Kami adalah pasangan yang baru saja menikah, dan tinggal di sebuah rumah yang kami kontrak beberapa minggu yang lalu. Rumah yang kami sewa ini tidak begitu besar, bahkan bisa dibilang kecil saja, cuma rumah type 36. Tapi itu bukan masalah karena aku hanya tinggal berdua dengan mas Anton suamiku. Apalagi kami berdua sama-sama bekerja dari pagi sampai sore, sehingga jarang berada di rumah, jadi buat apa menyewa rumah yang besar bukan?
Maklum, kami karyawan di perusahaan swasta. Senin sampai jumat waktu kami tersita untuk bekerja, dengan tempat kerja yang jauh dari rumah sewaan ini memaksa kami berangkat pagi-pagi sekali sekitar jam setengah enam dan baru kembali lagi di atas waktu Isya. Hanya ada dua hari di setiap minggunya untuk mengaso, hari Sabtu dan Minggu.
Di hari Sabtu kami biasa mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tertunda selama kami kerja seperti mencuci pakaian, seterika, bersih-bersih rumah dan lain-lainnya, sedangkan khusus di hari Minggu, aku dan mas Anton sepakat untuk bersantai ria, kadang di rumah saja menonton televisi atau menyewa film untuk ditonton berdua, tapi kadang-kadang kami keluar buat refreshing, ya… sekedar jalan-jalan ke mall atau tempat wisata yang tidak terlalu jauh jaraknya.
Kami menempati rumah ini belum lama, baru beberapa hari yang lalu. Sebenarnya kami menyewanya sudah sekitar satu bulan sebelumnya, namun karena sudah masuk bulan puasa dan hampir lebaran jadi kami putuskan untuk mulai menempati rumah ini setelah kami kembali mudik dari kampung. Untung pemiliknya tidak masalah, meski baru membayar uang muka dulu dan pelunasannya menyusul saat kami mulai menempati. Tentu saja sekarang uang sewa sudah kami lunasi.
Rumah ini terletak di paling ujung dan paling belakang berbatasan dengan lahan kosong. Katanya sih… lahan itu milik orang kaya di kota yang rencananya akan dibeli oleh developer untuk memperluas perumahan ini. Lahan kosong itu oleh pemiliknya ditanami pohon kelapa dan pisang, tapi aneka tanaman liar turut tumbuh di situ, belum lagi rumput rumput yang meninggi, membuat suasana menjadi menakutkan apalagi kalau malam menjelang… wah selain sepi, senyap, kegelapan juga menaunginya. Maklum tidak ada penerangan sama sekali. Sebenarnya aku agak takut juga karena di belakang dan di samping kiri tidak ada tetangga, tapi suami menguatkanku bahwa ada tetangga di deretan sebelah kanan. Meski di deretan rumah kami baru beberapa orang saja yang menempati, tapi area depan kompleks sudah penuh padat penghuni. Memang sih bagian belakang dimana kami tinggal merupakan area perluasan jadi belum lama dibangun dan yang jelas belum banyak penghuninya.
Rumah ini merupakan perumahan rakyat yang dibangun agak jauh dari kota, bangunannya standar dengan model yang hampir sama satu sama lain. Penghuni yang lain juga sama seperti kami, sebagian besar kaum perantau yang menghabiskan waktu untuk bekerja di luar rumah, bahkan sebagian besar kaum perempuan yang tinggal di sini juga turut mencari nafkah seperti halnya aku.
