Penggemar cerita horor pasti sudah pernah mendengar cerita misteri Rumah Cimanggis yang pernah viral di internet. Bahkan cerita ini juga dibukukan dalam novel berjudul “Empat Tahun Tinggal Di Rumah Hantu.” Kisah nyata yang dialami oleh sebuah keluarga kecil ini menambah daftar panjang tempat angker di Depok. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah yang dibangun di atas kuburan. Bahkan ketika ditempati, di bawah rumah tersebut masih ada 13 jenazah yang terkubur. Keluarga ini mengalami begitu banyak gangguan, mulai dari pembantu rumah tangga yang kesurupan, anak bayinya yang terus menerus menangis tanpa sebab, penampakan pocong, sampai dengan suara-suara yang mengganggu ketenangan keluarga ini. Berikut ini adalah sepenggal cerita yang dikisahkan langsung oleh penghuninya.
Tempat tinggal kami dulu termasuk dalam kawasan yang sepi, terutama pada malam hari. Memang tidak begitu jauh dari keramaian Kota Cimanggis yang merupakan salah satu kota di Depok. Konon orang mengatakan kalau Depok adalah tempat jin membuang anak, namun aku sama sekali tidak mempercayai hal itu. Untuk mencapai rumah, kami masih harus menggunakan jasa tukang ojek atau naik motor sendiri, karena belum ada angkot yang melewati daerah kami. Jarak dari jalan raya Bogor ke dalam memang masih jauh, sekitar dua kilometer. Jika naik motor maka akan dengan leluasa melihat keindahan di sepanjang jalan, dan melewati dua buah tanjakan yang terasa curam. Di tanjakan ke dua inilah tempat aku dan keluarga kecilku bernaung beberapa tahun lamanya. Rumah dengan kiri kanan yang penuh kesunyian. Sebelah kanan hamparan sawah dari lapangan golf Emeralda yang belum digunakan oleh perusahaan, sehingga digarap oleh penduduk sekitar. Lengkap dengan jurang terjal dan empang yang bila dilihat seksama lebih menyerupai telaga, dan saat malam tampak berwarna hitam pekat.
Rumah ini kami tinggali sejak beberapa tahun yang lalu. Aku bangga menempati rumah dengan desain yang artistik dan terletak di dataran tanah yang cukup tinggi dibanding tanah sekitar, sehingga jika dilihat dari bawah tanjakan akan nampak seperti villa di atas bukit.
Rumah ini kami beli dari seorang pensiunan tentara yang pindah karena suatu hal. Hari pertama kami menempati rumah ini, seperti lazimnya orang pindahan kami melakukan selamatan dengan mengundang beberapa tetangga. Malamnya kami lewatkan dengan tidur yang pulas karena suasana sekitar rumah memang asri dengan hawa dingin menyejukkan dibawa oleh angin dari padang golf.
Beberapa hari lamanya tinggal disini tak ada kejadian yang aneh, sampai pada suatu pagi aku mendapati rokok filter yang baru saja aku beli, hilang secara misterius. Sebungkus rokok itu baru aku hisap satu batang, lainnya masih utuh. Itulah awal mula keanehan yang kami dapatkan. Kalau hilangnya bukan di depan mataku sendiri, mungkin aku tak peduli. Toh hanya sebungkus rokok, apa artinya sebungkus rokok yang hilang. Tapi yang membuat aku penasaran adalah bahwa rokok itu hilang di depan mataku sendiri, dimana tidak ada seorangpun yang lewat atau pernah bergabung beberapa waktu sebelumnya disini. Aku anggap rokok itu hilang begitu saja dan melupakan kejadian itu, namun dua hari kemudian aku dikejutkan dengan kemunculan kembali rokokku yang hilang tepat di tempat semula. Rokok itu masih utuh, tepat kurang satu batang karena sudah aku hisap sebelumnya. Aku tanya pembantuku apakah dia yang sengaja berbuat begitu untuk mengerjai atau menakutiku, nyatanya bukan dan pembantu ini juga merasa takjub bercampur ketakutan. Lagi-lagi aku anggap bahwa kejadian yang aku alami ini hanyalah kebetulan atau mataku saja yang salah lihat.
