mempertanyakan apakah hantu ini benar-benar ada atau hanya ulah oknum tak bertanggung-jawab yang ingin mempermainkan perasaan dan emosi masyarakat dan meyebabkan ketakutan ini tersebar kepada warga di sekitar komplek pemakaman tempat Lolita dikubur. Apapun itu, hantu memang sama saja seperti makhluk-makhluk ghaib yang ada di muka bumi ini dan juga merupakan salah satu trik arau tipu daya yang dilakukan oleh syaitan untuk menakut-nakuti umat manusia. 

Namun bagi mereka yang selalu ingat kepada Allah SWT, dan mengharapkan perlindungan hanya kepada-Nya saja, sudah pasti akan selamat dan tidak terpengaruh sedikitpun dengan tipu muslihat hasil rekayasa jin dan syaitan. 

Kisah Seram di TMP Margarana Tabanan, Bali


Kisah ini terjadi saat aku masih duduk di bangku SMP. Saat itu aku lagi mengikuti acara kegiatan perkemahan pramuka di Taman Makam Pahlawan Margarana, Tabanan, Bali. Malam, tepat pukul 21.00, saatnya istirahat malam. Dalam perkemahan itu, tidurnya tidak di dalam tenda melainkan di dalam museum dimana terdapat patung yang memakai baju pahlawan yang masih ada darahnya dan menghadap ke barat.

Tepat jam 00.00 atau 12 malam, kita semua dibangunkan oleh kakak-kakak pembina untuk mengikuti acara mencari jejak. Kita semua dilepas di kegelapan malam seorang diri buat mencari lilin dan mencari pos-pos jaga untuk ditanyai kakak pembina penjaga pos. 

Dalam perjalanan mencari pos, aku melihat kakek tua berbaju montir warna cokelat dan giginya kelihatan kuning seperti karat. Sontak aku kaget dan shock. Lalu aku bertanya padanya.

“Sedang apa Pak...?” tanyaku padanya.

“Lagi nyantai Nak...” jawabnya pendek.

Akhirnya aku melanjutkan perjalananku mencari pos-pos jaga. Dan akhirnya selesai sudah semua pos aku kunjungi.

Keesokan harinya, aku menanyakan kejadian semalam pada teman-temanku. Namun, tidak ada satupun dari temanku yang bertemu dengan kakek tua seperti yang aku ceritakan. Dan tanpa sadar aku melihat patung yang ada di museum itu, ternyata baju yang dipakai kakek tua tadi malam itu sama persis dengan baju patung itu. Anehnya lagi, patung yang kemarin menghadap ke barat sekarang pindah ke timur. Hingga sekarang aku masih penasaran, kenapa patung itu bisa berubah arah dan siapa kakek tua itu.

Tuesday, November 19, 2019

Siapa Perempuan Misterius Itu? (Bali)


“Di Bali ada sebuah kepercayaan, ada kalanya dimana kematian seseorang yang tubuhnya belum diaben atau minimal diupacarai akan menarik perhatian orang-orang yang berkekuatan mistis, atau orang yang meninggal secara tidak wajar dan belum diupacarai maka arwahnya akan tetap berada di tempat terakhir dia menghembuskan nafas terakhirnya.”

Aku ada tugas kantor untuk mengikuti pelatihan yang diadakan oleh sebuah instansi di Bali selama tiga hari. Sebenarnya akomodasi sudah lengkap disediakan termasuk penginapan. Tapi aku lebih memilih tinggal menumpang tidur di rumah kakakku. Kak Anto, begitu aku biasa memanggilnya. Dia bekerja di kota ini dan sudah pula punya rumah sendiri. Sudah begitu dia masih single alias belum berkeluarga, jadinya aku lebih bebas berada di sana. Apalagi kami sama-sama lelaki, jadi klop deh. Aku dipinjami motor olehnya untuk datang dan pulang dari pelatihan. Sedang dia membawa mobil sendiri.

“Hayooo... sudah mandi belum?” hardik kak Anto mengagetkanku dari arah belakang. Dia lalu ikutan duduk di sampingku. Aku sih hanya cengar-cengir saja karena aku memang belum mandi.

Kami ada di lantai dua, di belakang ada dua kursi dimana kami sekarang duduk. Rumah kak Anto memang bertingkat. Di lantai satu terdapat garasi, kamar tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi dan sebuah kamar tidur. Sedang di lantai dua ada sebuah kamar tidur, ruang keluarga serta ruang menjemur pakaian. Nah di belakang ruang itu ada kursi yang menghadap keluar, kami bisa melihat pemandangan dari atas. Rumah kak Anto merupakan perumahan yang belum padat penghuni, lokasinya agak jauh dari kota, letaknya di paling ujung bagian belakang yang berbatasan dengan lahan persawahan jadinya kak Anto menempatkan kursi itu di situ. Katanya sih buat refreshing.

“Pemandangan di sini bagus kan?” serunya sambil menghirup udara pagi yang menyegarkan.

Saat itu masih pagi benar, jam belum menunjuk angka enam. Aku hanya perlu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di tempat pelatihan bila mengendarai motor. Pelatihan itu sendiri dimulai pukul delapan pagi. Jadi masih banyak waktu bagiku untuk bersantai ria.

“Iya masih bagus, bayangin bila nanti persawahan itu berubah jadi pemukiman... wah... nggak ada pemandangan bagus lagi tuh!” tukasku.

“Hahahaha... makanya sebelum berubah kita nikmati sepuasnya!” timpalnya renyah.

