Sunday, March 22, 2020

Hantu Teman Lama di Pohon Kenangan (Surabaya)


Banyak yang bilang masa kecil adalah masa paling menyenangkan, bayangkan saja bila kita masih anak-anak, tentu belum ada tanggung jawab yang harus diemban di pundak, hari hari dilalui dengan bermain dengan teman sebaya. Dan yang namanya dunia anak, keceriaan selalu terpancar di wajah. Memang sih kadang ada pertengkaran diantara mereka tapi sebentar kemudian pasti akan berbaikan kembali. Tidak ada istilah memendam marah apalagi dendam. Aku akan selalu ingat masa kecilku saat tinggal di perkampungan di Surabaya, walau itu hanya sebentar.

“Kamu mau kemana Nung?” tanya Ibu ketika melihatku membuka pintu depan.

Ibu sedang duduk santai di kursi kayu panjang di teras depan rumah, ada sepiring kecil pisang goreng dan satu teko air teh dengan empat cangkir kecil mengelilinginya.

“Cuma ingin jalan-jalan saja kok Bu, pingin tahu perubahana yang ada!”

Aku lalu menghampiri ibu dan duduk di sebelahnya, “Tapi aku mau makan camilan dulu!” lanjutku.

“Iya, mumpung masih hangat pisang gorengnya!” ucap ibuku.

Dia lalu menyorongkan piring itu ke hadapanku, kuambil satu dengan sedikit kerepotan karena ternyata pisang itu masih lumayan panas. Tapi memang yang namanya gorengan enaknya ya bila masih panas. kutiup pelan-pelan sambil memegangnya dengan tangan bergantian.

“Disini nggak ada perubahan Nung, anak-anak mudanya banyak yang merantau!”

“Masak sih Bu... nyatanya waktu aku pulang, jalan kampung sudah diaspal, surau kecil dekat rumah pakdhe Darmo juga sudah berubah jadi masjid yang luas dan bagus. Berarti ada perubahan kan?”

Aku mencoba menguraikan, aku sudah sekitar lima belas tahun merantau di luar pulau dan baru bisa pulang sekarang. Sebenarnya pingin sih setiap kali lebaran bisa bersilaturahmi dengan keluarga di kampung tempat aku menghabiskan masa kecil dulu, tapi keadaan tidak berpihak kepadaku. Selepas sekolah dasar aku ikut budhe ke Kalimantan agar bisa melanjutkan sekolah. 

Ayah meninggal saat aku duduk di kelas enam sekolah dasar bersamaan itu ibu juga harus menghabiskan banyak waktu di rumah sakit. Yaaa... kecelakaan itu telah merenggut sebagian besar hidup kami. Ayah tidak terselamatkan dan ibu pun mesti di rumah sakit. Jadilah perekonomian keluarga kami macet. 

Maka atas inisiatif keluarga besar, kami ketiga anak yang masih kecil-kecil terpaksa terpecah ikut sanak saudara. Aku sebagai anak bungsu kebagian ikut budhe disana, karena kehidupan keluarga budhe juga pas-pasan, sebagian besar dana dialokasikan untuk sekolah dan kelangsungan hidup, urusan pulang kampung jadi terabaikan. Namun aku bersyukur budhe sanggup menyekolahkanku sampai lulus Sekolah Menengat Atas. 

Dengan ijazah itu aku beruntung mendapatkan pekerjaan, sebagian uang aku tabung untuk bisa membawaku pulang kembali ke kampung halaman yang sudah begitu lama aku tinggalkan. Dan keinginan itu akhirnya terealisasi, cuti panjang kali ini bisa aku gunakan untuk mengunjungi ibu di kampung.

“Benar juga katamu!” ucap ibu sambil mengangguk-anggukkan kepala, “Mungkin karena aku selalu ada disini jadi perubahan itu tidak terasa ya!”

“Jadi, kamu mau jalan-jalan kemana saja?” tanyanya lagi.

“Ah hanya ingin berkeliling kampung saja kok Bu, mengenang masa kecil dulu!” 

Kugigit pisang goreng itu dan kukunyah pelan-pelan, ah enaknya pisang goreng buatan ibu, sudah lama sekali aku tidak merasakannya.

“Ini tehnya diminum!” Ibu menuangkan air teh dari teko kedalam salah satu cangkir kecil.

“Terima kasih Bu!”

“Ibu masuk ke dalam dulu ya, mau mempersiapkan makan. Kamu jangan malam-malam pulangnya, nggak baik anak perempuan keluyuran sendirian di malam hari!”

Aku tersenyum, kulihat ibu beranjak dari kursi, dengan bantuan tongkat yang melingkar di salah satu tangannya ibu tampak tertatih-tatih berjalan meninggalkan teras. Kecelakaan itu terjadi saat ayah dan ibu naik bus dari Surabaya menuju Yogyakarta, tapi naas belum sampai tujuan, bus itu mengalami kecelakaan hebat, sebagian penumpang meninggal dunia dan kebanyakan luka parah, hanya sedikit saja yang terselamatkan. Kecelakaan itulah yang telah merenggut nyawa ayahku dan yang telah membuat kaki ibu terluka parah, salah satu kakinya bahkan menjadi tidak berfungsi dengan baik.

Selesai makan pisang dan meminum secangkir teh, aku segera beranjak keluar. Jam sudah menunjuk pukul lima sore, tidak panas lagi karena matahari juga berangsur menenggelamkan diri. Ditambah suasana mendung yang melingkupi membuat suasana menjadi teduh, memang pas buat jalan-jalan. Sambil menenteng payung lipat aku keluar.

Jalan di depan rumah sekarang sudah diaspal, padahal dulu terakhir kali aku tinggal disini masih berupa jalan tanah, yang kalau hujan akan menjadi sangat becek. Aku jadi ingat saat itu aku dan teman-teman kecilku asyik bermain main air hujan. Sambil berlarian kesana kemari kami menikmati butir-butir air hujan yang semakin lama semakin kencang mengguyur badan. Dimana mereka sekarang ya? Mungkinkah mereka merantau seperti halnya aku?

Beberapa rumah tetangga yang aku lewati juga sudah banyak berubah, sekarang rumah rumah itu sudah lebih cantik, cat warna warni terpoles dengan apik. Lantai juga sebagian besar berubin.

“Nak Inung ya?” sapa seseorang.

Aku menengok ke arah suara itu, seorang perempuan tua sebaya ibu menghentikan kegiatan menyapunya, dia menatapku dengan ragu-ragu, mungkin setelah sekian lama ada perubahan atas diriku yang dulunya masih kecil dan ingusan sekarang sudah menjelma jadi perempuan dewasa. Aku segera menghampiri ibu itu dan menyalaminya.

“ Iya Bu... saya Inung, Yanti ada?” balasku.

Ibu Sastro –nama ibu itu– tertawa renyah, “Aduh Inung... sekarang kamu sudah besar, masih di Kalimantan ya kamu?”

Aku mengangguk, “Yanti?” tanyaku lagi. Yanti itu teman sekolahku dulu, kami sering berjalan bersama saat berangkat dan pulang sekolah.

“Yanti di Arab jadi TKW!” jawabnya lugas tapi dengan nada bangga.

Aku melongo... tidak percaya Yanti berani bekerja keluar negeri, padahal dulu dia itu tampak lemah dan penakut. Ah... mungkin karena keadaaan yang memaksanya, seperti halnya aku dulu yang mesti meninggalkan tanah kelahiranku.

“Yanti nggak mudik?” tanyaku berbasa basi.