Kami sudah mengadakan selamatan dan perkenalan kepada warga perumahan. Kami jadi kenal dengan para penghuninya, di sebelah kanan rumah kami tinggal sepasang orang tua bernama pak dan bu Broto, dengan dua anak yang sudah menginjak remaja. Sebelahnya lagi milik seorang tentara yang baru bertugas keluar pulau sehingga rumah ini kosong, sebelahnya lagi juga kosong karena oleh pemiliknya mau dikontrakkan. Sebenarnya kami dulu lebih tertarik rumah itu tapi karena harga sewa rumah yang paling ujung ini lebih murah akhirnya kami memutuskan ambil yang berharga miring saja, toh bangunanya juga hampir sama. Jadi tetangga terdekat kami keluarga pak Broto itu. Tapi ternyata rumahnya juga sering sepi seperti rumah kami. Si suami bekerja sebagai penjaga malam, si istri bekerja di pabrik yang melakukan jadwal bergiliran. Anaknya yang satu kuliah di luar kota dan anak satunya lagi lelaki masih sekolah di salah satu sekolah menengah atas. Mungkin karena ayah ibunya jarang dirumah, dia ikut-ikutan sering main dengan teman- temannya sampai malam. Intinya setiap kali melewati rumah rumah tetangga itu hanya kesan sepi yang kami temui, tapi setelah memasuki areal depan, wah… riuh deh dengan aneka macam karakter penghuni, apalagi bila mereka sudah punya anak yang masih balita atau usia anak-anak… wah situasinya jadi hidup dengan celotehan dan canda ria mereka.
“Dik Anita, aku ada tugas luar kota sekitar dua hari, jadi hari ini dan lusa aku tidak bisa pulang ke rumah!” ucap mas Anton saat kami sedang sarapan.
Saat itu baru jam lima pagi, kami makan roti bakar untuk mengisi perut. Pagi-pagi begini perut belum siap menerima makan besar. Di kantor tersedia kantin, jadi kalau sewaktu-waktu kelaparan tinggal memesannya dan nanti akan diantarkan di meja kerja kami. Perusahaan juga memberi kelonggaran asal tidak mengganggu pekerjaan, mungkin karena mereka tahu kalau para karyawan sebagian besar tinggal jauh dari kantor.
“Oh ya? Oleh-olehnya aja deh!” jawabku kalem.
“Oleh-olehnya ya capek!” balasnya dengan ringan.
“Huuu...” aku mencibirkan bibir.
Aku tahu, mas Anton kadang mesti keluar kota, tidak lama sih paling dua sampai tiga hari saja. Biasanya motornya akan dititipkan di area parkiran kantor agar keamanan terjamin, maklum motor kreditan. Kami memang membawa motor sendiri-sendiri agar bisa menghemat waktu, kalau naik angkutan wah nggak bisa dipastikan jadwalnya, malahan sempat tekor karena saat ada pemogokan para sopir angkot kami mesti menyewa ojek atau bahkan ambil taksi untuk sampai ke kantor. Makanya kami beranikan untuk kredit motor, di hitung-hitung lebih effisien dan efektif. Cicilan bisa dibayarkan tiap bulannya dan itu juga tidak terlalu besar meski jangka waktunya juga lama.
“Kalau ada apa-apa kasih kabar ya!”
“Emang mas Anton lantas akan pulang?”
“Ya kalau emang penting dan darurat aku toh bisa mengajukan ijin!”
“ Hehehe… bisa aja nih! Bercanda aja kok, Mas…!”
“Jangan lupa kunci pintu dan jendela, kalau ada tamu yang tidak dikenal lebih baik tidak dibukakan pintu, apalagi kalau…”
“Tamu tak diundang!” potongku cepat.
Kami berdua tertawa.
Kami sih tidak terlalu takut akan hantu, yang kami cemaskan adalah bila ada orang jahat. Apalagi aku, bila sendirian ditinggal mas Anton keluar kota aku akan menutup pintu dan jendela lebih awal dari biasanya. Pokoknya jam tamu tidak boleh melebihi jam delapan malam. Di jam itu aku sengaja mematikan lampu dan menggantinya dengan lampu yang lebih kecil agar mereka mengira aku sudah tidur jadi sungkan kalau bertamu.
Setelah selesai makan kami bergegas keluar rumah. Dengan sepeda motor masing-masing kami menyusuri jalan menuju kantor tempat kerja. Mas Anton membawa tas ransel di belakang punggung berisi pakaian dan keperluan pribadi. Sedangkan tas kerjanya dia selempangkan di bahunya. Dia terbiasa mengurus dirinya sendiri, tidak mau membebaniku dengan itu. Untuk keperluan keluar kota dia selalu mempersiapkan sendiri, katanya kami ini sama-sama bekerja jadi tidak enak baginya menambah bebanku apalagi kalau dia bisa mengerjakannya sendiri.