“Kalau sore selepas pulang kerja aku biasa duduk santai dulu di sini melihat pemandangan persawahan dan menanti detik-detik terbenamnya matahari. Indah sekali... suasana yang sepi dengan hembusan angin sepoi-sepoi menyatu dengan alam yang belum terpolusi, apalagi bila tumbuhan padi mulai tumbuh, daunnya yang hijau terhampar bak permadani...”

“Wah cocok tuh jadi penyair...” potongku menanggapi celotehan kakakku yang panjang lebar itu.

“Diceritain malah protes!” gerutunya.

“Bukan protes Kak, cuma cara Kakak menggambarkan pemandangan alam di sini seperti kisah dongeng dongeng yang aku baca di majalah anak-anak... hahahah!” sergahku diringi tawa berderai.

“Tapi memang asyik sih! Rasanya teduh melihat asrinya alam!” akhirnya memilih kata kata yang manis untuk mendukungnya karena kulihat dia mulai manyun. 

“Tidak salah kakak memilih lokasi rumah di perumahan ini, bayangin aja kalau posisi rumah kakak ada di bagian depan... wah paling cuma bisa lihat pos satpam!” tambahku lagi.

Kak Anto tersenyum bangga. Dia senang aku sanjung rupanya.

“Eh kak, perempuan itu siapa sih?” 

Aku mengalihkan pembicaraan, ketika kulihat seorang perempuan berlenggang di jalan yang ada di antara perumahan dan persawahan, memang sih ada pagar tinggi yang membatasi, tapi dari tempat kami duduk kami bisa melihatnya. Jalan itu tidak lebar-lebar amat hanya cukup untuk satu mobil, jadi kalau berpapasan pasti salah satu akan kerepotan, tapi kayaknya tidak ada mobil yang melintasi jalan itu karena jalan itu masih berujud tanah belum diaspal.

“Aku juga kurang tahu tuh!” jawabnya pendek.

“Memang aku sering melihatnya lewat di jalan itu di pagi dan sore atau menjelang petang. Mungkin dia bekerja dan itu rute jalannya!” tambahnya.

“Wah jangan-jangan perempuan itu memang sengaja lewat di situ biar dilirik sama Kakak!” gurauku.

“Enak aja... lihat tuh!” tangannya lalu menunjuk ke arah perempuan itu yang sudah ada beberapa meter ke depan. 

“Usianya pasti sekitar empat puluhan!”

“Tapi terlihat masih seperti gadis tuh bentuk tubuhnya!” gurauku lagi... kali ini aku nggak bisa menyembunyikan rasa ingin tertawaku.

Kak Anto meninjuku pelan, lalu dia berdiri dan berkata, “Aku mau mandi dulu, sudah jam enam lebih nih, bisa terlambat kalau nanti mesti berebut kamar mandi!”

“Yoi... silakan!” jawabku pendek.

Sepeninggal kakak aku kembali menatap perempuan itu, dia memang seperti perempuan matang berusia empat puluhan. Dari tempat aku duduk aku memang bisa melihat dengan jelas.. Dia memakai baju atau mungkin seragam warna putih dibalut jaket warna coklat. Sebuah tas terselempang di pundaknya. Sepatunya jenis formal dengan hak belakang yang tidak terlalu tinggi. Rambutnya yang panjang sebahu ia biarkan lepas tergerai sehingga anginpun leluasa menerbangkan helai-helai rambutnya. Di saat aku sibuk mengamatinya, tiba-tiba wanita itu menengok ke atas ke arahku, mungkin dia merasa kalau ada orang yang mengawasinya. Buru-buru aku memalingkan muka pura-pura melihat pemandangan di bagian samping. Namun demikian aku sempat menangkap tatapan matanya. Mata itu... kenapa seperti tajam menghujamku? Ah mungkin itu cuma perasaanku saja karena aku tertangkap basah mencuri pandang ke arahnya. Begitu aku menghibur diri.

“Hayoo... gantian mandi, jangan sampai telat!”

Suara kakak memecahkan kegalauanku, aku segera beranjak dari kursi tempat aku duduk dan menuruni tangga menuju kamar mandi yang terletak di lantai bawah. Dia mengikutiku dari belakang.

“Nanti selepas mandi langsung ke ruang makan ya? Aku akan mempersiapkan sarapan roti bakar!” lanjut dia setelah kami berpisah arah, aku menuju kamar mandi dan dia menuju ruang dapur.

Benar saja, saat aku ada di ruang makan, di atas meja sudah tersedia dua piring dengan setangkup roti bakar dan selai di tengahnya. Dua cangkir teh hangat juga tersaji.

“Ayo kita sarapan!” ajaknya melihatku yang sudah berada di ruang makan. Kami lalu sarapan bersama-sama.

“Nanti aku pulang agak terlambat, kamu sudah bawa kunci candangan rumah ini kan?” tanyanya sambil membereskan piring dan cangkir dan membawanya ke wastafel dapur.

“Aku juga akan pulang terlambat ah... mau putar-putar kota dulu, cari hiburan!” candaku.

Kak Anto tertawa, “Terserah kamu aja! Asal jangan bikin masalah! Kalau itu terjadi aku nggak bakalan nolong kamu!”

Aku mencibir, aku jadi ingat beberapa tahun lalu saat aku masih duduk di kelas menengah atas. Aku pernah terlibat perkelahian antar pelajar yang mengakibatkan aku dan geng-ku diciduk aparat. Memang sih kami tidak sampai ditahan tapi orang tua mesti datang menjemput kami, jadilah sampai rumah aku dimarahi atau dinasehati ya... habis-habisan sama orang tua. Aku memang beda dengan kakkakku, meski sama-sama lelaki tapi kak Anto itu lebih kalem dan sabar, kalau aku lebih suka banyak canda dan semaunya sendiri. Tentu saja semakin kesini alias semakin tua aku juga akhirnya bisa berubah. Apalagi setelah lepas dari orang tua, aku mesti menjaga diri dan menjalani hidup dengan lebih tertib, kalau terjadi apa-apa terhadap diriku, aku sendiri yang mesti menanggungnya maklum sudah dianggap dewasa.