“Nggak bisa mudik kecuali masa kontraknya selesai, dia sudah tiga kali dapat kontrak, yang terakhir mungkin dua tahunan lagi kelar, jadi ya paling bisa pulang kembali dua tahun lagi. Ini rumah yang merenovasi juga Yanti dari hasil kerjanya keluar negeri!” urainya panjang lebar, masih dengan aura kebanggaan.

“Salut buat Yanti, hebat..!” ujarku.

“Iya, dia anak yang berbakti sama orang tua!” timpalnya dengan wajah sumringah.

“Maaf Bu, Inung mau pergi dulu...”

“Loh,mau kemana? Kok buru buru?”

“Ah cuma jalan jalan sebentar melihat lihat sekeliling.”

“Ya silakan, mumpung mudik ya?”

Aku mengangguk, setelah menyalami tanganya aku permisi meninggalkannya.

Menyusuri jalan kampung yang sekarang lebih luas, aku bertemu anak anak kecil dan orang orang tua, kalau untuk orang seusiaku tidak banyak yang kutemui, mungkin benar kata ibu kalau banyak anak muda yang merantau.

Aku berjalan menuju sekolahku dulu, sesampai disana kupandangi gedung tempat aku menuntut ilmu. Sekolah itu masih tampak seperti dulu hanya temboknya sudah berganti cat, dulu putih sekarang dicat warna coklat muda terang. Pintu dan jendela kayunya dicat coklat tua. Serasi sekali. Beberapa pohon perdu menghiasi halaman depan sekolah. Namun aku tidak mendapati pohon kamboja yang dulu tumbuh di samping bangunan sekolah, kala itu ada lahan kosong kecil disitu dimana pohon kamboja itu tumbuh, saat jam istirahat kami senang sekali bermain-main di lahan itu, selain tidak panas karena rindangnya pohon, kami juga suka mengumpulkan bunga kamboja, kami sering membuat permainan perlombaan mencari bunga kamboja dengan helai berjumlah genap, siapa yang paling banyak akan jadi pemenangnya. Tidak ada hadiah ataupun tropi kemenangan tapi puasnya hati memenangi pertandingan mengalahkan itu semua. Sekarang lahan kosong itu sudah tidak ada, tembok gedung sekolah sudah berhimpitan dengan pagar tembok keliling. Ya lahan itu sudah tertutup.

Aku bermaksud memasuki halaman sekolah agar bisa melihat dengan seksama kelas-kelas yang pintunya sudah tertutup karena sudah tidak ada aktivitas belajar mengajar, hanya ingin mengenang masa lalu saja, tapi sayangnya pagar sekolah bagian depan terutup rapat, sebuah rantai besi melingkarinya dan sebuah gembok besar menahannya. Kenapa ya sekarang apa-apa selalu dipagari? Dulu tidak ada pagar yang mengelilingi gedung sekolah ini. Pikirku ya sudahlah... sudah senang bisa melihat gedung sekolahku meski cuma dari luarnya saja. 

Aku lalu melanjutkan langkah kakiku, sekolahku ini berdampingan dengan lahan persawahan yang sampai sekarang masih terjaga alias tidak berubah jadi bangunan. Lewat jalan pematang di sawah-sawah itu aku bermaksud menerobos mempersingkat jalan. Kalau lewat jalan kampung aku mesti berjalan memutar. Karena mendung dan hari juga menjelang petang, jalan di pematang sawah jadi mengasyikkan. Kalau siang hari... wah panas sekali apalagi bila musim kemarau. Kuhirup udara petang dengan kesungguhan, hawa segar langsung terasa, maklum tidak terpolusi. Angin sepoi sepoi bertiup, menerbangkan helai-helai rambutku yang terlepas dari kucir. Tiba-tiba sekelebat masa lalu hinggap di benakku.

“Ayo kita main-main dulu!” ajak Ningsih kepada kami.

Saat itu, Yanti, Rani, Sari, Ningsih dan aku sendiri –Inung- pulang sekolah lebih awal karena akan ada rapat guru. Senangnya bisa pulang cepat, kami jadi ada waktu buat bermain-main dulu, toh orang tua juga tidak tahu. Kalau kita pulang di jam yang sama seperti biasanya pasti mereka tidak akan curiga, dikiranya kami langsung pulang dari sekolah.

“Main kemana?” tanya Yanti kurang antusias, kayaknya dia ingin langsung pulang.

“Ya kemana kek... yang penting main-main dulu, kalian ada ide nggak?” Ningsih balik bertanya.

“Main air di sungai aja!” aku memberi usulan

“Wah, kalau basah nanti ketahuan orang tua kalau kita tidak langsung pulang!” sahut Yanti keberatan.

“Bisa dimarahi orang tua nanti!” tambah Rani.

“Iya, orang tua bisa marah!” timpal Sari membenarkan pernyataan Rani.

“Lha kemana dong?” tanyaku kepada mereka.

“Mmhmm... di kebun sebelah kuburan saja!” ujar Rani sambil tertawa riang.

“Haahh...? Ngapain main kesitu, kamu nggak takut ya?” Yanti membelalakkan mata.

“Halah... ini kan siang hari? Mana ada hantu!” sergah Rani cepat.

“Iya… hantu kan takut kepanasan! Nggak punya topi sih!” timpal Ningsih cekikikan.

Kami tertawa mendengar gurauan Ningsih. Singkat cerita kami sepakat bermain kesitu.

Kebun itu terletak di samping kuburan desa, sebenarnya itu mau diperuntukkan untuk perluasan area pemakaman nantinya, tapi karena masih lumayan banyak yang belum terisi… heheheh... maka kebun itu ditanamai aneka tanaman, kami tidak tahu siapa yang menanamnya, yang jelas ada empat pohon buah besar disitu: pohon sawo, pohon mangga, pohon jambu dan pohon nangka. Juga ada banyak pohon pisang disana sini. Sedang rerumputan tumbuh liar disitu. 

Kebun itu jadi seperti arena bermain buat anak-anak. Bahkan bagi anak tanggung yang sudah sekolah di Sekolah Menengah Pertama dan Atas, biasanya mereka hadir untuk sekedar berpesta buah bila pohon pohon mulai memperlihatkan buah yang bergelantungan disana sini. Kami anak-anak Sekolah Dasar tentu saja kalah dengan mereka. Tapi sayang, saat kami bermain disitu pepohonan sedang tidak berbuah. Karena masih belum siang, kami jadi bebas lepas bermain-main karena tidak ada saingan.

“Wah sayang tidak ada pohon yang berbuah!” seru Ningsih agak kecewa.

Kami mengikuti perkataannya dengan menengadahkan kepala ke atas melihat pohon-pohon itu, memang tidak ada satupun yang berbuah. Bahkan pohon pisang juga belum memperlihatkan buah pisangnya.

“Ya nggak apa-apa? Kita kesini kan cuma mau main?” ujar Yanti menenangkan kami semua.

“Betul… betul!” serempak kami mengamini ucapan Yanti.

“Emang kita mau main apa disini? Petak umpet?” timpal Rani setengah memberi usul.

“Wah asyik tuh... bisa main petak umpet di kuburan… hihihihihi... sereemmm!” gurauku.

“Huuh… ogah ah main petak umpet di kuburan!” elak Sari cemberut.

“Takut nih yeeee!” ejekku, diikuti cekikikan teman-teman yang lain.

“Bukan takut, tapi... kata orang orang tua… kalau mengganggu kuburan bisa kena tuah!” Sari membela diri. 

Entah apa benar atau tidak yang diucapkannya, yang jelas kami tidak jadi main petak umpet. Kami akhirnya bermain sekedarnya. Kami berlomba mencari barang berharga di area kuburan, tapi itu bukan uang atau barang yang bernilai ekonomis, kami hanya mencari barang yang menurut kami lucu dan asyik. Siapa nanti yang mendapatkan barang paling lucu dialah pemenangnya.

