Thursday, December 19, 2019

Hantu Rumah Kosong (Medan)


Rumah itu dulunya milik seorang saudagar kaya di Medan, itu cerita nenekku. Sang suami adalah seorang pedagang yang sukses, istrinya sangat cantik dan ketiga anaknya juga pintar. Di masa kejayaanya dialah yang paling bersinar di kampung ini, artinya dialah yang paling kaya dan juga dermawan. Setiap kali ada acara perhelatan di desa dialah yang paling banyak menyumbang. Tentu saja penduduk desa sangat menyukai dan menyanjungnya, sudah kaya eh dermawan pula. Saudagar itu sungguh jadi panutan, banyak orang yang mengiginkan kehidupan seperti itu. 

Namun siapa sangka, sesuatu yang tampak menawan di kulit luar ternyata berbeda dari kenyataan. Semua itu tidak akan terkuak kecuali setelah adanya kejadian mengenaskan di suatu malam. Keluarga itu secara keseluruhan dibantai secara sadis, mereka semua meninggal. Awalnya warga mengira ada perampokan di rumah itu, anehnya tidak ada barang yang dicuri... semua utuh. Pihak kepolisian tentu jeli terhadap kasus itu, ternyata semua yang terlihat hanyalah kamuflase saja. 

Dia bukanlah seorang pedagang sukses tapi seorang kepala perampok yang menjalankan aksinya dengan sadis, mereka tidak mengenal ampun bagi korban korbannya. Mungkin itu adalah karma, atau bisa jadi ada orang yang balas dendam mengingat tidak ada motif ekonomi disitu... tidak ada barang yang dicuri di rumah itu. Sampai kini kasus itu tidak terpecahkan, siapa yang melakukan pembunuhan satu keluarga itu belum diketahui. 

Akhirnya rumah itu jadi terbengkelai karena tidak ada yang menghuni, bahkan dijual murah pun tidak ada yang mau membeli... lha siapa pula yang mau tinggal di rumah bekas pembantaian?

Dari luar rumah itu memang kelihatan tidak terlalu besar karena bentuk tanahnya yang “ngantong” yaitu kecil di bagian depan tapi besar di bagian belakang, apalagi pagar tembok tinggi juga mengelilingi rumah itu, bagian depan cuma ada pagar besi yang juga lumayan tinggi dan disitu tertempel papan yang sudah usang dengan bertuliskan kata “DIJUAL”. Lalu ada sedikit halaman untuk area parkir motor dan mobil bagi para tamu si saudagar, terus ada teras kecil yang disulap menjadi ruang tamu luar. 

Untuk bagian dalam tentu aku tidak tahu karena pagarnya terlilit rantai yang digembok di bagian depan. Tampak dari luar saja kelihatan sekali kalau rumah itu tidak terawat dan menyeramkan. Rumput tumbuh meninggi, temboknya yang kusam mulai mengelupas disana-sini. Jendela dan pintu tertutup rapat. Siang hari saja suasana seram begitu terasa apalagi kalau malam hari dan rumah itu tidak ada penerangan sama sekali... wah lebih menakutkan. Kalau malam hari menjelang, orang-orang malas melewati jalan di depan rumah itu kecuali kalau terpaksa. Kata orang-orang sih rumah itu berhantu.

Siang itu sepulang sekolah, aku dan empat temanku: Gilang, Edwin, Materius dan Andy berjalan melewati rumah itu. Jalan itu merupakan jalan terdekat menuju kampung kami. Ada sih jalan lain tapi mesti melingkar dan lumayan jauh.

“Eh teman-teman... tahu nggak rumah itu!” ucap Gilang sambil menunjuk ke arah rumah itu dari seberang jalan dimana kami berdiri.

“Ah kayak nggak ada topik obrolan lain aja,” balas Materius acuh. 

Sepertinya dia tidak tertarik, tapi karena teman-teman yang lain menghentikan langkah, ia pun terpaksa ikutan berhenti.

“Kata ibuku, rumah itu dulunya milik seorang saudagar kaya!” kata Andy datar.

 “Tapi sudah meninggal, sekeluarga dibunuh!” tambah Edwin dengan mimik serius.

“Iya benar... aku tahu itu dari pembicaraan ibu-ibu yang pada beli sayuran di pak Kumis yang jualan sayur keliling itu!” sambung Gilang menimpali.

“Iya... iya, makanya rumah ini kosong karena tidak ada lagi yang menempati! Dijual pun nggak laku-laku... lihat tuh papan tulisan “DIJUAL”nya sudah lapuk dan kusam!” aku ikut ikutan nimbrung berbicara.

“Iyaaa siiih... terus mau apa?” tanya Materius dengan sedikit jengkel.

“Kita main ke dalam yuk...!” ucap Gilang mngagetkan kami.

“Memang bisa masuk ke dalam? Kan terkunci dari luar?” tanyaku bingung.

“Pagarnya tinggi... tuh lihat!” timpal Edwin seraya menunjuk ke pagar besi itu.

“Nanti ikutan ditangkap polisi loh!” Materius mencoba menolak.

“Atau malah ketemu hantu hiiiiii...” canda Gilang sambil nyengir.

Beruntun kami semua memprotesnya.

“Itu kan rumah kosong!” teriak Gilang membela diri, “Kita tidak melakukan apa-apa, cuma main saja di dalam. Kenapa sih... takut?”

“Bukan takut, tapi bagaimana masuknya?” tanya salah seorang teman.

“Pakai ini nih!” seru Gilang dengan jari yang diangkat menunjuk jidatnya.

“Yang benar pakai kaki...” selaku cepat. Kami semua lalu tertawa.

“Mmh... asyik juga tuh... buat uji nyali kali yaaa!” Edwin yang sebelumnya kurang tertarik ikutan berkelakar.

“Iyalah... main bola terus bosan nih...” Andy kemudian menimpali.

Gilang tersenyum sambil mengangguk-angguk, dia memang paling jahil diantara kami semua tapi juga paling cerdas. Dia selalu punya ide-ide di kepalanya. Di kelas pun ia pintar tapi juga bandel. Sepertinya dia punya energi yang berlebih dibanding kami semua. Di sekolah, Gilang paling cepat menangkap pelajaran, dia juga punya nilai-nilai test paling bagus dibanding kami. Enaknya ya punya tingkat kecerdasan seperti dia?

“Nah teman-teman... berani nggak menguji nyali kalian?” tantang Gilang kemudian.

“Paling Materius yang mundur!” ejek Andy sambil melirik ke arah Materius.

Teman-teman yang lain langsung tertawa terbahak-bahak mendengarnya, sedang Materius terlihat cemberut dibilang seperti itu, dia memang paling tidak suka hal-hal yang di luar kebiasaan.

“Siapa takut? Aku mau kok ikutan uji nyali!” teriak Materius sambil berkacak pinggang, ia sepertinya tertantang untuk meladeni ejekan teman-temannya.

“Wow... beneran nih?’ seru Andy tidak percaya.

Materius manyun lalu ucapnya, “Coba aja!”

“Sudah-sudah nggak usah berantem...!” potong Gilang menyudahi olok-olokan Andy.

“Sekarang dipikirkan saja cara masuknya!” kataku.

“Oke lah kalau begitu, bagaimana kalau seperti ini...” lalu keluarlah rencana Gilang.

Dia seperti lancar-lancar saja merancangnya, padahal ide itu juga baru saja tercetus. 

Dia bilang Kamis sore minggu ini kami berkumpul di rumah Edwin karena kedua orang tua Edwin sama-sama bekerja dan selalu pulang malam, maklumlah tempat kerja mereka agak jauh. Edwin pernah cerita kalau orang tuanya selalu pulang di atas jam delapan malam, terkecuali hari Sabtu dan Minggu karena libur. Gilang juga berkata kami tidak perlu membawa tangga karena akan menaruh kecurigaan, kami bisa menaiki pagar besi itu sebagai tangga, kami bisa naik selangkah demi selangkah. Lalu kita akan bermain petak umpet sampai adzan Maghrib berkumandang. Siapa yang kalah mesti mentraktir kita semua makan bakso di kantin sekolah. Kami setuju dengan usulan Gilang, yang penting tidak pulang malam karena biasanya orang tua akan mencari kalau anaknya tidak pulang di saat Maghrib, jadi kami harus sudah ada di rumah.

Kamis sore selepas Ashar kami berkumpul di rumah Edwin. Setelah mengunci pintu, Edwin dan kami semua berlari kecil menuju rumah itu yang terletak di ujung kampung dan menyempil agak jauh dari pemukiman penduduk. Samping kiri dan belakang rumah itu ada sawah yang membentang, sedang sisi kananya bersebelahan dengan lahan kosong. Di depannya memang langsung ada jalan desa yang cukup lebar tapi depan jalan itu juga lahan kosong. Jadilah rumah itu seperti menyendiri menyempal dari keramaian. Ada sih orang-orang yang lewat jalan ini tapi tidak banyak, karena masih ada jalan lain yang bisa dipakai.

Kami menunggu keadaan sepi sambil bermain-main di lahan kosong depan rumah itu. Setelah kami lihat situasi aman dalam artian tidak ada orang yang berlalu lalang, kami berebut menaiki pagar besi. Akhirnya kami semua sudah berada di dalamnya. Bersama-sama kami berjalan mengelilingi rumah itu untuk mengobservasi keadaan. Seluruh pintu dan jendela rumah itu terkunci rapat. Tidak ada bola lampu yang tersisa, mungkin sudah diambil atau memang sengaja dilepaskan. Tembok rumah itu juga kelihatan kusam tidak terawat bahkan ada beberapa bagian yang terkelupas. Genting-gentingnya juga kebanyakan rusak, ada beberapa yang dibiarkan berlubang. 

Adapun halaman sisi kiri dan kanan tidak terlalu lebar, hanya ditumbuhi rumput yang tumbuh liar. Untuk halaman belakang memang cukup luas. Ada sekumpulan pohon pisang di ujung sebelah kiri. Juga pohon-pohon perdu yang tidak rapi. Rumput-rumput yang meninggi berselang-seling dengan tanaman liar yang lain.

“Yaahhh... kita tidak bisa bermain umpet nih!” seru Gilang kecewa, “Rumahnya tertutup rapat, kita tidak bisa masuk.”

Kami memandang sekliling, memang tidak bisa untuk bermain petak umpet, karena hanya pohon pisang yang paling tinggi, lainnya cuma tanaman tanaman perdu.

“Terus bagaimana?” tanya Andy terdengar kecewa.

“Pulang sajalah!” ucap Materius cepat.