“Beres Kak... kebandelanku sudah mentok saat masih muda!” balasku ringan.

“Ya sudahlah... aku berangkat dulu. Tahu sendiri kan kantorku lumayan jauh dari sini!” dia lalu pergi meninggalkanku. 

Dari dalam rumah aku mendengar deru mobil dari arah garasi menuju jalan perumahan lalu menghilang. Kutengok jam dinding yang tertempel di tembok, sudah menunjukan angka tujuh lewat sepuluh menit. Aku segera bangkit dan berjalan ke arah kamar tidur atas, di rumah ini ada dua kamar tidur, di bawah untuk kakak dan aku kebagian di bagian atas.

Setelah berganti pakaian dan membawa tas berisi makalah dan laptop aku segera keluar rumah. Kukunci rumah itu dan kuhidupkan mesin motor selanjutnya aku berlalu menuju tempat pelatihan. Sampai sana sudah banyak peserta yang datang. Setelah memarkir motor aku segera bergabung dengan mereka.

“Sudah siap dengan makalahnya?” tanya pak Rudi teman sejawatku. 

Seharusnya aku tinggal di penginapan sekamar dengannya, tapi aku lebih memilih menumpang di rumah kakakku, lebih nyaman dan bisa ngobrol mengobati kerinduan. Untung pak Rudi tidak keberatan, apalagi aku bilang padanya kalau aku sering mengorok kalau tidur, pak Rudi lebih merasa beruntung.

“Yoi, Pak Rudi juga kan?” aku balik bertanya. 

Aku memang sudah membaca makalah yang dibuat satu kelompok, tapi ya membaca sekilas saja. Menurutku kalaupun aku kurang siap toh ada teman-teman yang lain yang akan mempertahankan makalah itu... hahahah. Aku memang bandel sih.

Entah mengapa selama mengikuti pelatihan perhatianku tidak tertuju kesitu melainkan terbayang perempuan yang tadi pagi lewat di jalan belakang perumahan. Meski cuma sekilas ternyata memori tentang dia tergambar jelas di benakku. Wajah perempuan itu tidak terlalu cantik bahkan bisa dibilang biasa biasa saja. Tapi kesan misterius terpancar lewat auranya,apalagi dengan sepasang mata yang dingin laksana es, membuat wajah itu mirip yang tervisualisasikan di film-film horror itu, misterius, dingin dan tidak ada senyum sama sekali. Padahal baru kali pertama aku bertemu dengannya, sekilas pula, kok jadi begini sih? Aku jadi jengkel sendiri, aku mencoba melupakan bayangan itu dan berusaha berkonsentrasi dengan pelatihan itu.

“Sampai besok ya...!” ujar pak Rudi ketika kami berpisah di pelataran, aku akan menuju tempat parkiran dan dia akan kembali ke kamar hotel yang terletak di atas.

“Ya Pak, sama-sama!” jawabku pendek.

Senang rasanya bisa menyelesaikan tugas di hari pertama, tapi... masih ada dua hari lagi nih.!! Yah, dijalanin sajalah. 

Pelatihan di hari pertama selesai jam lima sore, aku masih ada waktu untuk memantau kehadiran si perempuan misterius itu. Gila kenapa aku jadi terobsesi begini? Padahal baru tadi aku melihatnya dan kepergok pula, kenapa sekarang aku jadi penasaran ingin melihatnya lagi? 

Aku segera menjalankan motor dengan kecepatan tinggi, tergesa aku ingin segera sampai rumah kak Anto. Dia bilang perempuan itu biasa lewat di pagi dan sore atau petang hari, jadi aku masih ada waktu untuk bersiap menunggu kedatangannya. Sampai rumah sudah menunjuk pukul lima lebih duapuluh menit. Setelah memasukkan motor aku segera berlari ke atas menuju kursi di ruang jemuran itu. 

Aku belum sempat berganti baju karena aku nggak mau terlewat bila dia nanti lewat di jalan itu. Untung kaca mata hitam yang aku pakai saat mengendarai motor masih menempel, jadi nggak akan terlalu kelihatan kalau dia nanti mempergokiku seperti kejadian tadi pagi.

Suasana sore menjelang petang terasa sepi, maklum hampir Maghrib, biasanya orang orang sudah selesai dengan kegiatannya dan berdiam diri di rumah dulu. Di balik kaca mata hitam aku terus mengawasi jalan itu, hingga aku dikejutkan oleh suara telephon genggamku. Kulihat nama kak Anto tertera di layar handphone.

“Sore Kak...!” ucapku memberi salam.

“Sore juga, sudah pulang nih?” tanyanya dari seberang sana, suara printer komputer terdengar, tampaknya dia masih sibuk dengan pekerjaannya alias masih ada di kantor.

“Barusan sampai nih, kakak lembur ya? “ tanyaku singkat, maklum perhatianku terfokus ke arah jalan itu.

“Ya nih... payah! Bisa sampai malam. Ntar kamu makan sendiri aja di luar ya? Banyak warung tenda di luar perumahan, kalau malam berderet tuh, kamu tinggal pilih aja sesuai keinginanmu. Tapi kalau nggak selera ya kamu bisa cari alternative di pusat kota, banyak rumah makan dan restaurant...”