“Oke... waktunya sampai nanti suara adzan Dzuhur terdengar, lalu kita kumpul disini!” Ningsih memberi aturan permainan.

Kami berlima selanjutnya berpencar mencoba peruntungan mendapatkan barang yang sekiranya menurut kami lucu dan aneh. Kususuri makam sejengkal demi sejengkal seraya mata ini melotot berkonsentrasi melihat lihat apakah ada barang yang dimaksud... teman-temanku juga demikian.

Saat sibuk mencari cari, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah barang yang tidak asing, barang itu kecil dan berwarna kuning. Yup... itu sebuah anting kecil. Kuambil anting itu dan mengamatinya, benarkah anting ini terbuat dari emas? Pada anting itu ada pahatan tokoh kartun terkenal saat itu. Tapi anting itu cuma sebelah alias satu biji saja, pasti dari seorang anak yang antingnya terjatuh, begitu pikirku. Segera kumasukkan anting itu kedalam saku baju, aku lalu melanjutkan aktivitasku mumpung waktu belum habis, siapa tahu bisa mendapatkan barang yang lebih bagus dan memenangkan pertandingan?

Sekian jam berada di pemakaman, suara adzan pun akhirnya terdengar sayup dari arah desa, aku lalu bergegas kembali ke tempat kami semula. Begitu juga dengan teman temanku yang lain, kulihat mereka berlarian menuju kebun itu, maklum kami mesti segera menentukan pemenangnya untuk selanjutnya kami harus segera pulang ke rumah masing masing.

“Ayo sekarang menunjukkan barang temuan kita masing-masing!” ujar Ningsih seraya mengambil sesuatu dari dalam saku bajunya. Ternyata dia mendapat sebuah sapu tangan motif kotak-kotak yang sudah lusuh.

“Nih temuanku... sapu tangan kotak-kotak!” serunya sambil meletakkan sapu tangan itu di atas rerumputan.
“Aku mendapatkan ini nih!” lanjut Sari membuka tangannya. Ternyata dia berhasil mendapatkan sebuah permen yang masih utuh belum terbuka, dia juga ikutan menaruh hasil temuannya di samping sapu tangan temuan Ningsih.

Diikuti Yanti yang memperlihatkan kaleng minuman bekas yang masih tampak bagus, lalu diriku mempertontonkan hasil temuanku.

“Hah… anting? Dari emas ya?” teriak Rani tampak terpikat.

“Kayaknya sih… kan warnanya kuning! Sayang cuma satu alias sebelah!” jawabku kalem. 

Rani mengambil anting itu dari tanganku dan mengamatinya, dia tampak terkagum kagum.

Kalau kamu sendiri? Kamu dapat apa?” tanyaku penasaran, aku ingin tahu barang apa yang didapat olehnya. Kalau barang hasil dari teman-teman lainnya sepertinya kurang istimewa dibanding punyaku, kalau kepunyaan Rani juga kurang berharga tentu akulah juaranya.

Rani menanggalkan tas punggungnya lalu membuka restletingnya, dia mengeluarkan sesuatu.

“Aku dapat ini!” ucapnya sambil meletakan sebuah pisau kecil yang sedikit berkarat.

“Pisau karatan!” seru kami berbarengan, tidak percaya dengan apa yang didapat Rani, selain tidak ada istimewanya juga kami agak takut. 

Sejenak kemudian kami sibuk beradu pendapat untuk membuat penilaian siapa sekiranya yang memenangkan perlombaan ini.

“Menurutku hasil temuan Inung yang berupa anting itu yang paling bagus!” ucap Ningsih sambil memandang kami satu demi satu. “Menurut kalian gimana?”

“Mmhmm... bisa juga tuh! Kan dari emas!” timpal Yanti mendukung Ningsih.

Teman-teman yang lain mengangguk-angguk tanda setuju. Dalam hati aku tertawa puas. Tidak sia-sia aku melototi jengkal demi jengkal tanah kuburan itu.

“Kalau yang menang dapat apa nih?” aku berseru dengan riang.

“Apa ya...?” 

“Dapat barang ini semuanya saja?”

“Eh jangan... ingat ini barang dari kuburan… bisa kena tuah!”

“Hiiii... entar bisa didatangai hantu loh!”

“Nah lalu apa dong...!”

Bersahut-sahutan kami melempar usulan.

“Kita ukirkan inisial nama Inung di pohon mangga itu saja!” ujar Rani. “Aku kan ada pisau!”

“Bagus juga tuh idenya!” sambar Ningsih.

Lalu kami berlima berjalan menuju pohon mangga, dengan sigap Rani mengukirkan inisial huruf “I” di batang pohon yang kuat itu, lumayan dalam dia membuat pahatan.

“Terus barang barang ini gimana?” tanya Sari begitu kami selesai mengukir huruf I itu.

“Lebih baik kita kembalikan ke area pekuburan seperti semula.”

“Biar tidak kena tuah!”

“Betul betul!”

Kami kemudian beramai ramai mengembalikan temuan kami di tanah pekuburan itu, lalu pulang kembali ke rumah masing masing.

Aku tersenyum mengingat kejadian itu, aku jadi penasaran melihatnya apakah masih ada inisal namaku disitu. Semoga pohon itu masih ada... heheheh. Kudapati kebun itu sudah berubah jadi area pekuburan juga, tapi untunglah pohon mangga itu masih tegak berdiri disitu bahkan tampak menjulang dan rindang, beberapa bakal buah yang masih kecil-kecil bergelantungan di dahannya. Kudekati batang pohon itu, gila... huruf “I” itu masih ada... tapi kenapa huruf itu tampak masih baru? Apakah ada yang memahat ulang?

“Aku yang selalu mengukirkannya!”

Suara seseorang dari arah belakang membuatku terkejut, aku menengok kearah suara itu, kulihat Rani tersenyum ke arahku.

“Kamu... Ra... Ra... Rani...!” aku benar-benar tidak percaya ada Rani di hadapanku. Aku segera menghambur ke arahnya dan memeluknya. Aneh... Rani seperti patung yang membatu, dia tidak membalas pelukanku.

Setelah aku renggangkan pelukanku kutatap wajahnya, tampak pucat.

“Untuk apa kamu selalu mengukirnya kembali? Mengenang masa kecil ya!” candaku sambil tertawa.
Rani menggeleng.

“Terus apa dong?”

“Aku kesepian sekali disini!”

“Ha… ha… ha!” aku tertawa, “Oh kamu nggak ikutan seperti kita ya? Yang terpaksa merantau untuk merajut masa depan, yah namanya juga anak juragan krupuk, duitnya sudah menggunung tidak perlu lagi merantau kayak aku!” candaku, tapi setelah itu aku merasa menyesal telah menertawakannya, mungkin dia merasa kesepian karena teman-teman sebayanya banyak yang meninggalkan kampung ini.

“Aku... aku kesepian sekali, maka kembali kuukirkan inisial namamu untuk mengisi hari hariku disini!” suara yang keluar dari mulutnya terdengar galau dan sangat menyedihkan. Aku bisa menangkap kalau dia tidak mengada-ada. 

“Tidak apa-apa kan kalau aku selalu memahat kembali?” tanyanya lagi.

Aku terdiam, ada keanehan di ucapan dia. Kesepian disini? Apa maksudnya disini itu... di kampung karena tidak ada teman sebayanya atau disini di kuburan ini? Ah secepatnya kutepiskan pikiranku yang mengatakan kesepian di kuburan ini... tidak mungkin, jelas tidak mungkin. Siapa pula yang mau menghabiskan waktu di tempat seperti ini?

 “Boleh kan?” dia mengulanginya, karena agak lama tidak ada respon dariku.