Aku punya anak laki-laki yang berusia 1,5 tahun waktu kami baru menempati rumah ini. Bagiku mendengar tangis bayi terus-menerus adalah hal yang biasa karena memang usia anakku yang baru 1,5 tahun. Tapi kalau tangis itu berkepanjangan dan tak henti-hentinya, tentulah jadi masalah juga bagi kami. Kami sengaja memberikan pengasuh khusus pada bayi kami ini, seorang ibu paruh baya yang cukup rajin dalam mengerjakan sesuatu. Ibu ini sangat tanggap pada apa yang harus dia kerjakan tanpa kami menyuruhnya. Dia mulai bekerja setelah pembantu yang pertama pulang tanpa sebab musabab yang jelas. Kehadiran ibu ini di tengah-tengah kami adalah hal yang istimewa, dimana kami menganggap dia sebagai ibu kami sendiri. Di saat-saat kami mulai dicekam rasa penasaran dan ketakutan dengan kejadian demi kejadian aneh, keberadaan seseorang yang lebih tua dari usia kami adalah anugerah, minimal kami merasa nyaman, terutama dari hal-hal yang aneh. Si kecil pun mulai berkurang tangisannya. Kami lalui hari-hari dengan tenang dan menyenangkan sampai pada suatu saat kami kedatangan orang tua kami.
Tanpa kami sangka-sangka, si ibu pengasuh bayi ini secara tiba-tiba mengajukan berhenti dari pekerjaannya dengan mendadak. Tidak ada rayuan atau apapun yang dapat mencegah keinginannya untuk berhenti dari bekerja di rumah ini. Kami pun tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikhlaskan kepergian pembantu kami yang bijak ini, walaupun dengan kecamuk pertanyaan yang tidak terpecahkan saat itu. Baru bertahun-tahun kemudian pertanyaan itu terjawab kenapa si ibu pembantu ini minta berhenti mendadak. Ternyata kami telah dikelabui oleh kekuatan jahat yang akan kami ceritakan lagi nanti, pada bagian akhir kisah ini.
Akhirnya kami mendapatkan pembantu lagi, kali ini usianya masih belia, namanya Ratih. Ia berusia sekitar 18 tahun. Terlalu muda untuk ukuran pembantu yang diharapkan dapat mengerjakan segala sesuatunya. Bila pembantu yang lama kami dapat lebih tenang karena faktor usia yang cukup, tapi dengan pembantu yang baru ini kami tidak begitu mengharapkan perubahan yang berarti. Yang penting istriku tidak terlalu repot lagi. Tetapi walaupun masih muda, lama-lama Ratih dapat menyesuaikan juga dengan keadaan di rumah kami. Sayangnya hal itu tidak berlangsung lama. Baru sepuluh hari kerja, Ratih sudah meminta berhenti. “Saya mau berhenti saja Pak, orang tua saya menyuruh saya pulang,” demikian kalimat yang diucapkan Ratih saat meminta ijin berhenti dari kami, dengan sorot mata yang ketakutan.
“Bukankah Mbak Ratih sudah berjanji akan berkerja di tempat kami minimal 2 bulan biar kami dapat mencari penggantinya dulu?” kataku mengingatkan akan janji Ratih pada saat kami terima kerja dulu. Ratih pun tidak bisa mengelak, dia surut juga. Memang kami dulu membuat kesepakatan dengan Ratih bahwa minimal kerja di rumah kami selama dua bulan, dan jika mau berhenti harus memberi tahu paling tidak satu bulan sebelumnya agar kami dapat mencari penggantinya sesegera mungkin. Hal itu kami lakukan karena belajar dari pengalaman pertama dengan pembantu kami yang dulu. Perihal alasan Ratih untuk pulang kampung pun aku pikir hanya akal-akalan saja.
Kami lega dan menganggap sudah selesai keinginan Ratih untuk pulang kampung. Tapi hari-hari berikutnya setelah Ratih meminta berhenti itu jadi terasa kaku, dia lebih banyak diam. Istriku sering ke kamar Ratih untuk sekedar menghibur Ratih agar kerasan. Kamarnya pun kami pasangi TV sendiri agar betah. Kamar Ratih adalah kamar yang dulu ditempati pembantu kami yang pertama. Letaknya agak jauh dari kamar kami, kamar utama yang ukurannya lebih besar, terletak paling belakang di bagian rumah. Dari kamar kami ini dapat melihat langsung ke pemandangan belakang rumah yang banyak ditumbuhi pohon pisang dan petai cina melalui jendela kamar. Dari slot jendela yang sudah berkarat, pertanda bahwa jendela ini sangat jarang dibuka. Baru setelah kami tempati, jendela ini difungsikan lagi.