Aku tidak hirau dengan celotehan kakakku, urusan makan mah gampang! Asal ada uang dan ada yang jual makanan –apalagi di kota– pasti banyak penjual kan? Tinggal pilih.

“Kamu nggak dengerin ucapanku ya?” suara di seberang terdengar protes.

“Denger kok! Katanya demi kesopanan kita nggak boleh memotong ucapan orang apalagi yang lebih tua... hehehehe!” aku mencoba mencairkan suasana.

“Bisa aja kamu!” tawa ringan terdengar, lalu lanjutnya, “Kamu lagi ngapain nih?”

“Cari angin di belakang...”

“Pasti di ruang jemuran...” potongnya cepat.

“Wah, tahu saja nih!”

“Mhmm... pasti menunggu si ‘dia’ ya... hehehe... penasaran ya...?” canda kakakku dengan suara agak genit.
Aku tertawa, “Iya nih...!” Aku nggak bisa membohonginya.

“Perempuan banyak... ngapain pilih dia? Usianya kan jauh di atasmu!”

Kali ini aku yang kena ejeknya.

“Bukan buat pacar kok, penasaran aja dengan raut mukanya yang misterius itu!” jawabku lugas.

“Mmhmm... iya sih... aku juga penasaran!” rupanya kak Anto juga tidak bisa menutupi keingin tahuannya siapa perempuan itu.

“Nah loh... benar kan?” serbuku.

“Sejak kapan sih perempuan itu lewat jalan di belakang perumahan?” tanyaku memancing.

“Aku membeli dan menempati rumah ini belum lama, baru sekitar dua bulan!”

Tanpa diminta kak Anto mulai bercerita ikhwal dia mulai tertarik dengan kehadiran perempuan misterius itu.

“Tapi baru sekitar sebulan lalu aku penasaran untuk mengawasinya, nggak tiap hari sih karena kalau ada lembur kan bisa bisa sampai rumah di atas jam tujuh malam!”

“Wah... kayak detective aja nih!” potongku

“Hehehe... nggak tahu ya, kenapa jadi penasaran gini!”

“Pernah kepergok nggak?” tanyaku 

“Nggak pernah lah youw... malu lah! Emang kamu pernah ya? Kapan?

“Eit... aku kan baru tadi lihat dia!” sergahku.

“Kakak tuh yang pasti pernah kepergok! Sudah sekitar sebulan diawasi masak perempuan itu tidak menyadarinya sih!”

“Mungkin saja, tapi yang jelas aku dan dia tidak pernah bertatap muka langsung, aku tidak pernah beradu pandangan mata!”

“Mhmm...!” gumamku.

“Udah dulu ya Kak! hampir Maghrib nih, aku mau mandi dulu!” potongku. 

“Yoi, ntar dingin... segera mandi sono!”

“Kalau dingin ya nggak suah mandi sekalian!” bantahku.

“Huuuhh... bauuuuu!”

“Ok deh, udah dulu!” 

Akhirnya kak Anto menutup handphone-nya. Aku pikir perempuan itu tidak lewat karena waktu hampir menjelang Maghrib, aku bermaksud beranjak dari kursi untuk menuju kamar mandi, tapi mendadak pandanganku melihat sosok dari ujung jalan yang melangkah santai melewati jalan itu, dan si perempuan misterius itu... dia memakai baju warna putih dengan jaket... sama seperti yang tadi pagi aku lihat! Dia berjalan dengan pelan saja, sepertinya dia tidak tahu kalau aku menatapnya dari atas di balik pagar pembatas perumahan.

Meski hanya dibantu penerangan yang minim karena baru beberapa lampu yang dihidupkan, aku bisa menangkap raut mukanya. Aura yang dipancarkan memang misterius. Siapakah dia itu? Mungkin dia tinggal di perkampuangan di seberang areal persawahan... atau mungkin... ah kenapa aku jadi emosional begini sih.

Syukurlah, dia tidak menyadari kalau aku mengawasinya, mungkin karena lampu rumah belum aku hidupkan jadi suasana rumah masih gelap. Setelah dia berlalu meninggalkan jalan, aku segera melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda sesaat tadi, yaitu mandi. Tentu saja aku menghidupkan lampu-lampu dulu.

Seperti rencanaku sebelumnya, setelah mandi dan shalat Maghrib aku bergegas keluar rumah buat mencari makan. Aku lebih memilih makan di pusat kota karena banyak pilihan, maka aku mengeluarkan motor. Aku tidak perlu tergesa pulang karena kak Anto bawa kunci rumah sendiri begitupun aku. Jadi kami berdua bisa leluasa pergi tanpa membebani orang lain karena mesti menunggu.

Kali ini aku menjalankan motor dengan santai, perut belum begitu lapar, karena sebelum pulang ada kudapan sore yang disediakan selama pelatihan, jadi aku ada banyak waktu buat memilih warung makan. Setelah keliling kota mencari-cari makanan yang menggugah selera, akhirnya aku berhenti di sebuah warung bebek betutu di dekat alun-alun kota. Antriannya sangat panjang, tapi tidak apalah. Biasanya kalau banyak pembeli begini bisa dipastikan makanananya enak, karena cocok buat lidah banyak orang. Menunggu giliran aku duduk santai di atas tikar yang disediakan, kuambil handphone dari saku jaket lalu aku mainkan salah satu game-nya. Aku sibuk memainkan nya sampai tidak sadar ada seseorang yang menghampiriku.

“Wah asyiknya...!” ucap seseorang dari arah samping, tangannya merangkul pundakku.

Kutengok ke arah suara itu, rupanya pak Rudi. Tak kusangka aku ketemu dia di sini.

