Thursday, October 31, 2019

ADA HANTU DI RUANG TENGAH


Namaku Azizzah. Aku tinggal di perumahan Blue Paradise. Tiga bulan yang lalu kami baru saja pindah ke rumah yang baru kami tempati ini, dan sejak itulah kami mendapatkan gangguan dari makhluk halus yang entah dari mana asalnya, dan seperti apa bentuknya… 

Ceritanya begini,

Aku tinggal bersama mas Iqbal (suamiku), dan Ilham, anakku yang baru berusia setahun, serta mbak Darsih seorang pembantu rumah tangga yang tidur di kamar samping. 

Pertama kali kami diganggu, adalah di minggu pertama kami tinggal di rumah baru kami di Blue Paradise. 

Malam itu, mas Iqbal yang bekerja di luar kota sebagai seorang kepala satpam, sedang bertugas jaga malam di pabrik. Tinggal aku dengan Ilham yang berusia setahun tidur di kamar utama kami, dan pembantu kami tidur di kamar sebelah. Pada waktu itu sekitar pukul 02.00 dini hari, Ilham terbangun dan mulai menangis. Yah, seperti biasalah, aku sudah menduga bahwa dia ingin minum susu dan sekaligus ingin aku mengganti popoknya.

Biasanya, aku akan bangun dan pergi ke dapur untuk membuatkan susu untuk Ilham. Tapi malam itu, anehnya, aku tergerak hati untuk menelepon mbak Darsih untuk membuatkan susu untuk Ilham, sementara aku akan mengganti popoknya. Dia pun mengangkat telepon dan aku menyuruhnya membuatkan susu untuk anakku. Tidak sampai lima menit setelah itu, mbak Darsih masuk ke kamarku, menyerahkan botol susu untuk Ilham, dan bertanya kepadaku, 

“Bu, apa Ibu tadi lupa mematikan TV di ruang tengah ya?” 

Aku terdiam sejenak… 

“Sejak kapan aku menyalakan TV di ruang tengah, lewat tengah malam pula? Dari dulu aku kan selalu nonton TV di ruang utama sambil tiduran...?!” gumamku masih sedikit mengantuk.

Pikiranku menjadi penasaran. Setahuku, biasanya begitu Ilham tertidur, aku akan menyusul masuk ke kamar dan menemaninya tidur setelah mandi dan shalat Isya. Tak pernah sekalipun aku menyentuh pesawat TV di ruang tengah itu.

“Ah… apa Mbak Darsih selama ini tidak pernah memperhatikan kebiasaanku...?!” pikirku penuh tanya.
TV yang dimaksud mbak Darsih itu berada di rak TV berbentuk seperti almari dengan banyak laci dan kompartemen. Di sebelah almari TV itu ada sofa yang modelnya aku tidak suka. Selain pesawat TV, di rak tersebut juga terdapat satu set sound-system, dan sebuah DVD/VCD/MP3 player. 

Sofa, dan almari TV tersebut sudah ada di ruang tengah itu semenjak kami pindah ke rumah ini. Sound-system dan player untuk DVD/VCD/MP3 kami beli sendiri di toko elektronik di sebelah timur perumahan kami, sedangkan pesawat televisinya memang sudah ada di situ sejak kami pindah ke rumah ini. Mungkin itu adalah barang peninggalan penghuni lama, dan sengaja ditinggalkan karena sudah tidak menginginknnya.

 TV, player, dan sound-system tesebut semuanya terhubung menjadi satu rangkaian. Harus ada yang menekan tombol “power” pada panel sistem itu untuk menghidupkan atau mematikan sistem tersebut, dan setelah itu baru dia bisa menggunakan remote-kontrol untuk mencari chanel TV, menaikkan atau menurunkan volume suara atau untuk berpindah ke menu lainnya. Remote kontrol itu sendiri tersemat di dalam kantung mini yang digantung di lengan sofa sebelah kanan. 

Pendek kata, tidak mungkin ada (sekalipun tanpa sengaja) yang bisa menghidupkan sistem ataupun menekan remote kontrol itu dengan sendirinya. 

Untung aku tadi menyuruh mbak Darsih membuatkan susu untuk Ilham. Sebab kalau tidak, aku yang penakut ini pasti langsung kaget dan pingsan ketika melewati ruang tengah dan menemukan bahwa TV-nya dalam keadaan menyala.

Setelah mbak Darsih memberitahuku tentang TV yang menyala di ruang tengah itu, aku segera menyuruhnya kembali ke ruang tengah dan mematikan TV itu. 

Nasibku memang baik. Mbak Darsih, pembantu rumahku yang oleh para tetangga dipanggil “bibi” itu, orangnya pemberani. Tidak penakut seperti aku. Dan mbak Darsih senang mengaji di rumahku yang baru ini.)

Mbak Darsih kemudian keluar untuk mematikan TV itu. Setelah itu aku pun menjadi gelisah, tak bisa tidur! Akhirnya aku menelepon mas Iqbal dan memberitahunya tentang TV yang menyala sendiri di ruang tengah itu. 

Mas Iqbal mencoba menenangkan hatiku dan berkata, mungkin sound-systemnya yang rusak. 

“Ah... Mas Iqbal ini, bagaikan aku tidak paham saja tentang bagaimana sound-system yang rusak itu.” gerutuku sedikit kesal 

Karena pikiranku masih juga tidak tenang, maka aku pun membaca Ayatul Kursi, Ayat Tiga Qul dan sambil mendengarkan surah “Al-Baqarah” di alat pemutar ayat-ayat suci Al-Qur'an, aku kemudian melanjutkan tidur bersama anakku Ilham.

Besoknya, mas Iqbal tidak mendapat giliran jaga malam. Aku merasa sedikit tenang karena itu artinya akan ada mas Iqbal yang menemaniku di malam hari. Dan seperti malam sebelumnya, Ilham menangis sekitar pukul 02.00 dini hari karena dia menginginkan susu. Mas Iqbal pun bangun lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan susu buat Ilham. Tapi belum sampai semenit, dia sudah kembali masuk ke kamar dan berbisik, 

“Mama, pesawat TV di ruang tengah kok menyala lagi ya...?” 

Meremang bulu romaku. Tapi aku hanya bisa diam melongo, tak tahu harus menjawab apa, karena aku sendiri juga heran dengan kejadian ini. 

Mas Iqbal kemudian keluar dan mengetuk kamar mbak Darsih. Setelah dia kembali ke kamar dan memberikan botol susu untuk Ilham, kami menyuruh mbak Darsih duduk menemani Ilham sementara kami keluar untuk memeriksa keadaan. Ketika kami hendak keluar kamar menyusuri lorong ke ruang tengah, tiba-tiba suara TV kedengaran semakin keras…!!! 

Aku jadi merasa amat takut…!!! Kugenggam erat tangan mas Iqbal. Aku tak mau terlepas darinya. 

Aku jadi berpikir yang aneh-aneh, sebab beberapa hari sebelum kejadian ini, pintu utama rumah kami beberapa kali pernah diketuk-ketuk dari luar, tapi setiap kali kubuka, tidak ada orang!!!

Aku jadi teringat,

Waktu itu, mas Iqbal mendapat giliran kerja shift petang, dan peristiwa itu terjadi sekitar pukul 11.30 malam. Saat itu ada yang mengetuk pintu utama dan aku langsung membukanya sebab memang sedang menunggu mas Iqbal pulang ke rumah pada waktu itu. Tapi setelah pintu aku buka, ternyata...

Tak ada seorangpun di luar. 

Hanya angin dingin yang berhembus menerpaku pelan. Aku jadi merinding, padahal tadi jelas-jelas aku mendengar ada yang mengetuk pintu tersebut.

Aku pun segera menelpon suamiku, ternyata mas Iqbal baru turun dari kereta di stasiun kota. Aku jadi semakin ketakutan dan langsug kututup kembali pintu itu, aku kunci, dan langsung lari ke atas, ke kamar tidur utama, dan langsung kupeluk Ilham yang sedang tertidur pulas. Dan ketika mas Iqbal sampai di rumah, dia terhenti di luar rumah dan tak bisa masuk. Dia pun menelponku agar membukakan pintu untuknya. 

Aku segera turun untuk membukakan pintu, dan di sana kulihat mas Iqbal dengan wajah terlihat lelah sehabis bekerja seharian, menatapku dengan mata tidak percaya. Seolah-olah hendak berkata, 

“Mama, kenapa bersikap kekanak-kanakan begini...?!”

Aku bisa memahami mas Iqbal yang hingga kini masih sering keheranan dengan sifat penakutku yang kadang kelewat batas.

Tapi rupanya kali ini aku salah. Rupanya mas Iqbal menatapku dengan tatapan tidak percaya karena sikap dan ketakutanku selama ini memang beralasan. Hal itu kuketahui ketika mas Iqbal kemudian menggandeng tanganku dan membawaku keluar rumah. Kami berhenti di depan rumah dan berdiri sejauh kurang-lebih 4 meter dari rumah.

Dari tempat kami berdiri, mas Iqbal menunjuk ke atas, memperlihatkan kepadaku sesuatu yang berada di atas atap rumah kami yang bertingkat tiga. Di tingkat tiga bangunan itu, kami melihat bayangan hitam sedang tegap berdiri di atas atap. Lama juga kami perhatikan, sebelum akhirnya kami bersama membaca Ayatul Kursi, Ayat Tiga Qul, dan kembali masuk ke rumah kami. 

Aku dan mas Iqbal berusaha saling menguatkan hati masing-masing, mungkin karena rumah yang baru kami tempati ini sudah dalam keadaan kosong cukup lama, maka bisa jadi ada makhluk-makhluk lain yang menghuni sebelum kami pindah ke rumah ini. Namun kami sepakat untuk bersikap biasa saja, karena kami lebih percaya akan selalu mendapat perlindungan dari Allah swt. Malam itu pula anak kami tidak bisa tidur nyenyak, tapi ketika itu, kami mengira hanya karena perutnya kembung.

Kembali kepada kisah awalnya, 

Sesampainya di ruang tengah, mas Iqbal segera mematikan pesawat televisi tersebut dan mencabut “plug” utama. Mas Iqbal mengambil keputusan untuk mengembalikan sound-system itu ke toko sekaligus menjual pesawat televisinya dengan sistem tukar-tambah. Dia beralasan, fungsi televisi tidak boleh tertukar dengan fungsi lain. Entah apa yang mas Iqbal bicarakan dengan si pemilik toko, akhirnya dia dapat menukarkannya dengan yang baru. Cukup susah juga, sebab pihak toko tidak menemukan kerusakan sedikitpun. 

Semenjak malam itu kami akan pastikan bahwa “plug” utama akan dimatikan jika kami tidak menggunakan salah satu dari ketiga barang elektronik di rak tersebut. Entah itu televisi, player, maupun sound-systemnya.

