Friday, August 30, 2019

Keangkeran Stasiun Kaliwedi (Cirebon)


Stasiun Kaliwedi merupakan nama sebuah bekas stasiun yang lokasinya berada di Kaliwedi Lor, Kaliwedi, Cirebon. Stasiun ini pertama kali beroperasi pada tahun 1912 dan dulunya disana tersedia fasilitas persilangan kereta api. Namun semenjak GAPEKA 1996, persilangan kereta tidak lagi tersedia dan ketika jalur ganda Cikampek – Cirebon selesai, Stasiun Kaliwedi resmi ditutup pada 6 Januari 2002.

Bagi masyarakat Cirebon, Stasiun Kaliwedi merupakan tempat angker yang melegenda sehingga membuat siapapun yang melintas di depannya bergidik ngeri. Letaknya yang jauh dari pemukiman warga dan dekat dengan kali membuat kesan mistis terasa semakin kental. Menurut cerita yang beredar, penunggu Stasiun Kaliwedi dikenal suka mengganggu manusia.

Perlintasan kereta api yang tak jauh dari stasiun angker di Cirebon itu pun juga terkenal kengeriannya. Konon, di perlintasan maut itu sering sekali terjadi kecelakaan karena korban yang melintas mendadak tidak mendengar apa-apa meski lokomotif kereta berbunyi nyaring. Seringnya peristiwa itu terjadi membuat masyarakat menjuluki tempat angker di Cirebon itu Kentrung Budeg.

Pernah juga terjadi peristiwa tragis dimana ada kecelakaan kereta api yang menewaskan 14 orang saat lewat di perlintasan tersebut. Parahnya, para korban tewas merupakan rombongan iring-iringan jenazah. Berita tentang tewasnya para korban tentu segera menjadi banyak sorotan masyarakat Cirebon pada masa itu. Tidak sedikit juga yang menduga bahwa itu adalah ulah penunggu di perlintasan yang membuat para korban mendadak tuli dan tak mendengar suara kereta. Meski sudah tak beroperasi lagi, Stasiun Kaliwedi tetap menyeramkan dan masih lekat dengan aura mistis. Hindari mendatangi tempat angker tersebut di malam hari jika tidak ingin mengalami kejadian mistis yang tidak diinginkan.

Thursday, August 29, 2019

Keangkeran Kampus Unjani (Cimahi)



Kampus Universitas Jenderal Achmad Yani atau yang biasa disingkat Unjani kabarnya angker dan banyak hantunya. Kampus utamanya terletak kawasan militer yaitu di bagian Selatan Kota Cimahi, tepatnya di Jalan Terusan Jendral Sudirman yang bertempat di lokasi yang berdekatan dengan dua perguruan tinggi lain, diantaranya STKIP Siliwangi Bandung dan STIKES Jenderal Achmad Yani. Sementara kampus utama lainnya terdapat di Bandung tepatnya di Jalan Terusan Jenderal Gatot Subroto, Kiaracondong yang terletak di jalan yang sama dengan PT. Pindad. Kampus yang kabarnya angker ini adalah kampus yang ada di Cimahi. Berikut ini adalah beberapa contoh keangkerannya:

A. Pohon yang banyak penunggunya
Tidak jauh dari lokasi sekitar kantin dan pos satpam ada sebuah pohon yang tidak terlalu besar. Namun pohon ini telah berhasil membuat para satpam ketakutan untuk jaga malam disana. Katanya dari pohon ini sering muncul penampakan-penampakan menyeramkan. Apalagi disitu penerangannya kurang, yang semakin membuat tempat itu mencekam. Konon pohon itu merupakan tempat untuk membuang jin, entah benar atau tidak yang jelas tempat itu memang sangat menyeramkan.

B. Kerajaan ular
Ada sebuah lokasi di dalam kampus yang sering ada penampakan ular ghaib. Hingga tempat itu disebut-sebut sebagai kerajaan ular. Menurut ‘orang pintar’, ular tersebut adalah jin yang berwujud ular.

C. Gedung angker
Banyak gedung di kampus Unjani yang angker, namun yang paling parah adalah Gedung Ekonomi. Pihak kampus sendiri tidak mengijinkan adanya aktifitas atau acara yang lebih dari jam 10 malam di gedung itu. Karena bisa-bisa akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kesurupan massal.

D. Pocong
Beberapa mahasiswa mengaku pernah melihat pocong melompat-lompat dari gedung ke gedung, dari Gedung Sasana Krida ke Gedung Kuliah Bersama.

E. Banaspati
Konon sosok hantu berjenis banaspati juga ditemukan di sekitar kampus. Namun sepertinya aktifitasnya tidak terlalu banyak dan tidak mengganggu.

F. Hantu tertawa
Beberapa mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas di lab bahasa tiba-tiba mendengar suara tawa hantu yang nyaring, padahal saat itu jam 11 siang. Awalnya dikira suara ringtone handphone. Tapi nyatanya dosen mereka santai saja, padahal biasanya ia akan menegur si pembawa handphone jika berbunyi saat kelas. Waktu mereka bertanya ke dosen tentang kejadian itu, si dosen justru berkata kalau ia tidak mendengar apa-apa.

G. Neng Geulis
Di kalangan mahasiswa Inkom, sosok hantu berwujud perempuan ini sudah tak asing lagi. Terutama bagi mereka yang suka siaran di radio kampus. Ada beberapa yang pernah melihatnya, sisanya hanya merasakan kehadirannya ketika siaran. Namun belum ada yang tahu siapa sebenarnya sosok yang disebut Neng Geulis ini.

Kuntilanak Penunggu Pantai Anyer (Banten)

Pantai memang menjadi salah satu destinasi yang paling diminati banyak orang ketika liburan tiba. Karena suasana pantai yang tenang dipercaya ampuh untuk menghilangkan rasa stress dan rasa penat setelah beraktivitas seharian. Deburan ombak serta warna air lautnya dapat menjadi obat untuk menenangkan diri. Indonesia sendiri memang dikenal sebagai negara yang memiliki banyak pantai dengan pemandangan indah. Tidak heran banyak wisatawan asing dari berbagai negara rela datang ke Indonesia hanya untuk menikmati keindahan pantainya. Selain indah, pantai di Indonesia juga terkenal memiliki ombak yang besar. Tentu hal ini merupakan surganya bagi para peselancar dari berbagai penjuru dunia. 

Dari banyaknya pantai yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, beberapa pantai ini menyimpan kisah mistis di dalamnya. Salah satunya adalah Pantai Anyer. Pantai yang terletak di Provinsi Banten ini memang terkenal karena keindahan alamnya serta pasir putihnya. Tak heran, banyak orang dari berbagai kota di Indonesia datang untuk menikmati keindahan Pantai Anyer ini. Pantai ini akan disesaki pengunjung ketika liburan panjang tiba. Namun siapa sangka, dibalik keindahan pemandangan pantainya, Anyer menyimpan berbagai kisah mistis di dalamnya. Kejadian-kejadian mistis ini dialami langsung oleh para pengunjung pantai yang bermalam di sekitar pantai.

Sebagaimana pantai yang ramai dikunjungi oleh para pengunjung, Pantai Anyer beberapa kali menelan korban. Rata-rata korban meninggal lantaran terbawa arus ombak yang besar. Maka tak heran jika Pantai Anyer menyimpan berbagai kisah misteri di dalamnya.

Ada salah satu cerita tentang sekelompok anak sekolah yang melakukan kemah di Pantai Anyer. Anyer memang sering dijadikan tempat untuk berkemah, sebagai salah satu bentuk kegiatan sekolah. Tentunya para guru pun ikut serta dalama acara berkemah. Suatu ketika salah seorang guru, sebut saja Pak Heru berjalan-jalan untuk menikmati pemandangan pantai seorang diri pada malam hari setelah acara api unggun selesai. Ketika melewati beberapa pohon yang ada di pinggir pantai, Pak Heru mendengar suara anak ayam dari kejauhan.

Pada awalnya Pak Heru menganggap jika itu adalah suara anak ayam biasa. Namun suara anak ayam tersebut selalu mengikuti gerak langkah Pak Heru. Saat Pak Heru menoleh ke belakang ternyata ada sesosok kuntilanak yang sedang mengikutinya dari belakang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sontak hal ini membuat Pak Heru lari menuju arah tenda. 

Saat di tenda, ia menceritakan tentang kisah seramnya bertemu kuntilanak di dekat pepohonan di sekitar pantai, namun cerita ini hanya dianggap gurauan oleh guru-guru lain. Karena Pak Heru memang terkenal sebagai guru yang gemar bercanda. Ketika semuanya sudah mulai tertidur, salah seorang guru perempuan mendengar suara dan aktivitas yang ramai di depan tenda. Ia pun melihat beberapa bayangan orang yang sedang berkumpul di sekitar api unggun. Keesokan harinya ia bertanya kepada guru lain tentang apa ia dengar tengah malam. Namun para guru yang lain mengatakan jika semalam tak ada suara apa-apa karena semuanya sudah tidur. 

Itulah sepenggal kisah mistis yang terjadi di Pantai Anyer. Terlepas benar atau tidaknya cerita tersebut, sampai saat ini Pantai Anyer masih menjadi destinasi favorit para penikmat pantai dari berbagai kota. Namun, setiap tempat tentu memiliki penghuni. Maka dari itu, alangkah baiknya kita tidak melakukan hal-hal aneh ketika sedang berada di tempat lain, karena bisa saja apa yang kita lakukan bisa mengganggu penghuni asli tempat tersebut.  

Tuesday, August 27, 2019

Bertemu Mantan Guru yang Sudah Lama Meninggal (Cirebon)


Sebut saja Arifin, nama pria yang berkisah tentang pengalaman menyeramkan yang dia alami. Arifin adalah lulusan Fakultas Seni Rupa ITB yang sudah lama tidak pulang ke kampungnya di Cirebon. Sejak lulus kuliah dan diterima bekerja di sebuah perusahaan garmen terkemuka di Bandung, dia jarang pulang. Hal ini bisa dimaklumi mengingat posisinya sebagai seorang manajer desain yang super sibuk sehingga membuatnya kesulitan mencari waktu luang untuk berlibur.

Suatu hari Arifin mendapat cuti dari kantornya. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mudik ke kampung halamannya di Cirebon. Pria yang pernah menyandang gelar juara melukis ketika dirinya masih duduk di bangku SMA itu  pulang dengan mengendarai mobil inventaris kantornya.  Saat tiba di Kota Cirebon, mobilnya melintas di depan rumah Pak Dirman, mantan guru dan Kepala SMA-nya dulu. Kebetulan tanpa sengaja, mantan gurunya itu sedang ada di halaman depan rumahnya. Arifin segera memperlambat laju kendaraannya, kemudian membuka kaca jendela mobilnya.

Mereka lalu saling bertatap muka, dan terlihat senyum ramah dari bibir sang mantan guru. Arifin lalu menghentikan sejenak kendaraannya. Arifin menyapa dengan mengucap salam “Assalamu’alaikum, apa kabar Pak ?” kata Arifin dari dalam mobilnya. “Wa’alaikum salam... kabar baik Rif balas mantan gurunya itu.

“Mampir dulu, Bapak sudah kangen sama kamu,” lanjut Pak Dirman. “Maaf Pak, Saya mau main ke rumah saudara dan teman dulu, nanti pulangnya pasti mampir kesini. Mari Pak, saya permisi dulu,” kata Arifin ramah, sambil kembali menginjak pedas gas mobilnya. Kemudian Arifin berkunjung ke beberapa rumah saudara dan sahabat lamanya.

Usai bersilaturahmi, lalu Arifin bermaksud memenuhi janjinya untuk berkunjung ke rumah Pak Dirman, mantan kepala SMA-nya itu. Setibanya disana, tampak pria gendut berusia setengah abad lebih yang rambutnya sudah hampir semuanya beruban itu masih terlihat berdiri di bawah pohon mangga, di tengah halaman rumahnya, sambil matanya menatap kosong  ke arah jalan. Arifin segera memarkir mobilnya persis di depan pagar rumah Pak Dirman. Tampak mantan gurunya itu terlihat sumringah melihat kedatangan Arifin. Lelaki tua itu segera datang menghampiri Arifin dengan jalan sedikit tertatih-tatih.

“Alhamdulillah akhirnya kamu mau mampir juga ke rumah Bapak ya Rif,” sambut Pak Dirman sambil menjulurkan tangannya mengajak Arifin bersalaman. Betapa terkejutnya Arifin ketika tangannya menyentuh tangan pria tua itu. Tiba-tiba tangannya terasa dingin sekali, seperti terkena gumpalan batu es. Sampai-sampai badan Arifin sedikit menggigil seperti orang demam. Anehnya lagi, tercium aroma tidak sedap yang bersumber dari badan mantan gurunya itu.Rasanya seperti bau bangkai tikus yang sangat menyengat. 

Terpaksa dia sedikit menahan nafas demi menjaga perasaan Pak Dirman.

“Maaf Pak, kok sepi sekali. Keluarga Bapak ada dimana?” tanya Arifin.

“Keluarga Bapak tidak ada disini Rif, mereka ada kesibukan masing-masing. Bapak sendiri saja di rumah. Oh ya, Bapak masih menyimpan lukisan yang dulu pernah kamu berikan. Lukisannya masih tersimpan di dalam. Ayo kita masuk ke rumah Rif,” jawab lelaki tua itu.

Mantan kepala SMA itu berjalan mendahului Arifin dengan badan sedikit membungkuk dan kaki kanan seperti agak pincang, sehingga jalannya terlihat miring tertatih-tatih. Anehnya, pria tua itu berbelok arah ke samping rumah, tidak masuk melalui pintu depan. Arifin segera mengikutinya sambil tangannya memegang hidungnya untuk menahan bau yang sangat menusuk hidung. Mereka lalu masuk lewat pintu samping yang tidak dikunci. Pria itu menunjukkan sebuah lukisan yang terpasang di dinding ruang tengah, hasil karya Arifin yang pernah diberikannya sebagai kenang-kenangan kelulusan sekolah dulu. Ada juga beberapa foto keluarga dan berbagai patung yang menghiasi ruangan itu. Pak Dirman mempersilahkan Arifin untuk duduk, kemudian dia pergi begitu saja ke lantai atas meninggalkan Arifin sendirian.