Waktu itu sudah sekitar pukul tujuh malam, suara adzan Isya terdengar berkumandang dari masjid komplek perumahan yang ada di areal depan, aku barusan memasuki pintu gerbang saat tanpa sengaja bertemu dengan pak Broto sekeluarga.
“Loh… kok berombongan, mau kemana nih Bu Broto sekeluarga?” sapaku setelah menghentikan motor di samping mereka.
“Iya Mbak Anita, ini kami sekeluarga mau pulang ke kampung. Orang tua pak broto meninggal, jadi kami sekeluarga mesti datang ke pemakaman.” jawabnya terlihat berduka, begitu juga dengan anggota keluarga lainnya.
“Oh, saya ikut berbela sungkawa, Bu!” ucapku, lalu aku menyalami mereka satu persatu.
“Maaf Mbak Anita, kami mau langsung berangkat, maklum sudah malam takut ketinggalan bus!”
“SilakanBu, semoga selamat sampai tujuan!” balasku.
Aku meneruskan naik motor untuk pulang ke rumah.
“Wah… sial nih!” begitu aku berkata dalam hati.
Sudah ditinggal mas Anton keluar kota… eh satu-satunya tetangga terdekat juga pulang kampung. Beberapa malam ini aku mesti sendirian dong! Ya sudahlah… toh aku juga selalu dalam keadaan capai setiap kali pulang kerja. Biasanya sehabis mandi dan makan, mata ini sudah susah diajak kompromi. Tidur jadi pulas dan tahu-tahu pagi sudah menjelang. So… santai aja lah… sekalian melatih keberanian… heheheh.
Sampai rumah aku segera memasukkan motor ke dalam garasi dan menghidupkan lampu-lampu. Bergegas aku ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Setelah memanaskan sayur dan lauk yang tadi aku beli saat pulang kerja, aku langsung makan. Kenyang seusai makan, aku sengaja mematikan lampu depan dan mengontrol jendela dan pintu untuk memastikan telah terkunci semuanya. Menuju ruang tengah, kuambil koran pagi yang tadi belum sempat kusentuh untuk dibaca. Tiduran di sofa dengan dibantu bantal di bagian ujung buat menahan kepala membuatku merasa rileks, lembar demi lembar koran aku buka dan berita yang sekiranya menarik aku baca.
Dengan posisi tiduran di sofa dan kondisi badan yang capek, tak terlalu lama untuk membuat mata ini terpejam. Aku bahkan tidak sempat memindahkan koran itu di meja, aku taruh di atas badan saja sebagai pengganti selimut… hehehe. Sebenarnya memang malas saja karena terlanjur mengantuk. Untuk berpindah ke kamar tidur juga enggan.
Entah berapa lama aku tertidur, ketika tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara gonggongan anjing. Aku memang membuka mata sedikit, tapi karena masih mengantuk berat aku tidak mempedulikannya, pikirku itu cuma anjing kurang kerjaan milik salah satu penghuni perumahan ini.
“Anjing tidak tahu diri, gangguin orang tidur aja!” begitu gerutuku dalam hati.
Tapi kenapa ya, gonggongan yang aku dengar ini terasa agak ganjil dan menakutkan? Kalau anjing tersebut menggonggong karena ada maling… ah tidak... bukan itu! Yang kudengar ini sungguh berbeda. Selain berulang-ulang, lolongannya juga tidak biasa…
Tapi… kenapa ya saat aku mendengar itu bulu kudukku berdiri? Ketika aku setengah sadar membuka mata aku juga merasa badanku menggigil karena hawa yang terasa dingin? Mungkinkah gonggongannya itu menandakan adanya hantu di sekitar sini? Bukankah banyak orang yang mengatakan kalau anjing bisa mendeteksi adanya hantu? Iiih… aku cepat-cepat membuang pikiran jelek itu. Ah, paling itu hanya perasaanku saja karena sedang tinggal sendirian di rumah ini.