GONGGONGAN ANJING DI MALAM HARI


Kami adalah pasangan yang baru saja menikah, dan tinggal di sebuah rumah yang kami kontrak beberapa minggu yang lalu. Rumah yang kami sewa ini tidak begitu besar, bahkan bisa dibilang kecil saja, cuma rumah type 36. Tapi itu bukan masalah karena aku hanya tinggal berdua dengan mas Anton suamiku. Apalagi kami berdua sama-sama bekerja dari pagi sampai sore, sehingga jarang berada di rumah, jadi buat apa menyewa rumah yang besar bukan? 

Maklum, kami karyawan di perusahaan swasta. Senin sampai jumat waktu kami tersita untuk bekerja, dengan tempat kerja yang jauh dari rumah sewaan ini memaksa kami berangkat pagi-pagi sekali sekitar jam setengah enam dan baru kembali lagi di atas waktu Isya. Hanya ada dua hari di setiap minggunya untuk mengaso, hari Sabtu dan Minggu. 

Di hari Sabtu kami biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tertunda selama kami kerja seperti mencuci pakaian, seterika, bersih-bersih rumah dan lain-lainnya, sedangkan khusus di hari Minggu, aku dan mas Anton sepakat untuk bersantai ria, kadang di rumah saja menonton televisi atau menyewa film untuk ditonton berdua, tapi kadang-kadang kami keluar buat refreshing, ya… sekedar jalan-jalan ke mall atau tempat wisata yang tidak terlalu jauh jaraknya.

Kami menempati rumah ini belum lama, baru beberapa hari yang lalu. Sebenarnya kami menyewanya sudah sekitar satu bulan sebelumnya, namun karena sudah masuk bulan puasa dan hampir lebaran jadi kami putuskan untuk mulai menempati rumah ini setelah kami kembali mudik dari kampung. Untung pemiliknya tidak masalah, meski baru membayar uang muka dulu dan pelunasannya menyusul saat kami mulai menempati. Tentu saja sekarang uang sewa sudah kami lunasi. 

Rumah ini terletak di paling ujung dan paling belakang berbatasan dengan lahan kosong. Katanya sih… lahan itu milik orang kaya di kota yang rencananya akan dibeli oleh developer untuk memperluas perumahan ini. Lahan kosong itu oleh pemiliknya ditanami pohon kelapa dan pisang, tapi aneka tanaman liar turut tumbuh di situ, belum lagi rumput rumput yang meninggi, membuat suasana menjadi menakutkan apalagi kalau malam menjelang… wah selain sepi, senyap, kegelapan juga menaunginya. Maklum tidak ada penerangan sama sekali. Sebenarnya aku agak takut juga karena di belakang dan di samping kiri tidak ada tetangga, tapi suami menguatkanku bahwa ada tetangga di deretan sebelah kanan. Meski di deretan rumah kami baru beberapa orang saja yang menempati, tapi area depan kompleks sudah penuh padat penghuni. Memang sih bagian belakang dimana kami tinggal merupakan area perluasan jadi belum lama dibangun dan yang jelas belum banyak penghuninya.

Rumah ini merupakan perumahan rakyat yang dibangun agak jauh dari kota, bangunannya standar dengan model yang hampir sama satu sama lain. Penghuni yang lain juga sama seperti kami, sebagian besar kaum perantau yang menghabiskan waktu untuk bekerja di luar rumah, bahkan sebagian besar kaum perempuan yang tinggal di sini juga turut mencari nafkah seperti halnya aku.

Kami sudah mengadakan selamatan dan perkenalan kepada warga perumahan. Kami jadi kenal dengan para penghuninya, di sebelah kanan rumah kami tinggal sepasang orang tua bernama pak dan bu Broto, dengan dua anak yang sudah menginjak remaja. Sebelahnya lagi milik seorang tentara yang baru bertugas keluar pulau sehingga rumah ini kosong, sebelahnya lagi juga kosong karena oleh pemiliknya mau dikontrakkan. Sebenarnya kami dulu lebih tertarik rumah itu tapi karena harga sewa rumah yang paling ujung ini lebih murah akhirnya kami memutuskan ambil yang berharga miring saja, toh bangunanya juga hampir sama. Jadi tetangga terdekat kami keluarga pak Broto itu. Tapi ternyata rumahnya juga sering sepi seperti rumah kami. Si suami bekerja sebagai penjaga malam, si istri bekerja di pabrik yang melakukan jadwal bergiliran. Anaknya yang satu kuliah di luar kota dan anak satunya lagi lelaki masih sekolah di salah satu sekolah menengah atas. Mungkin karena ayah ibunya jarang dirumah, dia ikut-ikutan sering main dengan teman- temannya sampai malam. Intinya setiap kali melewati rumah rumah tetangga itu hanya kesan sepi yang kami temui, tapi setelah memasuki areal depan, wah… riuh deh dengan aneka macam karakter penghuni, apalagi bila mereka sudah punya anak yang masih balita atau usia anak-anak… wah situasinya jadi hidup dengan celotehan dan canda ria mereka.

“Dik Anita, aku ada tugas luar kota sekitar dua hari, jadi hari ini dan lusa aku tidak bisa pulang ke rumah!” ucap mas Anton saat kami sedang sarapan.

Saat itu baru jam lima pagi, kami makan roti bakar untuk mengisi perut. Pagi-pagi begini perut belum siap menerima makan besar. Di kantor tersedia kantin, jadi kalau sewaktu-waktu kelaparan tinggal memesannya dan nanti akan diantarkan di meja kerja kami. Perusahaan juga memberi kelonggaran asal tidak mengganggu pekerjaan, mungkin karena mereka tahu kalau para karyawan sebagian besar tinggal jauh dari kantor.

“Oh ya? Oleh-olehnya aja deh!” jawabku kalem.

“Oleh-olehnya ya capek!” balasnya dengan ringan.

“Huuu...” aku mencibirkan bibir.

Aku tahu, mas Anton kadang mesti keluar kota, tidak lama sih paling dua sampai tiga hari saja. Biasanya motornya akan dititipkan di area parkiran kantor agar keamanan terjamin, maklum motor kreditan. Kami memang membawa motor sendiri-sendiri agar bisa menghemat waktu, kalau naik angkutan wah nggak bisa dipastikan jadwalnya, malahan sempat tekor karena saat ada pemogokan para sopir angkot kami mesti menyewa ojek atau bahkan ambil taksi untuk sampai ke kantor. Makanya kami beranikan untuk kredit motor, di hitung-hitung lebih effisien dan efektif. Cicilan bisa dibayarkan tiap bulannya dan itu juga tidak terlalu besar meski jangka waktunya juga lama.

“Kalau ada apa-apa kasih kabar ya!” 

“Emang mas Anton lantas akan pulang?”

“Ya kalau emang penting dan darurat aku toh bisa mengajukan ijin!”

“ Hehehe… bisa aja nih! Bercanda aja kok, Mas…!”

“Jangan lupa kunci pintu dan jendela, kalau ada tamu yang tidak dikenal lebih baik tidak dibukakan pintu, apalagi kalau…”

“Tamu tak diundang!” potongku cepat.

Kami berdua tertawa.

Kami sih tidak terlalu takut akan hantu, yang kami cemaskan adalah bila ada orang jahat. Apalagi aku, bila sendirian ditinggal mas Anton keluar kota aku akan menutup pintu dan jendela lebih awal dari biasanya. Pokoknya jam tamu tidak boleh melebihi jam delapan malam. Di jam itu aku sengaja mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu yang lebih kecil agar mereka mengira aku sudah tidur jadi sungkan kalau bertamu.

Setelah selesai makan kami bergegas keluar rumah. Dengan sepeda motor masing-masing kami menyusuri jalan menuju kantor tempat kerja. Mas Anton membawa tas ransel di belakang punggung berisi pakaian dan keperluan pribadi. Sedangkan tas kerjanya dia selempangkan di bahunya. Dia terbiasa mengurus dirinya sendiri, tidak mau membebaniku dengan itu. Untuk keperluan keluar kota dia selalu mempersiapkan sendiri, katanya kami ini sama-sama bekerja jadi tidak enak baginya menambah bebanku apalagi kalau dia bisa mengerjakannya sendiri.

Waktu itu sudah sekitar pukul tujuh malam, suara adzan Isya terdengar berkumandang dari masjid komplek perumahan yang ada di areal depan, aku barusan memasuki pintu gerbang saat tanpa sengaja bertemu dengan pak Broto sekeluarga.

“Loh… kok berombongan, mau kemana nih Bu Broto sekeluarga?” sapaku setelah menghentikan motor di samping mereka.

“Iya Mbak Anita, ini kami sekeluarga mau pulang ke kampung. Orang tua pak broto meninggal, jadi kami sekeluarga mesti datang ke pemakaman.” jawabnya terlihat berduka, begitu juga dengan anggota keluarga lainnya.

“Oh, saya ikut berbela sungkawa, Bu!” ucapku, lalu aku menyalami mereka satu persatu.

“Maaf Mbak Anita, kami mau langsung berangkat, maklum sudah malam takut ketinggalan bus!”

“SilakanBu, semoga selamat sampai tujuan!” balasku.

Aku meneruskan naik motor untuk pulang ke rumah. 

“Wah… sial nih!” begitu aku berkata dalam hati. 

Sudah ditinggal mas Anton keluar kota… eh satu-satunya tetangga terdekat juga pulang kampung. Beberapa malam ini aku mesti sendirian dong! Ya sudahlah… toh aku juga selalu dalam keadaan capai setiap kali pulang kerja. Biasanya sehabis mandi dan makan, mata ini sudah susah diajak kompromi. Tidur jadi pulas dan tahu-tahu pagi sudah menjelang. So… santai aja lah… sekalian melatih keberanian… heheheh.

Sampai rumah aku segera memasukkan motor ke dalam garasi dan menghidupkan lampu-lampu. Bergegas aku ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Setelah memanaskan sayur dan lauk yang tadi aku beli saat pulang kerja, aku langsung makan. Kenyang seusai makan, aku sengaja mematikan lampu depan dan mengontrol jendela dan pintu untuk memastikan telah terkunci semuanya. Menuju ruang tengah, kuambil koran pagi yang tadi belum sempat kusentuh untuk dibaca. Tiduran di sofa dengan dibantu bantal di bagian ujung buat menahan kepala membuatku merasa rileks, lembar demi lembar koran aku buka dan berita yang sekiranya menarik aku baca.

Dengan posisi tiduran di sofa dan kondisi badan yang capek, tak terlalu lama untuk membuat mata ini terpejam. Aku bahkan tidak sempat memindahkan koran itu di meja, aku taruh di atas badan saja sebagai pengganti selimut… hehehe. Sebenarnya memang malas saja karena terlanjur mengantuk. Untuk berpindah ke kamar tidur juga enggan.

Entah berapa lama aku tertidur, ketika tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara gonggongan anjing. Aku memang membuka mata sedikit, tapi karena masih mengantuk berat aku tidak mempedulikannya, pikirku itu cuma anjing kurang kerjaan milik salah satu penghuni perumahan ini. 

“Anjing tidak tahu diri, gangguin orang tidur aja!” begitu gerutuku dalam hati.