Hari itu hari Minggu, hari libur untukku setelah seminggu bekerja. Aku bolak-balik dari rumah ke tempat kerja di Bogor. Kebetulan saat itu aku sangat sibuk sehingga hari libur pun kadang-kadang tidak lagi menjadi hari libur. Aku tetap harus mengerjakan tugas-tugas di luar rumah. Karena hari Minggu ini tidak ada tugas yang mengharuskanku keluar rumah, aku bersama istri dan anakku yang saat ini sudah berusia 2 tahun menyempatkan jalan-jalan ke mall sambil menikmati kebersamaan. Memang kami jarang mendapatkan suasana begini. Petangnya, kami kembali ke rumah dan sampai di rumah saat Maghrib. Keadaan rumah sepi, lampu-lampu dalam rumah belum dinyalakan.
“Ratih… Ratih…!” teriak istriku memanggil Ratih. Namun tak ada sahutan dari dalam rumah.
Aku pun menggedor-gedor pintu rumah, tetap tidak ada reaksi, padahal biasanya tidak begini. Biasanya Ratih akan langsung membukakan pintu saat kami baru sampai di rumah. Lama pintu tidak dibukakan, juga tidak ada tanda-tanda kalau Ratih ada di dalam. Mungkin Ratih tertidur di kamarnya. Tapi kamarnya kan dekat dari ruang tamu, bahkan terletak persis garis lurus dari pintu utama, jadi mustahil jika dengan panggilan yang begitu kerasnya Ratih tetap tidak bangun-bangun juga. Aku mengecek pintu, ternyata tidak dikunci, hanya ditutup dengan pengait slot yang sebenarnya bisa dibuka dari luar dengan cara menariknya dari lubang jendela samping pintu. Aku menjulurkan lengan dan berusaha meraih slot yang menahan pintu agar dapat dibuka. Alhamdulillah. Pintu dapat terbuka dengan sendirinya. Kami pun masuk dengan menahan gondok dan kesal.
Saat kami memasuki rumah, terlihat kamar Ratih kelihatan gelap, lampunya tidak dinyalakan. Aku melihat sosok tubuh Ratih yang diam kaku, sama sekali tidak terusik dengan kehadiran kami. “Sakitkah dia?” pikirku.
Tetap dengan keadaannya yang diam kaku, pintu yang sedikit menganga kami buka lebar. Istriku bertanya, “Kenapa kamu diam saja? Dari tadi kami panggil-panggil. Kamu kenapa diam saja?”
Tidak ada respon, Ratih tetap diam dengan sebagian rambut panjangnya menutupi muka. Muka Ratih nyaris tidak kelihatan, hanya dagunya saja yang kelihatan sangat pucat. Dia bangkit dan terduduk dengan memeluk sebelah kakinya di atas ranjang. Kemudian anakku menangis tiba-tiba.
Mungkin karena kesal merasa dicueki, istriku berteriak. “Kamu kenapa diam saja? Apa yang kamu lakukan?”
Ratih tetap diam, namun tiba-tiba dia menangis dengan suara lantang, bahkan lebih menyerupai jeritan, “Haaaaaah! Saya tidak mau tahu urusanmu! Saya mau bebas!” Suara itu terdengar sangat keras melengking, memecah kesunyian petang.
“Saya tidak peduli! Hihihihihihihi…” Suara lantang itu berubah menjadi suara tawa yang sangat mengerikan. Bulu kudukku langsung berdiri, tubuhku merinding! Istriku diam saja, mungkin shock dengan jawaban yang baru saja ia terima. Tapi aku menangkap hal yang aneh. Dari pertama kedatangan kami, dan apalagi dengan suara tangis yang tiba-tiba berubah menjadi suara tertawa melengking yang menakutkan. Aku tarik tubuh istri untuk menjauhi tubuh Ratih. Suara tertawa masih melengking-lengking, berpadu dengan tangis anakku yang makin keras.
“Ma, tunggu disini sebentar. Aku akan keluar,” kataku sambil langsung berlari menuruni tanjakan.
Aku langsung menuju ke tempat pemancingan, disana ada satu ruangan yang memang digunakan sebagai tempat istirahat pegawai pemancingan sekaligus tempat biasa aku nongkrong. Ada 6 orang bergerombol membentuk lingkaran, mereka sedang main domino.