“Heh... Pak Rudi?” Aku tidak bisa menyembunyikan kekagetanku, “Mau ngantri makan bebek betutu juga nih?” lanjutku, kali ini nada suaraku sudah biasa lagi.

“Enggak, masih kenyang! Sudah makan tadi di penginapan, kan sudah disediakan oleh panitia!”

“Trus, ada acara apa nih?” tanyaku.

“Cari angin saja! Suntuk berdiam diri di kamar, makanya aku keluar, untung deh ketemu kamu, jadi bisa ngobrol dulu!”

“Kayaknya banyak dari peserta yang lagi keluar seperti Pak Rudi, tuh!”

Aku menunjuk beberapa orang yang terlihat di area alun-alun, mereka tampak berjalan-jalan dengan santai.
“Oh iya... betul juga!” serunya setelah matanya mengikuti arah tanganku.

Pak Rudi akhirnya memesan minuman jeruk panas buat menemaniku makan. Kami juga ngobrol kesana kemari soal pelatihan dan kantor. Obrolan kami terhenti kala telepon genggamku berbunyi, rupanya kak Anto. Dia pasti sudah pulang, 

“Kak Anto sudah ada di rumah ya?” 

“Iya, kamu dimana?”

“Di alun-alun, lagi makan bebek betutu!”

“Ok lah, aku mau tidur... capek! Kamu bawa kunci sendiri kan!”

“Yoi... santai ajalah Kak!”

Kutengok jam yang melingkar di tanganku, sudah menunjuk pukul sepuluh lebih beberapa menit. Aku dan pak rudi melanjutkan bincang-bincang yang tadi sempat terhenti oleh telepon kakakku, tak terasa aku sudah melewatkan malam dengan ngobrol panjang dengannya.

“Sudah malam nih!” celetuknya. “Aku mau kembali ke penginapan... takut besok terlambat bangun!”

“Aku juga!” seruku pendek.

Akhirnya aku berpisah dengannya, dia kembali ke penginapan dan aku kembali ke rumah. Sekitar setengah dua belas malam aku sampai. Pintu kamar kakakku setengah terbuka, jadi aku bisa melihatnya kalau dia sudah tertidur pulas, aku segera berlalu menuju lantai atas, aku juga lelah dan ingin istirahat, apalagi besok pagi masih ada kegiatan pelatihan di hari kedua.

Aku naik keatas dan masuk ke kamarku, namun entah mengapa aku kesulitan memejamkan mata. Suasana yang sepi dan hawa dingin malam mestinya membuatku semakin mengantuk karena terbantu dengan kondisi itu, kenyataannya mata ini tetap terjaga. Bingung mau ngapain, akhirnya aku keluar kamar menuju ruang jemuran. Aku duduk di kursi dimana tadi pagi dan petang hari aku menunggu perempuan misterius itu, tapi kali ini aku tidak sedang menunggunya karena aku tahu dia tidak akan nongol di malam begini, kan kak Anto pernah cerita hanya di pagi dan petang hari dia lewat, mungkin saat berangkat dan pulang kerja saja.

Kugeser kursi agar lebih mendekati tembok pembatas, aku lalu menyilangkan kedua kakkiku di situ. Mengeluarkan sebungkus rokok di balik saku celana, aku menghirup salah satu batangnya, wah emang enak merokok di malam hari sambil melamun...heheh. Jalanan di luar itu terlihat sangat sepi. Areal persawahan yang ditanami padi menambah hening suasana. Tidak ada aktivitas di situ.

Tiba-tiba di tengah lamunanku aku terhenyak begitu melihat sebuah pemandangan yang tiba-tiba muncul, atau mungkin karena aku melamun sehingga tidak menyadari sebelumnya? Kubuka lebar-lebar mata ini untuk lebih memastikan dengan apa yang kulihat. Perempuan itu... kenapa dia berdiri dan menatapku dari bawah? Rambutnya yang tergerai menari-nari tertiup angin. Wajahnya yang misterius semakin memancarkan keganjilan karena aku menangkap tatapannya yang begitu dingin. Aku bahkan seperti terpaku di kursi tempatku duduk. Kehadirannya yang tiba-tiba membuatku terkejut setengah mati. 

Di saat aku mulai sadar diri dengan apa yang kulihat tiba-tiba perempuan itu menghilang dari pandangan. Kemana dia? Kenapa tidak ada jejaknya sama sekali? Itu membuatku menggigil ketakutan, keringat dingin membasahi wajah dan tubuhku. Agak gemetaran juga aku. Benarkah tadi yang kulihat? Aku mulai ragu karena mungkin saja itu cuma khayalanku? Masak ada orang yang tiba-tiba muncul dan tiba-tiba pula menghilang? Tak tahan dengan pertanyaan yang memenuhi kepalaku aku langsung berlari menuju kamar tidur.

Paginya, seperti biasa aku dan kak Anto duduk kembali di kursi ini untuk menunggu kedatangan perempuan itu, aku tidak menceritakan kejadian tadi malam... malu dong. 

“Kok dia nggak muncul ya?” tanyaku dengan penuh tanda Tanya. Peristiwa tadi malam begitu saja muncul dibenakku.

“Iya ya? Mungkin lagi bolos kerja kali?” timpal kakak sekenanya.

Karena waktu semakin mepet, akhirnya aku tinggalkan kursi itu untuk pergi ke pelatihan, begitupun kakakku, dia juga pergi ke kantor.

Siang hari saat acara pelatihan rehat sebentar buat makan siang dan shalat, aku dan rekan rekan sesama anggota pelatihan pindah menuju aula tempat makanan disajikan.