Beberapa saat lamanya Arifin dibiarkan sendiri di ruangan itu sendirian. Suasana terasa agak aneh, sepi dan semilir angin yang masuk terasa dingin sekali. Bau busuk masih menyengat hidung. Sambil menunggu Pak Dirman, Arifin hanya berdiri sambil memandang beberapa lukisan dan foto yang ada di dinding rumah tersebut. Sudah setengah jam berlalu, namun tidak ada tanda-tanda kalau Pak Dirman akan turun ke bawah. Arifin mulai gelisah dan perasaan tidak enak mulai menghantui perasaannya, tapi dia berusaha menepisnya dengan berpikiran positif. Pertahanan alumni ITB itu akhirnya mulai goyah, karena penghuni rumah itu lama tak muncul juga. Lalu Arifin mengambil inisiatif mencoba memberanikan diri memanggil Pak Dirman. 

“Pak Diirmaaaan!!! Paaak!! Maaf Pak, saya nggak bisa lama-lama disini, saya mau pulang,” teriak Arifin sambil menatap ke arah lantai atas. Beberapa kali pria yang pernah menjadi pendiri Forum Pelukis (FORKIS) Cimahi itu berteriak cukup keras, namun usahanya sia-sia belaka, tidak ada jawaban sama sekali dari lantai atas.

Tentu saja hal ini membuat dia bertambah bingung. Akhirnya Arifin memutuskan untuk pulang saja. Keanehan kembali terjadi, ketika Arifin bermaksud melangkahkan kakinya keluar rumah, tiba-tiba badannya seperti ditiup angin sehingga bulu kuduknya berdiri. Badannya mendadak tidak bisa digerakkan, seolah-olah kaku. Dalam kondisi tidak berdaya tersebut, dia teringat nasihat almarhum ayahnya agar selalu berzikir dan membaca ayat suci Al-Qur’an dimanapun dia berada, terutama jika tertimpa masalah. Arifin mulai membaca dalam hati beberapa ayat suci Al-Qur’an yang dihafalnya. Ajaibnya, tiba-tiba badannya terasa enteng dan dia mulai bisa bergerak normal seperti biasa.

Cepat-cepat dia keluar rumah itu menuju mobilnya, lalu tancap gas kembali ke Bandung. Sejak kejadian ganjil tersebut, pikiran Arifin selalu teringat kepada Pak Dirman. Dia tidak habis pikir, mengapa mantan gurunya itu tidak muncul juga saat itu. Dia bingung dan masih bertanya-tanya dalam hati,  apa gerangan sebenarnya yang terjadi?

Tiga bulan kemudian Arifin berkesempatan kembali ke Cirebon. Kali ini dia coba berkunjung ke salah seorang mantan guru kimia waktu di SMA dulu yaitu Pak Agus. Disana dia menceritakan kejadian yang dialaminya tersebut dan menanyakan mengapa mantan kepala SMA-nya itu berprilaku seperti itu. Tentu saja mantan guru kimianya itu terperanjat.

Kemudian Pak Agus menjelaskan kepada Arifin kalau Pak Dirman sesungguhnya sudah lama meninggal dunia, sekitar 3 tahun yang lalu karena penyakit liver. Beberapa tahun Pak Dirman menderita akibat penyakitnya tersebut sampai akhirnya meninggal dunia. Badan Arifin kembali menggigil mengingat kejadian sebulan yang lalu, ketika dirinya mampir ke rumah Pak Dirman. Kini dia baru menyadari kalau lelaki yang berbau busuk yang ditemuinya di rumah mantan kepala SMA-nya tersebut ternyata Hantu. Sepulang dari rumah mantan guru kimianya itu, Arifin segera berziarah ke makam Pak Dirman untuk mendoakan agar arwahnya diterima dengan baik di sisi Allah SWT.

Friday, August 23, 2019

Rel Miring Anyer yang Angker (Banten)


Tak hanya pantainya yang terkenal angker, ternyata daerah Anyer juga memiliki beberapa tempat berhantu lainnya, salah satunya adalah kawasan rel kereta api miring. Area rel kereta api ini sering menjadi bahan perbincangan warga sekitar yang kemudian ceritanya menyebar ke daerah lainnya. Kondisi rel kereta api pada jalur kereta api Rangkasbitung – Labuan – Bayah – Anyer Kidul ini memang terbilang aneh karena posisinya miring dan menyesuaikan kontur tanahnya yang memang miring. Di rel kereta api miring ini, sudah tak terhitung lagi berapa banyak kecelakaan yang terjadi dan bahkan terkadang memakan korban.

Kecelakaan yang kerap terjadi tak hanya kecelakaan tunggal saja, namun juga kecelakaan beruntun yang terkadang tidak diketahui penyebabnya. Warga setempat menyebut bahwa rel kereta api miring ini angker dan mereka seakan tidak terkejut jika terjadi kecelakaan disana karena memang sejak dulu sudah demikian. Para korban kecelakaan tersebut konon menjadi tumbal hantu satu mata yang menjadi penunggu lokasi tersebut. Kabarnya ada sosok misterius bertubuh tinggi besar dengan mata yang hanya berjumlah satu di area rel itu. Ada juga yang menyebut bahwa penunggu disana adalah sosok hantu besar bertubuh merah, bertanduk, dan bermata satu. Bila pengendara tak sengaja lewat sini mereka pun terkadang berucap lirih meminta izin untuk sekedar lewat kepada ‘Mbah Setan Merah’ yang merupakan julukan sosok misterius tersebut. Bila tak meminta izin maka ia akan dihantui dan akhirnya mengalami kecelakaan yang juga bisa merenggut nyawanya.

Kost Angker (Magelang)

Kisah misteri merupakan salah satu hal yang sudah seringkali ramai dibicarakan. Terlebih lagi kehidupan manusia memang berdampingan dengan kehidupan makhluk lain. Makhluk ini yang seringkali disebut sebagai hantu. Hantu sendiri tentu sangat menakutkan dan mengerikan. Tidak jarang sebagian orang yang memang mengalami hal-hal mistis berupa penampakan wujud yang tidak biasa. Hal ini tentu cukup menakutkan. Hal-hal seperti ini juga dapat terjadi dimana saja. Karena setiap tempat memang diyakini terdapat penunggu. Hanya saja tidak semuanya mengganggu. Kisah hantu juga dapat datang dari mana saja, termasuk kisah misteri dari Magelang ini.

Magelang merupakan salah satu kota yang ada di Jawa Tengah. Kota ini merupakan kota kecil yang cukup ramai. Jika berbicara mengenai cerita mistis, Magelang juga menyimpan banyak cerita mistis yang diakui pernah dialami oleh sebagian orang. Seperti halnya penampakan-penampakan wujud mengerikan yang membuat takut. Namun penampakan hantu ini tidak hanya dialami di tempat-tempat seperti bangunan kuno saja. Bahkan kost pun juga dapat menjadi tempat yang cukup angker. Berikut ini merupakan cerita yang cukup banyak orang tau mengenai kost angker yang ada di Magelang. Cerita mistis Magelang ini datang dari kawasan kampus Universitas Tidar Magelang atau UTM. Lokasi dari Universitas Tidar Magelang ini ada di daerah yang dikenal dengan daerah Tuguran. Seperti kampus pada umumnya, di sekitarnya tentu terdapat banyak kost yang mana digunakan sebagai salah satu tempat tinggal untuk mahasiswa yang kuliah di Universitas Tidar Magelang ini. Salah satu kost ini terletak di depan Universitas Tidar Magelang, tepatnya di dekat tempat fotocopy yang ada di sekitaran kampus tersebut. Ternyata, kos ini memiliki berbagai macam cerita mistis.

Konon katanya, kost ini merupakan salah satu kost angker yang mempunyai banyak cerita horor dan cukup membuat bulu kuduk merinding. Cerita misteri mengenai kost angker ini datang dari penghuni kost itu sendiri, yang telah mengalami berbagai macam kejadian aneh. Mulai dari suara-suara yang sering terdengar hingga penampakan mengerikan yang sering menganggu. Suara-suara aneh ini biasanya seperti berupa suara memanggil, atau bahkan suara orang menangis. Menurut cerita juga di tengah malam sering terdengar suara-suara yang hanya didengar oleh salah satu penghuni kost. Padahal penghuni kos lainnya sudah tertidur pulas.

Ada cerita yang cukup mengerikan yang dialami oleh salah seorang penghuni kost. Ketika itu teman-temannya datang untuk main ke kostnya. Kemudian beberapa diantaranya pergi untuk fotocopy, yang lokasinya tepat ada di dekat kost. Di kost tersebut hanya tersisa dua orang yang tidak ikut, kemudian salah seorangnya sempat bertanya pada teman yang satunya kenapa tidak ikut. Bahkan mereka juga sempat mengobrol meski temannya ini sedikit aneh katanya. Setelah selang beberapa lama, ternyata temannya kembali dari tempat fotocopy. Dan ternyata teman yang tadi bersama salah seorang di kost itu bukanlah temannya. Melainkan penampakan yang berwujud temannya.

Tentu hal ini seketika membuat kaget dan juga ketakutan bukan? Itulah cerita mengenai kost angker yang ada di dekat kampus UTM ini. Konon katanya hal-hal mistis seperti ini sudah biasa dialami oleh penghuni kost. Bahkan ada seseorang yang katanya pernah melihat penampakan hantu tanpa kepala disana. Mengerikan bukan? Terlebih lagi untuk sebagian orang yang baru pertama kali mengalaminya. Cerita mistis Magelang ini sempat ramai dibicarakan oleh orang-orang yang mengaku pernah menghuni kost tersebut atau berkunjung di kost tersebut.

Wednesday, August 21, 2019

Rumah Hantu Cimanggis (Depok)


Penggemar cerita horor pasti sudah pernah mendengar cerita misteri Rumah Cimanggis yang pernah viral di internet. Bahkan cerita ini juga dibukukan dalam novel berjudul “Empat Tahun Tinggal Di Rumah Hantu.” Kisah nyata yang dialami oleh sebuah keluarga kecil ini menambah daftar panjang tempat angker di Depok. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah yang dibangun di atas kuburan. Bahkan ketika ditempati, di bawah rumah tersebut masih ada 13 jenazah yang terkubur. Keluarga ini mengalami begitu banyak gangguan, mulai dari pembantu rumah tangga yang kesurupan, anak bayinya yang terus menerus menangis tanpa sebab, penampakan pocong, sampai dengan suara-suara yang mengganggu ketenangan keluarga ini. Berikut ini adalah sepenggal cerita yang dikisahkan langsung oleh penghuninya.

Tempat tinggal kami dulu termasuk dalam kawasan yang sepi, terutama pada malam hari. Memang tidak begitu jauh dari keramaian Kota Cimanggis yang merupakan salah satu kota di Depok. Konon orang mengatakan kalau Depok adalah tempat jin membuang anak, namun aku sama sekali tidak mempercayai hal itu. Untuk mencapai rumah, kami masih harus menggunakan jasa tukang ojek atau naik motor sendiri, karena belum ada angkot yang melewati daerah kami. Jarak dari jalan raya Bogor ke dalam memang masih jauh, sekitar dua kilometer. Jika naik motor maka akan dengan leluasa melihat keindahan di sepanjang jalan, dan melewati dua buah tanjakan yang terasa curam. Di tanjakan ke dua inilah tempat aku dan keluarga kecilku bernaung beberapa tahun lamanya. Rumah dengan kiri kanan yang penuh kesunyian. Sebelah kanan hamparan sawah dari lapangan golf Emeralda yang belum digunakan oleh perusahaan, sehingga digarap oleh penduduk sekitar. Lengkap dengan jurang terjal dan empang yang bila dilihat seksama lebih menyerupai telaga, dan saat malam tampak berwarna hitam pekat.

Rumah ini kami tinggali sejak beberapa tahun yang lalu. Aku bangga menempati rumah dengan desain yang artistik dan terletak di dataran tanah yang cukup tinggi dibanding tanah sekitar, sehingga jika dilihat dari bawah tanjakan akan nampak seperti villa di atas bukit.

Rumah ini kami beli dari seorang pensiunan tentara yang pindah karena suatu hal. Hari pertama kami menempati rumah ini, seperti lazimnya orang pindahan kami melakukan selamatan dengan mengundang beberapa tetangga. Malamnya kami lewatkan dengan tidur yang pulas karena suasana sekitar rumah memang asri dengan hawa dingin menyejukkan dibawa oleh angin dari padang golf.

Beberapa hari lamanya tinggal disini tak ada kejadian yang aneh, sampai pada suatu pagi aku mendapati rokok filter yang baru saja aku beli, hilang secara misterius. Sebungkus rokok itu baru aku hisap satu batang, lainnya masih utuh. Itulah awal mula keanehan yang kami dapatkan. Kalau hilangnya bukan di depan mataku sendiri, mungkin aku tak peduli. Toh hanya sebungkus rokok, apa artinya sebungkus rokok yang hilang. Tapi yang membuat aku penasaran adalah bahwa rokok itu hilang di depan mataku sendiri, dimana tidak ada seorangpun yang lewat atau pernah bergabung beberapa waktu sebelumnya disini. Aku anggap rokok itu hilang begitu saja dan melupakan kejadian itu, namun dua hari kemudian aku dikejutkan dengan kemunculan kembali rokokku yang hilang tepat di tempat semula. Rokok itu masih utuh, tepat kurang satu batang karena sudah aku hisap sebelumnya. Aku tanya pembantuku apakah dia yang sengaja berbuat begitu untuk mengerjai atau menakutiku, nyatanya bukan dan pembantu ini juga merasa takjub bercampur ketakutan. Lagi-lagi aku anggap bahwa kejadian yang aku alami ini hanyalah kebetulan atau mataku saja yang salah lihat.