Tapi kenapa ya, gonggongan yang aku dengar ini terasa agak ganjil dan menakutkan? Kalau anjing tersebut menggonggong karena ada maling… ah tidak... bukan itu! Yang kudengar ini sungguh berbeda. Selain berulang-ulang, lolongannya juga tidak biasa…

Tapi… kenapa ya saat aku mendengar itu bulu kudukku berdiri? Ketika aku setengah sadar membuka mata aku juga merasa badanku menggigil karena hawa yang terasa dingin? Mungkinkah gonggongannya itu menandakan adanya hantu di sekitar sini? Bukankah banyak orang yang mengatakan kalau anjing bisa mendeteksi adanya hantu? Iiih… aku cepat-cepat membuang pikiran jelek itu. Ah, paling itu hanya perasaanku saja karena sedang tinggal sendirian di rumah ini.

Keesokan harinya, aku juga tidak mendapati hal-hal yang berbeda, semua tetap sama seperti biasa, kondisi perumahan tetap seperti sedia kala tidak ada sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Kalau terjadi sesuatu di malam hari, paginya terutama ibu-ibu biasanya berkerumun di pinggiran jalan membicarakannya… 

Malam selanjutnya adalah hari kedua aku tinggal seorang diri, seperti rutinitasku yang sudah-sudah, sehabis mandi dan makan aku tiduran di sofa di ruang tengah, kali ini sambil menonton televisi. Jatuh tertidur, televisi tidak sempat aku matikan. Hanya saja… lagi-lagi di tengah malam aku terbangun, bukan karena suara televisi yang masih menyala itu, tapi aku kembali mendengar gonggongan anjing itu lagi. Aku sedikit heran, karena kejadian ini sudah dua hari berturut-turut di tengah malam pula. Meski dalam kondisi mengantuk aku paksakan diri untuk bangun dan mematikan televisi, lalu aku pasang telinga apakah benar dengan yang aku dengar. 

Yup… ternyata betul, gonggongan dari arah belakang? gilaaa… bukankah belakang itu lahan kosong? tiba-tiba aku gemetaran! Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi di sana? Ah, sudahlah… cepat-cepat kuhilangkan pikiran buruk yang berkecamuk di kepalaku, mendingan aku tidur saja… toh itu hanya suara lolongan anjing. Tapi kenapa ya, mata ini jadi begitu sulit untuk terpejam kembali?

Esoknya aku bangun agak terlambat karena semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak, rasa penasaran juga menghampiriku. Makanya aku kirim SMS Nina teman kantorku agar melaporkan ke bagian personalia kalau aku akan tiba di kantor agak siang karena ada keperluan, padahal aku ingin melihat kondisi di belakang. Dari cerita para tetangga, kalau sekitar jam enam sampai menjelang pukul delapan lahan kosong itu jadi ramai dengan lewatnya anak-anak sekolah dan orang-orang yang mau bekerja, mereka memilih lewat lahan kosong itu karena bisa mempersingkat jalan. 

Benar saja, sekitar jam enam pagi aku mendengar suara celotehan anak-anak sekolah dari arah belakang, inilah saatnya aku beraksi. Aku segera bergegas ke situ, dari belakang rumah ada jalan setapak yang membatasi bagian belakang perumahan, lalu terhubung ke lahan kosong, bagian depannya hanya pohon pisang saja yang berjajar di sepanjang jalan, baru setelah beberapa meter ke belakang tumbuh pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi.

Untuk melewatinya aku mesti menyibak tanaman lainnya yang tumbuh liar di sekitarnya. Tapi aku tidak berani masuk terlalu dalam, nggak tahu kenapa… hati kecilku seperti melarangku. Apalagi anak-anak sekolah itu juga cuma lewat jalan setapak, memang sih beberapa kulihat berjalan dari arah sisi lahan itu tapi tidak lewat bagian tengahnya.

Bersungut-sungut aku kembali ke rumah! Kupikir-pikir… ngapain pula aku mencoba mencari sesuatu yang aku sendiri tidak punya kepentingan langsung? Bukankah itu hanya menghabiskan waktu? Ah… akupun bergegas untuk bersiap diri berangkat kerja. 

“Ada keperluan apa sih Anita kok mesti datang terlambat?” tanya Nina teman sekantorku.

Kami memang ada dalam satu ruangan, kami biasa berbincang segala hal termasuk yang remeh. Biasanya kalau mau ijin atau apa kami akan selalu bercerita sebelumnya, makanya dia heran karena tiba-tiba aku ijin agak telat hari ini. Saat aku ceritakan kejadian itu, dia malah tertawa terbahak-bahak.

“Kamu tuh lucu… cuma suara lolongan anjing aja dipikirin!” celetuknya.

“Bukan begitu, tapi suara itu terasa beda dan terdengar menyeramkan! Kata orang kan anjing bisa melihat keberadaan hantu. Lha, kalau hantu itu kemudian nongol di rumahku gimana?” aku membeberkan kekhawatiranku. 

Nina mengangkat bahu, “Ya ntar kalau nanti malam masih denger lagi, di pintumu ditulis aja “hantu dilarang masuk”… heheheh!” candanya kemudian.

“Kalau ntar malam sih aku nggak perlu takut, kan mas Anton sudah pulang!” pungkasku kalem.

Kami tertawa, lalu melanjutkan pekerjaan kami dan tenggelam dengan kesibukan rutin kantor.

Seperti biasa, aku kembali ke rumah sekitar jam tujuh malam. Ini hari Jumat jadi besoknya aku bebas, mas Anton juga nanti sudah pulang. Ah… senangnya. 

Selesai mandi baru aku menyadari kalau mas Anton telah menelponku, di layar hp tertulis panggilan tidak terjawab yang ternyata darinya.

“Mas Anton tadi telpon ya? Di mana ini? Sudah mau sampai rumah ya? Bisa nitip makan sekalian dong…” beruntun aku ngomong kepadanya lewat telepon.

“Wouwww… ngomongnya kayak kereta api ekspress aja nih!” lanjutnya.

“Dik Anita, aku nggak bisa pulang hari ini, mobil kantor mengalami kerusakan di jalan, besok pagi baru bisa dibawa ke bengkel dan siangnya baru bisa pulang. Mungkin sampai rumah ya besok malam!”

“Waduuh…!” aku kecewa mendengar penuturannya, jadi malam ini aku sendiri lagi dong.

“Sabar! Namanya juga musibah siapa yang tahu!” hiburnya.

“Ini Mas Anton menginap di penginapan dong?”

“Iya, aku dan pak Supri menginap di salah satu hotel di kota ini, nanti aku sms kan alamat lengkapnya. Kalau mau nyusul juga boleh kok!” candanya.

“Huuuuu… bisa aja tuh!”

Benar saja, setelah menyudahi telepon ada sebuah pesan singkat muncul di layar Hp yang berisi alamat hotel beserta nomor telepon dan nomor kamarnya.

Karena suamiku belum pulang, aku melakukan kegiatan seperti biasa, yaitu tiduran di sofa. Aku memang lebih suka tidur di sofa jika sendirian di rumah ini. Bisa sambil nonton TV, ataupun membaca koran dan majalah. Kalau ngantuk ya, tinggal tidur aja.

Entah jam berapa, aku kembali mendengar suara gonggongan itu, anjing sialan… nggangguin orang tidur aja, gerutuku dalam hati. Kali ini kesal rasanya. Aku nggak peduli lagi dengan suara itu, kututupi kepala dengan bantal dan melanjutkan tidur. 

Esoknya aku bangun kesiangan, tapi itu tidak masalah, ya iyalah... ini kan hari sabtu! Aku tidak perlu masuk kerja. Untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga bisa ditunda nanti… toh aku juga tidak akan kemana-mana. Kulihat jam menunjukkan angka sembilan… heheheh… namun saat aku akan mematikan lampu-lampu aku mendengar suara kerumunan orang yang melangkah tergesa-gesa di jalan di depan rumah. Kusingkap sedikit tirai jendela kamar tamu, ya aku melihat orang-orang yang berjalan atau setengah berlari…

Ya, mereka menuju… menuju… hei kenapa mereka bergegas ke belakang ke arah lahan kosong itu? Aku penasaran sekali, maka setelah cuci muka dan berganti baju aku keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.
“Mbak Anita mau lihat juga ya? Bareng yuk!”

Suara seseorang terdengar dari belakangku, saat itu baru mengunci pintu depan. Kutengok ternyata bu Sri, ketua PKK perumahan ini.

“Ooohh... ya ya... barengan aja!” seruku segera menghampirinya.

“Emang ada apa sih Bu? Kok kayaknya heboh gitu!” tanyaku datar. 

Aku tidak ada prasangka buruk apapun. Kalau lahan itu hanya dilewati anak-anak sekolah di pagi hari bisa jadi ada anak yang dinakalin teman lainnya.

“Kabarnya sih banyak polisi di lahan kosong itu, nggak tahu ada apa, makanya aku mau kesana!” ungkap bu Sri.

“Oooh… ada pencuri kelapa kali yeee!” aku bercanda.

Bu Sri tertawa. Kami lalu bergabung dengan rombongan orang-orang itu yang berisik dan berjalan tergesa menuju lahan kosong.

Benar saja, sudah banyak orang berkerumun, letaknya lumayan jauh dari jalan setapak belakang perumahan itu. Aku dan bu Sri menerobos ke tengah agar bisa melihat lebih dekat. Untuk bisa menuju barisan depan agak kesulitan karena rapatnya orang-orang yang juga ingin melihat.

Kulihat ada beberapa polisi yang sibuk menggali tanah, ada garis polisi warna kuning yang membatasi sehingga kami hanya bisa melihat dari luar garis itu.

“Memang ada apa sih Pak? tanyaku kepada seorang bapak di sebelahku.

“Kurang tahu Bu, biasanya sih kalau polisi sampai campur tangan pasti ada sesuatu!”

“Mungkin ada orang yang dibunuh!” teriak seorang dari arah belakang, suasana pun menjadi riuh.

“Ah, siapa tahu ada timbunan emas yang disimpan penjahat di situ!” tambah orang lainnya lagi diiringi tawa kami semua. Yaah… mana mungkinlah menyimpan emas di lahan orang.

“Kalau menurut Bu Anita? Kira-kira ada apa ya?” tanya bu Sri sambil menggoyangkan bahuku.

“Wah… mana tahu Bu! Kita tunggu saja.” jawabku tidak mau berandai-andai.

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya teka-teki tentang apa yang terjadi di situ terjawab sudah. Ternyata ada seorang mayat perempuan.

“Iiih kasihan sekali, siapa pula yang tega melakukannya!” seru bu Sri geregetan.

Aku segera keluar dari kerumunan karena aku tidak tahan dengan yang aku lihat. Aku ngeri melihatnya. Mayat perempuan itu sudah sangat kotor dan berbau. Mungkin sudah beberapa hari sebelumnya dia meninggal. Bu Sri menghampiriku.

“Ngeri Bu, aku nggak kuat melihatnya!” kataku sambil geleng-geleng kepala. Perutku terasa mual.