“Huuuu... rugi dong sudah sampai sini terus mau pulang saja!” protes Edwin.

“Iya nih... kita main yang lain saja... tapi apa yaa?” timpalku dengan setengah bertanya.

“Main bola sajalah...” Gilang berkata dengan nada yakin.

“Manaaaa bolanyaaaa?” protes Materius.

“Pakai ini nih!” jawabku cepat, jari kuangkat menunjuk ke dahi, aku meniru tingkah Gilang beberapa hari yang lalu saat kami menyusun rencana.

Kami semua tertawa mendengarnya.

“Tuh lihat ada kain-kain bekas...” jari Gilang menunjuk ke arah sudut tembok sebelah kanan. Ya kami melihat tumpukan sampah disitu, kami tidak menyadari ada sampah kain-kain juga rupanya. Bergegas kami berlari ke arah tumpukan sampah itu dan memunguti kain-kain itu, lalu kami bentuk gumpalan menyerupai bola dan mengikatnya agar tidak mudah lepas.

Sejenak kemudian kami larut dalam permainan bola, meski cuma ada lima orang dan hanya berlari-lari kesana kemari berebut menendang bola kain, kami cukup terhibur. Tak terasa petang mulai menjelang, samar kami mendengar adzan Maghrib.

“Sudah adzan tuh... ayo pulang!” teriak Materius meminta kami menyudahi permainan. Beberapa teman ikutan berhenti, tapi sebagian lagi masih asyik menendang-nendang bola. Aku sendiri termasuk yang masih asyik bermain.

“Ayolah... katanya kalau sudah Maghrib kita pulang!” Materius merajuk.

“Iya nih... nanti kalau pulang terlambat bisa dimarahi orang tua!” kata Andy menyetujui keinginan Materius untuk segera pulang.

“Sudah mulai gelap nih, nanti nggak bisa melihat lho!” tambahnya mengingatkan kami.

Kami berhenti bermain dan melihat sekeliling yang memang mulai gelap, langit juga mendung berawan hitam. Apalagi tidak ada lampu penerangan sama sekali. Kami menyadari sebentar lagi pasti gelap akan menyergap, apalagi bila dilanjutkan turun hujan, bisa repotlah karena pagar besi itu bisa menjadi licin, kami akan kesulitan memanjatnya.

“Oke lah, kita berhenti!” akhirnya Gilang mengikuti saran teman-teman kami. Aku lalu menendang bola kain itu ke arah tumpukan sampah. Bola itu merengsek di dalamnya.

“Ada kran air nggak ya?” tanyaku begitu kusadari kakiku sangat kotor berselimut debu.

“Iya nih... risih nih kakiku!” kata Gilang sambil matanya berkeliling memandang sekeliling.

“Lha... mana ada. Kalaupun ada kran juga tidak akan ada airnya. “Seru Materius seperti tidak sabar ingin pulang.

“Kita cuci kaki di sungai saja!” Andy menengahi, lanjutnya “Di luar kan ada sungai kecil di pinggiran jalan sawah!”

“Kalau tidak di sungai, toh kita bisa mampir ke rumah Edwin buat membersihkan kaki, kalau ditanya orang tua kan bisa bilang kebablasan main di rumahnya, toh orang tua Edwin tidak ada sampai nanti malam... beres kan!” aku mencoba memberi usulan.

“Baiklah, kita keluar sekarang saja!” Gilang menyudahi perdebatan kami. 

Kemudian kami berjalan beriringan menuju halaman depan, namun mendadak kami dikejutkan dengan adanya suara aneh dari bagian dalam rumah.

“Dengar teman-teman... ada suara di dalam!” kata Gilang lirih.

Kami semua terdiam dan menajamkan telinga. Ya kami memang mendengar sesuatu.

“Suara apa itu?” tanyaku pelan.

“Ayo kita segera pulang saja!” rengek Materius setengah menangis. Dia mencengkeram tangan Edwin dengan kencang.

“Ssst... semua diam dan dengarkan baik-baik suara apa itu!” seru Gilang pelan tapi tegas. Seperti dikomando kami pun mengikuti perintahnya.

Srek... srek... srek... kami mendengar langkah-langkah kaki, kayaknya ada beberapa orang bukan hanya satu.

“Kok kayak langkah orang?” bisik Materius sedikit gemetar, “Bukankah rumah itu sudah lama kosong?”
“Ssst... jangan berisik!” seru Gilang lagi.

Lagi-lagi kami terdiam dan menajamkan telinga.

Di saat kami konsentrasi mendengarkan suara langkah itu, tiba-tiba kami dikejutkan suara gedoran jendela dari arah dalam. Tampaknya ada orang yang mencoba membuka daun jendela itu. Kami semua jadi terlonjak kaget dan ketakutan, tapi kami juga penasaran ada apakah gerangan. Dan seketika kami melongo begitu melihat jendela itu terbuka, tapi kami tidak melihat siapapun dari dalam rumah itu. Kami hanya merasakan tiupan angin dingin yang menerjang badan kami. Lalu... 

“Haaaaaaaaaaaaa...!”

Jeritan yang begitu mengenaskan terdengar memekakkan telinga... melengking tinggi dan menakutkan sekali.
Berebut kami berlarian menuju pagar besi –satu-satunya akses kami untuk keluar dari area rumah kosong itu. Berebut pula kami memanjat pagar besi itu. Entah mengapa kakiku seperti berat untuk dibawa lari jadilah aku yang paling belakang dan terpaksa paling akhir memanjat, tapi baru saja kakiku menempel di pagar besi paling bawah aku merasa kaki tertahan tidak bisa digerakkan, sepertinya ada tangan-tangan yang menahan kedua kakiku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menggerakkan tapi tetap tidak bisa.

“Ayo cepat panjat!” teriak Andy dari balik pagar besi.

“Sudah hampir gelap nih... cepetan panjat!” seru Edwin.

“Kamu mau tinggal disini apa?” timpal teman yang lain.

Aku semakin kalut, tangan-tangan yang tidak terlihat itu seakan semakin kencang mencengkeram kedua kakiku. Jantungku semakin kencang berdetak, keringat membasahi diriku. Aku ingin berteriak memberitahu teman-temanku tentang apa yang aku alami sekarang ini tapi mulutku juga seperti terkunci.

“Ah kita tinggal saja...!” Materius tampak marah.

“Ayo panjat!” pinta Edwin keras.

“Sebentar teman-teman!” teriak Gilang mencoba menengahi, dia menatapku dengan penuh keheranan. Lalu dia berkata, “Mari teman-teman kita berdoa bersama-sama!”

Mendengar ajakan Gilang, teman-teman lainnya saling memandang heran, tapi sejurus kemudian mereka menyadari ada yang tidak beres dengan situasi ini, lalu kulihat mereka semua berdoa, akupun juga berdoa dalam hati. Syukurlah akhirnya aku bisa menggerakkan kakiku, secepatnya aku memanjat pagar itu dan setelah berhasil kami semua menghambur berlarian untuk segera menjauhi rumah itu. Memasuki jalan kampung kami berhenti berlari dan berjalan pelan sambil mengatur nafas. Sambil berjalan mereka memintaku menceritakan kejadian yang aku alami. Mendengar ceritaku mereka semua terdiam. Kami lalu sepakat untuk tidak lagi main di rumah kosong berhantu itu.

Arwah Penasaran di Sebuah Hotel (Medan)


Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang ada di kota Medan. Sebagai sekretaris dari seorang Manager Pemasaran kadang aku mesti ikut serta keluar kota, kebetulan boss-ku seorang perempuan jadi aku lebih leluasa dan nyaman untuk mengikuti beliau melakukan tugas kantor ke luar kota. Kalau jarak tidak terlalu jauh dan bisa dijangkau dengan kendaraan mobil, biasanya cukup dengan menggunakan mobil kantor dan sopir yang sudah disediakan oleh perusahaan. 

Namun kadang kala kita mesti pergi ke kota di lain provinsi sehingga mesti menggunakan pesawat untuk menjangkaunya. Nah kalau itu sih aku lebih senang lagi karena bisa menambah pengalaman mengunjungi lain kota... anggap saja wisata gratis karena akomodasi ditanggung perusahaan... hahahah. Biasanya kami akan menginap di hotel bila pekerjaan tidak selesai dalam satu hari, tapi aku tidak bisa menikmatinya karena di hotel juga hanya buat numpang tidur saja karena seharian sudah lelah bekerja dan esoknya mesti keluar lagi buat bekerja. 

“Besok kamu akan keluar kota ya?” tanya Riris, teman satu kostku.

“Yoi...!” jawabku pendek. Aku sedang sibuk mengemasi barang keperluan pribadi yang akan aku bawa besok.

“Asyik ya... bisa bekerja sekalian piknik!” sungut Riris seperti cemburu.

Aku tersenyum kecil. Sebenarnya aku dan Riris sama-sama bekerja sebagai seorang sekretaris tapi di perusahaan yang berbeda. Hanya saja Riris kerja kantoran, beda dengan aku yang kadang mesti keluar kota mengikuti boss.

“Kamu menginap di hotel?” lanjutnya.

“Yaah... meski nginap di hotel berbintang toh cuma buat numpang tidur aja!” balasku santai sambil tanganku terus mengemasi barang.

“Tapi kan asyik tuh bisa buat bahan cerita ke teman-teman kalau sudah pernah menginap di hotel ini... hotel itu...!” ucap Riris, “Eh tapi pernah mengalami peristiwa aneh belum?” lanjutnya.

Aku kaget dengan perkataanya yang terakhir, sampai aku menghentikan kegiatanku dan mengalihkan pandangan kepadanya.

“Maksud kamu apa?” tanyaku sambil memasang muka bingung.

“Masa nggak paham sih maksudku... kan kamu tahu kalau banyak cerita seputaran hotel... nggak hanya yang enak dan asyik-asyik saja, tapi juga...!” dia menghentikan ucapanya.

Aku jadi penasaran, “Tapi apa?”

“Nih baca!” Riris mengambil koran yang ada di meja lalu menunjukkan sebuah artikel yang ada di salah satu halamannya kepadaku.

Kubaca judul yang tertera disitu, “Seorang wanita ditemukan bunuh diri di salah satu kamar hotel.”

“Iiih... serem amat, bunuh diri...!” teriakku.

“Nah itu tuh yang kumaksud!” potong Riris cepat. “Kita kan nggak pernah tahu apakah kamar yang kita tempati itu pernah digunakan sebagai tempat kejadian perkara orang bunuh diri atau enggak?”

“Aduh kamu tuh nakut-nakutin aja!” balasku kurang suka.

“Bukan nakut-nakutin, tapi...!”