Kami sedang makan saat acara di televisi menampilkan berita. Awalnya aku kurang tertarik mengikutinya karena sedang makan kok disuguhi berita... eh kriminal pula. Tapi mendadak mataku tertahan ke layar televisi ketika ditampilkan sebuah foto seorang wanita korban pembunuhan. Wajah perempuan itu sama persis dengan yang aku dan kakakku lihat selama ini di jalan yang letaknya di belakang perumahan itu. Penyiar berita membacakan bahwa kematiannya sudah beberapa bulan lalu dan baru ditemukan jasadnya tadi malam, menurut keterangan polisi memang peristiwa pembunuhan terjadi di pemukiman yang ternyata di lokasi sekitar tempat tinggal kakak, tapi jasad korban lalu dibuang di tempat yang agak jauh. 

Aku tercekat, kalau kematian perempuan itu terjadi beberapa bulan lalu... berarti yang kakak dan aku lihat selama ini... arwah penasaran alias hantu?? Pantas saja wajahnya sangat dingin dan misterius. Tiba-tiba lidahku jadi kelu, selera makan langsung pula hilang. Perempuan itu... aku tidak kuasa melanjutkan isi pikiranku.

Bertemu Monyet Misterius di Sangeh (Bali)


Beberapa tahun yang lalu saat aku masih duduk di Sekolah Menengah Atas, aku mengikuti wisata study tour ke pulau Bali. Salah satu tempat tujuan wisata yang kami tuju adalah Sangeh. 

“Adik-adik peserta wisata, sekarang kita akan mengunjungi Sangeh!” seru pemandu wisata yang ada di dalam bis bersama kami. Namanya pak Made. Dia asli orang Bali.

“Sangeh? Apa itu pak? Pantai atau apa ya?” celetuk salah seorang teman kami.

Jawab pak Made, “Sangat mungkin banyak yang belum tahu, Taman Wisata Alam Sangeh memang belum seterkenal Kuta, Tanah Lot, Danau dan Gunung Batur di Bali. Sangeh itu sebuah tempat pariwisata di pulau Bali yang terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, Bali.”

 Lanjutnya lagi, “Sangeh terkenal karena suasananya yang masih sangat alami dan yang utama di tempat itu ada hewan monyetnya. Lokasi Objek Wisata Sangeh hanya terletak sekitar 20 km saja dari Denpasar. Salah satu pesona dari Taman Wisata Alam Sangeh Bali adalah wisata hutan yang termasuk hutan lindung yang dilindungi dengan luas sekitar 14 hektar.”

“Wah kalau hanya lihat monyet... ini teman kami sudah mirip monyet!” canda Joni sambil jarinya menunjuk ke arah Boby, teman yang duduk di sebelahnya. 

“Enak aja, kamu tuh si Raja Monyet!” balas Boby tak mau kalah.

“Hahahahah...” kami semua yang ada di dalam bis tertawa terpingkal-pingkal.

Joni itu teman kami yang terkenal lucu dan suka bercanda. Pak Made yang mendengar hanya tersenyum simpul demikian para guru yang kebagian tugas mengantar kami wisata ke Bali juga cuma tersenyum.

“Baiklah adik-adik semua, saya akan terangkan sedikit tentang Sangeh. Mungkin banyak dari kalian yang belum tahu,” kata pak Made lagi.

Lalu meluncurlah informasi tentang Sangeh dari mulut pak made, 

“Padahal taman wisata ini memiliki daya tarik yang sangat kuat, mulai dari hutan lindungnya yang sangat asri, ribuan monyet yang saling bermain dengan kawanannya, bahkan kalau ada nyali alias keberanian maka kita juga bisa bermain bersama para monyet itu. Selain terkenal karena monyetnya, tempat itu juga terkenal karena kawasan hutan yang luas dan tertata rapi. Dominan pohon-pohon yang tumbuh di hutan ini adalah tumbuhan pala, bahkan konon katanya tumbuhan pala ini tidak dapat tumbuh di tempat lain selain di hutan Sangeh ini. Pohon-pohon pala di Sangeh berdiri kokoh dengan batang yang lurus nan tinggi. Usia dari pohon-pohon tersebut bisa dibilang sudah tidak muda lagi. Ada yang sudah berumur seratus tahunan dan bahkan ada yang sampai berumur tiga ratus tahunan. Wisata alam Sangeh, Bali ini memiliki sejarah yang membuat tempat ini menjadi tempat yang disakralkan oleh warga setempat. Bahkan tidak ada warga sekitar yang mau menebang 1 pohon pun di area hutan Sangeh ini. Itu karena pohon-pohon di hutan Sangeh sangat dijaga ketat oleh para warga setempat. Tidak ada yang berani menebang pohon tersebut meskipun pohon itu telah layu dan mati. Mereka akan membiarkan pohon tersebut tumbang dan rapuh dengan sendirinya.”

Kami yang mendengar cerita pak Made jadi tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Sangeh, sebab selama ini yang sering ditayangkan di televisi adalah pantai-pantainya yang indah, Pura yang sakral dan bangunan-bangunan lainnya yang penuh ukiran dan indah dilihat selain banyaknya turis asing yang berkunjung ke pulau Dewata ini.

“Memang apa sih istimewanya pohon-pohon itu hingga sakral?” tanya seorang teman kami.