Aku punya anak laki-laki yang berusia 1,5 tahun waktu kami baru menempati rumah ini. Bagiku mendengar tangis bayi terus-menerus adalah hal yang biasa karena memang usia anakku yang baru 1,5 tahun. Tapi kalau tangis itu berkepanjangan dan tak henti-hentinya, tentulah jadi masalah juga bagi kami. Kami sengaja memberikan pengasuh khusus pada bayi kami ini, seorang ibu paruh baya yang cukup rajin dalam mengerjakan sesuatu. Ibu ini sangat tanggap pada apa yang harus dia kerjakan tanpa kami menyuruhnya. Dia mulai bekerja setelah pembantu yang pertama pulang tanpa sebab musabab yang jelas. Kehadiran ibu ini di tengah-tengah kami adalah hal yang istimewa, dimana kami menganggap dia sebagai ibu kami sendiri. Di saat-saat kami mulai dicekam rasa penasaran dan ketakutan dengan kejadian demi kejadian aneh, keberadaan seseorang yang lebih tua dari usia kami adalah anugerah, minimal kami merasa nyaman, terutama dari hal-hal yang aneh. Si kecil pun mulai berkurang tangisannya. Kami lalui hari-hari dengan tenang dan menyenangkan sampai pada suatu saat kami kedatangan orang tua kami.

Tanpa kami sangka-sangka, si ibu pengasuh bayi ini secara tiba-tiba mengajukan berhenti dari pekerjaannya dengan mendadak. Tidak ada rayuan atau apapun yang dapat mencegah keinginannya untuk berhenti dari bekerja di rumah ini. Kami pun tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikhlaskan kepergian pembantu kami yang bijak ini, walaupun dengan kecamuk pertanyaan yang tidak terpecahkan saat itu. Baru bertahun-tahun kemudian pertanyaan itu terjawab kenapa si ibu pembantu ini minta berhenti mendadak. Ternyata kami telah dikelabui oleh kekuatan jahat yang akan kami ceritakan lagi nanti, pada bagian akhir kisah ini.

Akhirnya kami mendapatkan pembantu lagi, kali ini usianya masih belia, namanya Ratih. Ia berusia sekitar 18 tahun. Terlalu muda untuk ukuran pembantu yang diharapkan dapat mengerjakan segala sesuatunya. Bila pembantu yang lama kami dapat lebih tenang karena faktor usia yang cukup, tapi dengan pembantu yang baru ini kami tidak begitu mengharapkan perubahan yang berarti. Yang penting istriku tidak terlalu repot lagi. Tetapi walaupun masih muda, lama-lama Ratih dapat menyesuaikan juga dengan keadaan di rumah kami. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama. Baru sepuluh hari kerja, Ratih sudah meminta berhenti. “Saya mau berhenti saja Pak, orang tua saya menyuruh saya pulang,” demikian kalimat yang diucapkan Ratih saat meminta ijin berhenti dari kami, dengan sorot mata yang ketakutan. 

“Bukankah Mbak Ratih sudah berjanji akan berkerja di tempat kami minimal 2 bulan biar kami dapat mencari penggantinya dulu?” kataku mengingatkan akan janji Ratih pada saat kami terima kerja dulu. Ratih pun tidak bisa mengelak, dia surut juga. Memang kami dulu membuat kesepakatan dengan Ratih bahwa minimal kerja di rumah kami selama dua bulan, dan jika mau berhenti harus memberi tahu paling tidak satu bulan sebelumnya agar kami dapat mencari penggantinya sesegera mungkin. Hal itu kami lakukan karena belajar dari pengalaman pertama dengan pembantu kami yang dulu. Perihal alasan Ratih untuk pulang kampung pun aku pikir hanya akal-akalan saja. 

Kami lega dan menganggap sudah selesai keinginan Ratih untuk pulang kampung. Tapi hari-hari berikutnya setelah Ratih meminta berhenti itu jadi terasa kaku, dia lebih banyak diam. Istriku sering ke kamar Ratih untuk sekedar menghibur Ratih agar kerasan. Kamarnya pun kami pasangi TV sendiri agar betah. Kamar Ratih adalah kamar yang dulu ditempati pembantu kami yang pertama. Letaknya agak jauh dari kamar kami, kamar utama yang ukurannya lebih besar, terletak paling belakang di bagian rumah. Dari kamar kami ini dapat melihat langsung ke pemandangan belakang rumah yang banyak ditumbuhi pohon pisang dan petai cina melalui jendela kamar. Dari slot jendela yang sudah berkarat, pertanda bahwa jendela ini sangat jarang dibuka. Baru setelah kami tempati, jendela ini difungsikan lagi.

Hari itu hari Minggu, hari libur untukku setelah seminggu bekerja. Aku bolak-balik dari rumah ke tempat kerja di Bogor. Kebetulan saat itu aku sangat sibuk sehingga hari libur pun kadang-kadang tidak lagi menjadi hari libur. Aku tetap harus mengerjakan tugas-tugas di luar rumah. Karena hari Minggu ini tidak ada tugas yang mengharuskanku keluar rumah, aku bersama istri dan anakku yang saat ini sudah berusia 2 tahun menyempatkan jalan-jalan ke mall sambil menikmati kebersamaan. Memang kami jarang mendapatkan suasana begini. Petangnya, kami kembali ke rumah dan sampai di rumah saat Maghrib. Keadaan rumah sepi, lampu-lampu dalam rumah belum dinyalakan.

“Ratih… Ratih…!” teriak istriku memanggil Ratih. Namun tak ada sahutan dari dalam rumah. 

Aku pun menggedor-gedor pintu rumah, tetap tidak ada reaksi, padahal biasanya tidak begini. Biasanya Ratih akan langsung membukakan pintu saat kami baru sampai di rumah. Lama pintu tidak dibukakan, juga tidak ada tanda-tanda kalau Ratih ada di dalam. Mungkin Ratih tertidur di kamarnya. Tapi kamarnya kan dekat dari ruang tamu, bahkan terletak persis garis lurus dari pintu utama, jadi mustahil jika dengan panggilan yang begitu kerasnya Ratih tetap tidak bangun-bangun juga. Aku mengecek pintu, ternyata tidak dikunci, hanya ditutup dengan pengait slot yang sebenarnya bisa dibuka dari luar dengan cara menariknya dari lubang jendela samping pintu. Aku menjulurkan lengan dan berusaha meraih slot yang menahan pintu agar dapat dibuka. Alhamdulillah. Pintu dapat terbuka dengan sendirinya. Kami pun masuk dengan menahan gondok dan kesal.

Saat kami memasuki rumah, terlihat kamar Ratih kelihatan gelap, lampunya tidak dinyalakan. Aku melihat sosok tubuh Ratih yang diam kaku, sama sekali tidak terusik dengan kehadiran kami. “Sakitkah dia?” pikirku. 

Tetap dengan keadaannya yang diam kaku, pintu yang sedikit menganga kami buka lebar. Istriku bertanya, “Kenapa kamu diam saja? Dari tadi kami panggil-panggil. Kamu kenapa diam saja?” 

Tidak ada respon, Ratih tetap diam dengan sebagian rambut panjangnya menutupi muka. Muka Ratih nyaris tidak kelihatan, hanya dagunya saja yang kelihatan sangat pucat. Dia bangkit dan terduduk dengan memeluk sebelah kakinya di atas ranjang. Kemudian anakku menangis tiba-tiba. 

Mungkin karena kesal merasa dicueki, istriku berteriak. “Kamu kenapa diam saja? Apa yang kamu lakukan?” 

Ratih tetap diam, namun tiba-tiba dia menangis dengan suara lantang, bahkan lebih menyerupai jeritan, “Haaaaaah! Saya tidak mau tahu urusanmu! Saya mau bebas!” Suara itu terdengar sangat keras melengking, memecah kesunyian petang. 

“Saya tidak peduli! Hihihihihihihi…” Suara lantang itu berubah menjadi suara tawa yang sangat mengerikan. Bulu kudukku langsung berdiri, tubuhku merinding! Istriku diam saja, mungkin shock dengan jawaban yang baru saja ia terima. Tapi aku menangkap hal yang aneh. Dari pertama kedatangan kami, dan apalagi dengan suara tangis yang tiba-tiba berubah menjadi suara tertawa melengking yang menakutkan. Aku tarik tubuh istri untuk menjauhi tubuh Ratih. Suara tertawa masih melengking-lengking, berpadu dengan tangis anakku yang makin keras. 

“Ma, tunggu disini sebentar. Aku akan keluar,” kataku sambil langsung berlari menuruni tanjakan.

Aku langsung menuju ke tempat pemancingan, disana ada satu ruangan yang memang digunakan sebagai tempat istirahat pegawai pemancingan sekaligus tempat biasa aku nongkrong. Ada 6 orang bergerombol membentuk lingkaran, mereka sedang main domino. 

Kaget melihat kedatanganku  yang mendadak, salah satu dari mereka kemudian bertanya, “Ada apa ya Pak?” tanya Pak Narto. 

Pak Narto ini sehari-harinya adalah pegawai pemancingan yang cukup akrab denganku, karena sebelum kami menempati rumah ini pun aku sudah mengenalnya. Setelah aku jelaskan kejadian yang baru saja kami alami, semua orang yang ada di pemancingan langsung berlari menghambur ke rumahku. 

Istriku masih ketakutan tapi berusaha menenangkan diri sambil memeluk si kecil. Orang-orang tercekat melihat pemandangan di hadapannya. Ratih dengan rambut yang masih berantakan menutupi mukanya, berputar-putar di atas ranjang dan tidak menempel di kasur! Ya, Ratih seakan melayang-layang dengan suara tangis dan tawa yang bergantian, memekakkan telinga. Salah satu orang dari kerumunan langsung berinisiatif memanggil orang pintar yang rumahnya agak jauh dari rumah kami. 

Ketika kami tercengang dengan kejadian melayang-layangnya Ratih, tanpa pikir panjang aku dengan Pak Narto dan Mul lalu memegang tubuh Ratih dan menempelkannya ke ranjang. Aku membaca doa-doa dengan suara keras, dan Ratih kelihatan agak melunak. Dua orang memegangi kaki Ratih. “Saya tidak mau anak ini tinggal disini!!” teriakan panjang kembali terucap dari bibir Ratih. 

Aku yakin itu bukan suara Ratih yang biasanya. “Siapa kamu?” Aku berteriak tak kalah kencang.

“Saya kuntilanak!” teriak bibir Ratih yang sudah berubah putih pucat. 

Aku tercengang, seketika tubuhku merinding, kaki dan tanganku terasa dingin sekali. Aku lepaskan pegangan pada tubuh Ratih sambil kemudian membaca Al Fatihah. Tiba-tiba dengan tatapan nanar Ratih memandang ke arahku dan berucap. “Hahahahaha… baca saja terus!” Aku seketika terdiam. 

Sementara itu istriku sudah mulai tenang, mungkin sudah menyadari apa yang sedang terjadi di hadapannya. Dia membaca Ayat Kursi, orang-orang ikut membaca Ayat Kursi, tapi Ratih semakin lantang tertawa. “Jangan baca Ayat Kursi, baca Surat Yasin!” Istriku pun langsung membaca Surat Yasin, namun belum selesai istriku membaca Surat Yasin, si Ratih sudah ‘berubah’ kembali menjadi kuntilanak dan berteriak, “Jangan begitu bacanya, kamu salah! Ambil Al Qur’an, bacakan Surat Yasin secara benar!”

Bersamaan dengan itu paranormal atau orang pintar yang dipanggil Mul datang. Paranormal langsung melakukan shalat di ruang tamu, dan istriku mengambil Al Qur’an kemudian membacanya dengan terburu-buru karena mulut Ratih tetap meracau tidak karuan. Paranormal melakukan shalat berulang-ulang hingga akhirnya Ratih bisa kembali sadar. Malam itu kami tidak berani tidur, sepanjang malam aku menjaga pintu kamar karena istriku ketakutan. 

Paginya Mbah Gimar, paranormal yang kami panggil kemarin, datang dan menjelaskan pada kami bahwa Ratih harus dipulangkan hari itu juga karena ternyata Ratih termasuk gadis bau lawean, konon gadis bau lawean akan selalu dirasuki setan atau arwah penasaran, terutama jika tinggal di tempat angker. 

Sebenarnya aku dan istri sudah tidak kuat berlama-lama tinggal di rumah ini, apalagi kondisi si kecil yang selalu menangis terus tanpa sebab yang jelas. Tapi apa mau dikata, aku bukan orang kaya yang bisa pindah-pindah rumah kapanpun dia mau. Akhirnya kami tetap bertahan. Kejadian demi kejadian kecil terus kami alami, termasuk sumur pompa yang selalu mati, sudah berpuluh kali didatangkan ahli sumur tetap saja begitu. Dan bisa mengalir normal setelah kami sediakan sajen bubur merah bubur putih atas saran sesorang yang kami anggap ‘mengerti’.

Hari berganti hari, kami seolah melupakan kengerian yang sering kami alami. Karena saking terbiasanya kami menjadi kebal akan gangguan ‘mereka’ dan sadar bahwa memang ada hantu di rumah kami. kami tidak heran bila ada yang bertamu ke rumah kami meskipun siang hari, tiba-tiba mereka lari terbirit-birit karena melihat ‘sesuatu’. Kebanyakan sih mereka melihat kuntilanak dan pocong yang sering berdiri di atas tangga untuk menuju ke lantai atas.

Pernah suatu ketika aku menonton siaran TV di malam hari, padahal kondisi sedang mengantuk tapi aku tidak mau tidur karena aku takut akan bermimpi buruk. Memang posisi TV di ruang tengah, sedangkan anak istri tidur di kamar. Jadi, aku seorang diri menonton TV. Mungkin saking lelahnya aku tak bisa menahan kantuk. Akhirnya aku tertidur dan tidak ingat apa-apa, tahu-tahu terbangun dan di hadapanku sudah berdiri pucat, sosok putih dengan kedua mata berbalut kapas. Pocong itu tergantung di bawah tangga, persis di depanku yang sedang menonton TV. Aku pun langsung berlari meninggalkan ruang tengah dan masuk ke kamar.