Kali ini aku yang memotong ucapannya, “Tapi apa?”

“Waspada ajalah kalau ada sesuatu yang mencurigakan!” Riris seakan mengingatkanku, atau mungkin dia hanya iri saja ya?

“Tenang ajalah Ris, kalau menginap aku selalu bersama bu Amanda. Beliau itu sebenarnya juga penakut kayak aku. Jadi dia nggak mau menginap sendirian. Menurut rumor di kantor, bu Amanda pernah “diganggguin hantu” saat menginap di sebuah hotel, sejak saat itu dia selalu membawa sekertarisnya buat menemani. Jadi antara aku dan bu Amanda tuh saling menjaga!” terangku panjang lebar.

“Ya syukurlah kalau begitu, kamu tidak tidur sendirian di kamar hotel, lebih aman dari gangguan hantu!” balas Riris sambil manggut-manggut.

“Lagian aku juga belum pernah mengalami hal-hal aneh seperti itu!” lanjutku.

“Semoga kamu dapat pengalaman baru hal seperti itu deh... biar bisa buat bahan cerita!” canda Riris sambil tertawa.

“Ih nggak lucu ah... amit-amit aku nggak mau menemui hal-hal seperti itu!” balasku sambil cemberut.

Riris tertawa lagi, lalu berucap, “Bercanda aja kok, jangan dimasukin hati!”

“Kamu sih...!” gerutuku.
“Sudahlah... oleh-olehnya aja ya!” balas Riris.

“Yah... buntutnya tuh!” kataku seraya mengangkat bahu.

Kami berdua lalu tertawa bersama.  

Seperti yang pernah aku ceritakan ke Riris kalau hari itu aku mesti mengikuti bu Amanda –pimpinanku, kami akan pergi keluar kota untuk beberapa hari dengan menggunakan mobil perusahaan. 

Pagi itu kami bertiga sudah siap dengan barang bawaan masing-masing. Kulihat pak Mathias –sopir perusahaan– sedang memanasi mobil, sedangkan Ibu Amanda –Manajer Pemasaran, masih sibuk dengan telpon genggamnya. Aku sendiri juga sedang memeriksa file-file yang mesti dibawa jangan sampai ada yang tertinggal, kucocokkan lagi daftar file yang diminta beliau kemarin dengan yang kubawa. Yup, semua sudah ada. Setelah beberapa saat, pak Mathias mengambil barang bawaan kami untuk dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Sedang tas tangan kami bawa sendiri sendiri.

“Bu Amanda, semua sudah siap!” aku melapor ke beliau bahwa semua sudah beres, tinggal menunggunya untuk segera berangkat.

Bu Amanda mengangkat jarinya sebagai tanda bahwa ia perlu beberapa saat untuk menyelesaikan pembicaraanya di telpon genggamnya. Setelah selesai menelpon dan menutupnya, beliau bergegas ke arah kami. Masuk ke dalam mobil, beliau duduk di kursi baris kedua, sedang aku duduk di depan dengan pak Mathias. Tiga hari ke depan ini kami memang ada tugas keluar kota mengurusi pemasaran. Biasanya kami menginap di hotel untuk dua kamar. Satu kamar untuk pak Mathias dan satu lainnya untuk bu Amanda dan aku –staffnya.

“Sari, semua file permintaanku kemarin sudah dibawa kan? Jangan ada yang sampai ketinggalan lho!” tanya bu Amanda membuka pembicaraan.

“Iya Bu, daftar catatan ibu kemarin sudah saya cocokan dengan file-file yang dibawa. Semua sudah siap,” jawabku dengan suara mantap.

“Pak Mathias sudah check kondisi mobil kan?” tanya beliau kepada pak Mathias.

“Sudah Bu, kemarin sudah dicheck. Bensin juga sudah penuh,” jawab pak Mathias

“Oke lah, rencana kita tiga hari, tapi kalau bisa cepat selesai ya cepat pulang. Semoga saja semua lancar,” kata bu Amanda menutup pembicaraan.

“Amin, iya Bu,” jawabku pendek.

Sepanjang perjalanan kami mendengarkan lagu-lagu yang diputar di player mobil, kebanyakan CD-nya dari bu Amanda yang berisi lagu-lagu lawas baik lagu dalam maupun luar negeri. Lagu-lagu itu membuatku sedikit mengantuk, maklum nadanya mendayu-dayu. Kulihat dari kaca spion depan, bu Amanda juga terkantuk-kantuk. Hanya pak Mathias yang mesti terus terjaga menyetir mobil, tapi bu Amanda sudah berpesan kepadanya agar menepi dan istirahat dulu bila lelah ataupun mengantuk.

Sejak siang sampai sore kami sudah bertemu tiga klien di tempat yang berbeda. Rata-rata urusan pekerjaan berjalan lancar, maklumlah hubungan yang terjalin juga sudah lama jadi unsur kepercayaan sudah terbentuk, jadinya ya mulus saja. Aku berharap demikian agar cepat pulang juga... hehehe. Tapi biasanya kalau menembus klien yang baru, memang agak lama. Selain presentasi produk dan tanya jawab yang memakan waktu cukup lama, belum tentu juga produk perusahaan kami bisa masuk ke mereka, tapi ya itulah risiko pekerjaan. 

Menjelang petang, kami sampai di hotel. Kami belum pernah menginap di hotel itu sebelumnya, itu adalah referensi teman bu Amanda. Aku sudah reservasi sebelumnya jadi lebih cepat untuk check-in.

“Nomor 310 dan 311, ini kuncinya,” kata resepsionis seraya menyerahkan kunci-kunci itu kepadaku.

Diantar room boy yang membawakan tas-tas bawaan, kami segera menuju kamar. Kamar kami terletak berdampingan di lantai tiga. Nomor 310 ditempati oleh pak Mathias dan kamar 311 untuk bu Amanda dan aku.

“Oh ya Pak Mathias, nanti jam tujuh kita keluar untuk makan malam, kita bertemu di lobi saja,” Seru bu Amanda sesaat sebelum masuk kamar.

“Baik Bu,” jawab pak Mathias seraya menganggukkan kepala.

Aku mengikuti bu Amanda masuk kamar.

“Aku mandi dulu ya Sari,” lanjutnya, “Kamu santai saja dulu menonton televisi atau apalah yang kamu mau,” ucap beliau.

Aku mengangguk, setelah kudengar pintu kamar mandi terkunci aku lantas rebahan di tempat tidur dan memandang sekeliling kamar. Hotel yang kami tempati memang termasuk kelas menengah tapi cukup bersih dan nyaman. Maklumlah kami bekerja di perusahaan yang belum begitu besar jadi dana untuk keluar kota juga terbatas agar efisien.

Ada dua tempat tidur ukuran single yang dibatasi sebuah meja nakas kecil di tengah. Di atas meja ada pesawat telpon, remote tv dan buku hotel. Di depan sebelah atas tempat tidur kami ada sebuah televisi. Sedang di samping tempat tidurku berdiri almari besar dan di sebelahnya kamar mandi. Iseng-iseng kuambil buku hotel dan kubaca-baca, seperti biasanya isinya cuma tata tertib menginap, nomor-nomor telepon dan buku menu yang siap dipesan dari kamar. 

Kututup buku itu dan kuletakkan kembali. Mau mengambil remote tv rasanya malas, toh sebentar lagi giliranku mandi, kan nanti jam tujuh mau keluar makan. Sambil menunggu bu Amanda selesai mandi aku hanya rebahan saja di atas tempat tidur, lelah juga setelah seharian mengikuti bu Amanda ketemu klien.

Jam tujuh kurang sedikit bu Amanda dan aku sudah ada di lobi, kulihat pak Mathias sedang duduk di sebuah sofa dan membaca koran.

“Malam Pak Mathias!” sapa bu Amanda sambil duduk di kursi di samping sofa, aku juga turut duduk di kursi sebelahnya.

“Malam, Bu!” balasnya seraya melipat koran ke bentuk semula dan memasangkannya kembali ke rak tempat koran. 

“Sudah pada lapar kan? Ayo berangkat!” ajak bu Amanda.

Lalu kami bertiga berjalan menuju area parkir di depan hotel, sudah ada beberapa mobil yang terparkir disitu, kata bu Amanda kalau musim liburan kamar-kamar hotel ini penuh dibooking wisatawan. Memang ada masa-masa penuh dan ramai ada pula masa pas sepi pengunjung, nah hari ini lumayan sepi jadi suasana hotel juga sedikit lengang. Enakan juga begini, tidak banyak orang jadi lebih nyaman. Tapi kalau bagi hotelnya ya pasti ingin ramai terus, siapa sih yang tidak mau untung?

Setelah keluar dari hotel, kami bertiga berputar ke arah kota dan melihat sekeliling jalan untuk mencari rumah makan yang cocok. Biasanya kami mencari makanan khas daerah setempat untuk mencicipi dan melatih lidah kami untuk mencoba merasakan makanan daerah lain.

“Bu, setelah makan ini Sari bermaksud ke toko oleh-oleh sebentar karena ada titipan dari keluarga!” ucapku minta ijin pada bu Amanda seusai kami selesai makan.

“Nanti Sari bisa pulang naik taksi,” lanjutku lagi.

 Aku menyadari pak Mathias pasti sudah sangat kelelahan karena seharian mengantar kami kemana-mana, kulihat juga mata pak Mathias sudah kelihatan letih... sudah mengantuk.

“Ya tentu saja bisa, kan ini jam bebas. Tapi pulangnya jangan terlalu malam... dan kamu mesti berhati-hati. Kalau ada apa-apa telpon!” jawab bu Amanda.

“Maaf Dik Sari, apa perlu nanti dijemput kalau sudah selesai, kan...” belum selesai pak Mathias menyelesaikan ucapannya aku segera memotongnya.

“Oh tidak perlu Pak, nanti Sari bisa naik taksi, lagipula ini kan urusan pribadi Pak. Cuma mencarikan titipan oleh-oleh saja!” 

Akhirnya bu Amanda dan pak Mathias kembali ke hotel duluan. Sedang aku berjalan menuju deretan toko oleh-oleh yang letaknya tidak jauh dari restoran tempat kami makan. 

Ya beginilah repotnya kalau ada yang menitip barang atau oleh-oleh. Aku hanya ada waktu bebas di malam hari. Kalau mau meminta tolong ke pak Mathias juga tidak enak. Bu Amanda sendiri orangnya sangat efisien, pekerjaan di luar kota selalu padat dan setiap kali selesai... ya terus pulang saja, kapan dong aku bisa punya waktu luang kalau tidak malam hari?