Keesokan harinya, aku juga tidak mendapati hal-hal yang berbeda, semua tetap sama seperti biasa, kondisi perumahan tetap seperti sedia kala tidak ada sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Kalau terjadi sesuatu di malam hari, paginya terutama ibu-ibu biasanya berkerumun di pinggiran jalan membicarakannya…
Malam selanjutnya adalah hari kedua aku tinggal seorang diri, seperti rutinitasku yang sudah-sudah, sehabis mandi dan makan aku tiduran di sofa di ruang tengah, kali ini sambil menonton televisi. Jatuh tertidur, televisi tidak sempat aku matikan. Hanya saja… lagi-lagi di tengah malam aku terbangun, bukan karena suara televisi yang masih menyala itu, tapi aku kembali mendengar gonggongan anjing itu lagi. Aku sedikit heran, karena kejadian ini sudah dua hari berturut-turut di tengah malam pula. Meski dalam kondisi mengantuk aku paksakan diri untuk bangun dan mematikan televisi, lalu aku pasang telinga apakah benar dengan yang aku dengar.
Yup… ternyata betul, gonggongan dari arah belakang? gilaaa… bukankah belakang itu lahan kosong? tiba-tiba aku gemetaran! Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi di sana? Ah, sudahlah… cepat-cepat kuhilangkan pikiran buruk yang berkecamuk di kepalaku, mendingan aku tidur saja… toh itu hanya suara lolongan anjing. Tapi kenapa ya, mata ini jadi begitu sulit untuk terpejam kembali?
Esoknya aku bangun agak terlambat karena semalaman aku tidak bisa tidur nyenyak, rasa penasaran juga menghampiriku. Makanya aku kirim SMS Nina teman kantorku agar melaporkan ke bagian personalia kalau aku akan tiba di kantor agak siang karena ada keperluan, padahal aku ingin melihat kondisi di belakang. Dari cerita para tetangga, kalau sekitar jam enam sampai menjelang pukul delapan lahan kosong itu jadi ramai dengan lewatnya anak-anak sekolah dan orang-orang yang mau bekerja, mereka memilih lewat lahan kosong itu karena bisa mempersingkat jalan.
Benar saja, sekitar jam enam pagi aku mendengar suara celotehan anak-anak sekolah dari arah belakang, inilah saatnya aku beraksi. Aku segera bergegas ke situ, dari belakang rumah ada jalan setapak yang membatasi bagian belakang perumahan, lalu terhubung ke lahan kosong, bagian depannya hanya pohon pisang saja yang berjajar di sepanjang jalan, baru setelah beberapa meter ke belakang tumbuh pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Untuk melewatinya aku mesti menyibak tanaman lainnya yang tumbuh liar di sekitarnya. Tapi aku tidak berani masuk terlalu dalam, nggak tahu kenapa… hati kecilku seperti melarangku. Apalagi anak-anak sekolah itu juga cuma lewat jalan setapak, memang sih beberapa kulihat berjalan dari arah sisi lahan itu tapi tidak lewat bagian tengahnya.
Bersungut-sungut aku kembali ke rumah! Kupikir-pikir… ngapain pula aku mencoba mencari sesuatu yang aku sendiri tidak punya kepentingan langsung? Bukankah itu hanya menghabiskan waktu? Ah… akupun bergegas untuk bersiap diri berangkat kerja.
“Ada keperluan apa sih Anita kok mesti datang terlambat?” tanya Nina teman sekantorku.
Kami memang ada dalam satu ruangan, kami biasa berbincang segala hal termasuk yang remeh. Biasanya kalau mau ijin atau apa kami akan selalu bercerita sebelumnya, makanya dia heran karena tiba-tiba aku ijin agak telat hari ini. Saat aku ceritakan kejadian itu, dia malah tertawa terbahak-bahak.
“Kamu tuh lucu… cuma suara lolongan anjing aja dipikirin!” celetuknya.