Pada bulan ke sebelas kami menempati rumah ini, tepatnya seminggu pada bulan Ramadhan, aku browsing di depan monitor sambil menunggu waktu sahur. Tiba-tiba seperti ada sebuah kekuatan yang menarik leherku untuk membalikkan tubuh dan menengok ke belakang. Aku terperanjat, hampir tidak percaya dengan yang aku lihat. Keramik di depan kamarku bergerak-gerak membentuk gelombang. Seolah ada sesuatu yang hendak keluar dari bawah lantai keramik. Dengan memberanikan diri, aku datangi keramik yang masih bergerak-gerak itu lalu aku tepuk dengan telapak tangan dan gerakan keramik itu seketika terhenti.

Siangnya aku bercerita tentang kejadian itu ke tetangga, dan atas saran tetangga didatangkanlah seorang juru kematian yang biasa dipanggil Pak Amil. Pak Amil shalat di dekat lantai keramik yang semalam bergerak-gerak sendiri. Dengan khusuk Pak Amil duduk bersila seolah menerawang sesuatu. Terkuaklah suatu rahasia yang mungkin selama ini ditutup rapat oleh penjual tanah tempat rumah ini berdiri, bahwa di bawah rumah ini adalah kuburan. Ada tiga mayat yang dikubur disini, tepatnya di depan kamar utama. Akhirnya hari itu juga keramik digali dan ternyata memang masih ada jenazah-jenazah hancur yang sudah menjadi tanah dan kami pindahkan ke pemakaman umum kampung, persis layaknya menguburkan jenazah. Sebenarnya tidak hanya 3 jenazah yang dikubur di tanah sebelum dibangunnya rumah ini, melainkan ada 13 jenazah. Namun saat itu kami baru menemukan 3 jenazah di bawah kamar utama saja.

Ternyata orang yang membangun rumah ini, yaitu pemilik pertama, tidak dikasih tahu oleh penjual tanah bahwa tanah tersebut bekas kuburan. Akibatnya kuburan-kuburan itu jadi terpendam tepat di bawah pondasi rumah, dalam kamar dan di depan kamar. Jika kalian mendengar cerita ada tukang ojek yang membawa penumpang lalu penumpang itu turun di depan rumah kami, jangan heran karena seringkali itu adalah arwah penasaran yang berulangkali mengerjai para tukang ojek. Bahkan ada yang sampai pingsan di pinggir jalan. Sebenarnya jauh sebelum banyak kejadian aneh yang terjadi di rumah kami, banyak tukang ojek yang memberitahu bahwa rumah yang kami tempati itu berhantu, tapi waktu itu aku tidak percaya. 

Proses pemindahan jenazah-jenazah yang sudah menjadi tanah itu dilakukan oleh beberapa orang, hadir pula Pak RT yang akhirnya mengiyakan dan tak bisa lagi menutupi misteri sebenarnya akan rumah berhantu ini. Selesai pemindahan kuburan malamnya kami melakukan tahlil dengan mengundang hampir seluruh warga di lingkungan RT. Tahlil dilakukan selama tiga malam. Lega sudah hatiku, seolah lepas dari batu besar yang menghimpit dada. Aku berharap bahwa teror-teror hantu yang melingkari kami selama ini akan berhenti setelah kami perlakukan mereka seperti saudara kami sendiri dengan prosesi selayaknya pemindahan kuburan. Selama beberapa waktu lamanya tak lagi terjadi hal-hal di luar nalar. 

Tak berapa lama setelahnya mertuaku sengaja datang dari Jawa Timur untuk menemani kami. Aku berpikir bahwa keadaan sudah kondusif dan terlepas dari pengaruh setan, tapi di hari kelima mertua bersama kami, tiba-tiba pembantu kami yang baru memohon untuk berhenti bekerja. Serasa sesak dadaku saat Mbok Darmi mengutarakan niatnya. Aku diam saja, dan melihat wajah Mbok Darmi, nampak pucat dengan mata sembab seperti habis menangis. “Ibu habis menangis?” tanyaku penasaran. 

“Enggak Pak, saya memang sudah nggak betah,” Mbok Darmi sesenggukan. “Saya nggak enak sama mertua Bapak,” kata Mbok Darmi. 

Akhirnya kami pun merelakan Mbok Darmi berhenti kerja. Otomatis si kecil lebih sering bersama dengan ibu mertuaku, karena istriku siangnya harus kuliah di Depok. Memang istriku masih berusia 21 tahun ketika itu. Aku tidak terlalu mempersoalkan dengan berhentinya Mbok Darmi, namun yang menjadi masalah adalah ibu mertuaku tidak bisa lama-lama menemani kami, hanya satu bulan saja dan beliau akan pulang. Akhirnya aku datangi lagi Mbok Darmi untuk bekerja di rumah kami, tapi dia menolak secara halus. Aku desak tetap tidak mau, Mbok Darmi malah bercerita bahwa sebenarnya ia berhenti karena pernah dipelototi oleh ibu mertuaku, dan diusir mentah-mentah. Kata Mbok Darmi kejadiannya waktu itu di dalam kamarnya. Aku telepon mertuaku, tapi beliau bersumpah atas nama Tuhan bahwa tak pernah satu kalipun ke kamar Mbok Darmi, apalagi sambil melotot. Aku merasa tidak enak, mulai terasa ada keganjilan lagi di rumah. Tapi kejadian itu hanya aku pendam begitu saja karena takut istriku panik. 

Beberapa hari kemudian kami mendapatkan pembantu baru, namun dia tidak bisa menginap di rumah kami. Pembantu baru kami ini bernama Romlah, asli Sunda. Dia memiliki seorang anak usia 5 tahun tapi sanggup bersih-bersih rumah seadanya dan tugas utamanya adalah mengasuh anak kami. Daripada kosong tanpa pembantu, akhirnya kami terima saja. Pada hari kedua dia bekerja, si anak ikut dibawa karena neneknya sedang ada keperluan. Jam 8 pagi Romlah datang bersama anaknya yang masih kecil itu, Romlah langsung bersih-bersih rumah sedangkan si anak bermain sendiri di bawah tangga. Belum ada setengah jam Romlah bekerja, anaknya menjerit dan memaksa untuk pulang, “Pak, saya pulang dulu, nanti saya datang lagi,” pamit Romlah. 

Aku hanya mengiyakan, tidak bisa memaksa mereka untuk tetap tinggal. Lama Romlah pergi mengantar anak, ditunggu-tunggu tidak datang juga. Ketika aku bersama istri menjemput ke rumahnya, Romlah meminta untuk berhenti bekerja, lebih tepatnya membatalkan kerja pada kami. Awalnya Romlah tidak mau menceritakan alasannya berhenti bekerja, namun setelah saya desak, Romlah mengaku bahwa anaknya tadi bercerita melihat pocong yang loncat-loncat di atas tangga rumahku. Kondisi badan anak Romlah bahkan masih panas karena ketakutan.

Hari-hari selanjutnya kami lalui hanya bertiga, yaitu aku, istri dan anak kesayangan kami, Pijar. Kami menjalani hari-hari seperti biasa, berusaha melupakan segala yang terjadi biarpun pada kenyataannya tetap saja tegang. Hampir tiap malam bulu kuduk kami meremang, ditambah hawa lembab yang dibawa oleh angin padang golf semakin membuat kami larut dalam ketakutan. Tapi sekali lagi, aku harus dapat menguatkan diri, apalagi di depan istriku. Karena kalau aku sudah menunjukkan rasa takutku, istriku tentu lebih takut lagi dan merasa tidak ada yang melindungi. 

Apabila petang menjelang, pasti akan terdengar suara orang mengaji dari MP3 yang sengaja aku setel agak kencang. Lumayan, sedikit menurunkan tensi ketegangan kami. Pernah dari teman-teman di kantor tempatku bekerja, sebuah institusi negeri, didatangkan 3 orang paranormal. Tapi tetap tidak ada perubahan yang berarti. 

Suatu hari anak kami mengalami demam tinggi. Obat dari dokter sudah diminumkan tapi suhu badan tetap naik turun tidak stabil. Hari itu kami bergantian mengompres si kecil dengan air hangat, menjaga agar tidak sampai terjadi step. Kami buat semacam jadwal piket. Satu jam aku yang mengompres, satu jam lagi gantian istriku. Begitu seterusnya. Hingga suatu saat aku dibangunkan paksa oleh istri, padahal saat itu masih jatahku untuk tidur. 

“Pa, suhu badan Pijar tinggi lagi… aku takut...” kata istriku. 

“Ya sudah, kita berjaga berdua saja,” kataku sambil melihat sekeliling. 

Kamar utama kami letaknya paling belakang, bersebelahan dengan sumur yang sudah lama tidak dipakai. Tepat di samping kamar, terdapat jendela nako yang mengarah ke lapangan golf. Dari jendela ini kami dapat melihat pemandangan di belakang rumah. Aku memandang sekeliling, perasaanku sudah tidak enak sekali. “Bentar ya Ma...” kataku lalu keluar kamar dan menuju jendela, mengecek keadaan sekeliling. 

Aku terperanjat ketika melihat bayangan di depanku, tepatnya di samping jendela. Seseorang tampak sedang duduk membelakangiku, dengan rambut panjang sepunggung dan pakaian yang juga panjang.

“Maaf, Ibu siapa?” keluar juga suara dari mulutku. “Ibu siapa?” tetap tidak ada jawaban. 

Sosok itu menggerakkan kepala tapi tetap membelakangiku, terdengar lirih ia berkata, “Saya suka dengan anakmu.” 

“Tolong ibu pergi dari sini, jangan ganggu anak saya.” Namun si Ibu misterius itu tetap diam tak bereaksi. 

Menyadari kalau anakku dalam bahaya, aku langsung mengambil ember berisi air yang kebetulan ada di dekatku. Dengan menahan keringat dingin dan juga rasa takut, aku siramkan air dalam ember ke sosok itu, sambil terus berdoa sebisaku. Secara tiba-tiba si ibu berambut panjang itu menghilang. Dengan lunglai aku kembali masuk kamar. Alhamdulillah, suhu badan anakku sudah normal. Namun sampai pagi kami tidak berani tidur. Aku bersyukur suhu badan si kecil tetap stabil dan langsung sehat. 

Semenjak Romlah berhenti, kami sudah tak memiliki pembantu lagi, sehingga kamar pembantu kami biarkan kosong. Sedangkan kamar tamu yang digunakan sebagai gudang juga kosong. Keduanya sama-sama gelap. Aku sendiri malas mencari pembantu lagi, karena tidak mau melihat masalah yang akan terjadi pada mereka. Praktis dua kamar kosong ini semakin tidak terjamah oleh kami. Dua kamar ini sebenarnya bersebelahan, tapi terpisah oleh kamar mandi. Sebuah kamar mandi yang aneh menurutku. Karena dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, hanya satu tahun semenjak renovasi keseluruhan rumah, ubinnya sudah mengelupas tanpa sebab. Dan lebih aneh lagi, ubin yang terbuat dari keramik pucat itu menyembul terangkat. Lambat laun keramik ini terkelupas dengan sendirinya. Lampu kamar mandi itu juga kami biarkan mati karena saat diganti maka beberapa hari kemudian lampu itu akan mati lagi. Kami juga sering mendengar suara air seperti ada orang yang sedang mandi disana, padahal ketika dibuka tidak ada orang sama sekali.

Setelah kejadian Pijar demam itu, kami masih terus mengalami gangguan dari hantu-hantu yang ada di rumah kami. Sudah banyak paranormal yang kami panggil ke rumah, namun mereka hanya berhasil menghentikan ulah hantu-hantu itu selama beberapa hari dan mereka akan tetap kembali lagi ke rumah kami. Hingga kemudian aku mendapat saran bahwa untuk mengusir hantu, harusnya dengan bantuan orang pintar setempat atau orang pintar yang asli kelahiran daerah dimana terdapat ancaman hantu tersebut. Maka suatu sore, aku bersama anak dan istri berkunjung ke rumah salah satu sesepuh tempat kami tinggal, namanya Pak Maih. Beliau sudah cukup tua tapi masih nampak gurat semangatnya. 

Selesai shalat, Pak Maih membacakan doa-doa panjang. Mulutnya komat-kamit dengan mata terpejam. “Kenapa kamu ganggu keluarga ini?” begitu suara yang keluar dari mulut Pak Maih yang kemudian dijawab sendiri dengan suara yang kali ini lebih berat dan serak. 

“Itu memang rumah tempat kami tinggal, apa salah kami?” demikian suara serak itu menjawab. 

“Ya sudah, kamu dan teman-temanmu pindah dari sana,” kata suara asli Pak Maih.

“Siapa yang lebih dulu disana? Kami lahir dan besar disana,” demikian kira-kira sedikit percakapan yang terjadi antara Pak Maih dengan hantu-hantu di rumah kami. Intinya, para hantu itu tidak mau dipindah. Kami pun hanya bisa pasrah. Lalu Pak Maih mengatakan pada kami agar tidak lagi memindah atau mengusir makhluk-makhluk halus yang ada di rumah kami. “Dipindahkan kemanapun, diusir kemanapun, mereka akan tetap kembali, entah untuk beberapa saat, entah untuk selamanya,” kami pun diam. 

Pak Maih melanjutkan bicara, “Ibarat tanah kelahiran kita, kemanapun kita merantau pergi, suatu saat akan rindu dan pulang lagi sekedar menengok atau kembali pulang ke rumah tempat kelahiran kita.”

Akhirnya kami pulang dengan perasaan lebih plong. Lega rasanya. Biarlah hantu-hantu itu tetap datang-datang lagi tidak apa-apa, toh Pak Maih sudah berusaha mengungsikan mereka ke tempat yang jauh. Kami pun bertekad untuk tidak peduli jika sewaktu-waktu para setan itu mendatangi rumah kami lagi. Kami bertekad, biarlah hantu-hantu itu tetap tinggal di rumah kami, yang penting kami tidak diganggu. Memang selama ini kami sangat ingin mengusir keberadaan mereka, ternyata malah tidak seperti harapan kami. 