Aku memasuki sebuah toko oleh-oleh itu, tempatnya yang nyaman dan cukup luas membuatku leluasa melihat-lihat barang-barang yang dipajang. Segera kucari jenis makanan yang bisa dimakan seluruh anak kost. Riris biasanya akan cerita ke teman-teman lainnya kalau aku ada acara keluar kota. Bisa dipastikan setelah aku pulang nanti aku mesti ditodong oleh mereka buat meminta oleh-oleh.

“Mbak, ada diskon nggak bila membeli lima plastik?” tanyaku pada seorang pramuniaga toko itu. 

Aku menunjuk ke deretan makanan yang berjejer di atas rak. Tampaknya makanan itu enak dan dibungkus dengan apik.

“Maaf Mbak, tidak ada diskon. Jenis makanan yang lain juga masih banyak!” jawabnya halus, sedang tangannya menunjuk ke beberapa makanan lain yang terpajang.

Tapi aku sudah terlanjur tertarik dengan makanan itu, lagipula itu hanyalah oleh-oleh. Sebelum membayar di kasir aku sempatkan berkeliling toko untuk sekedar melihat-lihat barang-barang yang lain. Semua tampak bagus dan menarik, kalau ada dana lebih sih siapa yang tidak mau membeli dan dibagikan ke teman-teman untuk oleh-oleh?

Setelah membayar aku keluar toko bermaksud mencari taksi, tapi mataku tertuju ke sebuah mall di depan, ada umbul-umbul bertuliskan midnight sale. Gilaa... siapa yang tidak kepingin coba? Siapa tahu ada barang bagus yang didiskon besar... lumayan kan? Kalaupun tidak ada dana atau dana tidak mencukupi bisalah buat sekedar cuci mata saja, apalagi jam tanganku baru menunjuk angka sepuluh lebih beberapa menit. Pikirku tak apalah melihat-lihat sebentar. 

Tak terasa, aku sudah menghabiskan waktu lama di mall itu, jam sudah menunjuk angka sebelas malam lebih. Aku segera keluar mall untuk mencari taksi, untunglah aku segera mendapatkannya. Kusebutkan nama dan alamat hotel tempat kami menginap kepada sopirnya, dia langsung mengerti. 

Sesampai di hotel aku segera menuju tangga ke lantai tiga. Suasana hotel sungguh sepi, mungkin sudah pada tidur karena kebanyakan para penghuninya menginap untuk keperluan bisnis. Namun sesampai di lantai dua langkahku terhenti begitu melihat sesosok perempuan yang berjalan beberapa tangga di atasku naik menuju lantai tiga. Dari belakang aku bisa mengenali bahwa itu sosok bu Amanda, bahkan pakaiannya juga sama seperti waktu tadi kami berangkat makan malam.

“Bu Amanda belum tidur?” sapaku.

Tapi beliau seperti tidak mendengar, dia terus saja naik ke anak tangga selanjutnya. Wah aku terpaksa mengikutinya, bagaimana aku bisa masuk kamar kalau tidak ada bu Amanda? Aku berusaha menyusul langkahnya agar bisa lebih dekat dan bisa berbincang kepadanya, tapi entah mengapa langkah beliau yang tampak pelan itu tidak bisa aku susul. 

Begitu sampai di lantai empat, kulihat dia berjalan menuju lorong ke arah kamar-kamar yang berjajar saling berhadapan. Kamar-kamar itu sebagian besar sudah tertutup, hanya ada beberapa orang saja yang berlalu lalang di sepanjang koridor itu. Sebenarnya aku ingin memanggilnya dengan sedikit lebih keras tapi aku urungkan, tidak pantaslah di dalam hotel teriak-teriak apalagi bu Amanda itu atasanku. Bisa diberi angka merah dong. 

Tapi masa beliau tidak mendengar sapaanku sih? Kan suasana lorong juga sepi? Apa mungkin lagi banyak pikiran ya? Terus juga ngapain dia ke lantai empat, bukankah kamar kami menginap ada di lantai tiga? Mmmh... bisa saja dia ada teman yang juga menginap di hotel ini... atau... ah sudahlah, aku nggak mau membayangkan yang tidak-tidak.

Sesampai di sebuah pintu kamar, kulihat bu Amanda membukanya dan masuk ke dalamnya. Pintu itu dibiarkan sedikit terbuka. Aku agak ragu untuk ikut masuk, siapa tahu beliau ada keperluan pribadi di kamar itu. Kuketuk pelan pintu itu, berharap bu Amanda atau penghuninya mau menemuiku. Aku hanya akan meminta kunci kamar saja agar aku bisa istirahat. Beberapa saat menunggu tidak ada balasan, aku tetap tidak berani untuk masuk, aku hanya mendorong sedikit daun pintunya agar lebih lebar siapa tahu bu Amanda melihatku lalu menghampiriku? Tapi mataku terkesima melihat pemandangan di dalam ruangan itu. Meski dari pintu aku cuma bisa melihat sebagian saja, tampak bahwa kamar itu sungguh berantakan, beberapa pakain dan kertas-kertas berserakan di lantai... dan mataku terbelalak melihat ada bercak-bercak darah di sekitarnya. Aku bingung mau berbuat apa.

Aku semakin resah, kupikir lebih baik aku kembali ke lantai tiga dan menemui pak Mathias untuk meminta bantuan, aku takut terjadi apa-apa dengan bu Amanda. Namun belum sempat kakiku berbalik tiba-tiba aku melihat seorang perempuan yang begitu saja muncul di hadapanku, wajah dan tubuh perempuan itu berlumuran darah, mengerikan sekali, aku bahkan sampai menjerit dan secara refleks mundur beberapa langkah. Namun sosok perempuan itu menghilang begitu saja dan pintu itu seperti ditutup dengan keras dari arah dalam, kini yang kulihat hanyalah sebuah pintu yang tertutup rapat dengan pita kuning yang terbentang.
Seorang pria setengah baya tergopoh-gopoh datang menghampiriku dan bertanya, “Ada apa Dik kok teriak?”

Aku diam sesaat mengatur napas, “Mmmhm... nggak apa-apa Pak,” lanjutku, “Cuma penasaran saja Pak kok pintu ini ada pita kuningnya, ada apa ya?”

“Oh... itu semacam garis batas polisi Dik, barusan di kamar ini terjadi peristiwa bunuh diri. Korbannya seorang perempuan. Kasihan sekali... bahkan...”

“Oh terima kasih Pak informasinya,” potongku pendek. Aku terkejut mendengar penjelasan bapak itu, tiba-tiba kurasakan badanku dingin menggigil.

“Maaf Pak, aku mau kembali ke kamar. Selamat malam Pak,” tutupku, seraya bergegas berjalan menuju tangga ke arah lantai tiga. Aku bergidik mengingat kejadian tadi, aku ingin cepat-cepat sampai kamar.
Namun sampai kamar aku semakin terkesima, karena kulihat bu Amanda yang menangis sesenggukan ditemani oleh pak Mathias.

“Maaf Bu... saya kemalaman sampai hotel!” ucapku lirih. 

Aku tidak enak hati karena terlambat pulang, namun juga bingung dengan keadaan yang ada di hadapanku. Kenapa bu Amanda menangis? Dan kenapa pak Mathias ada di kamar itu? Terlebih reaksi bu Amanda yang tetap saja duduk terdiam dan terus saja menangis. Dia seakan tidak menghiraukanku.

“Dik Sari, mari duduk sebentar!” Pak Mathias berjalan menghampiriku lalu membimbingku duduk di kursi.

“Ada apa Pak?” tanyaku kebingungan campur cemas.

“Teman bu Amanda bunuh diri di kamar lantai atas!” terangnya benar-benar mengagetkanku.

“Maksud Pak Mathias?” jeritku tidak percaya.

“Saya juga kurang tahu permasalahannya apa, kata bu Amanda beliau juga tidak tahu kalau temannya itu menghinap disini.”

“Tapi kata bu Amanda, hotel ini referensi dari temannya...!”

“Saya juga belum jelas tentang benang merah peristiwa ini, mengapa korban memberi referensi bu Amanda buat menginap disini karena ini masih dalam penyelidikan kepolisian. Sekarang tugas kita adalah menenangkan bu Amanda!”

Aku terdiam dan jadi teringat peristiwa yang barusan ku alami. Mengapa arwah perempuan itu muncul dengan balutan sosok bu Amanda? Kenapa dia seakan membimbingku menuju kamarnya? Sejuta pertanyaan hadir di benakku dan itu membuatku takut dan gemetaran. Tentu saja aku tidak bisa langsung menceritakan kejadian yang kualami karena kondisi bu Amanda yang lagi drop. Kepada pak Mathias? Apa mungkin dia mempercayaiku? 

Ah sudahlah... aku tidak mau memikirkan itu. Aku akan menunggu dulu waktu yang tepat. Saat ini aku benar-benar hanya ingin pulang ke kost dan bercerita kepada Riris, tapi aku menyadari itu tidak mungkin.

Kuntilanak di Rel Kereta Api (Medan)



Banyak kejadian menyeramkan di seputaran rel kereta api, ada yang memang sengaja bunuh diri di tempat itu, tapi ada juga yang tidak sengaja tertabrak alias korban kecelakaan. Nah, seperti diungkapkan banyak orang kalau belum saatnya mati namun harus meninggalkan dunia fana maka jiwa mereka akan terjebak dan menyebabkan mereka berlaku seperti orang yang masih hidup padahal sudah mati... ya, mereka adalah arwah-arwah penasaran yang tidak sadar kalau sudah tiada.

Kejadian ini terjadi beberapa tahun yang lalu di sebuah warung di Brayan Bengkel, Medan milik teman kakakku yang bernama Anton, mereka itu teman kuliah. Kak Anton sering main ke rumah sehingga aku mengenalnya. Kak Anton dan kak Andi –nama kakakku– bisa dibilang akrab, karena mereka berdua sering bepergian bersama entah itu mau ke kampus, main futsal atau sekedar main saja.

Pada suatu sore kak Anton datang ke rumah dengan raut muka yang agak murung, dia seperti banyak pikiran. Karena kak Andi lagi mandi maka aku ikut menemaninya di teras, biasanya dia akan mengajakkku main kartu tapi kali ini dia seperti tidak ada semangat untuk itu.

“Kak Anton mau main futsal?” tanyaku mencoba mencairkan suasana yang kaku. Dia menggeleng pelan, tidak ada ucapan sepatah katapun yang keluar.

“Kak Andi lagi mandi, ditunggu dulu yah!” aku jadi nggak enak hati kalau terus duduk di teras buat menemaninya.