“Bukan begitu, tapi suara itu terasa beda dan terdengar menyeramkan! Kata orang kan anjing bisa melihat keberadaan hantu. Lha, kalau hantu itu kemudian nongol di rumahku gimana?” aku membeberkan kekhawatiranku.
Nina mengangkat bahu, “Ya ntar kalau nanti malam masih denger lagi, di pintumu ditulis aja “hantu dilarang masuk”… heheheh!” candanya kemudian.
“Kalau ntar malam sih aku nggak perlu takut, kan mas Anton sudah pulang!” pungkasku kalem.
Kami tertawa, lalu melanjutkan pekerjaan kami dan tenggelam dengan kesibukan rutin kantor.
Seperti biasa, aku kembali ke rumah sekitar jam tujuh malam. Ini hari Jumat jadi besoknya aku bebas, mas Anton juga nanti sudah pulang. Ah… senangnya.
Selesai mandi baru aku menyadari kalau mas Anton telah menelponku, di layar hp tertulis panggilan tidak terjawab yang ternyata darinya.
“Mas Anton tadi telpon ya? Di mana ini? Sudah mau sampai rumah ya? Bisa nitip makan sekalian dong…” beruntun aku ngomong kepadanya lewat telepon.
“Wouwww… ngomongnya kayak kereta api ekspress aja nih!” lanjutnya.
“Dik Anita, aku nggak bisa pulang hari ini, mobil kantor mengalami kerusakan di jalan, besok pagi baru bisa dibawa ke bengkel dan siangnya baru bisa pulang. Mungkin sampai rumah ya besok malam!”
“Waduuh…!” aku kecewa mendengar penuturannya, jadi malam ini aku sendiri lagi dong.
“Sabar! Namanya juga musibah siapa yang tahu!” hiburnya.
“Ini Mas Anton menginap di penginapan dong?”
“Iya, aku dan pak Supri menginap di salah satu hotel di kota ini, nanti aku sms kan alamat lengkapnya. Kalau mau nyusul juga boleh kok!” candanya.
“Huuuuu… bisa aja tuh!”
Benar saja, setelah menyudahi telepon ada sebuah pesan singkat muncul di layar Hp yang berisi alamat hotel beserta nomor telepon dan nomor kamarnya.
Karena suamiku belum pulang, aku melakukan kegiatan seperti biasa, yaitu tiduran di sofa. Aku memang lebih suka tidur di sofa jika sendirian di rumah ini. Bisa sambil nonton TV, ataupun membaca koran dan majalah. Kalau ngantuk ya, tinggal tidur aja.
Entah jam berapa, aku kembali mendengar suara gonggongan itu, anjing sialan… nggangguin orang tidur aja, gerutuku dalam hati. Kali ini kesal rasanya. Aku nggak peduli lagi dengan suara itu, kututupi kepala dengan bantal dan melanjutkan tidur.
Esoknya aku bangun kesiangan, tapi itu tidak masalah, ya iyalah... ini kan hari sabtu! Aku tidak perlu masuk kerja. Untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga bisa ditunda nanti… toh aku juga tidak akan kemana-mana. Kulihat jam menunjukkan angka sembilan… heheheh… namun saat aku akan mematikan lampu-lampu aku mendengar suara kerumunan orang yang melangkah tergesa-gesa di jalan di depan rumah. Kusingkap sedikit tirai jendela kamar tamu, ya aku melihat orang-orang yang berjalan atau setengah berlari…
Ya, mereka menuju… menuju… hei kenapa mereka bergegas ke belakang ke arah lahan kosong itu? Aku penasaran sekali, maka setelah cuci muka dan berganti baju aku keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi.
“Mbak Anita mau lihat juga ya? Bareng yuk!”
Suara seseorang terdengar dari belakangku, saat itu baru mengunci pintu depan. Kutengok ternyata bu Sri, ketua PKK perumahan ini.
“Ooohh... ya ya... barengan aja!” seruku segera menghampirinya.
“Emang ada apa sih Bu? Kok kayaknya heboh gitu!” tanyaku datar.