Aku tersentak, lalu segera kujawab “Aduh... kamu tuh, aku jadi tersanjung lho...!” Aku tidak bisa menyembunyikan kebanggaanku memiliki teman masa kecil yang tidak melupakanku.

Aku lalu berbalik ke arah pohon itu dan meraba ukiran itu.

“Lihat Rani... ukiran kamu bagus tuh, ada bakat mengukir rupanya, kenapa nggak jadi seniman ukir aja!” aku mencoba meledeknya agar suasana mencair. 

Tidak ada sahutan dari Rani, aku tiba-tiba merasakan keheningan... sepi sekali. Aku memutar kepala ke arah belakang, tidak ada Rani disitu. Kemana dia? Secepat itukah dia pergi? Kenapa aku tidak mendengar suaranya sama sekali bila dia meninggalkanku? Entah mengapa bulu kudukku berdiri, angin yang bertiup serasa sangat dingin menerpa tubuhku, ditambah petang mulai bergeser, suara adzan maghrib samar terdengar. 

Aku jadi ragu dengan diriku sendiri, benarkah tadi aku bertemu Rani? Ataukah tadi cuma pikiranku saja? Ah... aku mencoba menepiskannya. Lebih baik aku segera pulang menemui ibu, dia pasti sudah menungguku. Apalagi aku juga mulai merasa ketakutan sendirian di kuburan petang begini.

Aku membalikkan badan sebentar untuk mengamati kembali pahatan huruf “I” itu, ada perasaan aneh yang seketika menyergapku. Namun saat mataku beradu dengan pohon itu, huruf “I” itu tidak lagi terlihat baru, memang ada bekas sayatan disitu tapi sudah tidak terlacak lagi hurufnya, belum selesai rasa bingung ini terjawab tiba-tiba aku dikagetkan dengan sepasang kaki yang menggelantung di atasnya. 

Terkejut luar biasa, aku refleks mendongakkan kepala ke arah atas... dan… ya Allah... aku benar-benar tidak percaya dengan yang aku lihat. Aku melihat sosok perempuan muda tergantung di atas pohon itu, lidahnya menjulur keluar, dan matanya melotot. Rambutnya yang tergerai sedada melambai-lambai ditiup angin. Aku tidak bisa menerka siapa dia itu karena wajahnya sudah rusak.

“Nung... tolong aku! Leherku sesak sekali, aku sulit bernafas!” ucap perempuan muda itu terdengar sedih dan putus asa, sambil melambaikan tangan minta pertolongan.

Aku kaget sekali, suara itu sama persis dengan suara Rani teman kecilku. Tapi itu hanya sekelebat saja karena sosok itu langsung menghilang. Tak ingin berlama-lama, akupun segera mengambil langkah seribu meninggalkan areal pekuburan itu.

Sampai rumah, segera kucari ibu, ternyata beliau baru selesai shalat Maghrib. Ibu melepas mukenanya dan melipatnya dengan rapi. Sedang aku diam sebentar untuk mengatur nafas.

“Kenapa kamu pucat sekali dan terengah-engah kayak dikejar anjing, Nung?” tanya ibu heran. “Kan kamu lagi datang bulan, jadi nggak perlu tergesa pulang untuk melaksanakan shalat Maghrib?” lanjutnya lagi.

“Iya Bu!” jawabku seraya mendekatinya dan duduk di sebelahnya, “Ibu ingat temanku yang bernama Rani? Nama lengkapnya Mutiarani anaknya bapak Wardjono yang juragan krupuk itu!”

“Oooh... iya... Rani...! Ibu tentu ingat!” jawabnya tenang.

“Dimana dia sekarang ya Bu?” tanyaku lagi. 

“Dia...!” Ibu diam sejenak, seperti ada ganjalan untuk menceritakan lebih lanjut. Aku jadi semakin penasaran, “Dia... dimana?” ulangku lagi seraya mengguncangkan bahu beliau.

“Rani sudah meninggal, Nak!”

Aku benar-benar kaget dengan ucapan ibu, “Me... me... meninggal?” 

Ibu mengangguk, “Beberapa tahun lalu Rani bunuh diri... dia gantung diri di pohon mangga di kebun kosong di samping kuburan itu. Makanya tidak ada yang berani menebangnya walau sekarang kebun itu sudah dipergunakan sebagai perluasan kuburan. Kata orang sih Rani depresi karena hamil tapi pacarnya tidak mau bertanggung jawab...”

Aku tidak bisa mencerna cerita ibu selanjutnya, karena pandanganku jadi kabur dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

Kereta Hantu (Purwokerto)


Malam itu Jamal pulang dari kantor lebih malam dari hari biasanya. Karena ada meeting mendadak. Sekitar pukul 22.00, Jamal baru bisa keluar dari kantor, dan ia bergegas menuju ke stasiun kereta api. Ia hendak pulang naik kereta jurusan Purwokwerto. Jarak dari kantornya menuju stasiun sangatlah dekat. Dari kantor Jamal berjalan kaki menuju ke stasiun kereta api. 

Waktu itu suasana sekitar sudah agak sepi, mungkin karena sudah malam. Jamal duduk di ruang tunggu, dan karena sangat kelelahan, tanpa sadar ia pun ketiduran. 

Beberapa saat kemudian ada seseorang membangunkan Jamal.

“Mas mau kemana? Bangun!! Ada kereta datang!!” 

Seketika Jamal terbangun, dan ia melihat di depan matanya ada kereta api berwarna hijau. Setahu Jamal kereta api ini lah yang terakhir berangkat ke Purwokerto. 

“Oh ya, saya mau ke Purwokerto. Terimakasih sudah membangunkan saya,” kata Jamal buru-buru, karena kereta akan segera berangkat.

Jamal langsung saja naik ke dalam kereta. Di dalam kereta, suasana terasa begitu sunyi sepi dan agak aneh. Hanya segelintir orang yang naik ke dalam kereta. Itupun duduknya saling berjauhan dan semua penumpang duduk dengan posisi kepala menunduk. Setelah mencari-cari ke kiri dan ke kanan, akhirnya Jamal melihat ada tempat duduk kosong di dekat pintu keluar gerbong. Ia pun langsung duduk di sebelah nenek-nenek yang kepalanya menunduk.

“Mungkin nenek ini sangat mengantuk sekali,” pikir Jamal. 

Anehnya, beberapa menit kemudian kereta sudah sampai di stasiun yang ia tuju. Padahal biasanya perjalanan yang harus ditempuhnya bisa memakan waktu sekitar 45 menit. Pada saat Jamal mulai berdiri, tiba-tiba kereta langsung berjalan kembali. Kontan saja Jamal menjadi panik, 

“Gimana sih, masa berhentinya cuma sebentar, tidak memberi kesempatan penumpang untuk turun!” teriak Jamal kesal.

 Tiba-tiba nenek di sebelahnya memegangi tangannya sambil berkata,

“Nak, kamu salah naik kereta.”

Mendengar itu spontan Jamal balik melihat ke arah nenek yang tadi duduk di sebelahnya, yang masih memegangi lengannya. 

“Maksud Ne...” belum sampai ia menyelesaikan ucapannya, Jamal langsung menjerit histeris karena melihat nenek itu mukanya seram sekali... setengah tulang pipinya kelihatan dan berlepotan darah. Bahkan kulitnya yang keriput itu banyak yang sobek tak beraturan. 

Jamal segera menepiskan pegangan tangan nenek itu dari lengannya dan memandangi sekitar. Semua penumpang menatapnya. Dengan wajah pucat pasi dan mengerikan, mereka semua menertawai Jamal dengan suara tertawa yang aneh mirip suara kuntilanak. Dengan panik Jamal bergegas berlari menuju ke pintu keluar. Sambil membaca-baca doa ia menggedor-gedor pintu itu agar terbuka. Tiba-tiba, 

“Bruk...!!” 