Kaget melihat kedatanganku yang mendadak, salah satu dari mereka kemudian bertanya, “Ada apa ya Pak?” tanya Pak Narto.
Pak Narto ini sehari-harinya adalah pegawai pemancingan yang cukup akrab denganku, karena sebelum kami menempati rumah ini pun aku sudah mengenalnya. Setelah aku jelaskan kejadian yang baru saja kami alami, semua orang yang ada di pemancingan langsung berlari menghambur ke rumahku.
Istriku masih ketakutan tapi berusaha menenangkan diri sambil memeluk si kecil. Orang-orang tercekat melihat pemandangan di hadapannya. Ratih dengan rambut yang masih berantakan menutupi mukanya, berputar-putar di atas ranjang dan tidak menempel di kasur! Ya, Ratih seakan melayang-layang dengan suara tangis dan tawa yang bergantian, memekakkan telinga. Salah satu orang dari kerumunan langsung berinisiatif memanggil orang pintar yang rumahnya agak jauh dari rumah kami.
Ketika kami tercengang dengan kejadian melayang-layangnya Ratih, tanpa pikir panjang aku dengan Pak Narto dan Mul lalu memegang tubuh Ratih dan menempelkannya ke ranjang. Aku membaca doa-doa dengan suara keras, dan Ratih kelihatan agak melunak. Dua orang memegangi kaki Ratih. “Saya tidak mau anak ini tinggal disini!!” teriakan panjang kembali terucap dari bibir Ratih.
Aku yakin itu bukan suara Ratih yang biasanya. “Siapa kamu?” Aku berteriak tak kalah kencang.
“Saya kuntilanak!” teriak bibir Ratih yang sudah berubah putih pucat.
Aku tercengang, seketika tubuhku merinding, kaki dan tanganku terasa dingin sekali. Aku lepaskan pegangan pada tubuh Ratih sambil kemudian membaca Al Fatihah. Tiba-tiba dengan tatapan nanar Ratih memandang ke arahku dan berucap. “Hahahahaha… baca saja terus!” Aku seketika terdiam.
Sementara itu istriku sudah mulai tenang, mungkin sudah menyadari apa yang sedang terjadi di hadapannya. Dia membaca Ayat Kursi, orang-orang ikut membaca Ayat Kursi, tapi Ratih semakin lantang tertawa. “Jangan baca Ayat Kursi, baca Surat Yasin!” Istriku pun langsung membaca Surat Yasin, namun belum selesai istriku membaca Surat Yasin, si Ratih sudah ‘berubah’ kembali menjadi kuntilanak dan berteriak, “Jangan begitu bacanya, kamu salah! Ambil Al Qur’an, bacakan Surat Yasin secara benar!”
Bersamaan dengan itu paranormal atau orang pintar yang dipanggil Mul datang. Paranormal langsung melakukan shalat di ruang tamu, dan istriku mengambil Al Qur’an kemudian membacanya dengan terburu-buru karena mulut Ratih tetap meracau tidak karuan. Paranormal melakukan shalat berulang-ulang hingga akhirnya Ratih bisa kembali sadar. Malam itu kami tidak berani tidur, sepanjang malam aku menjaga pintu kamar karena istriku ketakutan.
Paginya Mbah Gimar, paranormal yang kami panggil kemarin, datang dan menjelaskan pada kami bahwa Ratih harus dipulangkan hari itu juga karena ternyata Ratih termasuk gadis bau lawean, konon gadis bau lawean akan selalu dirasuki setan atau arwah penasaran, terutama jika tinggal di tempat angker.
Sebenarnya aku dan istri sudah tidak kuat berlama-lama tinggal di rumah ini, apalagi kondisi si kecil yang selalu menangis terus tanpa sebab yang jelas. Tapi apa mau dikata, aku bukan orang kaya yang bisa pindah-pindah rumah kapanpun dia mau. Akhirnya kami tetap bertahan. Kejadian demi kejadian kecil terus kami alami, termasuk sumur pompa yang selalu mati, sudah berpuluh kali didatangkan ahli sumur tetap saja begitu. Dan bisa mengalir normal setelah kami sediakan sajen bubur merah bubur putih atas saran sesorang yang kami anggap ‘mengerti’.