“Baiklah, ini saya ceritakan sejarahnya, Hutan Wisata Sangeh dibuat sebagai taman dari kerajaan Mengwi. Agar terlihat cantik taman ini ditanami pohon pala yang khusus didatangkan dari Gunung Agung. Sebenarnya rencana pembuatan taman ini sangat dirahasikan namun akhirnya pembuatan taman ini diketahui oleh beberapa orang, akibatnya pembuatan taman itu dihentikan, hingga akhirnya kawasan itu diberi nama Sangeh, yang artingya ada orang yang melihat. Jika kita sempat mengunjungi taman wisata ini, kita pasti akan tertarik dengan keindahan pohon pala yang tumbuh di hutan ini, karena selain tumbuhnya lurus, pohon pala juga memiliki kayu yang sangat bagus. Namun anehnya, menurut beberapa sumber, pohon pala Sangeh konon tidak bisa ditanam di tempat lain. Hingga orang-orang yang ingin memiliki kayu pohon pala tidak pernah kesampaian. Ada hal menarik yaitu tentang sebuah pohon yang telah tua dan akan roboh. Dari perkiraan banyak orang, pohon tersebut akan roboh ke arah Pura Bukit Sari, namun kenyataanya semua ternyata melenceng. Awalnya pohon tersebut akan ditebang namun tidak ada yang berani karena takut mendapat kutukan.”

Pak Made terdiam sebentar, lalu dia melanjutkan ceritanya. “Sekitar awal Januari, akhirnya pohon itu roboh sendiri, mengarah ke barat daya. Persis antara bangunan Bale Kulkul dan Pewaregan, sehingga hanya sedikit sekali menimbulkan kerusakan, hanya pada tembok luar Pewaregan saja. Ini mengherankan karena seharusnya pohon itu tumbang persis di bangunan utama pura, Selain pohon pala, masih ada tanaman yang terkenal di hutan Sangeh. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Pohon Lanang Wadon, karena bagian bawah pohon itu berlubang sehingga menyerupai alat kelamin perempuan, sedangkan di tengah lubang tersebut tumbuh batang yang mengarah ke bawah yang terlihat seperti alat kelamin pria. Pohon itu tumbuh persis di pelataran depan tempat wisata Sangeh dan sebenarnya merupakan pohon pule.”

“Pohon pule itu apa sih Pak, kegunaannya untuk apa?”

“Di Bali, pohon pule memiliki banyak keistimewaan karena kayunya sering digunakan untuk keperluan khusus, misalnya, membuat topeng yang dipakai sebagai sungsungan. Masyarakat kadang-kadang ada yang meminta kayu pule itu,” jelas pak made, “Tetapi, tentu saja tidak boleh begitu saja orang mengambil kayu atau dahannya karena harus disesuaikan dulu hari baiknya serta memberi persembahan sebagai tanda minta ijin.

“Terus kalau monyet-monyet di sini apa juga punya keistimewaan?”

“Monyet Sangeh memiliki beberapa kelompok yang masing-masing kelompok memiliki satu pemimpin. Namun kelompok-kelompok tersebut memilki pimpinan tertinggi atau bisa dibilang raja dari seluruh raja monyet yang ada di Sangeh. Pemimpin tertinggi ini berdiam di tempat yang paling luas di. Ditempat raja monyet ini tinggal terdapat sebuah pura yang sangat terkenal kesakralannya yaitu Pura Bukit Sari. Entah bagaimana caranya, pemimpin monyet dipilih karena memiliki kekuatan dan kharisma yang sangat luar biasa. Bahkan mereka memiliki hak-hak yang lebih dibanding monyet lainnya, seperti saat mengawini si betina atau saat mendapat jatah makanan. Biasanya raja monyet akan mendapat jatah pertama sampai ia puas, sebelum memberikan jatah tersebut pada monyet-monyet lain.Sebagian besar kawasan hutan wisata ini, menjadi tempat bermukim monyet, hanya sebagian kecil saja yang dimanfaatkan para pengusaha untuk membuat beberapa kios tempat menjual beraneka ragam cinderamata.” terang pak Made panjang lebar.

 Setelah berhenti sebentar, pak Made lalu meneruskan ceritanya, “Monyet yang tumbuh dan besar di Sangeh merupakan monyet yang relatif liar. Seringkali monyet-monyet di sana berbuat nakal dengan mengambil barang-barang bawaan para turis atau wisatawan seperti kamera, topi, perhiasan, kacamata dan yang lainnya. Maka disarankan untuk tidak membawa barang-barang yang mudah terambil oleh monyet, barang-barang yang bergantungan di leher misalnya, yang pemakaiannya di atas kepala. Sebaiknya kalian memegang erat barang bawaan yang kalian bawa. Karena kalau tidak, monyet akan terus memantau kalian.”

“Aduh... monyetnya matre ya Pak? Kok tahu barang berharga!” celetuk Andi.

Pak Made tertawa kecil, jawabnya, “Tenang, ada caranya apabila barang bawaan kalian terlanjur diambil oleh monyet. Kalian cukup membeli sebuah pisang atau kacang, kemudian dekati monyet itu dan jika kalian beruntung ia akan mengambil pisang dan menjatuhkan barang yang ia ambil dari kalian. Namun jika kalian kurang beruntung monyet ini akan mengambil pisang sekaligus barang bawaan kalian.”

“Huuuuuuu...!” seru kami semua setelah mendengar kalimat terakhir dari pemandu wisata. 

“Yaahh... rugi dong Pak, sudah dikasih pisang eh barang kita tidak dikembalikan!”

“Makanya tidak usah bawa barang-barang berharga, agar tidak diikuti sama monyet!” pak Sastro –guru kami– menengahi.

Setelah bis parkir di tempat yang disediakan, kami semua turun. Mengikuti langkah pak Made, kami berjalan beriringan menuju tempat wisata Sangeh. Dan memang benar apa yang beliau jelaskan tadi ternyata Sangeh terdapat banyak pohon-pohon yang menjulang dengan monyet-monyet yang bergelantungan di sana-sini.