Bu Sri mengangguk angguk, “Aku juga! Ngeri deh… pantesan…”

“Pantesan apa Bu?”potongku

“Sudah tiga hari berturut-turut aku kok dengar suara gonggongan anjing di malam hari? Terdengar berbeda dan menyeramkan…”

“Berarti benar kata orang ya Bu? Kalau anjing bisa mendeteksi keberadaan roh?” timpalku.

“Iya… indera pendengaran dan penciuman anjing kan memang tajam!” tambahnya.

Malamnya saat aku dan mas Anton menonton berita di TV, baru kami mengetahui kejadiannya kalau ada seorang perempuan korban pembunuhan yang dikuburkan di situ. Lahan luas yang kosong dan rimbun oleh tanaman membuat penjahat itu leluasa menguburkannya tanpa diketahui orang. Tapi namanya juga kejahatan akhirnya ya terbongkar juga. 

Menurut penuturan penyiar TV: Pihak keluarga melaporkan putrinya yang tidak pulang kepada polisi. Tidak perlu waktu lama untuk membongkarnya karena lewat rutinitas yang dilakukan perempuan itu polisi mengembangkan penyelidikannya. Berdasar penelusuran tahap demi tahap, terungkap bahwa perempuan itu korban kejahatan sopir angkot tembak. Kabarnya setelah dirampok dan dinodai, wanita malang itu disimpan sejenak di mobil angkot sampai malam menjelang dan mereka menguburkannya di lahan kosong itu.

Ah… kasihan sekali perempuan itu. Tragis benar nasibnya.

Wednesday, October 30, 2019

PEREMPUAN MISTERIUS DI PANTAI


Liburan sekolah kali ini aku dan teman-teman kelasku mengadakan liburan ke pantai. Rencana ini sudah dirancang sekitar tiga bulan yang lalu agar kami bisa menyisihkan sebagian uang jajan untuk biaya liburan, maklum kami bukan golongan orang mampu yang mau kemana saja tinggal berangkat. Apalagi kami juga berencana menginap semalam di penginapan agar bisa menikmati eloknya pemandangan saat matahari terbit dan terbenam. 

Wah, pasti bakal asyik nih, bisa bebas lepas menikmati alam, bermain-main air dan pasir sepuasnya. Tapi orang tuaku sudah mewanti-wanti agar tidak berenang ataupun bermain air terlalu jauh ke arah laut karena berbahaya, bila ombaknya besar takutnya kebawa arus.

“Ingat ya Ari… jangan sok jagoan terus nekat berenang sampai ke tengah!” seru ibu memperingatkanku. 

“Siap, Bu!” balasku pendek sambil mengemasi pakaian ganti dan memasukkannya ke dalam tas ransel.

“Rencananya mau pulang kapan Ari?” tanya Ibu.

“Besok sore, Bu!” balasku lagi.

“Menginap dimana?” lanjut Ibu.

“Di Penginapan Srikandi! Kakaknya Cahyo kan kerja di situ, satu kamar buat berempat kok, Bu… biar hemat!” 

Kulihat Ibu manggut-manggut, lalu bilang, “Ya syukurlah kalau ada yang bisa mengarahkan. Hati-hati dan jangan bikin onar!”

“Iya, Bu!”

Selesai mengemasi barang aku keluar menuju teras depan. Sesuai rencana kami berempat akan berboncengan naik motor menuju pantai. Kulihat jam yang melingkar di tanganku, baru pukul tiga sore lebih beberapa menit. Sebentar lagi teman-temanku pasti datang, dan benar juga, tak seberapa lama kulihat ketiga temanku; Bagus, Cahyo dan Doni.

Bagus dan Doni berboncengan, sedang Cahyo akan berboncengan denganku.

“Sudah siap Ari?” tanya Cahyo seraya menghentikan motornya tepat di depanku.

“Yoi, aku pamit ibu dulu ya!” aku segera masuk ke dalam untuk menemui Ibu.

“Hati-hati ya semua!” ucap ibu sambil melambaikan tangan.

Kami lalu berboncengan meninggalkan rumah, menurut perhitungan kami, perjalanan perlu waktu sekitar dua jam, jadi kami nanti bisa istirahat sebentar di kamar penginapan dilanjutkan menuju pantai menikmati matahari terbenam. Penginapan Srikandi letaknya juga tidak begitu jauh dari pantai, jadi cukup berjalan kaki. Karena sudah booking kamar sebelumnya, maka kami tak perlu repot-repot memilih kamar, kakaknya Cahyo sudah memesankan.

Kami menempati kamar nomor dua ratus dua, letaknya di lantai dua baris nomor dua. Saat masuk, kami mendapati satu kasur ukuran besar, televisi, satu buah almari besar dan sebuah meja kecil, serta dua buah kursi yang mendampingi. Kamar hotel yang cukup sederhana sehingga terjangkau untuk ukuran kantong kami.

“Wah, untung ukuran kasurnya besar jadi kita nggak perlu pesan extra bed!” seru Doni seraya merebahkan badan di atas kasur.

“Iya... nggak perlu keluar uang lagi!” timpalku.

“Kita tiduran sekitar lima belas menit aja ya, ntar langsung ke pantai!” ucap Bagus mengingatkan jadwal acara kami.

“Iya, kalau terlambat nggak bisa menikmati pesona matahari terbenam!” tambah Doni.

“Yang terlanjur tidur kita tinggal aja!” lanjut Doni sambil tersenyum simpul.

Sambil tiduran kami melepaskan penat setelah mengendarai motor, sekitar lima belas menit kemudian kami keluar kamar dan menitipkan kunci di resepsionis. Benar kata Cahyo kalau jarak penginapan dengan pantai tidak terlalu jauh, kami bisa melihat debur ombak pantai dari pintu keluar Hotel.

Sesampai di bibir pantai, kami segera membaur dengan pengunjung lain berjalan menyisir pantai dan bermain air. Cuaca saat itu agak mendung tapi untunglah tidak hujan, jadi kaki kami tidak terlalu panas berjalan telanjang di pasir yang terhampar luas. Suasana pantai juga tidak terlalu ramai karena ini adalah hari pertama libur sekolah, biasanya dua atau tiga hari kemudian pantai akan ramai oleh pengunjung luar kota yang mengadakan liburan sekolah. 

“Ayo duduk disini saja!” ajakku kepada teman-teman yang lain.

Aku duduk dengan kaki selonjor di pasir pantai, bila debur ombak datang tentu akan menerjang ke badan kami, selanjutnya badan ini terasa terbawa karena pasir bergerak ke depan mengikuti ombak.

“Eh, kata orang, pantai ini ada jin-jin penunggunya loh…katanya sih ada ratunya juga…” Doni membuka pembicaraan sesaat kami duduk bersama.

“Katanya juga, pamali kalau pakai baju warna hijau… hijau yang seperti apa ya… aku lupa.” tambahnya lagi.

“Ah itu kan mitos. Gunung ada penunggunya, pantai ada juga…” kataku santai.

“Bangunan juga ada loh… apalagi bangunan tua. Contohnya sekolah kita, ada penunggunya...” sela Cahyo. 
Kami terkejut dan saling berpandangan.

“Beneran?” seru Doni, mulutnya sampai menganga.

“Kayaknya belum pernah ada yang lihat?” tambah Bagus seakan tidak percaya.

“Iya nih… jangan nakut-nakutin!” ujarku tak kalah kaget.

“Kita semua kan pernah lihat!” jawab Cahyo seenaknya. 

“Penunggunya kan pak Semin.” lanjutnya geli. 

Kamipun tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya, pak Semin tukang kebun merangkap penjaga sekolah kami. Cahyo memang suka bercanda.

“Tapi ini beneran loh,” Doni berusaha meyakinkan kami, 

“Eyangku yang dari Yogyakarta cerita ada ritual tertentu semacam sesajen untuk sang ratu. Juga ada warna hijau tertentu yang nggak boleh dipakai…” lanjutnya.

“Huuuuu...” kompak kami mencibir.

“Sudah ah, ayo kita main-main air, mandi ramai-ramai...masak ke pantai hanya duduk duduk saja...” kata Bagus,

Kami pun berlarian ke arah laut. Bermain ombak yang memecah pasir, berbasah-basah bercanda ria bersama.

“Hai Mas...” suara seorang perempuan muda hinggap di telingaku.

Aku menengok ke arah suara itu, kulihat seorang perempuan seusiaku tersenyum ke arahku. Wajahnya manis sekali, tatapannya menggoda, entah mengapa aku seperti terhipnotis olehnya. 

Belum sempat aku menjawab sapaannya, dia sudah bicara lagi.

“Ayo kejar aku kalau berani.” tantangnya. 

Ia berjalan pelan mendahuluiku lalu lari-lari kecil ke arah laut sambil mencibirkan bibirnya. Akupun tertantang untuk meraihnya, aku lalu berlari menembus air laut yang semakin dalam, tiba-tiba aku terjatuh, air mulai menggenangi mukaku, mataku pedih terkena air laut tapi aku masih bisa melihat secara samar-samar kalau perempuan itu berlarian tidak terlalu jauh di depanku sambil melambaikan tangan menantangku untuk menangkapnya. Aku berusaha bangun untuk mengejarnya, tapi kakiku ada yang menyeret keras menuju pantai.

“Ari, kamu nggak apa-apa kan?”

“Udah dibilangin sama ibumu jangan terlalu jauh ke laut, tuh kamu hampir terbawa ombak!”

“Makanya jangan sok…”

“Kalau kamu terbawa ombak kita mau omong gimana sama ibumu!”

“Iya nih… udah dibilangin masih aja…!”

“Kamu kenapa sih...?” 

Teman-temanku bersahut-sahutan ngomong ke arahku.

Aku masih gelagapan karena terkena air. Aku juga seperti orang yang baru bangun tidur sehingga tidak menyadari keadaan sekitar sepenuhnya, yang ada di pikiranku saat itu hanya perempuan muda itu, yang tadi menantangku untuk mengikutinya.

Kuarahkan mataku ke laut, perempuan itu sudah nggak ada, padahal aku yakin dia beberapa meter di depanku, apakah dia terbawa arus? Tapi mengapa keadaan sekeliling tenang-tenang saja? Padahal kalau ada yang terbawa arus, orang-orang pasti sudah berteriak histeris dan suasana jadi ribut. Perlahan mataku menyelidik sekeliling, perempuan berbaju warna hijau... ah hijau… aku jadi ingat perempuan itu berbaju hijau... dan dia memang sudah tak ada. 

Tiba-tiba aku merinding…

Apa benar pantai ini ada penunggunya dan bisa berubah wujud seperti cerita-cerita yang sudah beredar selama ini? Atau itu cuma halusinasiku semata? Ah… aku mendesah pelan.

“Ari, kamu kenapa sih?”

“Kok bengong seperti orang linglung!”

“Atau ketemu setan kali ya!”

Teman temanku nerocos terus sambil membimbingku berjalan meninggalkan bibir pantai. Selanjutnya kami duduk di pasir yang agak jauh dari pantai. 