Hari berganti hari, kami seolah melupakan kengerian yang sering kami alami. Karena saking terbiasanya kami menjadi kebal akan gangguan ‘mereka’ dan sadar bahwa memang ada hantu di rumah kami. kami tidak heran bila ada yang bertamu ke rumah kami meskipun siang hari, tiba-tiba mereka lari terbirit-birit karena melihat ‘sesuatu’. Kebanyakan sih mereka melihat kuntilanak dan pocong yang sering berdiri di atas tangga untuk menuju ke lantai atas.
Pernah suatu ketika aku menonton siaran TV di malam hari, padahal kondisi sedang mengantuk tapi aku tidak mau tidur karena aku takut akan bermimpi buruk. Memang posisi TV di ruang tengah, sedangkan anak istri tidur di kamar. Jadi, aku seorang diri menonton TV. Mungkin saking lelahnya aku tak bisa menahan kantuk. Akhirnya aku tertidur dan tidak ingat apa-apa, tahu-tahu terbangun dan di hadapanku sudah berdiri pucat, sosok putih dengan kedua mata berbalut kapas. Pocong itu tergantung di bawah tangga, persis di depanku yang sedang menonton TV. Aku pun langsung berlari meninggalkan ruang tengah dan masuk ke kamar.
Pada bulan ke sebelas kami menempati rumah ini, tepatnya seminggu pada bulan Ramadhan, aku browsing di depan monitor sambil menunggu waktu sahur. Tiba-tiba seperti ada sebuah kekuatan yang menarik leherku untuk membalikkan tubuh dan menengok ke belakang. Aku terperanjat, hampir tidak percaya dengan yang aku lihat. Keramik di depan kamarku bergerak-gerak membentuk gelombang. Seolah ada sesuatu yang hendak keluar dari bawah lantai keramik. Dengan memberanikan diri, aku datangi keramik yang masih bergerak-gerak itu lalu aku tepuk dengan telapak tangan dan gerakan keramik itu seketika terhenti.
Siangnya aku bercerita tentang kejadian itu ke tetangga, dan atas saran tetangga didatangkanlah seorang juru kematian yang biasa dipanggil Pak Amil. Pak Amil shalat di dekat lantai keramik yang semalam bergerak-gerak sendiri. Dengan khusuk Pak Amil duduk bersila seolah menerawang sesuatu. Terkuaklah suatu rahasia yang mungkin selama ini ditutup rapat oleh penjual tanah tempat rumah ini berdiri, bahwa di bawah rumah ini adalah kuburan. Ada tiga mayat yang dikubur disini, tepatnya di depan kamar utama. Akhirnya hari itu juga keramik digali dan ternyata memang masih ada jenazah-jenazah hancur yang sudah menjadi tanah dan kami pindahkan ke pemakaman umum kampung, persis layaknya menguburkan jenazah. Sebenarnya tidak hanya 3 jenazah yang dikubur di tanah sebelum dibangunnya rumah ini, melainkan ada 13 jenazah. Namun saat itu kami baru menemukan 3 jenazah di bawah kamar utama saja.
Ternyata orang yang membangun rumah ini, yaitu pemilik pertama, tidak dikasih tahu oleh penjual tanah bahwa tanah tersebut bekas kuburan. Akibatnya kuburan-kuburan itu jadi terpendam tepat di bawah pondasi rumah, dalam kamar dan di depan kamar. Jika kalian mendengar cerita ada tukang ojek yang membawa penumpang lalu penumpang itu turun di depan rumah kami, jangan heran karena seringkali itu adalah arwah penasaran yang berulangkali mengerjai para tukang ojek. Bahkan ada yang sampai pingsan di pinggir jalan. Sebenarnya jauh sebelum banyak kejadian aneh yang terjadi di rumah kami, banyak tukang ojek yang memberitahu bahwa rumah yang kami tempati itu berhantu, tapi waktu itu aku tidak percaya.
Proses pemindahan jenazah-jenazah yang sudah menjadi tanah itu dilakukan oleh beberapa orang, hadir pula Pak RT yang akhirnya mengiyakan dan tak bisa lagi menutupi misteri sebenarnya akan rumah berhantu ini. Selesai pemindahan kuburan malamnya kami melakukan tahlil dengan mengundang hampir seluruh warga di lingkungan RT. Tahlil dilakukan selama tiga malam. Lega sudah hatiku, seolah lepas dari batu besar yang menghimpit dada. Aku berharap bahwa teror-teror hantu yang melingkari kami selama ini akan berhenti setelah kami perlakukan mereka seperti saudara kami sendiri dengan prosesi selayaknya pemindahan kuburan. Selama beberapa waktu lamanya tak lagi terjadi hal-hal di luar nalar.