“Lihat tuh...!” seruku kepada kedua temanku, Andi dan Burhan, sambil menunjuk ke arah monyet-monyet itu, “Mata para monyet itu seperti tatapan anak kecil yang melihat mainan!”

“Betul kata Candra!” ucap Andi membenarkan ucapanku.

“Kalian semua nggak bawa barang berharga kan?” kataku serius.

“Ya iyalah... apalagi dompet! Kalau sampai diambil monyet bisa mampus tuh! Nggak bisa beli oleh-oleh!” balas Burhan sambil nyengir.

Yup, kami bertiga tidak membawa apapun kecuali pakaian yang menempel di badan. Bahkan dompet pun kami tinggal di tas dan tetap di dalam bis. Meski banyak yang berjualan aneka cinderamata di luar area wisata tapi lebih baik kami tidak membawa dompet, toh nanti kami juga akan mengunjungi pasar seni Sukawati yang kata para guru, itu tempat aneka macam kerajinan Bali, nanti juga akan mampir ke toko oleh-oleh. Jadi nggak apalah kalau di Sangeh ini kami semua khusus menikmati alam dan para monyetnya... heheheh.

Entah mengapa selama berjalan-jalan menikmati suasana hutan Sangeh aku merasa diikuti salah satu monyet. Monyet itu memang tidak dekat dekat kepadaku, seperti berjarak beberapa meter. Tapi hati kecilku mengatakan kalau itu monyet yang sama yang mengikutiku sejak aku memasuki tempat wisata ini.

“Burhan, Andi... kamu lihat monyet yang itu bukan!” seruku kepada kedua temanku dengan menunjuk ke atas, di pohon itu seekor monyet yang kuyakini mengikutiku sedang bergelantungan di dahan pohon.

“Iya... kenapa memang?” tanya Burhan sambil mengalihkan pandangan matanya dari pohon ke arahku.

“Monyet itu kok mengikutiku sejak tadi ya!” ucapku agak ketakutan.

“Ah... monyet-monyet di sini kan sama semua, bagaimana kamu bisa mengenali kalau monyet itu mengikutimu?” Andi tampak tidak percaya dengan ucapanku.

“Iya coba kamu jelaskan kepada kami, apa bedanya monyet yang kamu tunjuk tadi dengan monyet di pohon yang ini... pohon yang itu dan pohon yang di sana!”

Aku mengangguk-angguk, ya sepertinya semua monyet sama, aku tidak bisa menyebutkan perbedaan di antara para monyet itu.

“Ah... mungkin itu hanya perasaanku saja. Lupakan sajalah!” kataku sedikit malu.

“Yang penting kita tidak membawa barang berharga, jadi kita tidak repot!” 

Akhirnya kami bertiga tetap melanjutkan berjalan-jalan menikmati alam Sangeh beserta para monyetnya. Meski dalam hati aku mengatakan monyet satu itu terus mengikuti tapi aku berusaha mengalihkan perhatian ke teman-teman dan alam di sini, toh monyet itu tidak menggangguku, jadi kenapa mesti resah dan takut?

Setelah dua jam menikmati pemandangan alam dan serunya bergabung dengan para monyet di Sangeh, kami mesti kembali ke dalam bis. Dan saat akan meninggalkan Sangeh itulah aku mengalami peristiwa yang aneh.

“Aduh... aduh... aduh!” teriakku keras, saat monyet yang kuyakini sejak tadi mengikuti tiba-tiba turun dari pohon dan memelukku dengan erat.

“Tolong... tolong... Candra dipeluk monyet!” teriak kedua temanku Burhan dan Andi berbarengan.

Untung pak Made berada tidak terlalu jauh, sehingga beliau langsung datang dan menolongku, monyet itu diusirnya dengan mudah.

“Adik tidak apa-apa kan?” tanya pak Made sambil menenangkanku.

“Ti... ti... tidak!” jawabku gugup dan gemetaran.

Pak Made lalu bertanya lagi, “Tidak ada barang yang diambil si monyet kan?”

Aku menggeleng, “Saya tidak bawa apa-apa kok Pak Made!”

“Syukurlah, itu hanya monyet iseng, nggak usah takut!”

Akhirnya kami semua masuk ke dalam bis dan bermaksud melanjutkan perjalanan menuju tempat wisata yang lainnya.

“Bagaimana rasanya dipeluk monyet? Asyik nggak?” gurau Joni kepadaku.

“Enak apaan... kaget banget tadi tiba-tiba ada monyet langsung memeluk!” jawabku.

“Itu pasti monyet betina... heheheh!” ujar Joni sambil mengerlingkan mata.

Burhan dan Andi yang mendengar candaan Joni tak kuasa menahan tawa. Sedangkan aku hanya bisa nyengir.

“Sudah... sudah... kembali sana ke tempat dudukmu!” usirku halus, kalau Joni tidak segera kembali ke tempat duduknya bisa habis aku diolok olok sama dia.

Bis berjalan pelan meninggalkan Sangeh, lalu melaju dengan tenang, kami yang kelelahan setelah sekitar dua jam berjalan-jalan di wisata alam itu jadi mengantuk dan banyak yang tertidur. Termasuk juga aku, dan seperti kebiasaanku, aku selalu menyilangkan kedua tanganku di perut kalau sedang tidur di kursi. Saat itulah aku merasakan ada yang mengganjal di balik baju yang aku pakai. Setelah aku raba sejenak, memang ada sesuatu di situ. Kubuka kancing baju di bagian perut dan kuambil. Ternyata ada satu buah pala yang menyelip di balik bajuku. Buah pala itu wangi sekali seperti wangi sesajen.

“Apakah monyet tadi yang memberiku buah pala ini?” begitu aku berkata dalam hati.

La Planchada