“Minum dulu!” Doni memberikan sebotol minuman kemasan kepadaku.

Aku segera menegak minuman itu, meski hanya air putih kemasan tapi rasanya segar sekali, tenggorokanku seperti sungai yang mengering lalu terkena limpahan air hujan.

“Aku tadi ketemu cewek!” ucapku setelah selesai minum sepertiga botol dan mengembalikan botol itu kepada Doni.

“Ha… ha… ha!” berbarengan ketiga temanku tertawa terbahak.

“Ngelindur nih Ari…!”

“Cewek yang mana?”

“Tadi kamu sendirian lari ke arah laut…!”

“Sepeti ngejar sesuatu…!”

“Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak ke laut terlalu jauh…!”

“Tapi kamu seakan tidak mendengar teriakan kami!”

“Kamu terus aja berlari…!”

“Kami jadi takut kamu kenapa-napa!”

“Makanya kami segera mengejarmu!”

“Stop… stop!” teriakku sambil menutup telinga. Suara teman-temanku yang bersahut-sahutan membuatku malah pening kepala.

“Ok, aku akan ceritakan semuanya!” lanjutku, 

Aku lalu menceritakan kejadian yang kualami dari awal bagaimana aku disapa seorang perempuan seusiaku sampai aku dibawa teman-temanku ke sini.

Sejenak teman-temanku terdiam setelah mendengar ceritaku, lalu mereka saling berpandangan dengan tatapan agak ketakutan.

“Perasaan kita tidak mendapati ada perempuan berbaju hijau di pantai ini!” seru Bagus sambil matanya berkeliling melepas pandangan ke arah pengunjung.

Aku dan teman-temanku ikut-ikutan melihat para pengunjung. Kami memang tidak mendapati ada yang berpakaian warna itu.

“Mungkin penunggu laut ini sedang mencari tumbal!” timpal Cahyo merinding.

“Ah, sudahlah, yang penting aku selamat!” ujarku mantap. Aku tidak mau suasana liburan jadi rusak gara-gara itu.

“Iya, lebih baik kita menikmati liburan tapi tetap harus hati-hati dan tetap saling mengawasi!” ucap Doni bijak.

Kami semua mengangguk, lalu kembali menuju pantai untuk bermain-main lagi. Namun jauh di lubuk hati, aku masih ketakutan, siapa tahu perempuan misterius itu datang lagi buat menuntaskan misinya mencari tumbal? Ah, aku mesti lebih berhati-hati dan tidak terlalu jauh dari teman-temanku. Untung tadi ada teman-teman yang memperhatikanku dan segera memberi pertolongan. Kalau tidak… 

Mungkin aku pulang tinggal nama.

HANTU ANAK KOST


Aku baru saja turun dari bis di sebuah terminal yang cukup terkenal di ibu kota, dan segera berjalan menuju lokasi yang sebelumnya sudah diberitahukan oleh temanku, Andi. Dia memintaku untuk menunggu di situ sampai dia datang menjemput, karena kalau saling mencari bakalan nggak ketemu. Andi memang benar, ketika mataku menatap ke arah lalu lalang orang yang begitu banyak di hadapanku –sulit rasanya menebak Andi yang mana. 

“Hai… Bagus…!” seru seseorang memanggilku. 

Aku terkejut, ternyata Andi sudah berdiri sekitar sepuluh meter dari tempatku berdiri, kulihat ia sedang melambaikan tangannya. Akupun segera berlari ke arahnya dengan tas ransel berisi beberapa potong pakaian menggantung di pundakku.

“Terima kasih sudah menjemput!” ucapku senang. 

Bisa kubayangkan bila aku tidak dijemput, wah… bisa senewen karena aku sama sekali belum pernah ke ibukota.

“Sama-sama…!” balasnya seraya menepuk bahuku. Kami lalu bersama-sama berjalan keluar dari terminal.

“Kok aku nggak lihat kamu ya tadi, padahal aku sudah lihat sekeliling lho!” kataku.

“Yah… begitulah kalau ada banyak orang! Kayak kerumunan semut kan?” jawabnya.

“Tapi nanti lama-lama juga terbiasa kok!” lanjutnya.

“Iya sih... kalau diterima kerja di sini! Kalau enggak ya mending balik ke kampung saja!” ujarku santai.

Andi tertawa, “Ya, iyalah… biaya hidup di ibukota sini kan mahal banget! Jadi, kalau nggak punya penghasilan mending balik ke kampung saja!”

Ternyata Andi membawa motor sendiri, kami lalu berboncengan menuju ke tempat kost-nya. Sebelum sampai tujuan, kami mampir sebentar untuk makan di warung pecel lele.

“Kita sekalian makan aja Gus! Karena kalau sudah sampai di tempat kost nanti, dan kemudian mesti keluar lagi untuk membeli nasi bungkus atau entah apa yang bisa dimakan, wah… malas. 

“Soalnya jalanan di ibukota sering macet, jadinya aku malas keluar rumah!” kata Andi sambil membimbingku masuk ke dalam warung.

“Aku ikut sajalah, kamu yang lebih tahu kondisi kota ini!” jawabku ringan. 

Kami lalu makan bersama dengan lahap. Aku sudah kelaparan sejak tadi di dalam bus. Andi juga tampak menikmati makan malamnya. Mungkin dia juga kelaparan seperti halnya aku.

Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan menuju tempat kost Andi, dan itu benar-benar menghabiskan energi karena jalanan macet, mau bergerak satu dua meter ke depan pun mesti berebut jalan dengan pengendara lain. Masih untung Andi pakai motor sehingga bisa fleksible dan leluasa mengikuti luangya jalan yang sempit karena tertutup banyak kendaraan. Sekilas aku sempat melihat banyak sekali mobil yang mesti jalan di tempat karena susah bergerak.

Sesampainya di tempat kost, hari sudah malam, Andi memasukkan motor ke garasi lalu mengajakku masuk ke dalam kamar kost-nya.

“Itu kamar mandinya ada di ujung deretan kamar kost ini!” dia menunjuk ke sebelah kanan deretan kost. Ada sekitar lima kamar setelah kamar Andi. 

Setelah menaruh barang di dalam kamar aku segera bergegas menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Seharian di dalam bus membuatku merasa sangat gerah, apalagi hawa panas kota Jakarta yang begitu menyengat. Aku jadi teringat kampung halamanku di sebuah pedesaan kecil di Jawa Tengah. Jam-jam segini tentu sudah terasa dingin. Sehabis mandi aku kembali ke dalam kamar kost dan ngobrol sejenak dengan Andi. 

“Aku tidur dulu ya, ngantuk nih!” ucap Andi sambil menguap beberapa kali. 

Aku mengangguk karena aku juga sudah mengantuk. Andi naik ke tempat tidur dan aku menggelar kasur lipat di samping meja.

Malam itu cuaca panas dan gerah, membuatku tidak bisa tidur, padahal sudah menghidupkan kipas angin. Kayaknya angin dari kipas yang berputar itu tidak sanggup menghalau panasnya cuaca. Kulihat Andi nyenyak sekali tidurnya, mungkin dia lelah setelah seharian kerja dan sorenya mesti menjemputku pula. 

Ya… aku datang ke Jakarta untuk test wawancara kerja di salah satu perusahaan di ibukota. Untung ada Andi, teman baikku yang tinggal dan bekerja di ibukota, jadi aku bisa menghemat uang untuk penginapan dan tidak perlu repot cari-cari lokasi perusahaan itu, Andi sudah hapal dengan wilayah yang akan kutuju dan sudah memberiku denah serta rute transportasinya.

Karena mata sulit dipejamkan, aku keluar kamar, lalu duduk-duduk di depan kamar kost untuk menikmati malam. Meski sudah malam, suasana kota malah lebih hidup dan ramai. Kupalingkan mata ke arah kamar-kamar kost yang lain, semuanya sudah tertutup. Yah… begitulah, kebanyakan penghuni kost ini kalangan pekerja, jadi nggak bisalah mau begadang semalaman kecuali pas hari libur.

Kost yang ditempati Andi bukanlah termasuk kost yang mahal, jadi fasilitas yang tersedia juga apa adanya. Selain itu, tempatnya juga berada di tengah perkampungan penduduk yang padat, tidak ada akses jalan mobil karena hanya cukup buat lewat sepeda motor, itupun juga mesti berhati-hati kalau lewat bila tidak ingin spion-nya nyerempet tembok rumah penduduk. Namun kelebihan kost ini adalah terletak di tengah kota yang strategis, sehingga mau kemana saja mudah. 

Di saat aku termenung menikmati suasana malam, tiba-tiba pundakku seperti ditepuk seseorang. Akupun menoleh, ternyata sudah ada seorang pria muda sepantaran usiaku tersenyum dan duduk di sebelahku. Akupun sedikit bergeser untuk memberi cukup ruang baginya.

“Belum tidur?” tanyanya ramah. 

“Kok aku belum pernah lihat kamu ya?” tanyanya lagi.

“Iya nih nggak bisa tidur, aku temannya Andi. Numpang beberapa hari di sini karena mau test wawancara kerja…” 

Lalu kami pun hanyut dengan cerita masing-masing. Aku cerita soal sulitnya cari pekerjaan dan test wawancara yang akan aku jalani esok harinya. Sedangkan dia sudah bekerja di sebuah club dan banyak bercerita soal pekerjaanya. Sama seperti Andi, dia juga orang perantauan. Tak terasa malam terus merambat, akupun lalu undur diri untuk kembali ke kamar. Aku ingin cukup istirahat agar terlihat segar esok harinya. Sesaat sebelum masuk ke dalam kamar, sekilas kulihat laki-laki itu masih duduk di teras.

“Kok dia enggak tidur ya? Apa nggak kecapaian setelah seharian kerja?” aku bertanya dalam hati. Tapi sudahlah, itu bukan urusankui.

Aku bangun pagi-pagi, setelah mandi dan sarapan aku berganti pakaian yang sesuai untuk test wawancara. Aku sebenarnya mau pamit sama Andi untuk pergi test wawancara, tapi ketika kulihat Andi membuka almari pakaiannya dan aku melihat sebuah photo tertempel di pintu almari itu, akupun bertanya.

“Foto wisata kemana nih?” tanyaku saat kulihat di foto itu ada beberapa pria muda, salah satunya Andi.
“Oh itu di Ancol, kapan-kapan kalau kita punya waktu luang, aku bisa antar kamu kesana”

“Mmh…” gumamku.

“Kalau yang ini? Sudah lama kost di sini?” tanyaku seraya jariku menunjuk ke arah foto seorang pria yang tadi malam berbincang-bincang denganku di teras. Di foto itu, dia tampak gembira, kelihatannya dia sangat menikmati liburannya.