Tak berapa lama setelahnya mertuaku sengaja datang dari Jawa Timur untuk menemani kami. Aku berpikir bahwa keadaan sudah kondusif dan terlepas dari pengaruh setan, tapi di hari kelima mertua bersama kami, tiba-tiba pembantu kami yang baru memohon untuk berhenti bekerja. Serasa sesak dadaku saat Mbok Darmi mengutarakan niatnya. Aku diam saja, dan melihat wajah Mbok Darmi, nampak pucat dengan mata sembab seperti habis menangis. “Ibu habis menangis?” tanyaku penasaran.
“Enggak Pak, saya memang sudah nggak betah,” Mbok Darmi sesenggukan. “Saya nggak enak sama mertua Bapak,” kata Mbok Darmi.
Akhirnya kami pun merelakan Mbok Darmi berhenti kerja. Otomatis si kecil lebih sering bersama dengan ibu mertuaku, karena istriku siangnya harus kuliah di Depok. Memang istriku masih berusia 21 tahun ketika itu. Aku tidak terlalu mempersoalkan dengan berhentinya Mbok Darmi, namun yang menjadi masalah adalah ibu mertuaku tidak bisa lama-lama menemani kami, hanya satu bulan saja dan beliau akan pulang. Akhirnya aku datangi lagi Mbok Darmi untuk bekerja di rumah kami, tapi dia menolak secara halus. Aku desak tetap tidak mau, Mbok Darmi malah bercerita bahwa sebenarnya ia berhenti karena pernah dipelototi oleh ibu mertuaku, dan diusir mentah-mentah. Kata Mbok Darmi kejadiannya waktu itu di dalam kamarnya. Aku telepon mertuaku, tapi beliau bersumpah atas nama Tuhan bahwa tak pernah satu kalipun ke kamar Mbok Darmi, apalagi sambil melotot. Aku merasa tidak enak, mulai terasa ada keganjilan lagi di rumah. Tapi kejadian itu hanya aku pendam begitu saja karena takut istriku panik.
Beberapa hari kemudian kami mendapatkan pembantu baru, namun dia tidak bisa menginap di rumah kami. Pembantu baru kami ini bernama Romlah, asli Sunda. Dia memiliki seorang anak usia 5 tahun tapi sanggup bersih-bersih rumah seadanya dan tugas utamanya adalah mengasuh anak kami. Daripada kosong tanpa pembantu, akhirnya kami terima saja. Pada hari kedua dia bekerja, si anak ikut dibawa karena neneknya sedang ada keperluan. Jam 8 pagi Romlah datang bersama anaknya yang masih kecil itu, Romlah langsung bersih-bersih rumah sedangkan si anak bermain sendiri di bawah tangga. Belum ada setengah jam Romlah bekerja, anaknya menjerit dan memaksa untuk pulang, “Pak, saya pulang dulu, nanti saya datang lagi,” pamit Romlah.
Aku hanya mengiyakan, tidak bisa memaksa mereka untuk tetap tinggal. Lama Romlah pergi mengantar anak, ditunggu-tunggu tidak datang juga. Ketika aku bersama istri menjemput ke rumahnya, Romlah meminta untuk berhenti bekerja, lebih tepatnya membatalkan kerja pada kami. Awalnya Romlah tidak mau menceritakan alasannya berhenti bekerja, namun setelah saya desak, Romlah mengaku bahwa anaknya tadi bercerita melihat pocong yang loncat-loncat di atas tangga rumahku. Kondisi badan anak Romlah bahkan masih panas karena ketakutan.
Hari-hari selanjutnya kami lalui hanya bertiga, yaitu aku, istri dan anak kesayangan kami, Pijar. Kami menjalani hari-hari seperti biasa, berusaha melupakan segala yang terjadi biarpun pada kenyataannya tetap saja tegang. Hampir tiap malam bulu kuduk kami meremang, ditambah hawa lembab yang dibawa oleh angin padang golf semakin membuat kami larut dalam ketakutan. Tapi sekali lagi, aku harus dapat menguatkan diri, apalagi di depan istriku. Karena kalau aku sudah menunjukkan rasa takutku, istriku tentu lebih takut lagi dan merasa tidak ada yang melindungi.