Aku tidak ada prasangka buruk apapun. Kalau lahan itu hanya dilewati anak-anak sekolah di pagi hari bisa jadi ada anak yang dinakalin teman lainnya.
“Kabarnya sih banyak polisi di lahan kosong itu, nggak tahu ada apa, makanya aku mau kesana!” ungkap bu Sri.
“Oooh… ada pencuri kelapa kali yeee!” aku bercanda.
Bu Sri tertawa. Kami lalu bergabung dengan rombongan orang-orang itu yang berisik dan berjalan tergesa menuju lahan kosong.
Benar saja, sudah banyak orang berkerumun, letaknya lumayan jauh dari jalan setapak belakang perumahan itu. Aku dan bu Sri menerobos ke tengah agar bisa melihat lebih dekat. Untuk bisa menuju barisan depan agak kesulitan karena rapatnya orang-orang yang juga ingin melihat.
Kulihat ada beberapa polisi yang sibuk menggali tanah, ada garis polisi warna kuning yang membatasi sehingga kami hanya bisa melihat dari luar garis itu.
“Memang ada apa sih Pak? tanyaku kepada seorang bapak di sebelahku.
“Kurang tahu Bu, biasanya sih kalau polisi sampai campur tangan pasti ada sesuatu!”
“Mungkin ada orang yang dibunuh!” teriak seorang dari arah belakang, suasana pun menjadi riuh.
“Ah, siapa tahu ada timbunan emas yang disimpan penjahat di situ!” tambah orang lainnya lagi diiringi tawa kami semua. Yaah… mana mungkinlah menyimpan emas di lahan orang.
“Kalau menurut Bu Anita? Kira-kira ada apa ya?” tanya bu Sri sambil menggoyangkan bahuku.
“Wah… mana tahu Bu! Kita tunggu saja.” jawabku tidak mau berandai-andai.
Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya teka-teki tentang apa yang terjadi di situ terjawab sudah. Ternyata ada seorang mayat perempuan.
“Iiih kasihan sekali, siapa pula yang tega melakukannya!” seru bu Sri geregetan.
Aku segera keluar dari kerumunan karena aku tidak tahan dengan yang aku lihat. Aku ngeri melihatnya. Mayat perempuan itu sudah sangat kotor dan berbau. Mungkin sudah beberapa hari sebelumnya dia meninggal. Bu Sri menghampiriku.
“Ngeri Bu, aku nggak kuat melihatnya!” kataku sambil geleng-geleng kepala. Perutku terasa mual.
Bu Sri mengangguk angguk, “Aku juga! Ngeri deh… pantesan…”
“Pantesan apa Bu?”potongku
“Sudah tiga hari berturut-turut aku kok dengar suara gonggongan anjing di malam hari? Terdengar berbeda dan menyeramkan…”
“Berarti benar kata orang ya Bu? Kalau anjing bisa mendeteksi keberadaan roh?” timpalku.
“Iya… indera pendengaran dan penciuman anjing kan memang tajam!” tambahnya.
Malamnya saat aku dan mas Anton menonton berita di TV, baru kami mengetahui kejadiannya kalau ada seorang perempuan korban pembunuhan yang dikuburkan di situ. Lahan luas yang kosong dan rimbun oleh tanaman membuat penjahat itu leluasa menguburkannya tanpa diketahui orang. Tapi namanya juga kejahatan akhirnya ya terbongkar juga.
Menurut penuturan penyiar TV: Pihak keluarga melaporkan putrinya yang tidak pulang kepada polisi. Tidak perlu waktu lama untuk membongkarnya karena lewat rutinitas yang dilakukan perempuan itu polisi mengembangkan penyelidikannya. Berdasar penelusuran tahap demi tahap, terungkap bahwa perempuan itu korban kejahatan sopir angkot tembak. Kabarnya setelah dirampok dan dinodai, wanita malang itu disimpan sejenak di mobil angkot sampai malam menjelang dan mereka menguburkannya di lahan kosong itu.
Ah… kasihan sekali perempuan itu. Tragis benar nasibnya.