Dia mengangguk sambil tersenyum kecil. Akupun segera bergegas masuk ke dalam untuk nonton film kartun.
“Kak... tuh ada kak Anton!” seruku sambil menunjuk ke arah teras setelah kulihat kakakku selesai mandi. 

Ruang tengah tempat aku menonton TV bersebelahan dengan kamar mandi sehingga aku tahu kalau ada yang masuk atau keluar dari kamar mandi, 

“Ya... ya...!” jawabnya pendek sambil berjalan menuju kamarnya untuk ganti baju.

Keluar dari kamar kak Andi segera bergegas ke teras menemui temannya, aku mengekor di belakangnya.

“Lama Ton?” seru kak Andi.

Kak Anton tersenyum simpul lalu menggeleng pelan sambil berucap, “Nanti malam aku nggak jadi main futsal!”

“Lho kenapa?” kakakku bertanya dengan heran, sebab dia tahu temannya itu suka sekali main futsal.

“Aku sekarang kerja!” jawabnya pendek.

“Kerja?” kak Andi terkejut, lanjutnya, “Wah bagus tuh bisa mencari uang sendiri! Kerja dimana? Perusahaan apa?” tanyanya beruntun.

“Ah kamu...!” kulihat kak Anton tersipu, tapi seperti kurang bangga dengan pekerjaannya karena dia tampak enggan, namun akhirnya mau juga dia mengungkapkannya setelah kak Andi sedikit memaksa untuk bercerita.

 “Aku hanya jaga warung kok. Setelah ayahku meninggal sebulan yang lalu kondisi keuangan keluarga kami agak limbung, maklum dulu yang tadinya ada dua sumber penghasilan sekarang cuma satu, bila hanya mengandalkan gaji ibu yang karyawan swasta jelas tidak mencukupi untuk menghidupi dan menyekolahkan ketiga anaknya. Maka kami bertiga berusaha membantu ibu menambah penghasilan dengan membuka warung di malam hari!”

Kak Andi manggut-manggut, dia tahu kondisi keluarga Anton. Ayah dan ibunya karyawan swasta yang memiliki tiga anak lelaki yang semua sedang tumbuh dewasa, anak pertama bernama Anton kuliah di sebuah universitas negeri di semester enam, Bernard sebagai anak tengah juga kuliah dan baru di semester dua, sedang yang terakhir Charlie masih sekolah di sebuah sekolah menengah kejuruan kelas dua. Tentu saja sepeninggal ayahnya akan sangat berat bila hanya ibunya yang bekerja.

“Kami bertiga berinisiatif membuka warung dan menjaganya secara bergiliran!” lanjutnya lagi.

“Wah hebat tuh, aku ikut bangga kok kamu sudah bisa berwirausaha...”

“Ah kamu... ini cuma warung kecil aja!” potong kak Anton tersipu malu.

“Dari yang kecil bisa menjadi besar!” seru kakakku.

“Trus warungmu buka sampai jam berapa?” tanya kak Andi.

“Selepas Maghrib sampai pagi. Malam ini giliranku buat jaga. Jualan mie instant rebus, roti bakar, aneka minuman... ya gitu lah!”

“Sejak kapan kamu jualan kok baru dengar?”

“Baru tiga hari yang lalu. Hari pertama kami sekeluarga jaga warung, trus hari kedua ibu dan Charlie, hari ketiga Bernard, nah hari ini giliranku.”

“Dimana letak warungnya?”

“Utara palang rel kereta api sekitar dua puluh meter lah. Nama warungnya “ABC”.

“Oh...!” kak Andi diam sebentar, dia seperti memikirkan sesuatu, lalu ucapnya, “Bukankah ada yang bunuh diri di daerah itu...?” 

“Yoi,” potong kak Anton tenang seperti tidak merasa ada yang aneh, “Nyatanya nggak ada apa-apa tuh, memang sih ada yang bilang kawasan itu terasa angker, tapi nyatanya warung-warung tetap buka dan pengunjung juga tetap berdatangan!”

“Ya syukurlah kalau peristiwa itu tidak berpengaruh ke kondisi warung-warung sekitar. Oh ya kebetulan nih... aku kalau pulang futsal selalu melewati jalan itu. Nanti aku mampir ya?”

“Arshan ikut dong!” rengekku kepada kak Andi.

“Kamu masih kecil, mama pasti nggak kasih ijin. Lain kali saja kalau kak Andi nggak main futsal, kamu saya ajak ke warungnya Anton, jadi nggak terlalu malam.”

Aku cemberut, tapi aku sadar kalau pasti nggak boleh sama mama.

Nah inilah cerita dari kak Andi saat dia menemani kak Anton jualan. Selepas main futsal sekitar tengah malam kak Andi mampir ke warung “ABC” kepunyaan kak Anton. Setelah memarkir motor di depan warung dia lalu masuk.

“Main futsalnya gimana? Seru?” sapa kak Anton begitu melihat kak Andi masuk.

“Nggak ada kamu nggak serulah... heheheh!” jawabnya sambil bercanda.

Dilihatnya ada tiga orang yang makan di warung itu. 

“Lapar nih Ton... pesan mie instant rebus dan minuman teh hangat dong!” ucap kak Andi sambil duduk di kursi yang kosong.

Kak Anton dengan cekatan membuat makanan dan minuman pesanan kakakku.

Di saat menunggu pesanannya datang, kak Andi ikutan nimbrung ngobrol dengan pembeli yang lain apalagi topiknya juga lagi hangat yaitu tentang peristiwa bunuh diri di rel kereta api yang terjadi sekitar seminggu yang lalu.

“Wah serem sekali... seorang perempuan muda bunuh diri!” seru seorang pengunjung.

“Kok nekat betul ya dia...? Padahal masih muda, hidup ke depannya masih terbentang luas, banyak hal yang belum dia lalui,” komentar pengunjung lainnya.

“Lah namanya juga putus asa... kecewa dan sakit hati!” jawab yang lain.

“Lagi-lagi masalah percintaan... hal sepele sebenarnya. Tapi menurut kabar, perempuan itu terlanjur hamil, mungkin itu yang bikin dia putus asa karena pacarnya nggak mau tanggung jawab. Mungkin dia malu sehingga tanpa pikir panjang lagi menabrakkan diri di kereta api yang lewat!” timpal kak Andi. 

“Katanya sih gitu, laju kereta kan cepat sekali... ya langsung habislah dia!”

“Kasihan sekali dan sangat disayangkan...!” salah seorang pengunjung berkata demikian.

“Yahhh... apalagi dia itu juga baru pulang dari merantau jadi TKW di Malaysia. Eh setelah pulang ternyata malah bunuh diri!” potong kak Andi.

“Kamu nggak takut jualan di malam hari setelah ada kejadian itu?” tanya kak Andi kepada kak Anton setelah menerima pesanan makanan dan minumannya.

“Sebenarnya takut juga sih, tapi banyak orang di area ini. Warung-warung berjejeran dan pengunjung selalu ada, jalan ini selalu ramai...” jawab kak Anton.

“Perempuan yang mati nelangsa itu sudah jadi kuntilanak. Katanya ada orang yang pernah digangguin sama dia!” ungkap seorang pengunjung dengan suara mantap.

“Tapi nggak di sekitaran warung sini! Hantu kan takut sama keramaian... apalagi ada musik dangdut segala!” sergah yang lain.

“Emang kuntilanak mau joget dangdut!” timpal kak Anton senang karena terbantu dengan argumen orang itu.
“Ya iyalah kalau kuntilanak itu nggak berani nongol disini... banyak orang bikin hawanya panas... ngabisin energi hantu!” tambah pengunjung santai. Dia cuek saja sambil terus menganduk mie panas di hadapannya.
“Emang kejadiannya bagaimana? Maksudku yang digangguin itu?” tanya salah satu dari mereka dengan raut muka serius.

“Menurut kabar sih, di tengah malam ada seorang yang melewati rel kereta api dengan naik motor, yang namanya lewat rel tentu saja menurunkan kecepatan agar tidak terjatuh. Nah sekeluar dari rel itu lah dia merasa beban motor semakin berat, tanpa sengaja dia melihat ke belakang dari kaca spion... ternyata ada seorang perempuan berbaju putih yang ikutan numpang di boncengan. Namun seketika itu juga sosok perempuan misterius itu menghilang dengan diiringi tawa cekikikan yang mengerikan...!” seorang pengunjung menceritakan kejadian itu.

Sejenak kami semua terdiam mendengarnya, tapi salah seorang nyeletuk dengan kocak.

“Sayang nggak difoto... bisa terkenal kan?”

“Terkenal gimana? Jantungan iya...!” sahut yang lain.

“Difoto juga paling nggak kelihatan... namanya juga sosok tak kasat mata!” seru salah satunya.

“Nanti malah dibilang pembohong... pembuat berita palsu... bikin onar... kacaulah!” timpal kak Anton.

“Memang hal-hal ghaib seperti itu susah dibuktikan!” ucap kak Andi.

“Emang kalian mau dikuntit kuntilanak?” canda seorang pengunjung warung.

“Amit-amit ogahlah... seumur-umur bakalan keingat terus!” balas yang lainnya.

Dan mereka semua tertawa. Memang warung kak Anton terletak di kawasan yang ramai, meski malam hari tetapi selalu meriah. Warung yang berejejeran, alunan musik dangdut yang memporakporandakan heningnya malam dan lalu lalang orang membuat suasana daerah itu hidup dan berdenyut. Dan seperti pendapat banyak orang yang menyatakan kalau hantu itu tidak kuat kalau berada di keramaian, mungkin energi para hantu akan tersedot oleh panasnya listrik dan hiruk pikuk orang hehehe... 

Tak terasa malam merambat, pengunjung warung kak Anton satu persatu pergi, dan kini hanya tinggal kak Andi. Meski warung cuma ada dua orang yaitu kak Anton dan kak Andi tapi suasana tetap ramai karena di luar bising dengan adanya musik dangdut dan orang yang lalu lalang.

“Ya gini lah Andi, warungku belum ramai seperti warung yang lain!” keluh kak Anton sambil duduk di sebelah kakkakku.

“Namanya juga masih baru, nanti berjalannya waktu juga akan dikenali pengunjung dan mereka akan datang bersama teman-teman yang lainnya!” hibur kak Andi.

“Buat melatih kesabaran kali ya!” seru kak Anton sambil nyengir.

“Oh ya, bisa nitip warung sebentar! Aku mau ke belakang nih!” lanjutnya lagi, “Kamar mandinya tidak jauh kok, letaknya setelah tiga warung dari tempat aku jualan ini, deretan paling ujung.”