“Dia itu Anton, teman sekamarku dulu. Kami patungan menyewa kamar kost agar bisa berhemat biaya. 
“Tapi…” 

Andi tidak melanjutkan ucapannya, dia lalu memandang sejenak foto itu, raut mukanya berubah menjadi sedih. Dia lalu bercerita bahwa temannya itu dulu bekerja di sebuah club tapi telah meninggal karena terjadi kerusuhan di tempat kerjanya, dia menjadi korban salah sasaran beberapa bulan silam.

“Dia berada di tempat dan waktu yang salah! Akhirnya menjadi korban dan nyawanya melayang sia-sia!” tutupnya dengan sendu.

Tiba-tiba lidahku kelu, tidak bisa berkata apa-apa. Ingatanku kembali ke tadi malam saat aku duduk di depan kamar kost ini dan berbincang panjang lebar dengannya, sebenarnya aku ingin berbagi cerita dengan Andi soal kejadian semalam itu, 

Tapi…

Ah… lebih baik aku urungkan, aku tidak ingin merusak suasana, biarlah ini menjadi pengalamanku saja.

MISTERI RUMAH BUBRAH


Setiap hari aku selalu melewati rumah bubrah itu, pagi hari saat berangkat kerja dan tiap sore atau petang tiap kali pulang dari bekerja. Aku tinggal di sebuah perumahan yang lumayan jauh dari pusat kota. Namanya juga perumahan untuk kalangan rakyat, jadi… pada umumnya ukuran rumahnya kecil-kecil, rata-rata type 36 dan 45. Itupun kebanyakan penghuninya membeli dengan cara mencicil melalui bank, istilahnya kredit kepemilikan rumah… hehehe. 

Suamiku bekerja sebagai pegawai negeri sipil jadi lumayan tidak sulit baginya untuk mengajukan kredit. Sedangkan aku adalah karyawati di perusahaan swasta yang belum terbilang besar, dan seperti karyawan swasta lainnya, jam kerjaku terbentang dari pagi pukul delapan sampai sore jam empat, itupun kadang ada lembur sehingga aku bisa pulang selepas maghrib atau bahkan setelah Isya. Tapi lumayan juga uang lemburnya, jadi kami para karyawan senang-senang saja kerja lembur. Tentu saja itu diberlakukan saat padat pekerjaan dan batas penyelesaian yang mendesak. Bila tidak, ya tentu saja tidak akan ada lembur, karena tentunya perusahaan tidak mau rugi.

Rumah tua dan bubrah itu terletak di tengah-tengah antara jalan utama dan jalan yang menghubungkan ke perumahan kami, rumah itu berdiri di sebuah pekarangan yang cukup luas, di sisi sebelah kanan, kiri dan belakang rumah itu terbentang persawahan. Di depannya ada sebuah jalan kecil yang merupakan satu-satunya jalan menuju perumahan kami. Jalan itu tidak terlalu besar, jadi kalau ada mobil berpapasan dari arah berlawanan, keduanya mesti sedikit menyorong ke samping agar tidak berserempetan, jadinya kami yang menggunakan motor harus menunggu. 

Rumah itu berdiri di lahan bekas sawah yang dikeringkan, tapi rumah itu belum selesai pengerjaannya, mungkin karena keterbatasan dana jadi belum bisa diselesaikan. Yang pasti, rumah itu sudah berdiri, genting dan tembok lengkap, hanya pintu dan jendela belum ada, Oleh pemiliknya hanya ditutupi dengan anyaman bambu. Pengerjaan rumah itu tampaknya terhenti, sehingga kesan bubrah dan tidak terurus sungguh terasa. 

Sama seperti kondisi rumah, pekarangan di bagian belakang juga tampak bubrah, aku bisa melihatnya karena tidak ada pagar yang membingkai rumah itu, pekarangan itu tidak terawat, memang ada segerombolan pohon pisang di sisi kanan dan kiri pekarangan, tapi selebihnya cuma tanaman-tanaman liar yang menyatu dengan rumput yang meninggi. Belum ada penerangan sama sekali di rumah itu, jadi setiap kali petang menjelang, rumah itu terlihat gelap dan sunyi. Aku kurang tahu siapa pemiliknya karena aku belum lama tinggal di perumahan, bisa dibilang baru beberapa bulan. 

Perumahan tempat kami tinggal memang belum lama didirikan, tapi sudah cukup banyak yang menghuni. Aku dan suami yang pendatang termasuk yang beli belakangan. 

Bila dilihat, bangunan rumah itu bisa dibilang belum cukup tua atau mungkin terlihat tua karena tidak terawat ya? Aku pikir pemiliknya kehabisan dana dan tidak mampu menyelesaikannya. Membangun rumah memang perlu dana yang tidak sedikit, bila tidak direncanakan dengan baik bisa saja pengerjaan rumah itu terhenti di tengah jalan. 

Tapi… sudahlah itu bukan urusanku.

Pagi itu aku berangkat ke kantor dengan mengendarai motor, aku memakai mantel untuk melindungi diri dari hujan. Aku paling sebal kalau hujan turun saat aku kebetulan sedang akan pergi atau dalam perjalanan pulang dari kantor, selain mesti berganti sandal sedangkan sepatu aku masukkan ke dalam saja tas plastik agar tidak basah, juga dandanan di wajah jadi berantakan. Sebenarnya aku bisa naik angkot yang melewati jalan yang menghubungkan perumahan dengan kota, tapi aku tidak sabar menunggu apalagi jam kedatangan angkot-nya juga tidak bisa dipastikan. Kadang berhenti dulu cukup lama dan menunggu penumpang penuh… wah, bisa-bisa aku malah jadi terlambat dong. 

Saat melewati rumah itu kulihat beberapa pelajar pria yang kongkow-kongkow, santai dengan duduk-duduk di teras. Motor mereka di parkir di samping rumah sehingga tidak kehujanan, aku yakin mereka pasti tidak berbekal mantel. Musim hujan begini… kok ya tidak bawa mantel. Atau bisa jadi itu untuk alasan mereka terlambat masuk sekolah ya? Kulihat sekilas mereka ngobrol dan tertawa-tawa.

Sesampainya di kantor, aku memarkir motor di tempat parkir yang sudah disediakan, lalu menutupi motor dengan mantel yang aku pakai tadi agar mantel itu kering. Kuambil sepatu dari dalam tas plastik dan kutukar dengan sandal, selanjutnya aku memakai sepatu. Setelah merapikan rambut dan mengelap wajahku yang sedikit terkena air hujan, aku berjalan menuju ruang kantor. Di sana, aku langsung menuju ke ruang kerjaku. 
Sebenarnya bukan ruang kerja sih, karena meja kami para karyawan diatur berjejer memanjang, tapi ada sekat yang membatasi meja masing-masing karyawan. Yah... semacam bilik kecil kecil, dan masing masing juga ada pintu sorongnya, yaitu sebuah papan yang bisa didorong, semacam pintu koboi itu loh. 

“Kehujanan ya?” suara yang sudah sangat aku kenal terdengar dari balik bilik.

Aku mendongakkan wajah ke arah suara itu, kulihat kepala Rumi nongol di atas, kedua tangannya berpegang pada sekat bilik kayu. 

“Kamu juga kan?” balasku begitu melihat rambutnya yang sedikit basah.

“Namanya juga musim hujan!” jawabnya kalem, 

“Aku mau dandan dulu, nih lihat riasanku berantakan, kayak kamu… hehehehh.” sambungnya sambil terkekeh.

Aku ikutan tertawa, setelah kepala Rumi turun dari sekat, aku membuka laci kecil di meja kerjaku, kukeluarkan sebuah kotak kecil yang berisi peralatan dandan. Tidak lengkap-lengkap amat sih… cuma kebutuhan riasan dasar saja, utamanya bisa membuat wajah tidak terlalu polos. Selanjutnya aku tenggelam dalam rutinitas pekerjaan.

Hari ini ternyata ada lembur, jadi selepas maghrib nanti baru aku bisa pulang. Aku dan beberapa temanku menyempatkan shalat maghrib di kantor, kalau makan malam sudah tadi disediakan nasi kotak oleh kantor, lumayanlah buat mengganjal perut. Hujan-hujan begini membuat perut selalu kelaparan.

“Wah, hujannya kok bertambah deras ya?” protes Rumi cemberut.

“Iya nih… payah, padahal mau pulang!” tambah Ussi temanku yang lain.

Rumi, Ussi dan aku sendiri baru berada di tempat parkir untuk mengambil motor masing-masing dan bermaksud pulang. Tapi melihat hujan yang sedemikian deras kami mengurungkan niat. Bukan apa-apa sih…, hanya saja, kami takut kalau-kalau mesin motor kami mati karena kadang air meluap menutup jalan. Bila luapannya masuk ke mesin, kadang bisa membuatnya jadi mogok.

“Kita tunggu aja sampai sedikit reda,” kataku pada mereka. 

“Hujan deras begini kadang bisa bikin mesin motor mati,”

“Iya, dua hari lalu aku terpaksa menuntun sampai bengkel terdekat, businya kali!” sambung Rumi.

“Betul, daripada kerepotan menuntun mendingan menunggu sebentar!” tambah Ussi.

Kami bertiga lalu berjalan menuju bagian depan, di situ ada semacam ruang runggu. Sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu, kami bertiga lalu bergabung dengan mereka. Kami duduk dekat ruang satpam.
“Menunggu hujan reda ya Mbak?” tanya pak Dwi –satpam kantor kami.

“Iya nih…!” jawabku

“Silakan deh, banyak juga kok yang menunggu!” katanya lagi tanpa bermaksud berbasa-basi.

“Terimakasih Pak!” jawab kami.

Cukup lama kami menunggu, aku lalu kirim sms ke mas Joko –suamiku– kalau aku akan pulang terlambat karena ada lembur dan terjebak hujan, jadi ini masih menunggu di kantor. Mas Joko menjawab tidak apa-apa, dia bisa mempersiapkan makan malam sendiri. Kami berdua sama-sama bekerja jadi saling memahami satu sama lain, tidak ada pembagian pekerjaan rumah tangga, siapa yang longgar dan ada waktu maka dia yang mengerjakan. 

Menjelang pukul delapan malam hujan mulai mereda. Aku dan kedua temanku serta beberapa karyawan lain yang tadi menunggu, segera berhamburan keluar menuju ke tempat parkir.

“Pulang dulu ya…!” seruku kepada Ussi dan Rumi.

“Yoi, ketemu besok!” jawab Ussi pendek.

“Daaa…” balas Rumi sambil melambaikan tangan.

Kami memang ingin segera pulang, badan sudah pegal-pegal rasanya. Apalagi hari sudah malam, maunya langsung sampai rumah dan istirahat. Sesampainya di tempat parkir, kulepaskan mantel dari motor lalu kupakai, meski hanya gerimis kecil lebih baik akau mengenakan mantel, siapa tahu hujan tiba-tiba turun dengan deras lagi? Kan malah kerepotan sendiri nanti. Sepatu juga aku lepas untuk selanjutnya aku ganti dengan sandal. Setelah aku menstarter motor akupun melenggang keluar ruang parkir. 