Apabila petang menjelang, pasti akan terdengar suara orang mengaji dari MP3 yang sengaja aku setel agak kencang. Lumayan, sedikit menurunkan tensi ketegangan kami. Pernah dari teman-teman di kantor tempatku bekerja, sebuah institusi negeri, didatangkan 3 orang paranormal. Tapi tetap tidak ada perubahan yang berarti.
Suatu hari anak kami mengalami demam tinggi. Obat dari dokter sudah diminumkan tapi suhu badan tetap naik turun tidak stabil. Hari itu kami bergantian mengompres si kecil dengan air hangat, menjaga agar tidak sampai terjadi step. Kami buat semacam jadwal piket. Satu jam aku yang mengompres, satu jam lagi gantian istriku. Begitu seterusnya. Hingga suatu saat aku dibangunkan paksa oleh istri, padahal saat itu masih jatahku untuk tidur.
“Pa, suhu badan Pijar tinggi lagi… aku takut...” kata istriku.
“Ya sudah, kita berjaga berdua saja,” kataku sambil melihat sekeliling.
Kamar utama kami letaknya paling belakang, bersebelahan dengan sumur yang sudah lama tidak dipakai. Tepat di samping kamar, terdapat jendela nako yang mengarah ke lapangan golf. Dari jendela ini kami dapat melihat pemandangan di belakang rumah. Aku memandang sekeliling, perasaanku sudah tidak enak sekali. “Bentar ya Ma...” kataku lalu keluar kamar dan menuju jendela, mengecek keadaan sekeliling.
Aku terperanjat ketika melihat bayangan di depanku, tepatnya di samping jendela. Seseorang tampak sedang duduk membelakangiku, dengan rambut panjang sepunggung dan pakaian yang juga panjang.
“Maaf, Ibu siapa?” keluar juga suara dari mulutku. “Ibu siapa?” tetap tidak ada jawaban.
Sosok itu menggerakkan kepala tapi tetap membelakangiku, terdengar lirih ia berkata, “Saya suka dengan anakmu.”
“Tolong ibu pergi dari sini, jangan ganggu anak saya.” Namun si Ibu misterius itu tetap diam tak bereaksi.
Menyadari kalau anakku dalam bahaya, aku langsung mengambil ember berisi air yang kebetulan ada di dekatku. Dengan menahan keringat dingin dan juga rasa takut, aku siramkan air dalam ember ke sosok itu, sambil terus berdoa sebisaku. Secara tiba-tiba si ibu berambut panjang itu menghilang. Dengan lunglai aku kembali masuk kamar. Alhamdulillah, suhu badan anakku sudah normal. Namun sampai pagi kami tidak berani tidur. Aku bersyukur suhu badan si kecil tetap stabil dan langsung sehat.
Semenjak Romlah berhenti, kami sudah tak memiliki pembantu lagi, sehingga kamar pembantu kami biarkan kosong. Sedangkan kamar tamu yang digunakan sebagai gudang juga kosong. Keduanya sama-sama gelap. Aku sendiri malas mencari pembantu lagi, karena tidak mau melihat masalah yang akan terjadi pada mereka. Praktis dua kamar kosong ini semakin tidak terjamah oleh kami. Dua kamar ini sebenarnya bersebelahan, tapi terpisah oleh kamar mandi. Sebuah kamar mandi yang aneh menurutku. Karena dalam kurun waktu yang tidak begitu lama, hanya satu tahun semenjak renovasi keseluruhan rumah, ubinnya sudah mengelupas tanpa sebab. Dan lebih aneh lagi, ubin yang terbuat dari keramik pucat itu menyembul terangkat. Lambat laun keramik ini terkelupas dengan sendirinya. Lampu kamar mandi itu juga kami biarkan mati karena saat diganti maka beberapa hari kemudian lampu itu akan mati lagi. Kami juga sering mendengar suara air seperti ada orang yang sedang mandi disana, padahal ketika dibuka tidak ada orang sama sekali.