“Aku sih nggak apa-apa nunggu, tapi kalau nanti ada yang mau beli sesuatu aku nggak tahu loh. Memangnya mereka mau menunggu?” tukas kak Andi.

“Halah bilang saja yang jualan lagi ke kamar mandi sebentar, mereka mau menunggu kok... nggak lama!”

Lalu setengah berlari kak Anton meninggalkan warung. Kakakku yang duduk sendirian di dalam warung mengeluarkan handphone buat main game. Saat asyik main game itulah tiba-tiba ada orang yang masuk ke dalam, kak Andi menengok sekilas ke arah orang itu. Aneh dia merasakan angin yang berhembus dingin ke arahnya begitu orang itu yang ternyata seorang perempuan masuk dan duduk di salah satu kursi. Jelas kak Andi merasa janggal ada seorang perempuan yang masuk ke warung malam-malam begini. Karena tidak biasa itulah kak Andi lantas memperhatikannya. 

Perempuan itu memakai baju coklat muda, celana panjang warna hitam dan di kepalanya mengenakan topi. Dia menunduk sambil duduk di kursi di depan kak Andi. Karena menunduk itulah kak Andi kurang begitu jelas bagaimana raut mukanya. Anehnya saat dia masuk, bau wangi dupa seakan menyeruak memenuhi ruangan walaupun selanjutnya bau itu menghilang dengan sendirinya.

“Gila... ada perempuan muda masuk warung, aneh saja ada pengunjung perempuan sendirian di malam hari begini, tidak biasa!” kak Andi bergumam di dalam hatinya. Biasanya kaum wanita tidak pergi seorang diri di malam-malam begini, apalagi ini bukan kota besar.

“Maaf Non, yang jualan lagi ke belakang. Tapi nggak lama lagi juga balik kok. Tunggu sebentar ya?” ucap kakakku.

Perempuan di depannya itu hanya mengangguk. Kak Andi bermaksud melanjutkan main game tapi tidak jadi karena orang itu mengajaknya bicara.

“Saya kedinginan...!” ucapnya pendek.

“Kedinginan? Kenapa tadi nggak pakai jaket?” balas kakakku ringan.

“Lupa!” jawabnya datar.

Kak Andi tertawa kecil, “Sendirian saja nih?” tanya kakakku mengalihkan pembicaraan, sekalian juga untuk memastikan pertanyaan yang tadi sempat hinggap di dirinya.

“Iya...” jawabnya pendek.

“Saya kedinginan...!” ucap perempuan itu lagi mengulang perkataanya tadi.

“Makanya kalau malam jangan lupa pakai jaket!” kata kakakku cuek.

“Saya kedinginan!” katanya lagi tetap dengan nada datar. Kali ini dia melipat kedua tangannya di dada.

Kak Andi menatap perempuan itu, tampak sekali kalau dia mengggigil, “Nggak telpon saudara buat menjemput? Atau paling tidak buat ngantar jaket, atau mendingan Non pulang saja, daripada sakit karena kedinginan?” balas kakakku sambil nyengir.

“Tidak bisa Mas, saya tidak bisa jauh dari rel itu!” jawabnya tetap juga datar... tapi cukup membuat kakakku terlonjak kaget karena teringat akan cerita para pengunjung barusan, tapi sebersit pun dia tidak berprasangka buruk karena tidak mungkinlah hantu main ke warung yang terang benderang dan ramai begini. 

“Rel kereta api? Wah Non ini lucu... ngapain juga main-main dekat rel kereta api, mendingan ke mall atau ke salon...” gurau kak Andi.

“Itu memang keputusan yang salah!” kata perempuan itu.

“Dan itu sangat saya sesali,” lanjutnya lagi.

“Saya sangat kedinginan!” dia mengulang lagi kalimat itu.

Kak Andi jadi kasihan juga, dia lalu menatap perempuan itu dengan seksama, ada rasa sesal kenapa tadi berkelakar walaupun tanpa maksud menyudutkan.

 “Non ini... kayaknya benar-benar kedinginan, mungkin lagi sakit! Lebih baik Non pulang saja...” belum selesai kakak bicara tiba-tiba perempuan itu menggerakkan kepalanya ke arah kakak dan membalas tatapan kakak.

Saat itulah kakak terperangah dan kaget setengah mati karena wajah orang itu rusak berat sampai tidak bisa dikenali, darah juga membasahi mukanya. Namun itu tidak lama, tiba-tiba perempuan itu menghilang dari pandangan ketika derap langkah kaki kak Anton terdengar di depan pintu warung.

“Andi... kamu kenapa? Kok pucat begitu kayak habis lihat hantu?” tanya kak Anton bingung, dia menatap kak Andi dengan lekat.

“Ini juga, kok bau dupa sih? Emang tadi ada pengunjung yang bawa dupa? Atau?” tanya kak Anton beruntun sambil hidungnya naik turun mencari arah bau, namun kakakku tidak bisa mencernanya karena dia masih shock dengan kejadian barusan.

“Oke deh, kamu minum dulu!” menyadari ada sesuatu yang tidak beres kak Anton lalu memberikan segelas air putih kepada kak Andi.

Setelah minum air putih, kak Andi merasa lebih mendingan, dia bisa menata diri dan berpikir dengan jernih, sebenarnya dia ingin segera bercerita tapi dia urungkan karena dia tidak mau kak Anton jadi ketakutan dan ngambek jualan. Peristiwa itu baru dia ceritakan beberapa bulan kemudian saat kak Anton sudah mulai terbiasa dengan warungnya dan ketika cerita hantu kuntilanak itu menguap seiring waktu.

Penghuni Rumah Sakit Jiwa (Medan)

Petang itu, sepulang dari gereja Natalia Sitorus sengaja singgah di rumah Marnina untuk mengerjakan tugas sekolah. Mereka mengerjakan tugas sekolah sambil ngobrol dan bercanda. Alhasil, jam 21.00 tugas tersebut baru bisa mereka selesaikan. Setelah ngobrol sebentar sambil membereskan buku-buku, Natalia pamit pulang. 

Sebenarnya jarak rumah Natalia dengan rumah Marnina tidak begitu jauh. Dari rumah Marnina hanya terpaut delapan rumah, kemudian melewati perempatan kampung dan tiga rumah lagi baru rumah Natalia. 

Namun rumah terakhir sebelum perempatan adalah rumah tua kosong berhalaman luas dengan pohon besar di sampingnya. Sedangkan di depannya terdapat pos ronda yang di setiap malamnya selalu ramai oleh pemuda-pemuda kampung yang bermain gitar dan menyanyi. Sebenarnya Natalia merupakan penduduk baru di kampung itu. Sebelumnya ia tinggal di Jakarta, kota yang sangat ramai. 

Saat itu jam 21.20, Natalia mulai keluar dari rumah Marnina. 

“Hati-hati... sampai besok ya...” kata Marnina mengiringi kepergian Natalia. 

“Oke, siip...” jawab Natalia. Ia berjalan sendirian tanpa rasa takut, karena sudah terbayang kalau di pos ronda perempatan akan banyak pemuda yang lagi main gitar, jadi tidak akan sunyi mencekam. 

Sesampainya di rumah tua itu, tiba-tiba langkah kaki Natalia terasa berat.

“Aneh, tumben sekali tidak ada orang di pos ronda. Biasanya ramai pada bermain gitar,” pikirnya. 

Perasaan takut mulai muncul, dan langkah kakinya seperti bertambah berat. Seakan ada yang menahan dirinya, dan sepertinya sulit sekali melangkahkan kaki. Ingin sekali Natalia mempercepat langkah kakinya, tetapi ia malah diam terpaku disitu. Entah kenapa Natalia tidak bisa lagi menggerakkan kakinya. 

Perasaan takut semakin menderanya... setelah itu ia mendengar suara rintihan dari dalam rumah tua itu. Suara rintihan yang sangat menyayat hati dan semakin lama semakin keras. Natalia semakin ketakutan dan ingin segera berlari. Namun, semakin besar keinginannya untuk berlari semakin sulit ia melangkahkan kakinya. Natalia hanya diam terpaku dan menangis ketakutan sampai akhirnya tiba-tiba muncul seorang nenek menyapa dirinya.

“Kenapa menangis Nak, kamu takut ya? Mari nenek antar pulang,” kata nenek itu.

“Alhamdulillah... akhirnya ada seorang nenek menyelamatkanku,” pikir Natalia dalam hati. 

Akhirnya mereka berdua berjalan menuju rumah Natalia sambil berbincang-bincang.

Sudah berjalan cukup lama tetapi Natalia tidak juga melihat rumahnya, padahal seharusnya tinggal tiga rumah lagi dari perempatan tadi. Sampai akhirnya Natalia menyadari, jalan yang ia lalui ternyata bukan jalan menuju rumahnya tetapi jalan memasuki halaman rumah tua kosong itu. Natalia semakin merinding, bulu kuduknya pun seketika meremang. Anehnya ia terus saja berjalan dengan nenek itu hingga masuk ke dalam rumah tua. 
Rupanya rintihan suara yang ia dengar tadi berasal dari dalam rumah ini. Suaranya semakin lama semakin jelas terdengar dari salah satu kamar. Nenek itu terus saja menggiringnya berjalan sampai di depan kamar dimana sumber suara itu terdengar. Kemudian nenek itu mulai membuka pintu kamar itu... dan sesaat Natalia melihat isi dalam kamar itu, dan tiba-tiba saja... 

Bruk...!

Natalia pun jatuh pingsan.

Esok paginya ia mulai sadar dari pingsan. Aneh sekali, ia sudah berada di dalam sebuah kamar yang asing baginya. Natalia mencoba bangun dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Ia kaget sekali, di sekeliling kamar itu banyak sekali orang aneh. Ada yang tersenyum-senyum sendiri, ngomong sendiri, dan ada juga yang melompat-lompat seperti anak kecil. Natalia baru sadar, ternyata tempat ini adalah rumah sakit jiwa. Anehnya lagi semua keluarganya menganggapnya... GILA.

Si Cantik Itu Ternyata Hantu (Medan)

Kejadian ini sudah lama terjadi. Lima belas tahun yang lalu, saat Hermansyah hendak pulang kuliah. Karena saat itu malam Sabtu dan esoknya adalah hari Minggu dan tidak ada jam kuliah, ada satu kegiatan rutin yang biasa dilakukannya, yakni mampir dulu untuk sekedar mencari hiburan.

Pada saat itu, kebetulan ada kuliah umum sehingga sampai petang baru selesai. Setelah shalat Maghrib di masjid kampus, ia langsung pergi berjalan-jalan dengan tujuan akhir nonton bioskop. Kebetulan malam itu judul filmnya cukup menarik untuk ditonton.