Sepanjang jalan dari kantor meninggalkan pusat kota, banyak pengendara motor yang juga masih memakai mantel. Kulihat toko-toko yang berjajar di kedua sisi jalan tampak sepi, yah, hujan-hujan begini siapa juga yang mau keluar rumah? Entah mengapa ketika aku melihat warung bakso di ujung jalan perutku tiba-tiba tidak bisa diajak kompromi, padahal tadi sudah mendapat jatah nasi kotak dari kantor, kok sekarang lapar lagi? Mungkin karena aku melihat cukup banyak orang yang jajan di warung bakso itu, apalagi hujan-hujan begini… makan yang hangat-hangat tentu asyik. Bayangan semangkuk bakso yang hangat sungguh menggoda selera, akupun tidak jadi melanjutkan pulang ke rumah, aku berbelok dulu ke warung itu.

Setelah memarkir dan melepas mantel, aku berjalan menuju ke dalam warung, aku memesan satu mangkok bakso komplit dan satu gelas teh panas. Selanjutnya aku celingak-celinguk mencari kursi yang kosong.

“Hai Nita… sini…” suara serorang perempuan memanggil namaku. Kucari arah suara itu, ternyata bu Wal –tetanggaku di perumahan- sedang duduk menikmati bakso. Aku bergerak menemuinya. Kulihat ada sedikit bangku yang kosong, cukup lah buat aku untuk duduk.

“Duduk sini saja Nit, cukup kok!” begitu kata bu Wal sambil sedikit bergeser.

“Terima kasih Bu Wal.” jawabku seraya duduk di sebelahnya.

Bu Wal itu beberapa tahun lebih tua dariku, dia bekerja di sebuah pabrik makanan terkemuka di kota ini. Sebenarnya dia satu kota sih dengan kantorku, tapi karena berbeda tempat kerja kami jarang bertemu bahkan saat berangkat dan pulang kerja. Apalagijam kerja bu Wal yang tidak tentu karena menggunakan sistem shift. Hanya saat pertemuan warga di perumahan dan kadang pas libur saja kami bertemu.

“Ini mau pulang ke rumah atau gimana Bu?” sapaku berbasa basi.

“Wah, ini sih mau masuk kerja Nit, aku shift malam. Nita mau pulang ya?” balasnya sambil menghentikan sementara makan baksonya.

“Oooh… sift malam ya? Kalau aku mau pulang Bu, tapi nggak tahu kok pingin makan basko dulu,” jawabku. 

“Hehehe… tidak apa-apa makan bakso dulu, tidak terlalu malam juga kok, memang sih jalan menuju perumahan agak sepi, tapi sebelum jam sepuluh malam biasanya juga masih ada satu dua orang yang lalu lalang, kan banyak tuh yang baru pulang kerja.” kata bu Wal panjang lebar.

“Iya Bu, lumayan sepi… apalagi sepanjang jalan hanya persawahan ya? Cuma ada satu rumah saja yaitu rumah bubrah…!” timpalku 

Bayangan rumah itu muncul di benakku. Kalau sudah petang rumah itu gelap gulita dan terasa sangat sepi, aku pernah lewat saat petang… memang sungguh senyap, hanya deru motor atau mobil yang sesekali saja terdengar. 

“Iya, rumah itu menakutkan juga ya? Apalagi pas malam hari. Sudah dikelilingi persawahan, kosong pula. Kata orang sih rumah itu tidak diselesaikan sama pemiliknya…”

“Loh kenapa? Kan sayang tuh!” potongku, aku jadi tertarik untuk mendengar ceritanya lebih lanjut.

Kulihat bu Wal mengangkat bahu,

“Aku kurang tahu pasti, hanya menurut kabar,” dia diam sejenak, “katanya ada tragedi di rumah itu, seseorang meninggal di rumah itu…”

“Haahh…???” aku terkejut bukan kepalang.

“Tidak perlu takut Nit! Bukan pembunuhan… tapi kecelakaan biasa saja. Seorang pedagang keliling numpang berteduh di rumah itu, tapi dia terkena serangan jantung sehingga meninggal. Karena kejadiannya malam hari jadi nggak ada yang tahu. Para pekerja bangunan baru mendapati saat pagi ketika akan melanjutkan kerjaan,” lanjutnya dengan tenang.

“Oohh… kirain…!” aku merasa lega.

“Kenapa tidak dilanjutin ya pengerjaan rumah itu?” tanyaku.

“Dananya mepet kali!” bu Wal menjawab sekenanya.

Aku manggut manggut, “Iya… bangun rumah memang perlu dana besar!”

Kulihat bakso pesananku sudah datang, pelayan meletakkan mangkok bakso dan gelas air teh di mejaku. Lalu kami berdua sibuk makan bakso, aku baru mulai mau makan sedang bu Wal sudah hampir habis.

“Maaf Nit, aku duluan ya? Hampir jam sembilan nih…!” Ucap bu Wal berpamitan seraya bangkit dari kursi.
“Oooh… iya.. iya Bu, silakan?” jawabku.

“Selamat pulang, dan hati-hati ya,” kata bu Wal lagi sambil menepuk bahuku.

Dari tempatku duduk, kulihat bu Wal keluar dan dengan motornya ia meninggalkan warung ini menuju tempat kerjanya. Akupun lalu melanjutkan makan.

Setelah selesai makan, aku membayar ke kasir dan berlalu pulang. Sepanjang perjalanan pulang memang masih banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan utama di kota ini. Kebanyakan naik sepeda motor menandakan para karyawan baru pulang. Mungkin mereka seperti aku yang baru bisa pulang karena terjebak hujan deras tadi.

Aku sampai di pertigaan jalan yang menghubungkan jalan menuju perumahan, ada papan kecil yang dipasang di ujung pertigaan yang menunjukkan arah perumahan kami, aku berbelok mengikuti arah itu dan dari jalan utama menuju ke perumahan, aku merasakan sepi yang mencekam. Hujan masih turun meski tidak deras, sesekali petir dan guntur bergantian menghias langit. Memang sesekali ada motor dan mobil yang lewat tapi mereka menjalankan lajunya dengan kencang, sedangkan aku tidak berani. 

Jalan ini tidak terlalu mulus, meski sudah diaspal tapi kerusakan ada di sana sini. Banyak lobang di sekujur badan jalan. Kalau tidak hati-hati bisa jatuh. Apalagi belum juga ada penerangan di sepanjang sisi jalan, kita para pengendara cuma bisa mengandalkan sorot lampu kendaraan masing-masing.

Aku memilih menjalankan motor dengan pelan-pelan, lebih baik terlambat asal selamat, begitu kira-kira semboyanku hehehe... Entah mengapa, semakin jauh dari jalan utama, jalanan juga semakin senyap saja. Sudah berlalu sekitar lima menit tidak ada kendaraan lain yang lewat, aku jadi ketakutan sendiri. Aku berharap aku selamat sampai di rumah. Aku khawatir ada orang jahat seperti diberitakan di TV yang mencegat dan merampas motor.

Dari jauh aku melihat rumah bubrah itu meski samar, karena selain hanya mengandalkan penerangan sorot lampu motor depan, derai hujan yang turun cukup menganggu pandangan. Sudah separoh jalan, sebentar lagi akan sampai gerbang perumahan, begitu aku menghibur diri. Tapi aku terhenyak begitu melihat pemandangan di rumah itu, meski tidak begitu jelas, mataku bisa menangkap sesosok lelaki tua duduk bersandar di salah satu tembok rumah itu. Aku menghentikan motorku sejenak dengan kondisi mesin masih hidup. Kuamati dengan seksama, benarkah yang kulihat? 

“Ah… paling hanya seseorang yang menumpang berteduh!” begitu aku berkata dalam hati.

Aku tersenyum sendiri, dan bermaksud akan melanjutkan perjalanan. Namun mendadak aku kaget dan terperanjat, mataku seperti mau keluar karena tiba-tiba si lelaki tua itu lenyap begitu saja dari pandangan, bagaikan asap tertiup angin. Gugup campur gemetaran aku memacu gas dengan kencang, aku tak peduli dengan banyaknya lobang yang mengganggu di tengah jalan. Tujuanku hanya satu:

“Segera sampai ke rumah…!!”

Tuesday, October 22, 2019

MISTERI RUMAH KONTRAKAN (Surabaya)


Setelah lulus sekolah menengah atas di kota kelahiranku aku kuliah di sebuah universitas di Surabaya. Aku dan teman-temanku yang kebetulan juga kuliah di kota yang sama berusaha mencari kontrakan agar bisa menghemat pengeluaran. Biaya kontrak lebih murah dibanding kost karena ditanggung bersama sama, kami juga bisa memasak bersama agar lebih bisa berhemat. Alhamdulilah aku juga mendapatkan pekerjaan paruh waktu. Aku bekerja sebagai pramusaji di sebuah restaurant dengan pangsa pasar anak muda. Meski aku harus bisa membagi waktu untuk kuliah, belajar dan bekerja tapi hasil yang kuterima juga lumayan meski tidak bisa dibilang banyak.

Di Surabaya aku mengontrak sebuah rumah bersama beberapa orang teman, rumah itu cukup besar dengan empat kamar tidur. Bahkan ongkos kontraknya bisa dibilang murah untuk ukuran rumah sebesar itu dan terletak di daerah perkotaan. Mungkin sudah rejeki kami kali ya, mendapatkan kontrakan rumah yang bagus dengan harga sewa cukup miring.

Di suatu petang, kami bercengkerama di ruang tengah bercerita kesibukan kami masing-masing, maklumlah teman temanku juga bekerja paruh waktu seperti halnya diriku jadi waktu kami habis untuk kuliah dan bekerja, hanya di hari-hari tertentu saja kami ada waktu luang untuk berkumpul bersama.

“Yuli, gimana nih... sudah kerasan di rumah kontrakan dan di kerjaan?” tanya Titi membuka obrolan.

Aku mengangguk, lanjutku “Kamu sendiri gimana? Kerasan kan?”

“Yaah, gitu deh… Mau tak mau harus kerasan...” jawab Titi kalem. 

“Reni dan Yeni lagi ngapain sih?” tanyaku. Sepulang dari kuliah sekilas aku lihat mereka sibuk di dapur. Aku tidak bergabung dengan mereka karena aku kecapaian. Aku langsung masuk kamar dan tiduran di atas kasur.

“Katanya mau coba resep baru kue kering!” jawab Titi.

“Wah asyik tuh… kita bisa nyobain ntar!” seruku senang. Ya siapa sih yang nggak senang dapat makanan gratis… hehehh?!

“Reni dan Yeni lagi getol nyobain resep kue kue kering, katanya mereka mau mencoba bisnis kue kering buat lebaran!” jelas Titi.

“Loh… apa mereka tidak mudik kalau lebaran?” tanyaku heran.

Belum sempat Titi menjawab kami melihat kedua teman kami itu masuk ke ruang tengah. Mereka keluar dari dapur membawa minuman dan makanan kecil.

“Ayo… ayo dicobain…” kata mereka sambil menyorongkan sepiring kue kering bikinan mereka.