Setelah kejadian Pijar demam itu, kami masih terus mengalami gangguan dari hantu-hantu yang ada di rumah kami. Sudah banyak paranormal yang kami panggil ke rumah, namun mereka hanya berhasil menghentikan ulah hantu-hantu itu selama beberapa hari dan mereka akan tetap kembali lagi ke rumah kami. Hingga kemudian aku mendapat saran bahwa untuk mengusir hantu, harusnya dengan bantuan orang pintar setempat atau orang pintar yang asli kelahiran daerah dimana terdapat ancaman hantu tersebut. Maka suatu sore, aku bersama anak dan istri berkunjung ke rumah salah satu sesepuh tempat kami tinggal, namanya Pak Maih. Beliau sudah cukup tua tapi masih nampak gurat semangatnya.
Selesai shalat, Pak Maih membacakan doa-doa panjang. Mulutnya komat-kamit dengan mata terpejam. “Kenapa kamu ganggu keluarga ini?” begitu suara yang keluar dari mulut Pak Maih yang kemudian dijawab sendiri dengan suara yang kali ini lebih berat dan serak.
“Itu memang rumah tempat kami tinggal, apa salah kami?” demikian suara serak itu menjawab.
“Ya sudah, kamu dan teman-temanmu pindah dari sana,” kata suara asli Pak Maih.
“Siapa yang lebih dulu disana? Kami lahir dan besar disana,” demikian kira-kira sedikit percakapan yang terjadi antara Pak Maih dengan hantu-hantu di rumah kami. Intinya, para hantu itu tidak mau dipindah. Kami pun hanya bisa pasrah. Lalu Pak Maih mengatakan pada kami agar tidak lagi memindah atau mengusir makhluk-makhluk halus yang ada di rumah kami. “Dipindahkan kemanapun, diusir kemanapun, mereka akan tetap kembali, entah untuk beberapa saat, entah untuk selamanya,” kami pun diam.
Pak Maih melanjutkan bicara, “Ibarat tanah kelahiran kita, kemanapun kita merantau pergi, suatu saat akan rindu dan pulang lagi sekedar menengok atau kembali pulang ke rumah tempat kelahiran kita.”
Akhirnya kami pulang dengan perasaan lebih plong. Lega rasanya. Biarlah hantu-hantu itu tetap datang-datang lagi tidak apa-apa, toh Pak Maih sudah berusaha mengungsikan mereka ke tempat yang jauh. Kami pun bertekad untuk tidak peduli jika sewaktu-waktu para setan itu mendatangi rumah kami lagi. Kami bertekad, biarlah hantu-hantu itu tetap tinggal di rumah kami, yang penting kami tidak diganggu. Memang selama ini kami sangat ingin mengusir keberadaan mereka, ternyata malah tidak seperti harapan kami.
Dan pada kenyataannya omongan Pak Maih terjadi juga. Belum genap satu bulan sejak komunikasi kami dengan Pak Maih yang telah mengungsikan para hantu dengan damai, hantu-hantu itu mulai bermunculan kembali. Suatu malam, kebetulan ibu mertuaku sudah bersama kami lagi. Beliau sengaja datang karena kangen pada cucu dan kasihan setelah mendengar cerita kami. Malam itu seperti biasa aku mengerjakan tugas-tugas dari kantor. Ibu mertuaku kebetulan tidur di kamar tengah yang ada jendela persis bersebelahan dengan ruang tempatku biasa main komputer. Jadi dari jendela itu, bila kita berada di dalam kamar ini akan dapat melihat jelas keadaan ruang tengah. Tentunya bisa juga melihat siapapun yang sedang mengetik atau browsing di depan komputer. Tiba-tiba ibu mertuaku badannya lemas dan membiru. Kami panik, tapi aku mahfum dengan apa yang mungkin telah terjadi.
Siangnya ibu mertuaku cerita kepadaku, katanya setiap malam saat aku duduk di depan komputer, ibu mertua juga melihat aku sedang mondar-mandir di ruang tengah. Bahkan tadi malam sosok yang menyerupaiku masuk ke dalam kamar ibu mertuaku sambil menatap tajam dan membentak, “Kamu pulang atau mati!” Ya... itu yang diucapkan sosok yang menyerupaiku. Akhirnya karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka aku setuju saja saat ibu mertuaku pulang sehari setelah adanya teror itu. Masih banyak kejadian menyeramkan yang terjadi setelah kemunculan hantu-hantu itu di rumahku hingga akhirnya setelah berbulan-bulan tinggal disana kami memilih untuk pergi dari rumah itu.