Pemutaran film dimulai pada jam 22.00, dan film yang diputar cukup menegangkan. Kurang lebih satu setengah jam, jantungnya dibuat deg-degan melihat adegan film horror tersebut. 

Film selesai pukul 23.30, tampak Hermansyah keluar dari gedung bioskop dan bergegas menuju ke tempat mangkal omprengan alias angkutan umum pengganti di waktu malam.

Saat itu Hermansyah menunggu angkutan di sebuah perempatan dekat gedung bioskop. Suasana ketika itu cukup lengang karena waktu sudah hampir menunjukkan pukul 24.00. Hanya segelintir orang yang tampak berseliweran, begitu juga mobil-mobil yang biasanya banyak berlalu-lalang, malam itu hanya ada beberapa saja yang melintas.

Pikiran sudah melayang entah kemana bersamaan dengan asap rokok yang mengepul dari mulut Hermansyah. Beberapa menit berselang ada suara halus menegur Hermansyah dari belakang, cukup mengagetkan memang. Tapi di satu sisi seperti percaya tak percaya, eh... ternyata ada seorang perempuan muda berkulit putih, cantik, tinggi, langsing dan berambut hitam nan panjang. 

“Mau kemana Bang,” tanya perempuan itu dengan suara yang lembut.

“Ke arah Selatan,” jawab Hermansyah enggan berterus terang. 

“Nona sendiri mau kemana malam-malam begini?” tambahnya

“Saya juga mau ke Selatan Bang,” jawab perempuan itu kalem, membuat Hermansyah sedikit tersipu.

Tidak lama kemudian, Hermansyah dan perempuan itu sudah berada di dalam angkutan yang menuju ke arah selatan, agak jauh melewati kampus Hermansyah. Aneh tiba-tiba saja kendaraan itu melaju, meskipun tidak ada penumpang lain. Tapi Hermansyah tidak peduli, yang ada hanya kebanggaan yang luar biasa, karena di sebelahnya duduk seorang perempuan yang sangat cantik dan asyik. 

Anehnya, hanya dalam hitungan menit angkutan tersebut sudah sampai di daerah pinggiran kota Medan. 

“Nona turun disini?” tanya Hermansyah. 

“Iya, Bang. Mmmm... bisa minta tolong temenin saya sampai di rumah nggak Bang? Sudah terlalu malam, dan saya merasa takut berjalan sampai ke rumah sendirian,” pinta perempuan itu.

 “Ooh, iya... iya... tidak masalah,” jawab Hermansyah bangga. 

Akhirnya mereka berdua turun dari angkutan dan berjalan beriringan dalam keheningan malam. Sesaat kemudian sampailah Hermansyah dan perempuan itu di sebuah perkampungan yang sunyi. Mereka berhenti di sebuah perempatan jalan, dimana terdapat gardu listrik yang besar dan sebuah rumah kecil di seberang gardu listrik tersebut.

“Itu rumah saya Bang, di seberang gardu listrik. Singgah dulu sebentar ya Bang,” kata perempuan itu ramah. 
Merekapun akhirnya tiba di rumah wanita cantik itu. Sesampainya di rumah, Hermansyah disuguhi beberapa potong kue dan air minum. Setelah beberapa saat kemudian Hermansyah pamit pulang. Sebelum pulang, perempuan itu berkata,

“Bang, besok bisa mampir ke sini nggak? Saya mau minta tolong benerin radio-tape saya yang rusak,” tanya perempuan itu.

 “Oh, iya... bisa... tentu bisa, lagipula besok saya tidak ada jam kuliah. Besok sekitar jam sembilan saya ke sini,” jawab Hermansyah. 

Esoknya, Hermansyah sengaja bangun pagi, mandi dan pakai wangi-wangian bergegas pergi ke rumah perempuan itu sesuai janjinya. 

Sesampainya di sebuah perempatan, Hermansyah terheran-heran karena di perempatan itu tidak terdapat gardu listrik dan rumah. Yang ada hanyalah pohon tua besar dan di seberang pohon tersebut terdapat sebuah batu besar yang bentuknya aneh dan tidak begitu jelas. Mungkin karena sudah banyak ditumbuhi lumut. Hermansyah pun berjalan menyeberangi jalan kecil itu untuk melihat batu itu lebih dekat. Namun sesampainya ia di dekat batu itu, Hermansyah sangat terperanjat, karena setelah diperhatikan dengan seksama, ternyata batu besar itu adalah... sebuah batu nisan!

“Astagaaa... ini artinya semalam aku mampir di sebuah makam?! Dan perempuan itu? Apakah perempuan itu...?!”

Hermansyah tak sanggup lagi membayangkan yang lainnya, dan ia pun bergegas lari tunggang langgang, meninggalkan tempat itu tanpa berani menoleh ke belakang lagi.

Misteri di Pondok Gunung (Medan)

Kisah ini merupakan kisah horror dari Medan. Dimana dua orang perempuan pendaki gunung mengalami beberapa masalah dalam pendakian dan terisolasi di sebuah pondok di lereng gunung yang keramat.

Suatu hari dua orang gadis pendaki yang bernama Mindo Rosmanita Harahap dan Yunidar Karim sedang berwisata-petualang yaitu mendaki gunung. Ini adalah kegiatan olahraga yang sangat mereka sukai dan nikmati. Selama bertahun-tahun, mereka telah menjadi pendaki gunung yang cukup berpengalaman. 

Pada hari itu, mereka mulai mendaki gunung dengan cuaca yang cukup bersahabat, namun ketika mereka sampai di puncak gunung tiba-tiba cuaca berubah dan angin menjadi sangat dingin.

Di sebuah lereng yang terjal tiba-tiba Yunidar kehilangan pijakan dan ia jatuh meluncur sekitar 20 meter di sepanjang lereng gunung yang berbatu terjal. Namun tangannya berhasil menangkap ranting yang cukup kuat dari sebuah pohon dan akhirnya berhenti meluncur. Dengan tertatih-tatih Yunidar kemudian merangkak ke tepian lereng yang aman. Dia merasa sakit yang teramat sangat di sekujur tubuhnya akibat terbentur di bebatuan itu, dan dia baru menyadarinya bahwa ia mengalami patah tulang di kakinya pada saat ia berhasil menemukan tempat yang aman. Hal itu terlalu menyakitkan baginya untuk kembali menuruni gunung. 

Dengan perjuangan yang sangat keras, perlahan kedua gadis itu berhasil membuat jalan mereka ke arah timur dan sampailah di sebuah pondok yang kecil di sisi gunung. Di dalam pondok itu, mereka menemukan perapian dengan tumpukan kayu kecil di sampingnya, toilet, dan sebuah lemari yang berisi penuh dengan kaleng kacang-kacangan dan ikan tuna kaleng.

“Aku akan kembali ke base-camp dan memanggil bantuan,” kata Mindo.

“Kau sebaiknya tinggal disini. Apakah keadaan kamu sudah mulai membaik?” lanjut Mindo lagi.

“Aku akan baik-baik saja,” kata Yunidar, sambil mengaduh kesakitan saat ia merasakan pedih di kakinya yang terluka.

“Cepatlah kembali, hanya kamu yang bisa menolongku,” kata Yunidar lagi. 

Ketika itu Mindo mulai meninggalkan temannya di kabin dan memulai perjuangan yang keras dan berbahaya untuk kembali menuju ke kaki gunung.

Pada saat ia mencapai pos penyelamatan di kaki gunung, hari sudah terlalu gelap untuk mengirim sebuah tim rescue yang akan menjemput Yunidar. Mereka mengatakan, bahwa mereka harus menunggu sampai fajar tiba, saat itu Mindo sangat kelelahan dan menghabiskan malam tanpa tidur dan mengkhawatirkan Yunidar yang sendirian di pondok itu. Maka ketika fajar tiba, tanpa menunggu lagi Mindo bersama tim rescue langsung berangkat. Tidak sampai dua jam kemudian, Mindo sudah tiba kembali di pondok gunung itu dengan petugas penyelamat. Mereka kemudian menghubungi posko agar mengirim helikopter ke lokasi pondok di gunung itu.

“Yunidar! Aku kembali,” teriak Mindo. 

Tapi ketika dia membuka pintu pondok itu, temannya tidak ada di dalam. Mindo sangat bingung, tapi kemudian ia melihat pintu toilet tertutup rapat. Mindo pun mengetuk pintu tersebut,

“Yunidar! Ayo! Bantuan telah tiba.” 

Tidak ada jawaban sama sekali. 

Dia mencoba membuka pintu, tapi pintu itu terkunci. Dia terus mengetuk, tapi tak ada jawaban dari Yunidar.
Dengan bantuan dari tim penyelamat, Mindo berhasil membuka kunci pada pintu toilet. Tapi begitu pintu terbuka, mereka melihat pemandangan yang sangat mengerikan. Yunidar duduk di lantai toilet, dengan kulitnya yang sangat pucat keriput dan rambutnya telah berubah menjadi putih merata entah disebabkan oleh apa, dan matanya melotot, terlihat seperti dalam keadaan shock, dan lengannya sangat dingin sekali seperti es sedang dalam posisi merangkul tubuhnya sendiri seolah mencoba melindungi diri dari sesuatu. 

Jelas bahwa dia sudah meninggal.

Penyebab kematian gadis malang itu masih belum diketahui. Apakah yang menyebabkan sampai dia mati ketakutan. Apakah pelakunya seseorang atau sesuatu yang membuat ia sangat ketakutan sehingga mati mendadak. Apakah yang terjadi pada malam hari di pondok itu? 

Hingga hari ini, tak ada seorang pun yang memiliki jawaban dari kematian gadis malang itu. Dan kematian itu pun tetap menjadi misteri yang tertinggal di pegunungan.

Tuesday, December 10, 2019

Terselip ke Alam Ghaib (Malang)


Sebetulnya peristiwa ini sudah sangat lama terjadi dan Nur Romy Hidayat mengalaminya sendiri sekitar tahun 1997, ketika itu Romy dalam perjalanan dari kota Yogyakarta menuju ke kota Malang, Jawa Timur. Seperti kebiasaan yang ia lakukan jika ingin menempuh perjalanan ke luar kota, khususnya ke kota Malang di Jawa Timur, Romy selalu berangkat dari Yogyakarta pukul 21:00 dengan harapan sekitar pukul 06:00 pagi sudah sampai di tempat tujuan. 