Kami mencicipi hasil masakan mereka, wah enak juga nih...nggak kalah sama produk bakery.

“Katanya mau bisnis kue kering ya buat lebaran?” tanyaku seraya mencomot kue kering dari piring dan memasukkan ke mulut… hmmm… enak.

“Coba-coba dulu aja kok…!” jawab Reni.

“Iya siapa tahu jalan!” timpal Yeni.

“Tapi katanya buat lebaran, emang kalian nggak pulang mudik?” tanyaku lagi.

“Ya mudiklah… kami merencanakan pesanan harus stop seminggu sebelum Lebaran jadi masih ada waktu buat pulang!” jelas Yeni.

“Kue kering kan awet, orang juga lebih senang terima pesanan kuenya sebelum lebaran!” imbuh Reni.
“Ya syukurlah… semoga sukses!” ucapku.

Kami berempat lalu asyik mencoba kue bikinan Reni dan Yeni, suasana terasa santai dan menyenangkan sampai salah satu teman kami mengatakan sesuatu.

“Yuli, kamu suka mandi malam-malam ya? Bahaya loh...kata orang bisa menyebabkan reumatik.” kata Reni sambil duduk di sofa. 

Yeni yang turut duduk di sampingnya menambahi, “Iya nih Yuli, sering kerja shift malam sih, pulangnya sering telat lagi… tapi masak mandi tengah malam”.

Aku diam sesaat, perasaan aku nggak pernah mandi malam-malam. Biasanya kalau mesti lembur dan pulang malam aku cuma cuci muka aja.

“Kayaknya aku nggak pernah mandi di malam hari, kalau pulang lembur aku cuci muka aja lalu tidur... capai sih. Mungkin Titi ya?” tanyaku seraya menoleh ke arah Titi.

Kupikir itu Titi karena aku juga pernah mendengar ada yang mandi malam-malam, saat itu aku pulang lembur, suasana rumah sepi, kupikir mereka sudah pada tidur, saat mau cuci muka –kamar mandi tertutup dan ada suara gemericik air orang sedang mandi.

Titi yang mulutnya penuh makanan cuma menggelengkan kepala, kemudian setelah menelan makanan itu dia berujar, “Aku mah paling anti mandi malam hari… kemalaman ya langsung tidur aja.”

Kami berempat saling berpandangan, aku berpikir jangan-jangan rumah ini ada yang nggak beres. Teman yang lain barangkali juga berpandangan demikian karena raut wajah mereka tampak agak tegang.

“Ah sudahlah… nggak usah diributin, cuma masalah mandi aja bikin repot!” cetus Titi setelah kami berempat sempat terdiam sesaat.

“Iya, di kamar mandi kan nggak mesti mandi, bisa aja hanya sekedar cuci muka, cuci tangan, cuci kaki… dan cuci-cuci yang lainnya!” canda Yeni mencoba mencairkan suasana.

Kami berempat tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan ke topik yang lain yang lebih santai dan ringan.

“Kamu enak ya Yul, sebagai pramusaji bisa nyicip macam macam makanan!” seru Titi sambil melirik ke arahku.

“Wow… mana bisa, emangnya aku ini koki. Aku cuma pramusaji, tugasku melayani pembeli yang mau memesan dan mengantar makanan serta minuman pesanan mereka. Kalau pramusaji bisa ngikut ngicipin makanan… wah kacau dong!” jelasku.

“Apalagi mencicip satu piring… bisa cepat bangkrut tuh!” celetuk Yeni sambil nyengir.

“Enakan kamu Ti, sebagai guru les anak-anak tentu nggak terlalu banyak keluhan, anak-anak kan biasanya nurut sama yang lebih tua!” aku balik bertanya kepada Titi tentang pekerjaannya sebagai guru les.

“Iya sih, anak-anak biasanya nurut, tapi ya itu… mereka kurang disiplin dan kurang tekun. Masak aku datang ada yang belum mandi, tahu sendiri kan bau keringat anak yang belum mandi…!” belum selesai Titi bicara Reni sudah memotongnya.

“Wangi alami kan, Ti!” potong Reni sambil menahan tawa.

“Iya sih, tapi kalau hanya bau badan aku bisa cuek. Yang membuatku agak senewen itu kalau anaknya nggak tekun belajar dan nilainya tidak sesuai harapan… wah… aku yang bisa diomelin orang tuanya!” jelas Titi lagi.

“Resiko orang kerja, ya gitu. Masak maunya enak melulu!” seruku.

Aku sendiri kadang juga bĂȘte kalau ada pelanggan yang rewel dan cerewet. Tapi mau gimana lagi… itu kan sudah pekerjaanku.

Kalau Reni dan Yeni bekerja di sebuah butik milik teman ibu nya Yeni. Mereka juga kerja shift seperti aku tapi lebih teratur alias jarang lembur, karena para pembeli biasanya tidak pernah datang lewat jam sembilan malam. Beda dengan aku, kadang ada serombongan anak muda yang datang mepet waktu. Sesuai kebijaksanaan restaurant tetap harus dilayani sampai mereka menyelesaikan santapan makananannya.

“Eh, aku masuk kamar dulu ya? Ada tugas kuliah nih!” ucap Titi sambil beranjak dari kursi.

“Aku juga, mau tidur nih setelah seharian tadi kerja!” ungkapku malas. Seharian bekerja memang membuatku lelah. Biasanya aku akan tidur dan bangun sebelum subuh untuk belajar dan mempersiapkan kuliah. Kalau kondisi lelah begini dipaksa belajar nggak bisa konsentrasi.

“Aku sama Reni mau nonton TV dulu ah!” seru Yeni sambil pindah duduk di kursi Titi dan menyelonjorkan kaki di atas meja.

Reni yang duduk di sofa kini jadi leluasa untuk membaringkan badan.

Sebelum masuk kamar aku sempat menengok ke arah Reni dan Yeni, mereka asyik nonton TV.

Setelah menutup pintu kamar aku membaringkan tubuh di atas kasur, nyaman sekali rasanya, benar kata orang tidur itu paling enak kalau pas ngantuk berat apalagi ditambah dengan lelah… wah klop deh.

Entah jam berapa, aku terbangun karena merasa ingin ke belakang. Masih mengantuk berat aku keluar kamar, kulihat Reni dan Yeni tertidur di ruang tengah dengan TV yang masih menyala. Terpaksa aku ke ruang tengah dulu untuk mematikan TV. Selanjutnya aku berjalan menuju belakang dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka. 

Saat kulewati kamar Titi, kamarnya gelap alias lampu sudah dimatikan. Titi memang nggak bisa tidur kalau ada lampu menyala meski hanya remang remang pun dia tidak bisa, yup dia terbiasa tidur dengan suasana gelap.

Sampai di belakang kulihat pintu kamar mandi tertutup dan aku mendengar suara gemericik air. Ah berarti Titi yang ada di kamar mandi. Akupun lalu duduk di kursi dekat kamar mandi menunggu Titi keluar. Aku masih mengantuk kala itu jadi kurang begitu hirau dengan suara di kamar mandi, yang aku inginkan hanya satu yaitu Titi segera keluar dari kamar mandi dan gantian dengan aku.

“Hey bangun!” seseorang mengguncangkan bahuku.

“Lho kamu Ti?” seruku kaget, tidak yakin dengan yang kulihat Titi berdiri di hadapanku, akupun mengucek mata berkali-kali karena aku masih mendengar suara gemericik air di kamar mandi itu.

“Siapa yang di dalam?” tanya Titi sambil menunjuk ke arah pintu kamar mandi.

“Bukannya tadi kamu?” aku balik bertanya kepadanya.

Kulihat Titi menggeleng, “Mungkin Reni atau Yeni!” jawabnya kemudian.

“Waktu aku ke sini, aku lihat Reni dan Yeni lagi tertidur di ruang tengah. Bahkan aku yang mematikan TV! Makanya kupikir kamu yang di dalam tadi!” terangku, kali ini mataku terbuka lebar karena aku merasa ada yang ganjil.

“Enggak tuh, aku juga baru saja ke sini dan lihat kamu duduk terkantuk-kantuk di kursi ini!” balas Titi penuh keheranan..

Kami berdua melongo, suara gemericik itu juga masih terdengar.

“Kita ketok aja pintunya!” aku memberi usul.

Titi mengangguk cepat. Lalu dengan langkah pelan tapi pasti kami menghampiri pintu itu.

“Tok… tok… tok…!!” suara ketokan pintu terdengar keras, aku memang sengaja mengetoknya dengan keras. 

Aneh… seketika suara gemericik air di dalam kamar mandi menghilang… hening tidak terdengar apapun.
“Tok… tok… tok…!!” kali ini Titi yang mengetok pintu, bahkan dia memukulnya dengan lebih keras daripada aku.

“Siapa di dalam?” Teriakku kencang.

“Reni atau Yeni?” tambah Titi juga dengan suara lebih keras.

Aneh… tetap saja tidak ada suara.

“Hey… siapa? Jawab dong!” suara Titi terdengar kesal.

“Ngapain sih kalian teriak-teriak di malam begini… bangunin orang saja… malu sama tetangga tuh! Dikirain ada apa?”

Aku dan Titi menengok ke arah suara di belakang kami, ternyata Reni dan Yeni sudah berdiri dengan mimik kesal. 

“Hey... kok pada bengong!” ucap Yeni penuh tanda nyata.

Kami berdua memang bengong, kalau bukan Reni dan Yeni, lantas siapa dong yang ada di kamar mandi itu.
“Kita buka saja pintunya, kalau dikunci ya kita dobrak aja!” Titi dengan geram bermaksud membuka paksa pintu itu.

Tapi ternyata pintu itu tidak terkunci. Ketika Titi membukanya kami merasa ada angin dingin yang berhembus melewati kami berempat melalui pintu itu.

“Hey, aku merasa ada sesuatu yang lewat…!! Angin yang kurasakan tidak seperti biasa!” ungkap Yeni dengan bibir bergetar.

“Aku juga merasakan seperti itu!” sahutku ketakutan.

Akhirnya kami sepakat ngumpul di ruang tengah untuk membicarakan kejadian itu, tentu saja aku dan Titi ke kamar mandi dulu untuk mengeluarkan hajat yang tadi sempat tertunda. 

“Kita lihat di internet yuk siapa tahu ada berita tentang rumah ini.” celetuk Titi setelah beberapa saat kami berdebat tentang kemungkinan apa saja yang telah terjadi dengan rumah ini.

“Iya siapa tahu ada beritanya!” tambah Yeni.

Dengan sigap Reni beranjak dari sofa dan keluar kamarnya sambil menenteng laptop, kami pun mulai browsing mencari berita dan tentu saja berharap itu semua hanya khayalan aja.

Tiba-tiba Reni berseru, 

“Lihat nih…!!” jarinya menunjuk sebuah berita. 

Di berita itu kami membaca seorang wanita muda tewas di kamar mandi akibat serangan jantung. Dan di situ juga tertulis alamat kediaman rumah itu… yang sama dengan rumah yang kami tempati sekarang ini.

La Planchada