Dan pada kenyataannya omongan Pak Maih terjadi juga. Belum genap satu bulan sejak komunikasi kami dengan Pak Maih yang telah mengungsikan para hantu dengan damai, hantu-hantu itu mulai bermunculan kembali. Suatu malam, kebetulan ibu mertuaku sudah bersama kami lagi. Beliau sengaja datang karena kangen pada cucu dan kasihan setelah mendengar cerita kami. Malam itu seperti biasa aku mengerjakan tugas-tugas dari kantor. Ibu mertuaku kebetulan tidur di kamar tengah yang ada jendela persis bersebelahan dengan ruang tempatku biasa main komputer. Jadi dari jendela itu, bila kita berada di dalam kamar ini akan dapat melihat jelas keadaan ruang tengah. Tentunya bisa juga melihat siapapun yang sedang mengetik atau browsing di depan komputer. Tiba-tiba ibu mertuaku badannya lemas dan membiru. Kami panik, tapi aku mahfum dengan apa yang mungkin telah terjadi.

Siangnya ibu mertuaku cerita kepadaku, katanya setiap malam saat aku duduk di depan komputer, ibu mertua juga melihat aku sedang mondar-mandir di ruang tengah. Bahkan tadi malam sosok yang menyerupaiku masuk ke dalam kamar ibu mertuaku sambil menatap tajam dan membentak, “Kamu pulang atau mati!” Ya... itu yang diucapkan sosok yang menyerupaiku. Akhirnya karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka aku setuju saja saat ibu mertuaku pulang sehari setelah adanya teror itu. Masih banyak kejadian menyeramkan yang terjadi setelah kemunculan hantu-hantu itu di rumahku hingga akhirnya setelah berbulan-bulan tinggal disana kami memilih untuk pergi dari rumah itu.

Celurit Berdarah (Madura)

Saat itu aku dan teman-teman sekolah sedang mengikuti acara study tour di Jawa timur. Ada beberapa tempat wisata yang kami kunjungi dan salah satunya adalah Pulau Madura. Untuk itu kami akan melewati Jembatan Suramadu yang terkenal itu. Sebenarnya kegiatan wisatanya lebih banyak di daerah Jawa Timur, kami ke Madura untuk agenda Suramadu dan numpang singgah saja. Pastinya ada banyak tempat wisata di pulau itu, tapi karena jadwal wisata yang padat dan dibatasi oleh waktu yang sudah ditentukan, kami hanya mampir sebentar untuk selanjutnya kami kembali masuk ke bus untuk kembali ke Jawa Timur melalui jembatan itu lagi. 

Bus yang kami tumpangi mulai masuk Jembatan Suramadu, ketika itu sudah sore. Walau begitu sinar matahari masih memancar membuat suasana sedikit gerah dan silau sinar yang memantul di kaca bus begitu terasa. 

“Jendelanya dibuka saja, gerah nih!” pinta Agus teman yang duduk di sampingku. 

Aku segera membuka kaca jendela karena aku juga merasakan gerah seperti halnya Agus. Udara luar pun spontan menyeruak masuk, rasanya segar sekali. Angin pun melibas kami dengan menerbangkan ujung-ujung rambut, demikian juga dengan gorden yang tadi sudah kugeser di sudut, ikut meliuk-liuk mengikuti arah angin. 

“Nah gini kan enak!” seru Agus sambil mengarahkan wajah ke arah jendela, matanya terpejam seperti benar-benar mau menghayati udara yang bertiup ke arahnya. 

“Hmm... segar sekali!” gumamku. 

Seperti halnya Agus, aku juga ikut menghadap ke arah jendela. Kami berdua sama-sama menikmati aliran udara yang terasa melegakan itu. Ternyata teman-teman yang lain juga melakukan hal serupa, banyak dari mereka yang membuka jendela untuk menikmati angin laut itu. 

Sesaat kemudian pemandu wisata menerangkan bahwa kami sudah ada di Jembatan Suramadu, jembatan yang membelah lautan tapi menyatukan dua pulau yaitu Pulau Jawa dan Pulau Madura. Jembatan yang berdiri megah dan kokoh ini mengiringi kami menuju Madura. 

Pemandu wisata itu juga menjelaskan bahwa kami hanya akan melewati jembatan ini, sesampai di Madura, bus akan berhenti sebentar untuk memberi waktu kepada kami keluar dan melihat-lihat, ada banyak orang berjualan di sekitar tempat itu jadi kami bisa juga berbelanja oleh-oleh. 

“Wah, jembatannya panjang sekali ya!” seru Aris, teman yang duduk di belakangku. 

“Ya iyalah kan menghubungkan Surabaya dan Madura!” celetukku menanggapi ucapan Aris. 

“Kata pemandunya itu kalau malam hari ada kerlap kerlip lampu yang menghiasi jembatan ini!” tambah Agus. 

“Wah sayang kita lewat sore hari, jadi nggak lihat lampu warna-warninya tuh!” sesal Aris. 

“Yah nggak apa-apa juga, yang penting kita sudah pernah melewati jembatan ini, bisa buat cerita anak cucu kelak... hahahah!” canda Agus diikuti tawa kami semua. 

“Katanya nanti kita akan mampir sebentar di Madura ya?” tanya Budi, teman di sebelah Aris. 

“Singgah sebentar saja nanti terus masuk kembali ke dalam bus, lalu kembali ke Surabaya!” jawabku menirukan arahan pemandu wisata tadi. 

“Yaaah... rugi dong!” seru Budi kecewa. 

“Yang penting kita pernah menginjakkan kaki di Madura, bisa buat cerita...”

“Anak cucu kelak!” potong kami semua menanggapi gurauan Agus. Kembali kami tertawa bersama. Selama melewati jembatan ini kami berkelakar bercanda ria sambil menikmati keindahan lautan yang terbelah jembatan ini. Tak terasa kami sampai juga di Madura, setelah bus beringsut meninggalkan jembatan dan mencari tempat parkir, kami semua keluar bus untuk menikmati udara luar dan sekedar meluruskan kedua kaki kami yang pegal karena kelamaan duduk. 

Kami hanya diberi waktu tiga puluh menit, dengan waktu sependek itu kami cuma bisa melihat lihat gerai-gerai tempat penjual aneka macam cinderamata. Memang beberapa dari kami membeli aneka barang, tapi sebagian kami cuma jalan-jalan buat melihat lihat saja. Termasuk aku dan teman-temanku, kami cuma sekedar meluruskan kaki saja, bukannya nggak ingin beli oleh-oleh tapi uang saku kami memang cekak, jadi harus pandai-pandai mengatur pengeluaran. Apalagi masih banyak tempat wisata yang akan kami kunjungi nanti, tentu kami perlu dana paling tidak buat sekedar membeli makanan dan minuman di tempat wisata itu. Dari pihak travel sudah memberitahu kami kalau ada jatah makan tiga kali sehari buat pagi, siang dan sore. Jadi di luar itu tentu kami harus mengeluarkan uang sendiri. 

“Eh teman-teman, aku mau buang air sebentar. Tunggu ya!” teriakku sambil berlari ke arah kamar mandi umum. 

Aku sudah merasakan ingin ke toilet sejak turun dari bus tadi tapi aku belum menemukannya, maka begitu aku melihatnya aku langsung berlari menghampiri. 

Keluar dari toilet, tidak kulihat teman-temanku. Wah payah ternyata mereka meninggalkanku. Saat sedang berjalan mencari mereka, kulihat sebuah kotak tempat sampah, kurogoh saku jaketku dan kukeluarkan satu tas plastik kecil berisi barang yang harus dibuang alias sampah, di bus tadi kami makan aneka camilan dan aku kelupaan membuangnya karena aku masukkan ke dalam tas plastik dan kujejalkan ke dalam saku jaketku, baru aku ingat saat aku merapatkan jaket, kok seperti ada yang mengganjal, ternyata sampah, ya sudah aku akan membuangnya dulu di tempat sampah itu. Sesampai di tempat itu, aku segera melemparkan tas plastik ke dalamnya, tapi saat aku mau berbalik aku melihat ada sesuatu di balik tumpukan sampah itu, ada sesuatu yang membuatku penasaran, sepertinya ujung sebilah pisau. 

Tak ingin rasa penasaranku berkepanjangan aku segera mengambil bilah bambu yang aku temukan di dekatku, aku pun mengaduk pelan sampah itu, ternyata benar.... bukan pisau sih, tapi sebuah celurit. Pikiran jahilku mulai tersulut, pasti teman temanku akan terkagum-kagum melihat celurit ini. Aku pasti akan tampak gagah dan garang dengan memamerkan celurit ini di hadapan mereka. Heheheh.... buat nakut-nakutin mereka boleh juga tuh celurit. 

Dengan dibantu bilah bambu itu aku mengambil celurit itu dan kuamati, ada sedikit bercak darah, segera aku membersihkannya dengan kertas bekas yang ada disitu. Untung tidak ada orang yang memergokiku, maklum di dekat tempat sampah, siapa pula yang peduli. Selanjutnya aku menaruh celurit itu di ikat pinggang dan menutupnya dengan jaket yang aku kenakan, sehingga tidak terlihat dari luar. Setelah itu aku kembali mencari teman-temanku. 

“Kalian ninggalin aku ya!” teriakku kepada mereka saat aku menemukannya. 

“Ngapain juga nungguin orang kencing!” seloroh Agus sambil jarinya menutup lubang hidungnya. 

“Iya nih, lagian waktu kita pendek, masak cuma dilewatkan dengan menunggu orang ke toilet!” timpal Budi ikutan berseloroh. 

“Ah sudahlah, ayo kita jalan-jalan lagi. Sebentar lagi juga kita harus kembali ke dalam bus!” Aris menengahi. Kamipun lalu melanjutkan langkah mengitari para penjual yang menjajakan aneka dagangan, setelah itu kami kembali ke dalam bus. 

Seperti yang sudah dikatakan oleh si pemandu, bus itupun kembali melaju melewati Jembatan Suramadu menuju Surabaya. Menurut jadwal agenda wisata, kami akan bermalam di sebuah penginapan di Surabaya, keesokan harinya kami akan pergi ke tempat wisata lainnya. 

Sesampai di hotel, kami mendapat sebuah kamar yang akan diisi oleh empat anak untuk tiap kamarnya, aku bersama Agus, Aris dan Budi akan tidur di kamar yang sama. 

“Siapa yang duluan mandi?” tanya Aris begitu sampai di dalam kamar. 

“Aku saja ya!” seruku. 

“Tumben mau mandi duluan!” seru Budi. 

“Kebelet lagi tuh kayaknya!” timpal Agus bercanda. 

Aku cuma mencibirkan mulut ke arah mereka, aku segera menaruh tas di atas meja lalu membukanya untuk mengambil handuk dan peralatan mandi. Kami menginap di hotel kelas melati, biasanya tidak disediakan alat mandi, maklum biaya wisata juga ditekan karena menyesuaikan kondisi keuangan orang tua siswa. Namun kami bersyukur bisa berwisata bersama satu kelas untuk terakhir kalinya. Soalnya kami sudah naik ke kelas tiga, tidak ada agenda buat wisata lagi karena waktu kami akan terfokus dengan kegiatan belajar menghadapi ujian masuk perguruan tinggi.

Di dalam kamar mandi, kukeluarkan celurit itu dari balik jaketku, kuamati lagi, meski kali ini tidak ada bercak darah karena tadi aku sudah membersihkannya, namun entah mengapa aku merasakan energi yang menjalar di tanganku, ada perasaan seolah-olah celurit itu memiliki jiwa. Ah segera kutepiskan pikiran anehku itu, dengan gayung kuambil air dan kuguyurkan ke badan celurit, air yang dingin turut membasahi tanganku. Kubersihkan celurit itu dengan sabun dan kubilas hingga bersih. Setelah itu aku menggantungkan celurit itu di gantungan baju yang menempel di tembok kamar mandi, lalu aku mandi membersihkan diri. 
“Hai teman-teman... tahu nggak apa yang aku bawa?” seruku sekeluar dari kamar mandi, aku sengaja membungkus celurit itu dengan jaketku. 

“Apaan tuh? Paling buntalan baju kotor!” jawab Aris sambil tersenyum sinis. 

“Nggak tertarik....” gumam Budi tidak hirau, ia asyik tiduran di tempat tidur sambil memencet-mencet tombol telepon genggamnya. 

“Emang apaan sih? Pakai berteka-teki segala?” tukas Agus penasaran. 

“Nih.... c-e-l-u-r-i-t!” ejaku seraya mengeluarkan celurit itu dari lipatan jaket. 

“Gila!” seru Agus tidak percaya. Aris dan Budi melongo melihatku mengacungkan celurit ke arah mereka. 

“Kamu beli saat di Madura tadi ya?“ tanya Agus. Ketiga temanku lalu mengerumuniku untuk melihat celurit itu dengan lebih jelas. 

“Emang disana tadi ada yang jual celurit? Kok aku tidak lihat ya?” Aris berucap dengan penuh tanda tanya. 
“Aku juga tidak lihat tuh ada penjual celurit!” tambah Budi menimpali ucapan Aris. 

“Aku tadi beli celurit ini dari seseorang!” seruku berbohong. Kan malu kalau aku bilang terus terang bahwa aku memungutnya dari tempat sampah, entar mereka malah mengejekku. 

“Berapa harganya? Mahal?” tukas salah seorang temanku. 

“Pasti murah... kan celurit bukan barang yang mahal. Orang lagi butuh duit kali!” sergah Agus membuatku punya ide lain tentang celurit itu. 

“Yoi... nggak mahal kok, tadi ada seorang bapak tua yang menghampiriku saat di toilet, ternyata bapak itu mau menjual celurit ini, butuh duit buat pulang katanya!” Aku mulai mengarang cerita, dalam hati aku tertawa, mungkin sedikit bumbu ceritaku akan terdengar afdol. 

“Bapak itu juga bilang kalau celurit ini bertuah karena sudah membunuh banyak orang!” lanjutku lagi dengan mimik serius. 

Kulihat teman temanku seakan tersihir dengan cerita gombalku, aku tergelak dalam hati, “Kasihan deh aku kibulin,” begitu aku berucap, tentu saja dalam hati. 

“Wah kita harus melapor ke Pak Guru nih, kan kita tidak boleh membawa senjata tajam. Bahaya loh!” tukas Budi di luar dugaanku. 

Wah bisa kacau nih, aku pasti akan ditanyai macam-macam oleh Pak Guru pembimbing yang menyertai kami selama wisata ini. 

“Eit... jangan! Kamu pingin kena tuah ya!” teriakku sedikit emosi. 