Jamal jatuh tersungkur di atas tanah, sepertinya ada yang telah mendorongnya dari belakang. Dari tempat ia terjatuh, samar-samar dilihatnya kereta api itu perlahan-lahan menghilang. Karena begitu kaget dan takutnya, Jamal pun langsung jatuh pingsan dan tak sadarkan diri. 

Keesokan harinya, Jamal terbangun dan sudah berada di sebuah kamar yang begitu asing baginya. Sesaat kemudian masuklah seorang kakek dengan membawa segelas air putih dan berkata,

“Sudah siuman rupanya? Minumlah air ini,” katanya sedikit memaksa.

“Dimana saya, dan Kakek ini siapa?” tanya Jamal penasaran. 

“Kamu di rumah kakek Nak, semalam kamu pingsan disitu,” jawab kakek itu sambil menunjuk ke sebuah komplek pemakaman. 

Ternyata kakek itu adalah juru kunci di sebuah makam tua di Purwokerto.

“Oooh... jadi semalam akuu...” Jamal tak sempat melanjutkan ucapannya, karena ia keburu jatuh pingsan lagi.

Jrangkong Gentayangan


Kejadian ini terjadi ketika Zaenal masih duduk di bangku kelas lima SD. Namun sampai sekarang kejadian itu masih saja membekas dalam ingatannya. Begini kisahnya. Pada masa itu, di dalam ruangan kelas lima terdapat alat peraga berupa “jerangkong” atau kerangka tubuh manusia. Meskipun bukan kerangka tubuh manusia yang sebenarnya, tetapi hanyalah imitasi yang terbuat dari bahan plastik, tetapi Zaenal selalu merasa aneh bila melihat jerangkong itu. Pernah suatu ketika saat istirahat sekolah, semua temannya bermain diluar. Ia sengaja masuk kelas untuk mengambil sesuatu di tasnya. Pada saat itu seperti ada yang memperhatikannya, tapi tidak ia hiraukan. Sempat ia melirik ke arah tempat jerangkong itu berdiri, agak merinding juga. 

“Ah siang bolong begini, mana ada hantu,” pikir Zaenal ketika itu. 

Kemudian Zaenal segera bergegas keluar lagi setelah mendapatkan sesuatu yang ia cari di dalam tasnya. 

Suatu ketika sekolah tempat Zaenal menuntut ilmu mengadakan kegiatan kemah Sabtu-Minggu yang diikuti oleh siswa kelas tiga sampai kelas lima. Kemah diadakan di lapangan depan sekolahan. 

Ketika hari-H tiba, semua murid bersuka cita menyambutnya. Mereka mendirikan tenda-tenda di lapangan mengikuti kelompoknya. Menjelang siang semua tenda sudah berdiri semuanya dan masing-masing dihias seindah mungkin agar menang dalam lomba tenda terindah nantinya. Banyak kegiatan menarik yang telah diprogramkam oleh kakak-kakak pembina. Dan di Sabtu siang itu, tak satupun dari semua peserta kemah yang sempat bengong dan bersantai-santai di dalam tenda. Semua ikut berpartisipasi dalam acara kegiatan yang ada. 

Sabtu malam jam 19.30 adalah acara Api Unggun. Semua peserta kemah wajib mengikuti kegiatan tersebut. Ketika apel bersama di acara Api Unggun itu juga disinggung bahwa selepas kegiatan Api Unggun, akan diadakan kegiatan selanjutnya, yaitu “Jeritan Malam”, sebuah kegiatan yang ditujukan untuk melatih keberanian. 

Sebagian siswa terutama yang perempuan sudah merasa merinding mendengarnya. Hal ini karena mereka mendengar dari teman-temannya bahwa pada kegiatan kemah tahun lalu, acara Jeritan Malam-nya sangat menakutkan. Ada kakak pembina yang menyamar menjadi pocong, ada tawa cekikikan kuntilanak, serta suasananya dibikin horror beneran. Bahkan kabarnya ada beberapa siswa yang pingsan saking takutnya.

Di tengah Zaenal mengikuti kegiatan Api Unggun tersebut, ia merasa ingin buang air kecil. Setelah minta ijin kepada kakak pembina, Zaenal pun diijinkan pergi ke toilet sekolah tapi tidak boleh ditemani. Akhirnya Zaenal berangkat ke toilet sendiri. Toilet itu letaknya bersebelahan dengan ruang kelas lima. Saat Zaenal melewati ruang kelas itu, tiba-tiba terlintas dalam pikirannya, bayangan jerangkong yang ada di dalam ruang kelas itu. 

Jantung Zaenal berdegup keras, ia mencoba melirik ke dalam ruangan kelasnya. Jerangkong itu masih berdiri di tempatnya, tepatnya di sebelah kanan meja guru. Zaenal mencoba memberanikan diri untuk bergegas ke toilet. Setelah selesai dari toilet, jantungnya kembali berdegup saat melewati ruang kelas itu lagi. Kembali ia melirik ke dalam ruang kelasnya itu, dan ternyata jerangkong itu masih ada di tempatnya. Lalu Zaenal berlari menuju ke tempat kegiatan Api Unggun tadi. 

Sesampainya di tempat kegiatan Api Unggun, tiba-tiba pikirannya kembali ke jerangkong itu lagi. 

“Sepertinya, sebelum aku pergi ke toilet jerangkong itu berada di sebelah kanan meja guru. Tapi setelah aku selesai dari toilet kok sepertinya jerangkong itu berada di sebelah kiri meja guru ya?” kata Zaenal dalam hati. 

Zaenal mencoba mengingat-ingat dan menerka-nerka lokasi keberadaan jerangkong tadi, sebelah kanan meja atau sebelah kiri meja. Namun tiba-tiba... 

“Ddhuuer... Ddhuuer... Dhueerrr...!!!” 

Terdengar bunyi petir yang sangat keras menyambar-nyambar diikuti nyala kilat, sepertinya mau hujan deras. 

Sesaat kemudian turun hujan sangat lebat dan angin bertiup kencang sekali hingga merobohkan sebagian besar tenda mereka. Oleh kakak pembina, semua peserta kemah diperintahkan masuk ke dalam gedung sekolah. Untuk siswa kelas tiga perempuan menempati ruangan kelas satu, sedangkan yang laki-laki menempati ruangan kelas dua. Untuk siswa kelas empat perempuan menempati ruangan kelas tiga, sedangkan laki-laki menempati ruangan kelas empat. Dan untuk siswa kelas lima perempuan menempati ruangan kelas lima, sedangkan laki-laki menempati ruangan kelas enam. 

Kemudian kakak pembina mengumumkan bahwa kegiatan Jeritan Malam dibatalkan karena hujan deras. Sontak semua siswa bersorak-sorak gembira, kemudian mereka masuk ke dalam ruang kelas yang sudah ditentukan tadi untuk istirahat malam.

Menjelang tengah malam, Zaenal terbangun. Suasana begitu sunyi senyap, semua temannya sudah terlelap tidur karena kelelahan. Tiba-tiba terdengar suara klik-klak... klutak-klutik... klik-klak... klutak-klutik... kemudian dari balik jendela ruang kelas Zaenal melihat bayangan jerangkong sedang berjalan. Dengan jantung deg-degan Zaenal bergegas kembali tidur, dengan wajah dan seluruh tubuh ia tutupi dengan selimut. Suara jerangkong berjalan itu semakin jelas terdengar, sepertinya suara itu memasuki ruangan kelas ini. Zaenal mencoba mengintip dari balik selimutnya. 