Waktu itu Romy memang sering melakukan perjalanan dari Jogja menuju Malang, Kediri, atau Surabaya. Dan malam itu ia sengaja mencari bus antarkota yang berada di luar terminal, karena ia ingin bus segera berangkat tanpa harus menunggu penumpang penuh dulu seperti halnya bus-bus yang ada di dalam terminal. 

Tepat pukul 21:00 bus yang ditumpanginya mulai berangkat ke arah timur meninggalkan kota Jogja. Karena bukan hari libur dan saat itu malam hari, maka bus tidak terisi penuh sehingga masing-masing penumpang bisa duduk leluasa, satu orang bisa menguasai satu atau dua kursi, jadi sangat nyaman dan Romy melihat dalam kesempatan ini banyak penumpang yang bisa tidur dengan nyaman di kursi-kursi yang setiap deret hanya berisi satu orang. 

Begitu juga dengan Romy, sekali waktu ia menaikkan kakinya lalu duduk berselonjor dan sekali waktu ia tiduran, namun entah kenapa malam itu Romy tidak bisa memejamkan mata. Ia ingin sekali memejamkan mata, namun tetap saja tidak bisa tertidur, padahal biasanya Romy termasuk orang yang cepat bisa tidur ketika sedang berada di kendaraan umum. 

Waktu demi waktu berlalu, bus antarkota, yang ia tumpangi memang terkenal berani. Sopirnya demikian terampil menyalip aneka kendaraan, baik kendaraan kecil maupun besar. Dan bus itu bisa menyalip dari kanan ataupun kiri dengan tenangnya. Rupanya sang sopir sudah begitu hapal setiap lika-liku jalan yang dilaluinya, jadi dengan beraninya dia menyalip aneka kendaraan tidak peduli itu di tikungan tajam atau melanggar marka jalan. 

Yaah, itulah realitanya, padahal di dalam bus itu sudah terpampang tulisan cukup besar dan terbaca jelas.
“Jika Pengemudi Ugal-ugalan dan Membahayakan Penumpang, Silakan Laporkan ke: xxxxxxxx.” 

Namun ternyata itu hanya slogan saja, karena sopir tetap saja ugal-ugalan dan penumpang pun juga tidak banyak yang mau peduli. 

Setelah menempuh perjalanan kira-kira sekitar 6 jam, Romy masih ingat betul dimana posisi saat itu berada, karena ia sama sekali tidak memejamkan mata, Romy duduk bersender di pinggir jendela sambil melihat pemandangan gelap di luar bus dari kaca jendelanya. Beberapa kali ia melihat pengendara motor yang mulutnya komat-kamit sambil menyodorkan kepalan tangannya. Romy berpikir itu pasti orang yang marah karena hampir dicelakai oleh bus yang ia tumpangi. Romy pun hanya bisa menegur sang sopir dengan sopan. 
“ Hati-hati Cak, jangan terlalu kencang, yang penting semua selamat,” kata Romy ketika itu.

Sang sopir tidak berkomentar apapun dan juga tidak menjawab teguran Romy, hanya sang kernet yang memberi kode ke Romy untuk tetap tenang. Akhirnya Romy pun membiarkan sang sopir mengemudikan bus dengan cara yang disukainya, Romy hanya bisa berdoa agar semua penumpang diberi keselamatan.

Tidak lama kemudian bus memasuki area hutan jati dimana kiri-kanan jalan sepi, tidak ada warung atau rumah penduduk. Romy masih sempat melihat sebuah pos kehutanan di sebelah kiri jalan sampai kemudian akhirnya, ia merasakan hawa yang sangat dingin menerpa sekujur tubuhnya, dingin dan sangat dingin hingga menusuk tulang. Romy kemudian bersedekap dan memeluk jaket yang tadinya ia lepas. Romy merasakan hawa dingin dari ujung rambut hingga ujung kaki, hingga beberapa detik kemudian ia merasakan ada hal aneh di sekitarnya. 

Romy menoleh ke samping, di deretan kursi di sebelahnya terlihat penumpang duduk dengan tegak, kepala tertunduk dan Romy melihat muka yang berwarna putih dan pucat. Romy tidak merasa kaget namun hanya berpikir, 

“Kenapa orang itu, apakah sakit?” tanya Romy dalam hati. 

Kemudian ia menoleh ke belakang, beberapa deret kursi ke belakang pemandangannya sama dengan kursi di sebelahnya, semua penumpang duduk dengan badan tegak, kepala tertunduk ke bawah dan semua wajahnya terlihat putih pucat. Romy mulai agak kebingungan.

“Lho, kenapa semua penumpang menjadi seperti ini?” pikir Romy. 

Kemudian Romy melongok ke depan ternyata semua sama kondisinya, akhirnya secara refleks pandangannya tertuju ke sopir yang tadi suka mengobrol dengan kernet dan tertawa-tawa, dan... 

Astagaaa...!

Ternyata sang sopir juga duduk tegak dengan kepala tertunduk ke bawah namun kedua tangannya masih memegang kemudi, sementara sang kernet duduk di sebelahnya dengan kondisi sama seperti penumpang yang lain. Romy merasa seolah-olah berada dalam sebuah bus yang membawa patung-patung manusia. Sunyi sepi tanpa ada suara apapun. Semua duduk tegak terdiam dengan wajah pucat. 

Romy belum bisa menyadari apa yang terjadi hingga akhirnya ia mulai merasakan keanehan pada bus yang ditumpanginya ini. Romy merasa yakin bahwa bus ini masih berjalan, namun jalannya sangat kencang, lurus dan tidak belak-belok. Pikiran Romy masih tetap merasa aneh, karena jalan di daerah itu kan berbelak-belok, tapi kenapa bus ini melaju kencang dan lurus. Dan ternyata kemudian Romy mulai menyadari bahwa bus ini selain melaju kencang dan lurus juga tidak menapak di aspal. Romy melihat pohon-ponon yang ada di sekitar, yang dilaluinya, ternyata hanya terlihat dari tengah ke atas. Sehingga Romy yakin bus ini berjalan mengambang. 

Dan akhirnya Romy langsung memperhatikan sopirnya. 

Astagaaaa...!

Ternyata sopir itu mengendalikan bus tanpa bergerak apa-apa, dia hanya duduk, diam dan kedua tangannya memegang kemudi sementara tidak ada gerakan apapun pada diri sopir tersebut. Artinya bus ini berjalan sendiri tanpa dikendalikan oleh sopir. Romy jadi tersadar bahwa ada yang tidak beres, ia mulai merasakan hawa dingin yang tadinya menjalar di sekujur tubuhnya berubah menjadi rasa dingin yang mengerikan yang membuat semua bulu kuduknya berdiri. 

Romy merasa ia sudah berada di sebuah keadaan yang tidak wajar. Ia merasa bahwa saat itu ia sudah berada di alam lain. Alhamdulillah, Romy masih bisa berpikir sehat, akhirnya di tengah-tengah hawa dingin yang menusuk tulang dan bulu kuduk yang merinding Romy mencoba untuk membaca beberapa surat pendek yang ia hapal dan juga ayat kursi. Romy membacanya berulang-ulang dan berkali-kali sambil ia melirik deretan bangku di kanan dan di belakangnya. 

Tiba-tiba, “Klap...!”

Tiba-tiba Romy merasa seperti dilempar dan tersadar bahwa ia sudah kembali ke dalam bus yang ditumpanginya sebelumnya. Romy melihat di sebelah kanannya ada 2 penumpang yang satu tidur sementara yang satunya duduk biasa. Sangat berbeda dengan tadi dimana mereka duduk dengan kaku dengan kepala tertunduk. 

Saat ia melihat ke belakang, deretan bangku masih terisi penumpang, ada yang tidur dan ada yang ngobrol. Dan semua terlihat wajar normal, sangat berbeda dengan kondisi yang ia lihat tadi. Alhamdullilah... Romy merasa sudah kembali ke alam nyata. Ia melihat sopir ternyata tidak tidur, dia masih asyik mengemudi sambil ngobrol dengan sang kernet. 

Romy hanya bisa terheran-heran, apa yang sudah terjadi pada dirinya barusan?

Akhirnya setelah 10 jam perjalanan, sampailah Romy ke Kota Malang yang ia tuju. Romy turun dan langsung pindah angkot menuju tempat yang akan ia kunjungi. Sekitar jam 12 siang, Romy, mencari makan di warung yang kebetulan ada pesawat televisinya. Saat itu kebetulan sedang ada siaran berita, dan disiarkan bahwa tadi malam ada sebuah kecelakaan bus antar kota antar propinsi yang mengakibatkan bus terbakar dan hampir semua penumpangnya terbakar di dalam bus tersebut. 

Ketika melihat berita ini Romy jujur sangat tertarik namun ia tidak menyadari bahwa berita ini ada kaitannya dengan peristiwa yang tadi malam ia alami. Saat itu Romy hanya menganggapnya berita kecelakaan biasa saja. Beberapa hari kemudian, Romy kembali harus pulang ke Jogja, dan kali ini perjalanannya ia lakukan di siang hari. Dan ternyata disinilah Romy menemukan jawaban dan korelasinya antara berita kecelakaan maut itu dengan pengalaman ghaib yang ia alami. 

Dalam perjalanan di siang itu tanpa sengaja Romy melihat bangkai bus yang terbakar dan kebetulan semua penumpang juga ramai membicarakannya. Bus berjalan perlahan melewati bangkai bus yang terbakar tersebut dan semua penumpang melongok ke kaca jendela termasuk Romy.

“Ya ampun...”

Romy merasakan jantungnya berdebar-debar. Ia merasa bahwa bus itu tidak asing bagi dirinya. Akhirnya dengan perlahan bus meninggalkan area kecelakaan tersebut dan anehnya, sepanjang jalan yang ia lewati Romy merasa pernah melewati jalan itu dengan suasana pohon, rumah dan jalan yang sama. 

Ooooh...! 

Akhirnya Romy pun paham.

Jadi malam itu ketika Romy terselip masuk ke alam ghaib, hal itu terjadi beberapa saat sebelum bus yang ditumpanginya melewati bangkai bus yang terbakar tersebut dan ia kembali tersadar setelah berada beberapa meter dari lokasi bus yang terbakar tersebut. Romy jadi berpikir.

Apakah yang ia alami itu hanya sekedar mimpi, atau ia benar-benar telah masuk ke dunia “lain” pada malam itu? 

Sampai sekarang pun Romy masih penasaran. Apakah sekedar mimpi atau jiwanya berpindah sementara ke alam “lain”. Peristiwa itu sudah cukup lama terjadi, namun Romy masih merasa bahwa kejadian itu belum lama terjadi. 

La Planchada