“Tapi.... kita kan tidak boleh membawa....” 

Belum sempat Budi menyelesaikan ucapannya, Aris mencoba menengahi. 

“Sudahlah, kalau tidak ketahuan juga tidak apa-apa kok. Tapi kamu harus menyembunyikannya baik-baik, jangan sampai kepergok teman lain. Cukup kita berempat saja yang tahu. Oke?” 

Setelah saling menatap satu sama lain untuk meminta persetujuan, akhirnya kami sepakat menyembunyikan hal ini dari guru dan teman-teman yang lain. Kami menganggap celurit itu sebagai oleh-oleh yang aku beli. 

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, berarti waktunya untuk makan malam yang disajikan oleh pihak pengelola hotel. Kami berjalan menuju ruang makan di aula ruang samping kanan hotel, tentu saja kami mengunci pintu kamar terlebih dahulu. Di saat acara makan kami diberitahu kalau tidak ada jadwal khusus di malam hari jadi kami bebas main keluar dengan catatan besok pagi jam enam harus sudah siap untuk terus melanjutkan perjalanan ke tempat wisata yang lain, jadi kami harus bisa mengatur waktu agar tidak tidur terlalu larut malam. 

Malam itu kami sepakat menghabiskan waktu dengan bercengkerama bersama di alun-alun lapangan kota, di sekeliling lingkaran lapangan banyak orang berjualan. Kami bisa duduk di atas tikar dan ngobrol lama sambil menikmati hidangan murah meriah disitu. 

“Kamu nggak takut punya celurit yang sudah banyak membunuh orang itu?” tanya Budi di sela obrolan kami. 

“Iya, biasanya kan ada energi negatifnya tuh!” tambah Aris seraya menyeruput kopi panasnya. “Cari masalah saja namanya!”

“Yah, sesekali punya barang bertuah apa salahnya?” balasku enteng. Ada perasaan senang sudah berhasil mengelabui teman-temanku. 

“Halah siapa bilang barang bertuah! Itu kan akal-akalan si penjual saja agar barangnya laku... Badu sudah ketipu tuh!” sergah Agus. 

“Hai... siapa juga yang tertipu. Waktu aku beli ada tetesan darah di bilah celurit itu!” bantahku sengit, tak kusangka aku terbawa emosi dan sedikit kebenaran tentang celurit itu terungkap ke permukaan. 

Ketiga teman terbengong-bengong mendengar ucapanku, seakan tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan. Sesaat kami semua terdiam, mungkin mereka terbayang celurit yang aku tunjukkan tadi dan berasumsi bahwa celurit itu baru saja dipakai buat membunuh orang. 

“Ah sudahlah teman-teman, nggak usah diperdebatkan lagi. Anggap saja itu sekedar oleh-oleh!” 

Aku berkata demikian pada akhirnya, karena aku takut kalau semakin diperlebar bisa jadi kami terbawa emosi dan akhirnya terbuka semuanya dengan sendirinya. Aku juga khawatir kalau sampai ke telinga Pak Guru pembimbing, maka aku bermaksud menyudahi perdebatan ini. 

“Iya deh... lupakan saja, kita nikmati malam di alun-alun ini saja!” balas Agus dengan bersemangat, teman-teman yang lain juga setuju. 

Setelah beberapa lama di alun-alun kami memutuskan kembali ke hotel untuk istirahat. Kami ingin tidur pulas menanti pagi menjelang dan berwisata ke tempat lainnya. 

“Lampunya dimatikan saja ya? Kan lampu di luar cukup menerangi kamar ini!” kata Budi, dia pernah bilang tidak bisa tidur di ruangan yang terang. 

Kulihat dia memencet tombol lampu, suasana kamar jadi temaram karena hanya menerima penerangan dari lampu luar. Tapi cukuplah bagi kami yang mau tidur ini. Sedikit cahaya malah bisa membuat kami cepat tertidur. Ada dua buah tempat tidur di kamar kami, masing-masing ditempati dua anak. Aku dan Agus berbagi tempat tidur sedang Budi dengan Aris. Karena kelelahan ditambah hawa dingin malam yang menyergap, kamipun cepat tertidur dengan pulas. 

Entah jam berapa aku kurang tahu pasti, setengah sadar aku merasakan ada seseorang berdiri di hadapanku, tampaknya dia seorang perempuan. Rambutnya yang panjang tergerai di depan menutupi wajahnya. Samar kulihat dia berlumuran darah di sekujur tubuhnya. Mulutku mau menjerit tapi aku tidak kuasa melakukannya, seperti ada lem yang menyatukan kedua bibirku. Tiba-tiba kedua tangan perempuan itu bergerak ke depan ke arahku seakan ingin merengkuhku. Aku berusaha menjerit meminta pertolongan. Lalu aku tersadar. 

“Kenapa kamu Badu?” teriak Agus mengguncang bahuku dengan keras. 

Aris dan Budi juga terbangun dan melihatku dengan pandangan heran. Kurasakan detak jantungku bergerak dengan sangat cepat, keringat mengalir bercucuran membasahi tubuhku. Napasku tersengal-sengal seperti barusan lari cepat dikejar anjing. 

“Aku.... ah.... cuma mimpi saja!” elakku, setelah sesaat menenangkan diri. 

Kulihat teman-temanku menghembuskan napas penuh kelegaan. Mereka lalu bermaksud melanjutkan tidur termasuk juga aku, tapi tiba-tiba mataku tertuju di almari yang ada di hadapanku, kulihat pintu almari itu terbuka. 

Segera kunyalakan lampu untuk meyakinkan diri, ternyata benar adanya, pintu itu terbuka. Aku terhenyak melihat celurit itu ada di lantai di bawah pintu almari yang terbuka, padahal aku sudah membungkus celurit itu dengan jaket agar tidak kelihatan. 

“Siapa yang membuka almari dan membiarkan celurit itu di lantai?” tanyaku kepada teman-temanku. Pasti salah satu dari mereka iseng membuka bungkusnya. 

“Siapaaa?” teriakku gusar. 

“Aris?” kulihat Aris menggeleng. 

“Kamu Budi?” Budi juga menggeleng. 

“Agus pasti ya?” Agus juga menggelengkan kepala dengan lebih keras. 

“Jangan bohong kalian!” Aku emosi sekali, tapi kulihat mereka menggeleng-gelengkan kepala, bahkan Budi sampai menggerak-gerakkan tangannya menunjukkan kalau bukan dia. 

“Masak celurit itu bisa keluar sendiri!” hardikku. 

Ketiga temanku diam membisu, aku jadi sewot sendiri. Namun tiba-tiba kami terkejut dan dibuat menahan napas, ketika kami melihat celurit itu bergerak-gerak sendiri, sebentar saja lalu kembali diam. Kami terhenyak dengan kejadian barusan, seakan tidak percaya dengan yang kami lihat, mana ada benda mati macam celurit itu bisa bergerak sendiri kalau tidak ada yang memainkannya. Hiiiii.... tiba-tiba aku merasa sangat ketakutan. Aku memutuskan untuk membuang celurit itu besok pagi. 

Monday, August 19, 2019

Hantu Farida (Kediri)


Biasanya banyak dari cerita-cerita mistis yang kita dengar hanya sebatas suara-suara menyeramkan atau yang paling bikin bulu kuduk berdiri adalah bila sosok menakutkan itu menampakkan diri. Namun beda dengan cerita legenda yang pernah menggemparkan warga di tahun 90-an di Kota Kediri ini. Hantu Farida, sebutan untuk sosok misterius yang menggegerkan masyarakat ini bahkan lebih usil dari hantu-hantu yang lain.

Menurut warga, Hantu Farida tinggal di salah satu TPU Jaten di Dusun Badal, Kediri. Sosoknya sendiri dikenal dengan ciri-ciri layaknya wanita cantik yang berambut hitam dengan pernak-pernik di kepalanya. Farida menggunakan baju yang serba putih. Banyak pula yang mengatakan bahwa Farida terkenal sering muncul dengan mengendarai skuter untuk berkeliling kota. Aneh kan?

Selain itu menurut beberapa penuturan warga sekitar Dusun Badal, banyak benda-benda misterius yang diantarkan kepada rumah warga seperti bahan material, benda elektronik, sampai kendaraan bermotor. Tentunya warga yang menerima hal itu kemudian terkejut dan merasa bingung pada apa yang terjadi. Setelah ditelusuri dan diusut, orang yang mengirim barang-barang tersebut adalah seseorang yang bernama Farida. Dan yang mengejutkan pula adalah barang-barang tersebut telah dibayar lunas dengan uang asli.

Dan yang paling menggemparkan adalah cerita Hantu Farida yang satu ini. Suatu ketika ada seseorang pemuda yang datang bersama keluarganya dengan sebuah mobil ke Dusun Badal. Ketika bertanya kepada warga sekitar dan kepala dusun, mereka terperanjat karena ternyata alamat yang ditanyakan oleh pemuda itu adalah alamat kuburan Jaten yang berada di sekitar daerah itu. Usut punya usut, ternyata pemuda itu mengenal seorang wanita yang bernama Farida di salah satu universitas besar di Jakarta. Wanita bernama Farida itu mengaku merupakan mahasiswi di universitas itu. Pemuda itu mengaku sudah berpacaran dengan Farida lumayan lama, hingga dia berniat untuk melamarnya.

Menurut Kepala Desa Dusun Badal, pernah suatu kali ada seorang paranormal yang mencoba untuk berkomunikasi dengan sosok Hantu Farida ini. Dalam aktifitas astral tersebut Farida bercerita (melewati media orang yang dirasuki) bahwa dirinya dulu adalah orang yang dibunuh oleh orang Belanda. Setelah dibunuh secara sadis, mayatnya kemudian dibuang di sungai. 

Kuburan Jaten yang berada di Dusun Badal itu pun sebenarnya bukanlah rumah asal dari Hantu Farida ini. Farida sendiri mengaku diajak oleh sosok siluman yang menghuni pemakaman itu untuk tinggal disitu. Nama asli sosok hantu wanita cantik itu sebenarnya juga bukanlah Farida. Namun sayang, paranormal itu mengatakan bahwa Hantu Farida tidak mau mengungkapkan nama aslinya.

Bertemu Kuntilanak dan Wewe Gombel (Madura)

Nama saya adalah Gilang. Saat ini saya kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Madura. Pengalaman horor ini saya alami sekitar 3 tahun lalu. Pada suatu malam, ketika itu saya sedang berkumpul bersama teman-teman di rumah guru SMA kami dulu. Beliau memang sosok yang sangat akrab dengan murid-muridnya, bahkan rumahnya sudah biasa dijadikan tempat nongkrong bersama dengan murid-muridnya. Malam pun tak terasa semakin larut, waktu sudah menunjukkan sekitar jam 12 malam. Saat itu kami memang sudah mulai merasa lelah setelah asyik bercanda-canda dan mengenang cerita-cerita jaman SMA kami dulu. Ketika kami sedang duduk sambil nonton TV dan minum kopi, tiba-tiba guru saya berkata, “Hati-hati ada ‘tante’ datang.” 

Kaget dan bingung, saya bertanya kepadanya, “Ada apa Pak?”

“Tidak apa-apa, ada ‘tante’ datang, jangan kaget dan jangan takut,” jawabnya. 

Yang dimaksud oleh guruku dengan ‘tante’ disini adalah hantu perempuan. Mantan guruku itu memang bisa melihat hantu, dan biasanya ketika ada yang tidak beres, beliau selalu memperingatkan kami. Kemudian beliau meninggalkan kami dan berjalan ke belakang untuk membuat kopi lagi. Setelah itu keanehan mulai terjadi di ruang tamu. Saya dan teman saya mencium bau busuk, kami saling tatap dan merasakan suasana berubah, terasa lain dari biasanya.

Salah seorang teman saya melihat seorang perempuan berdiri di depan pagar tetangga depan. Yang jelas dia bukan manusia, karena sosok perempuan itu terlihat berdiri di antara pagar dan jalan, badannya transparan dan menembus pagar sehingga badannya setengah ada di dalam halaman dan setengahnya lagi ada di jalan. Kata temanku dia tersenyum lebar alias menyeringai ke arahnya. Rambutnya panjang hingga bawah pinggang. Wajahnya pucat dengan lingkaran hitam di sekeliling matanya seperti sosok hantu yang sering terlihat di televisi. Temanku kebetulan memang pemberani, dia masih bisa berkata astagfirullah. Namun temanku yang satu lagi sangat shock dan sulit bernapas.

Saya sendiri ketika itu melihat ke arah pohon mangga di rumah tetangga, ada sosok yang membuat saya merinding hingga bulu kuduk saya berdiri. Di salah satu ranting pohon tersebut, ada seorang perempuan terlentang tanpa mengenakan busana sambil terus melihat ke arahku. Warna kulitnya sangat pucat, rambutnya kucal, mata dan mulutnya lebar, dan yang paling mengerikan adalah ukuran payudaranya sangat besar dan panjang, dan tangannya juga lebih panjang dari tangan manusia pada umumnya dengan jari-jari yang berbentuk tidak wajar.

Semakin lemas kami saat itu ketika sosok hantu yang dikenal dengan nama kuntilanak dan wewe gombel itu terbang rendah mengarah ke arah kami. Badan kami terasa kaku, sesak napas, dan mulut seperti dikunci rapat tanpa bisa berbicara sepatah kata pun, serta mata saya benar-benar tidak bisa ditutup lagi. Mereka semakin dekat, wajahnya semakin jelas dan semakin seram saat sudah berada sekitar 1 meter dari pintu rumah guru saya. Setelah sampai di depan pintu, mereka berubah menjadi sekumpulan asap yang kemudian menghilang secara misterius. Kami merasa hidup kembali dan dapat bergerak setelah mereka menghilang. 

Sebenarnya kejadian horor tersebut hanya terjadi beberapa menit saja. Setelah dua hantu tersebut menghilang, guru saya datang dan menyarankan kami agar menginap di rumahnya saja. “Lebih baik kalian menginap saja, malam ini semua pada keluar.” 