“Astaga!! Benar, jerangkong itu berjalan memasuki ruangan kelas ini,” jerit Zaenal dalam hati.

Zaenal sengaja tidak berteriak dan pura-pura tidur agar jerangkong itu tidak melihatnya. Setelah mengelilingi ruangan kelas, akhirnya jerangkong itupun pergi keluar. Hhmm... Zaenal merasa sedikit lega, dan ia mencoba untuk tidur kembali karena besok masih banyak kegiatan yang harus diikuti.

Baru saja Zaenal memejamkan mata, tiba-tiba terdengar suara menjerit histeris dari arah ruang kelas tiga, selang beberapa saat terdengar suara tertawa kuntilanak tapi anehnya suaranya terdengar seperti suara dari sebuah rekaman, beberapa saat kemudian terdengar jeritan,

“Pocoong... pocoong... pocoong...!!”

Semua murid pun terbangun dan berhamburan keluar... ternyata pocong jadi-jadian. Salah seorang kakak pembina sengaja menyamar jadi pocong dan ternyata itu merupakan kegiatan Jeritan Malam yang tadi dibatalkan.

Esok paginya kami semua berbenah dan memperbaiki tenda-tenda yang rusak untuk dibetulkan. Sembari berbenah Zaenal bertanya kepada salah satu kakak pembina. 

“Kak, semalam katanya tidak ada kegiatan jeritan malam? Kenapa semalam ada yang menyamar jadi pocong?” tanya Zaenal.

“Yah, biar seru, tapi kali ini tidak ada yang pingsan kan?” jawab kakak pembina. 

“Lalu siapa tadi malam yang menyamar jadi pocong?” tanya Zaenal lagi. 

“Kak Pramono,” jawabnya. 

“Terus, siapa yang jadi jerangkong dan jalan-jalan di ruangan kelas?” tanya Zaenal penasaran. 

“Jerangkong apa? Hantunya cuma satu kok. Cuma pocong saja,” jawabnya sambil berjalan meninggalkan Zaenal menuju ke tenda sebelah. 

Zaenal masih penasaran dan mencoba menanyai semua teman-temannya yang semalam tidur di ruang kelas yang sama seperti Zaenal, namun mereka semua menjawab sama, “Tidak pernah melihat jerangkong berjalan-jalan.”

Gadis Manis di Atas Tebing (Purwokerto)

Liburan kali ini kami berlima berencana menghabiskan waktu liburan di rumah pak Sumadi di desa Sumber Rahayu. Desa Sumber Rahayu terletak agak terpencil, jauh dari keramaian kota, dan merupakan desa yang masih alami dan belum terkontaminasi budaya asing. 

Pak Sumadi adalah seorang penjaga sekolah sewaktu kami masih duduk di bangku SMA. Sedangkan kami semua sekarang sudah berstatus mahasiswa semester dua. Andra (aku), Joned, Amron, Ipang, dan Herry adalah lima sekawan yang sejak SMA mempunyai hobi yang sama yaitu berpetualang di alam seperti panjat tebing, arung jeram, mendaki gunung, dan sebagainya. Pokoknya segala kegiatan yang ada tantangannya dan berhubungan dengan alam, pasti kami menyukainya. 

Kami berlima memutuskan untuk menghabiskan liburan semester disini karena teringat dulu pak Sumadi pernah bercerita kepada kami bahwa dia tinggal di desa yang asri dan masih alami sehingga membuat kami tertarik untuk mengunjunginya, namun keinginan itu baru terwujud sekarang ini setelah kami semua lulus SMA. Ada satu hal yang membuat kami tertarik untuk mengunjunginya yaitu cerita tentang adanya sebuah tebing yang indah dan sepertinya asyik untuk didaki. 

Sewaktu memasuki desa Sumber Rahayu, kami semua sempat merasakan ada sesuatu yang sedikit ganjil. Suasana saat itu begitu sunyi senyap, seakan-akan kampung itu tak berpenghuni. Mobil yang kami tumpangi berlima pun berjalan pelan seolah enggan memasuki desa yang berada jauh dari keramaian kota itu.

“Wah, serem juga nih kampung, seperti kampung mati saja,” kataku mencoba memecah kebisuan.

 “Ah, menurutku kampung ini asyik buat berpetualang. Aku berharap mendapatkan pengalaman yang menarik yang belum pernah kualami seumur hidupku. Ketemu kembang desa kek, atau...”

Belum selesai Herry merampungkan kalimatnya tersebut tiba-tiba kami semua terkesima melihat ada seorang nenek berdiri di pinggir jalan. Tampak di tangannya membawa lentera, padahal hari masih siang.

“Hahaha... atau justru ketemu nenek-nenek yang masih gadis??” ejek Ipang melanjutkan kalimat Herry yang belum selesai tadi.

 “Ssstt...!! Sebaiknya kita berhati-hati jangan ngomong sembarangan soalnya kita tidak tahu adat disini, lagi pula kita tidak tahu apakah pak Sumadi masih ingat dengan kita,” ujar Amron. 

Akhirnya sampai juga kami di sebuah rumah sederhana yang asri. Dari dalam rumah tampak tergopoh-gopoh seorang lelaki paruh baya menyambut kami.

“Eh... kalian semua, akhirnya datang juga! Mari... mari... silahkan masuk,” sambut Pak Sumadi sambil mengajak kami berlima untuk langsung masuk ke rumahnya. 

“Enak juga yah suasana desa waktu sore, wah aku jadi langsung pengin jalan-jalan nih,” ajak Ipang. 

Namun dengan gugup pak Sumadi segera mengajak masuk rumah dahulu dengan setengah memaksa, bahkan istrinya yang muncul kemudian malah langsung menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam rumah.
Seusai mandi dan istirahat sebentar, langsung kami disuguhi makan malam.

“Pak, ini kan masih sore, baru jam 6 kok sudah makan, nanti saja lah, aku pengin jalan-jalan,” ajak Joned tak sabaran.

Tapi dengan sigap pak Sumadi segera melarang dan menyuruh makan dulu. 

“Oke deh, aku sudah lapar juga kok. Oh iya Pak tadi di depan desa aku melihat seorang nenek duduk di pinggir jalan tapi kok siang-siang menyalakan sentir yah, siapa dia Pak?” ujar Amron.

“Makan dulu saja, nanti sehabis makan bapak akan ceritakan semuanya tentang desa ini dan aturan-aturannya,” ujar Pak Sumadi. 

Dengan penuh penasaran akhirnya kami menikmati makan malam dengan tergesa-gesa. Seusai makan sambil minum wedang jahe suguhan, kami duduk di ruang tengah untuk mendengarkan penjelasan pak Sumadi. 

“Mas, sebenarnya kedatangan Mas-mas disini agak kurang tepat waktunya, mungkin kalau kalian memperhatikan sejak memasuki desa ini akan terasa aneh kan, ini karena beberapa hari ini arwah Ni Mas muncul lagi,”

“Ni Mas? Siapa itu Ni Mas, Pak?” tanyaku penasaran.

“Maaf Mas, membicarakan asal usul Ni Mas adalah tabu di desa ini, yang penting kita tidak boleh mengganggunya dan cara yang dilakukan oleh warga desa adalah dengan tidak keluar rumah selepas Maghrib dan tidak boleh berkata-kata kotor, tapi ini hanya berlangsung selama sepasar (5 hari) saja, setelah itu rutinitas kehidupan warga akan kembali seperti biasanya,” ujar pak Sumadi serius.

 Akhirnya, kami melewatkan malam pertama hanya dengan saling diam, walaupun kadang ada satu atau dua guyonan dari teman-teman, tapi malah terkesan hambar karena suasananya tidak mendukung untuk bersendau gurau.

Keesokan harinya kami sudah bangun pagi-pagi sekali dan sudah mempersiapkan segalanya untuk pergi menuju lokasi tebing seperti yang diceritakan oleh pak Sumadi, dengan diantar oleh pak Sumadi akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Untungnya hari itu pas hari Minggu, jadi pak Sumadi juga pas libur, sehingga dapat menemani kami sebagai penunjuk jalan.

 Dan memang benar apa yang diceritakan oleh pak Sumadi. Tebing itu masih asli dan sangat indah, berjarak sekitar 400 meter dari batas desa. Pemandangan dari atas tebing pasti akan begitu menakjubkan. Aku mulai membayangkan memandang hamparan sawah dan lingkungan pedesaan dari atas tebing, dan tak sabar untuk segera melakukan pemotretan untuk dokumentasi kegiatan kali ini. Kebetulan sekali bentuk tebingnya sangat memudahkan bagi pemanjat untuk mendakinya. Selain banyak tumpuan juga banyak cekungan untuk pegangan.

Joned sebagai pemimpin petualang, berjalan lebih dulu. Sesampainya di atas, sambil menunggu yang lainnya, Joned melihat-lihat sekeliling tempatnya berdiri, tak jauh dari tempatnya berdiri dilihatnya seorang gadis berdiri menghadap bukit, dan kemudian ia duduk di atas sebuah batu. Bajunya khas orang desa dan di dekatnya terdapat tenggok yang berisi singkong. 

“Ah, pasti dia gadis desa sini, tapi kok bisa sampai berada di atas sini ya, lewat mana dia??” pikir Joned penasaran.

Kemudian dia menghampiri gadis itu dan menyapanya.

“Pagi Mbak, sendirian yah?” sapa Joned sok ramah. 

“Iya,” jawabnya singkat. 

“Saya Joned Nugroho dari Klaten, biasa dipanggil dengan nama Joned saja. Kalau Mbak namanya siapa?” seloroh Joned lagi, muncul sikap playboynya. 

“Rengganis,” ucap gadis itu lirih sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Wah kesempatan nih, waduh tangannya halus banget tapi kok dingin ya,’’ pikir Joned.

“Kok bisa naik ke atas, lewat mana?”

Pertanyaan Joned itu cuma dijawab dengan arah telunjuk Rengganis yang menuju jalan kecil terjal di pinggir bukit. Tiba-tiba... 

“Joned, ngapain kamu, eh malah cengar-cengir kok aku tidak dibantu naik,” teriak Amron yang kedatangannya disusul oleh Herry.

“Hoi...!! Sini dong...!! Aku dapet kenalan cewek cantik nih, ayo sini...!!” teriak Joned. Tapi... 

“Lho mana Rengganis kok hilang, wah pasti gara-gara kalian Rengganis pergi,” ujar Joned sambil memandang jalan terjal yang mungkin dilalui oleh Rengganis. 

Selepas siang kami pulang ke rumah pak Sumadi lagi dan sepertinya Joned enggan menceritakan pertemuannya dengan Rengganis. Hingga ketika malam tiba, mendadak tubuh Joned menggigil kedinginan tapi tubuhnya panas.

“Joned kenapa kamu? Wah, susah kalau bawa anak mami, pasti dia kangen ibunya,” kelakar Ipang. Tapi pak Sumadi menanggapinya lain.

“Apa yang terjadi dengan kalian di atas tadi?” tanya pak Sumadi.

“Tidak ada apa-apa kok, entah kalau si Joned,” jawabku.

“Eh, ya, tadi Joned bilang ketemu dengan gadis… namanya siapa Pang?”

“Ooh... namanya Rengganis,” sahut Ipang. 

Tiba-tiba wajah pak Sumadi dan istrinya berubah, seperti ketakutan. 

“Mas kalian tunggu sebentar disini ya, tapi aku minta ditemani salah satu dari kalian untuk keluar sebentar,” ujar pak Sumadi tambah membuat kami heran.

“Sudah nanti saja saya ceritakan,” lanjut pak Sumadi yang sepertinya bisa menangkap keheranan kami.

Akhirnya Herry yang pergi menemani pak Sumadi keluar rumah. 

Tak berapa lama kemudian mereka datang bersama dengan nyai Pariyem, yang dikenal sebagai tabib di desa tersebut. Setelah diberi doa dan mantra-mantra, akhirnya tubuh Joned jadi tenang dan mulai turun panasnya. 

“Tolong setelah siuman nanti segera minumkan ramuan ini, sekarang saya harus langsung pulang karena masih ada yang membutuhkan pertolongan saya di rumah,” ujar nyai Pariyem.

Joned masih belum sadar, sepertinya tidurnya sangat lelap. Dan sementara sambil menunggu Joned siuman, akhirnya pak Sumadi bercerita, kalau gadis yang ditemui Joned bernama Rengganis tersebut tak lain adalah Woro Rengganis alias Ni Mas. Dan, hingga Joned kejang seperti itu tadi pasti karena Joned telah bersentuhan atau mungkin bersenggolan dengan tubuh Woro Rengganis. 

“Jangankan bersalaman, tersenggol saja sudah bisa terkena sawan-nya, tapi untung belum parah jadi masih bisa tertolong, dan nenek yang kalian temui di gapura desa itu adalah ibunya Woro Rengganis. Dia masih hidup tapi kurang waras, dia selalu membawa lentera kesana-kemari karena ingin mencari anaknya siang maupun malam. Kasihan sekali, ia tak pernah menyadari bahwa putrinya telah tiada,” terang pak Sumadi.

“Tapi Woro Rengganis tidak kejam, hanya sebatas menggoda saja,” imbuhnya. 

“Kalau boleh tahu siapa Woro Rengganis, Pak? Kenapa bisa jadi begitu?” tanya Herry penasaran. 

Pak Sumadi takut menceritakan kisah Woro Rengganis pada malam hari, setelah esok pagi barulah dia bercerita tentang Woro Rengganis. Tuturnya, dia seorang anak yang lahir dari hubungan wanita desa setempat dengan seorang pria pendatang. Namun setelah Woro Rengganis tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, sang ayah yang bejat malah memperkosanya dan akhirnya Woro Rengganis bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari atas tebing. 

Ayahnya sendiri tewas dihakimi massa. Kisah tersebut sudah terjadi sejak 25 tahun yang lalu, tapi ibunda Woro Rengganis sampai sekarang masih berkeliaran sambil menenteng lentera, mencari-cari putrinya. Namun tentu saja tidak akan pernah ketemu sampai kapanpun. Warga sering merasa kasihan melihat penderitaan ibunda Rengganis yang tak pernah putus asa mencari anaknya yang sebenarnya telah tiada itu.

Telaga Angker

Libur panjang telah tiba, inilah momen yang telah cukup lama dinanti-nantikan oleh Doddi dan ke tiga temannya yang lain yaitu Ryan, Fadli, dan Andon. Mereka berempat sudah lama merencanakan sebuah acara untuk mengisi liburan panjang ini. Mereka akan berkemah di dekat telaga yang lokasinya tidak begitu jauh dari kampung Ryan. 

Sesampainya di rumah Ryan, mereka berempat mulai menyiapkan segala sesuatunya. Keesokan harinya mereka pun mulai berangkat menuju ke telaga itu dengan membawa perlengkapan berkemah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setibanya di sana, ke-empat sekawan itu segera mencari tempat yang strategis untuk mendirikan tenda. 