Akhirnya kami memutuskan untuk menginap saja karena memang sepertinya di luar sangat menyeramkan. Belum lagi kami harus menuntun motor melewati gang sempit dengan rumah-rumah kosong di sekitarnya sejauh 200 meter sebelum mencapai jalan raya. Konon di sepanjang lorong gang yang harus kami lewati tersebut memang sangat menyeramkan. Sering terdengar langkah kaki misterius, hantu anak kecil yang berlari-lari, atau juga terdengar suara langkah raksasa berwujud orang hitam bermata satu sedang berjalan di lorong tersebut. Sangat mengerikan.

Thursday, August 15, 2019

Hantu Marni Di Studio Alam TVRI (Depok)


Studio Alam TVRI yang terletak di Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jawa Barat ini kabarnya berhantu. Lokasi syuting seluas 29 hektar yang dibangun tahun 1981 silam ini konon dihuni oleh hantu sinden cantik bernama Marni. Hantu Marni ini kerap mengganggu pengunjung atau kru film yang sedang syuting di tempat ini. Sumadi, koordinator Studio Alam TVRI mengatakan, sejak dibangun hingga sekarang, ada saja sejumlah pengunjung hingga kru yang mengalami kesurupan. Seluruhnya dirasuki oleh perempuan yang mengaku bernama Marni. Dari penampakan saat merasuki tubuh manusia, perempuan itu berasal dari suku Sunda.

Sara Wijayanto, seorang artis yang mempunyai kemampuan untuk melihat hantu, juga pernah mengalami kejadian yang mistis saat datang kesini. Ketika berada di mobil dan sudah di wilayah Studio Alam, Sara mengaku mencium bau aneh, seperti minyak wangi kuno. Ia mencoba untuk mengabaikan bau tersebut namun aroma wanginya malah semakin menyengat. Bahkan saking menyengatnya ia sampai mual.

“Punggung saya terasa berat dan bulu kuduk berdiri. Seperti ada hembusan napas dan suara perempuan tipis sekali dari belakang saya mengucapkan salam. Pelan-pelan saya menoleh ke belakang… dan benar...” katanya.

Seketika Sara mendapati sosok perempuan berkebaya merah dengan rambut berantakan sedang duduk di jok belakang mobilnya. Terang saja dia langsung kaget dan berteriak. Jantungnya berdebar kencang ketika melihat hantu perempuan itu. Itulah pertemuan pertama Sara dengan Marni. Dia menyebut, sosoknya memang nampak mengerikan dan jahil. Suka menggoda manusia, terutama laki-laki. Si Marni ini dikatakan Sara sempat mengikutinya selama tiga hari.

Sara Wijayanto mengatakan kalau dulu Marni dikhianati oleh orang-orang yang dicintainya, kekasih dan sahabatnya sendiri. Bahkan Marni terbunuh juga karena rencana jahat mereka. “Marni ialah seorang penari dan sinden di masa hidupnya. Pada masa itu, memang banyak persaingan di antara sinden. Dan banyak dari mereka yang menggunakan ilmu hitam untuk menyingkirkan pesaingnya. Hantu Marni memang termasuk yang dominan di lokasi ini,” terang Sara.

Tidak hanya Marni saja, tukang ojek yang sering mangkal di sekitar lokasi juga mengeluhkan sering mendapat penumpang jadi-jadian. Mereka mendapat penumpang perempuan yang minta diantar ke Studio Alam TVRI, lalu tiba-tiba wanita itu hilang dari boncengan. Selain itu, tercatat sudah ada puluhan hingga ratusan orang yang mengalami kesurupan sejak lokasi ini dibuka untuk umum. Suasana juga semakin mengerikan ketika banyak yang membagikan pengalaman mendengar suara tawa kuntilanak saat berada disini.

Wednesday, August 14, 2019

HANTU POHON JAMBU (BATAM)

Mungkin banyak dari kita yang pernah mendengar kabar tentang rumah yang berhantu, meski sulit untuk diterima dengan akal sehat tapi kadang fenomena seperti itu bisa terjadi. Dulu aku tidak percaya dengan hal-hal semacam itu, karena aku tidak pernah melihat sendiri, walaupun sebenarnya penasaran juga tapi demi Tuhan aku lebih memilih untuk tidak diberi kesempatan buat membuktikannya, daripada nanti malah merugikan diriku sendiri mendingan aku berkeyakinan bahwa dunia nyata dengan dunia ghaib sudah dipisahkan oleh-Nya.

Namun, kejadian beberapa tahun silam membuatku sadar bahwa memang kadang ada persinggungan antara dua dunia yang berbeda itu. Beginilah kisahnya.

Sekitar lima tahun lalu, aku mengikuti suamiku yang bekerja di Batam, sebenarnya sih kami lebih memilih untuk tinggal di pulau Jawa karena dekat sanak saudara dan orang tua, tapi apa mau dikata lapangan kerja yang semakin sempit membuat kami mesti realistis. Selepas lulus dari perguruan tinggi kami berdua berusaha mencari pekerjaan, bahkan kami juga mencoba berwirausaha. Tetapi memang antara impian dan kenyataan kadang tidak sejalan. Puluhan surat lamaran sudah dikirim baik melalui pos maupun email, tiap kali ada kesempatan walk in interview/wawancara pasti tidak pernah kami lewatkan. Intinya setiap kali ada informasi lowongan kerja kami selalu berusaha untuk mencobanya. Tapi karena belum rejeki, kesempatan kerja belum juga singgah kepada kami, hingga suatu ketika di suatu sore saat aku sedang memasak, suamiku menghampiri.

“Dik, seandainya kita ada penghasilan, bisakah kita mengontrak rumah sendiri?” Tanya mas Pram suamiku- mengagetkanku.

Aku menengok ke arahnya, saat itu aku sedang mengiris sayuran untuk dibuat masakan, jadi aku hentikan sementara. 

“Ya iyalah... aku dukung seratus persen deh. Kita kan sudah menikah masak mau menebeng orang tua terus!” jawabku terdengar riang.

Mas Pram tersenyum mendengarnya, kami akui semenjak kami menikah sampai saat itu kami masih bagai kutu loncat, kadang tinggal di rumah orang tua mas Pram kadang ke rumah orang tuaku. Kedua orang tua kami sebenarnya tidak mempermasalahkan, mereka memahami kondisi kami yang belum bisa memenuhi kebutuhan kami sendiri karena belum ada pekerjaan tetap. 

Tapi bagaimanapun perasaan sungkan tetap menaungi, masak sudah disekolahkan tinggi dan sudah pula berkeluarga tetap menjadi beban hidup mereka? Memang sih kami juga ada sedikit uang hasil kerja serabutan, tapi itu hanya cukup buat keperluan pribadi saja, untuk biaya hidup secara garis besar masih bisa dikatakan orang tua yang menanggung.

“Aku mendapat pekerjaan Dik!” ucap mas Pram singkat tapi benar-benar membuatku terpana karena tidak percaya dengan apa yang aku dengar.

“Beneran Mas...?” teriakku, seketika aku melepaskan pisau dan sayuran di mangkok, aku menghambur memeluk mas Pram. 

Mas Pram kaget melihat reaksiku, tapi kemudian dia menyambut pelukanku.

“Kerja di perusahaan apa Mas? Kapan mulai kerja? Bagian apa? Kok tidak memberitahu sebelumnya? Bikin aku kaget saja!” serbuku seperti aliran air yang mengalir deras.

Lagi-lagi mas Pram cuma tersenyum. Setelah mengendurkan pelukan, dia membimbingku duduk di atas bangku panjang di dalam dapur, dan mulailah dia bercerita, aku mendengarkan ceritanya dengan tidak sabar dan sangat antusias.

“Seminggu yang lalu aku mengikuti walk in interview yang diadakan di hotel Akbar di pusat kota. Meski sebenarnya aku tidak terlalu yakin diterima karena peminatnya berjibun tapi aku berusaha mencoba, karena syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan bidangku.

“Terus... terus...” aku tidak sabar mendengar penjelasan selanjutnya.

“Sabar Dik… sabar Dik!” ucap mas Pram geli, dia lalu melanjutkan, “Ternyata aku diterima... tadi siang aku cek melalui email, sempat ragu lho... sampai aku menelpon perusahaan untuk memastikan, tapi memang aku diterima kok, senin depan aku harus sudah masuk kerja di cabang perusahaan PT Maju Gemilang yang ada di Batam...!”

“Apaaa? Batam?” aku terlonjak mendengar kata Batam.

“Kan masih di wilayah negara Indonesia!” tukas suamiku seakan menegaskan bahwa aku tidak perlu khawatir.

“Mmhmmm... aku... mmhmm,” aku tergagap, tidak tahu mau bicara apa. Aku senang mas Pram berhasil mendapatkan pekerjaan, tapi aku juga ragu karena kami harus bertolak ke Batam. Selama ini aku belum pernah meninggalkan pulau Jawa, jadi perasaan cemas tentu menggelayutiku.

“Ya, kalau Dik Tiwi tidak berkenan, aku bisa mengundurkan diri kok...” ucap mas Pram terdengar lesu.

“Oh… jangan Mas... ini kesempatan buat mencari pengalaman kerja, lagian kita kan belum ada anak, jadi tidak terlalu repotlah!” entah darimana aku mendapat ide seperti itu yang pasti kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Mas pram membelalakkan mata, mungkin tidak yakin dengan ucapanku tadi, tapi sejurus kemudian dia tertawa senang dan kembali memelukku.

“Tidak ada salahnya buat mencoba Mas... toh masih di wilayah negara Indonesia!” candaku ringan. Mas Pram kembali tertawa.

Tugas kami selanjutnya adalah memberitahukan berita ini kepada orang tua dan keluarga dekat, kami juga bersiap siap menyiapkan alasan untuk meyakinkan mereka semua. Tapi ternyata kami tidak mengalami kendala yang berarti karena mereka semua mendukung dan mengatakan tidak masalah kerja dimanapun di negara ini asalkan pekerjaan itu pasti dan bisa menopang kami. Bahkan salah satu paman membantu kami dengan memberi referensi untuk tinggal sementara di salah satu saudara teman kerjanya yang tinggal di Batam. 

Paman menasihati bahwa tinggal menumpang di rumah orang lain tidak massalah karena kami belum ada dana yang cukup untuk langsung mengontrak. Yang penting kami harus bisa membawa diri dengan baik, dan segera setelah dana mencukupi kami harus berpindah tempat bisa dengan mengontrak maupun kost saja terlebih dahulu agar hemat biaya. Kata pamanku, saudara temannnya itu tidak keberatan bahkan senang bisa membantu kami. Mas Pram dan aku sudah menelpon pak Wijaya nama saudara teman paman itu dan kami mendengar sendiri bahwa pak Wijaya dan keluarga siap untuk menampung kami.

Akhirnya waktunya tiba juga, kami berangkat ke Batam dengan pesawat. Pak Wijaya dan keluarganya sangat baik, mereka menjemput kami di bandara. Sesampai di rumahnya ternyata kami sudah disiapkan sebuah kamar. Rumah pak Wijaya tidak terlalu luas, hanya ada dua ruang tidur, satu untuk pak Wijaya dan istri, sedang satunya untuk anak tunggal mereka yang sekarang ini kost di Bandung untuk kuliah di universitas ternama di kota itu. 

Kami sudah menyatakan siap bila sang putra pulang maka kami akan pindah di ruang tengah. Tapi mereka menyatakan kalau anaknya itu biasanya pulang enam bulan sekali saat libur semesteran. Kami bernapas lega, berarti kami ada cukup waktu untuk mengumpulkan uang buat pindah tempat tinggal. Mas Pram dan aku sudah membuat target bahwa kami paling lama akan tinggal di rumah itu selama tiga bulan saja, selanjutnya kami akan cari kontrakan atau kalau dana tidak mencukupi kami akan mencari kost saja. Meski pak Wijaya dan istri tidak berkeberatan dengan kehadiran kami, bahkan senang karena ada teman, kami tetap harus bijak menyikapinya. Seperti nasihat paman dulu, tidak baik membebani orang lain terlalu lama juga kami harus bisa mandiri dengan hidup kami. 

Hingga suatu malam ketika kami mau tidur, mas Pram mengatakan sesuatu kepadaku.

“Dik Tiwi, kita sudah dua bulan lebih tinggal di sini, bagaimana kalau kita mengontrak rumah?” ujarnya saat itu.

“Aku sih setuju saja Mas, kalaupun uangnya tidak cukup kita kan masih bisa kost!” jawabku hati-hati, aku tahu pasti bahwa kondisi keuangan kami belum mencukupi untuk kontrak rumah. Jangka waktu mengontrak rumah biasanya minimal satu tahun, beda dengan kost yang bisa dihitung secara bulanan.

“Mas Pram sudah ada pandangan mau kost atau kontrak?” tanyaku lagi. Aku tahu kalau suamiku itu sudah mempersiapkan semuanya, kalau dia menyatakan sesuatu biasanya dia sudah memegangnya. Dia selalu mengatakan hal-hal yang sifatnya pasti. Dan benar juga dugaanku.

“Iya, aku mendapat informasi dari harian lokal setempat ada rumah yang dikontrakkan. Aku sudah melihat rumah itu, meski tidak terlalu besar tapi cukuplah untuk kita berdua, dan yang paling menarik harga kontraknya bisa dibilang miring, memang minimal satu tahun, tapi aku bisa mengangsur tiga kali.” terang suamiku panjang lebar.

“Pemiliknya baru butuh uang kali ya… kok bisa dicicil tiga kali!” sambungku dengan nada bertanya.

“Semua orang juga butuh uang... heheheh.” gurau suamiku, lanjutnya, “Aku sudah mengambil gambar rumah itu, kalau kamu ingin melihatnya,” dia lalu mengambil laptop dan membuka filenya. 

Di situ aku melihat beberapa foto tentang rumah itu. Tampaknya cukup bersih dan cantik. 

“Wah rumahnya bagus juga ya?” sahutku senang. 

“Aku juga sudah membayar uang muka sebagai tanda jadi lho, jadi kapanpun Dik Tiwi siap, kita bisa pindah ke sana!” jawab mas Pram tampak senang dan puas karena pilihannya tidak meleset alias tidak ada protes dariku. Kucubit dia sebagai tanda kekesalanku karena dia langsung saja memutuskan tanpa minta pendapatku terlebih dulu.

Aku mengangguk-angguk tanda setuju, tapi sesaat mataku tertuju pada foto bagian belakang rumah –dimana berdiri tegak pohon jambu yang sangat indah karena buahnya yang bergelantungan berwarna merah muda menggoda selera. 

“Ini apa, Mas?” 

Mas Pram menyorongkan wajah ke laptopnya untuk melihat lebih dekat, “Lhah... pohon jambu! Berbuah lagi... banyak ya buahnya, lagi musim jambu kaliii!”

“Bukan pohon jambunya... tapi kok ada kilatan cahaya?” tanyaku sambil menunjuk ke arah salah satu bagian dari pohon jambu, di situ ada seperti kilat cahaya. Tepatnya ada di bagian atas pangkal cabang.

“Apa ya? Mungkin kilat cahaya lampu!” jawabnya sekenanya.

“Mhm... mungkin saja!” gumamku pendek. Kami lalu fokus dengan foto-foto lain yang terpampang di layar laptop, tampaknya sih kami mulai suka dengan rumah itu.

Kami sudah membicarakan kepada keluarga pak Wijaya, bahwa kami bermaksud pindah untuk mengontrak rumah. Meski masih satu kota tapi jarak rumah kontrakan itu dengan rumah pak Wijaya cukup jauh, mungkin sekitar sepuluh kilometer. Untunglah mereka mendukung keputusan kami, bahkan mereka mengatakan salut kepada kami karena berusaha untuk mandiri. 

Hari itu hari Sabtu, hari yang sudah kami rencanakan untuk pindahan. Kami sudah mempersiapkan barang-barang yang mau dibawa –tidak terlalu banyak sih– karena selama kami tinggal di rumah pak Wijaya kami memang berusaha untuk memiliki sedikit barang saja, hanya yang benar-benar diperlukan dan ringkas agar tidak memakan banyak tempat. Hari Sabtu juga mas Pram tidak masuk karena cuma lima hari kerja, jadi kami lebih leluasa, kalaupun tidak selesai hari itu masih ada hari Minggu.

“Sering-sering main ke sini ya Nak Pram, Nak Tiwi!” ucap bu Wijaya lembut.

“Kalau perlu bantuan atau apa saja, jangan sungkan untuk mendatangi kami!” lanjut pak Wijaya dengan tulus.

“Iya Pak, iya Bu!” jawab kami gembira. 

Setelah berbincang sejenak, kami lalu memohon diri untuk menuju rumah kontrakan. Apalagi barang-barang bawaan semua sudah ada di dalam mobil angkut sewaan. Sekitar tiga puluh menit kemudian sampailah kami di rumah itu. Barang-barang selanjutnya dikeluarkan dan dibawa masuk ke ruang tamu. Setelah semua barang berpindah, sopir itupun meminta diri untuk pulang.

Rumah itu memang tidak terlalu besar, sekitar empat puluh lima meter persegi dengan sedikit teras di depan. Tidak ada yang istimewa sih, teras juga kecil saja yang hanya mampu menampung satu bangku panjang, lokasinya memang berada di pemukiman padat penduduk. Kami sih senang saja, karena rumah kecil tidak perlu perawatan yang mahal. Semua bisa dikerjakan sendiri. Juga dengan harga yang miring lumayanlah tidak mengganggu kondisi keuangan. Setelah menutup pagar besi, kami berdua beranjak ke dalam rumah. 

“Untuk ruang tamu, cukuplah digelar karpet dulu!” ujarku dengan nada pasti. Kupikir meja kursi tamu belum begitu perlu, mending uangnya buat hal lain yang mendesak. Karena ruangan yang tidak terlalu luas, kamar tamu itu terasa penuh dengan menumpuknya barang bawaan kami di situ, padahal barang kami juga tidak banyak.

Suamiku mengangguk menandakan setuju, kami lalu berjalan ke arah tengah. Tentu saja kami mengunci pintu depan terlebih dahulu karena ada barang-barang kami di situ. Ruang tengah itu lumayan luas sekitar dua kali ruang tamu, tapi kalau kami menempatkan terlalu banyak perabot tentu juga akan terlihat padat.

“Di sini mungkin bisa dipasang satu almari buffet, jadi bisa buat menaruh televisi, player dan barang-barang yang bisa disimpan di almari!” begitu aku merancang, “Dikasih satu sofa panjang juga bagus tuh, mungkin ditempatkan menempel di tembok agar terlihat luas.” Aku lalu mengambil buku kecil dan bolpen yang aku simpan di saku bajuku, lalu aku menuliskan satu buffet, satu sofa. Sedangkan untuk televisi dan player kami sudah punya sebelumnya.

“Wah dicatat juga ya?” kata mas Pram ingin tahu.

“Ya iyalah Mas, nanti akan ketahuan berapa banyak perabot yang dibutuhkan. Selanjutnya dibuat skala prioritas, mana yang harus dibeli dan mana yang bisa ditunda!” jawabku laksana seorang guru yang menerangkan kepada muridnya. Mas Pram tidak berkomentar apa-apa, dia hanya tersenyum dikulum saja.

Kamar selanjutnya yang kami lihat adalah dua ruang tidur, satu ruang tidur lebih besar, kami memutuskan untuk menjadikan kamar tidur itu sebagai ruang tidur kami. Sedang ruang tidur yang kedua yang lebih kecil bisa dibiarkan kosong dulu sehingga flexible bisa difungsikan sebagai apa saja. Lalu aku menuliskan satu buah kasur berikut bantal, guling, sprei dan selimut, juga sebuah almari pakaian. 

Dan yang paling akhir alias paling belakang, ada ruang dapur yang bersebelahan dengan kamar mandi dan ruang cuci, tapi yang membuatku terpesona, ternyata ada halaman belakang yang cukup luas dan bisa terlihat dari jendela dapur. Halaman belakang itu dibatasi pagar tembok yang tinggi di sekelilingnya, sehingga ada privasi bagi kami untuk bersantai ria tanpa terlihat orang. Kulihat ada satu pohon besar berdiri di tengah halaman yaitu pohon jambu itu, di sekitarnya hanyalah rerumputan yang tumbuh liar dan beberapa tanaman perdu yang tidak terawat. Tampaknya sudah cukup lama halaman belakang ini tidak dibersihkan. Padahal kondisi rumah dan bagian depan cukup bersih. Aneh, kenapa bagian belakang seperti dibiarkan begitu saja? Tapi aku tidak begitu menghiraukannya, toh nanti bisa dibersihkan sendiri.

“Wah, ada halaman belakang yang cukup luas ya, Mas?” seruku senang. “Sayang kurang terawat.” lanjutku.

Mas Pram tersenyum, “Iya nanti kita bersihkan sama-sama.”

“Aku jadi bisa menyalurkan hobi berkebunku nih dengan menanam aneka tanaman bunga!” tambahku suka cita, “Tapi kenapa pemilik rumah tidak memanen buah jambunya ya, Mas? Kan buahnya lebat sekali tuh!”

“Malas kali... membersihkannya saja enggan apalagi memanen!” jawab suamiku santai.

Aku sih nyengir aja... tapi pikiranku sudah melayang, membayangkan aku bisa menata halaman belakang itu dengan menanam aneka tanaman hias, rumput-rumput akan aku potong sehingga tampak rapi. Dan bila kubentangkan sebuah tikar di situ akan nyaman sekali buat tidur-tiduran. Hehehe aku tertawa sendiri di dalam hati.

Kami lalu kembali ke ruang tamu dan mulai membongkar isinya, tak lama kemudian menata dan menempatkan barang-barang di ruangan yang sesuai, karena barang bawaaan kami tidak banyak, jadi hanya ruang tidur utama, dapur dan kamar mandi saja yang diisi barang, ruang lain masih kosong melompong. Bahkan televisi dan player kami tempatkan di ruang tidur karena kami belum mempunyai buffet dan sofa. Untuk sementara kami tidur di atas kasur tipis dulu. Pakaian, buku dan barang lainnya masih teronggok di sudut kamar menunggu kami mempunyai almari yang bisa menampungnya. Tapi tak apalah… kami senang saja, bagaimanapun ini rumah tinggal kami dan kami bebas merdeka untuk mengaturnya. 

Karena itu adalah hari pertama kami menempati, kami baru menyadari kalau lampu-lampunya ada yang sudah mati dan perlu diganti dengan yang baru. Hanya ada tiga lampu yang masih berfungsi, yaitu lampu teras halaman depan, lampu tengah dan lampu dapur. Karena darurat kami lalu memindahkan lampu dapur di kamar mandi, toh malam ini kami belum menggunakan dapur, sedang untuk halaman belakang ternyata tembok pagar yang mengelilinginya ada yang retak dan berlobang, tapi itu malah menguntungkan karena cahaya lampu tetangga belakang bisa masuk menyinari halaman belakang kami meski cuma sedikit. Untuk halaman depan kami tidak berani memindahkannya takut dikira rumah ini tidak berpenghuni. Untuk ruang tengah kami juga membiarkan lampu di situ karena sinarnya bisa masuk ke dalam kedua ruang tidur bila pintunya dibiarkan terbuka.

“Wah besok kita mesti belanja barang-barang yang dibutuhkan nih!” cetus suamiku seraya meraih buku catatan yang aku letakkan di samping kasur. Dia membaca sekilas lalu mengembalikan lagi ke tempatnya. “Tapi kayaknya tidak semua bisa terbeli nih!”

“Santai sajalah Mas, beli yang utama dulu semacam lampu dan alat memasak. Lainnya masih bisa ditunda kan?” ujarku tenang.

“Iya, kita ini merantau, kalau tidak ada dana cadangan sama sekali bisa repot!” timpal suamiku tanpa maksud menggurui.

“Jadi besok minggu kita belanja ya?” tanyaku girang, namanya perempuan tentu senang mendengar kata belanja.

 “Iya, kita belanja sama-sama. Tapi tetap sesuai pedoman!” jawabnya bijak.

Sambil membaringkan badan di atas kasur tipis itu, kami berbincang sejenak, karena kelelahan setelah seharian mengurusi pindahan rumah, kamipun dengan cepat tertidur pulas.

Entah jam berapa aku tidak tahu, tiba-tiba telingaku mendengar suara. Aku terbangun dengan mata yang masih sangat mengantuk, kutajamkan telingaku, aku memang mendengarnya, sepertinya berasal dari belakang. Suara itu begitu lirih seakan tidak terdengar, tapi karena malam yang sepi suara itu bisa tertangkap telingaku. Aku tidak bisa mendengar dengan pasti suara apa itu. Tapi kemudian aku dikejutkan dengan suara sesuatu yang jatuh dengan keras. 

Tidak perlu membangunkan suami, dia juga langsung terbangun. Ternyata ia mendengarnya juga, kami lalu bangun dan melangkah ke arah suara tadi. Aku berjalan di belakang mas Pram, menggengam tangannya dengan kencang, aku takut sekali. Kupikir ada orang jahat yang memasuki rumah.

Dengan membawa senter kami berjalan pelan menuju belakang, dari jendela dapur yang dibuka, mas Pram menyinari sekeliling.

“Oh... ternyata ada ranting yang patah... tuh lihat!” mas Pram menunjuk sebuah ranting pohon jambu yang cukup besar jatuh di bawahnya, “Mungkin angin, Dik.” lanjutnya.

Aku bernapas lega, akhirnya kami kembali keruang tidur. 

Hari minggu kami belanja, tidak banyak yang kami beli, hanya lampu-lampu, peralatan masak dan sebuah almari pakaian. Itu saja sudah menghabiskan banyak uang. Aku belum bisa membeli tanaman karena uang yang terbatas, sehingga halaman belakang cukup dibersihkaan dulu dan memangkas rumput rumput agar lebih pendek. Ternyata setelah dibersihkan dan dirapikan halaman belakang itu tampak asri. Ah... pasti akan lebih terlihat cantik kalau sudah ditanamai aneka tanaman bunga kesukaanku, meski itu mesti menunggu waktu.

Lelah sekali rasanya setelah seharian membersihkan rumah dan halaman, karena esoknya mas Pram harus bekerja, akhirnya kami tidur agak awal. Entah jam berapa aku terbangun, aku merasa kebelet ingin buang air kecil. Meski masih mengantuk aku segera beranjak dari tempat tidur, sesaat kulihat suamiku yang tertidur pulas meringkuk memeluk guling. Karena sudah tidak tahan aku segera berlari ke arah kamar mandi. Setelah selesai, aku bermaksud kembali ke ruang tidur... maklum masih mengantuk, tapi mendadak aku merasakan sesuatu yang tidak biasa, angin terasa lebih dingin, berbarengan dengan itu menyeruak bau bangkai. Ah... mungkin bangkai tikus begitu pikirku, namun anehnya lagi bau itu berubah menjadi bau bunga yang sangat wangi lalu kembali ke bau semula yaitu bangkai. 

Tapi yang mebuatku bergidik, aku mendengar suara lirih yang menyayat hati dari arah belakang. Karena penasaran aku berjalan menuju dapur untuk mengintip dari jendela. Kubuka jendela dapur, dan kulihat sekeliling, cahaya lampu yang kami pasang tadi siang di beranda belakang cukup untuk menerangi meski tidak terlalu terang karena cuma lampu kuning 10 watt. Awalnya aku tidak melihat apa-apa alias tidak mendapati pemandangan yang aneh, hanya pohon jambu dan rerumputan yang sudah rapi, tapi saat aku hendak menutup kembali jendela dapur itu... tiba-tiba kurasakan angin yang begitu dingin menerjangku, dan jantungku benar-benar mau berhenti berdetak begitu kulihat tiba-tiba secara samar muncul pemandangan seseorang menggantung dirinya di pangkal dahan di bagian atas pohon jambu itu, meski cuma sesaat lalu hilang begitu saja, itu sudah membuatku shock... aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat, mungkinkah itu cuma halusinasiku saja karena masih dalam kondisi mengantuk? 

Setelah menenangkan diri sejenak... barulah aku ingat... letak bayangan orang yang menggantung itu persis sama dengan letak kilatan cahaya di foto yang pernah diperlihatkan oleh mas Pram melalui laptopnya.

La Planchada