Setelah berputar-putar kesana kemari dan mendapatkan tempat yang nyaman, mulailah mereka mendirikan tenda. Kemudian mereka merapikan segala peralatan yang dibawanya hingga senja pun tiba. Setelah seharian berkutat mendirikan tenda dan menyiapkan segalanya, mereka mulai merasa gerah dan kelelahan. Kemudian Ryan mengajak teman-temannya untuk mandi ke telaga agar terasa segar kembali. 

“Kalian bertiga pergi mandi dulu saja sana, nanti aku menyusul. Aku mau tiduran dulu sebentar sambil jaga tenda,” kata Doddi. 

Akhirnya Ryan dan kedua temannya pergi ke telaga duluan untuk mandi. Sedangkan Doddi asyik melepas lelah dengan tiduran sambil mendengarkan radio.

Beberapa saat kemudian, Ryan dan kedua temannya pulang dari telaga. Sesampainya di tenda, mereka menemukan Doddi sedang tertidur pulas di luar tenda di bawah pohon cemara, namun ia kelihatan tersenyum sepertinya sedang mimpi indah. 

“Hei... hei...!! Bangun... bangun… cepetan mandi keburu petang,” kata Ryan. Doddi dengan malasnya mencoba bangun dan mengucek-ucek matanya. 

“Hei Doddi, ayo cepetan buka matamu... tidur kok senyum-senyum. Kamu sedang mimpi ya?” kata Fadli.

“Iya, barusan aku bermimpi ketemu cewek cantik,” jawab Doddi masih setengah mengantuk. 

“Halah... belum mandi aja mimpi ketemu cewek, kasihan bener tuh cewek,” gurau Andon.

 “Sudah-sudah buruan mandi keburu petang,” tambah Ryan. 

“Jangan lupa bawa senter, sepertinya matahari sudah mau tenggelam,” kata Fadli mengingatkan.

Akhirnya Doddi pergi ke telaga untuk mandi. Saat itu hari sudah mulai gelap, matahari sudah hampir mau tenggelam. Sampailah Doddi di tepian telaga dan alangkah terkejutnya dia melihat seorang perempuan berwajah sangat mirip dengan perempuan yang ada dalam mimpinya tadi sedang mencuci baju.

“Hai... sedang mencuci yang Neng, buruan lho hari sudah mulai gelap,” sapa Doddi dengan gaya sok akrab. 
“Eh... iya Mas, ini juga sudah mau selesai kok,” jawab perempuan itu sedikit malu-malu. 

“Sedang berkemah juga ya Neng?” tanya Doddi. 

“Ah... enggak kok Mas, saya tinggal di kampung dekat telaga ini, di sebelah timur sana,” jawab perempuan itu sambil membereskan baju-baju yang selesai dicuci. 

“Oh iya, siapa namanya Neng?” tanya Doddi.

 “Nama saya Lanjar, Mas,” jawabnya pendek.

 “Oh, namanya Lanjar, kenalkan aku Doddi,” kata Doddi memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Lanjar pun menyambut dan menyalaminya. 

“Tangannya halus, tapi kok terasa dingin sekali? Ah, pasti karena habis mencuci,” pikir Doddi.

 “Sering ya Neng Lanjar mencuci di telaga ini?” selidiknya. 

“Iya Mas setiap sore saya mencuci disini. Maaf Mas, saya pulang duluan hari sudah mulai gelap,” pamit Lanjar.

 “Oh iya silakan, sampai ketemu besok,” jawab Doddi. Kemudian Doddi pergi mandi sambil bersenandung senang karena mimpi indahnya menjadi kenyataan.

Sementara itu di dekat tenda, Ryan dan kedua temannya sedang sibuk menyusun ranting-ranting kering untuk membuat api unggun.

 “Kok Doddi belum pulang juga ya, padahal hari sudah gelap begini?” kata Ryan bertanya-tanya.

“Wah, jangan-jangan si Doddi tersesat, dia kan belum hafal daerah ini,” seru Fadli dengan nada cemas.

 “Iya, kasihan si Doddi... dia sendirian di sana. Sebaiknya ayo kita susul saja,” usul Andon.

Ketika mereka mau menyusul Doddi, tiba-tiba ia muncul dari kegelapan dengan membawa senter berjalan menuju ke tenda sambil bersenandung riang seperti orang sedang kasmaran.

“Lama sekali kamu mandinya Dod, kami kira kamu tersesat,” tanya Fadli. 

“Iya nih si Doddi mandi aja kok lama sekali, begitu kembali malah nyanyi-nyanyi lagi, seperti habis ketemu bidadari saja,” gurau Andon.

Doddi hanya tersenyum saja menanggapi sindiran teman-temannya.

Malamnya mereka menyalakan api unggun sambil membakar ikan, singkong, dan jagung. Setelah semuanya matang dan mereka santap ramai-ramai sampai habis, kini giliran acara santai sambil mengobrol dan main gitar. Di tengah-tengah obrolan mereka, tiba-tiba Doddi menanyakan tentang Lanjar kepada Ryan.

“Hey Ryan, kenapa sih kamu tidak cerita kalau tetanggamu ada yang cantik mirip bidadari? Kamu takut ya kalau aku pacari duluan cewek itu hahaha...” tanya Doddi kepada Ryan sambil tertawa. 

“Maksudmu apa Dod, siapa yang kamu maksud?” jawab Ryan.

“Halaaah... jangan pura-pura nggak tahu deh, tetanggamu si Lanjar yang setiap sore nyuci di telaga, masak nggak kenal?” tanya Doddi.

Kemudian Doddi menceritakan pertemuannya dengan Lanjar saat pergi mandi tadi.

“Wajahnya mirip sekali dengan cewek yang aku impikan sebelum pergi mandi tadi...” kata Doddi.

“Nama lengkapnya kalau tidak salah Lanjar Nurlaila...” lanjut Doddi penuh semangat.

Spontan tubuh Ryan gemetaran mendengar nama itu, wajahnya langsung pucat pasi ketakutan.

“La... Lan... Lanjar N… Nurlaila katamu?” tanya Ryan gemetaran.

“Iya, emang kenapa kok kamu jadi gemetaran begitu, santai saja aku tidak akan merebutnya darimu hehehe...” canda Doddi.

“Sssttt...!! Hati-hati, jaga bicaramu, Lanjar Nurlaila sudah meninggal lima belas tahun yang lalu. Ia menceburkan diri ke dalam telaga karena dipaksa menikah sama bapaknya...!!” ujar Ryan setengah berbisik.
“A... aaa... apaa...???” tanya Doddi kaget. 

Spontan Andon dan Fadli yang tadinya asyik main gitar langsung berhenti begitu saja. Suasananya menjadi hening dan mencekam. Dan samar-samar terdengar suara cekikikan dari arah telaga, seolah-olah mentertawakan mereka berempat yang sedang ketakutan.

Ternyata Bukan Penjual Kacang


Hari ini Fuad sedang kesal. Pasalnya dia harus mengikuti meeting dengan bos besar yang baru saja datang dari Surabaya, dan seperti biasanya bos besar selalu bertele-tele dalam membicarakan program kerja yang direncanakan. Alhasil, meeting selesai hingga larut malam. Jam 22.00, Fuad baru bisa keluar dari kantor. Karena sudah malam, tidak ada lagi bus angkutan kota yang lewat. Fuad pun segera pergi ke pangkalan ojek terdekat, tapi sial tak ada satupun ojek yang kosong malam itu. Semua sudah di booking. 

“Hhh... seandainya saja aku punya cukup uang untuk bayar taxi...” keluh Fuad menyesali nasibnya yang tidak pernah punya banyak uang.

Dengan terpaksa dia harus pulang dengan berjalan kaki. Sedangkan jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke rumahnya adalah sekitar 3,5 kilometer.

“Si*l, gara-gara bos besar datang mendadak aku jadi pulang jalan kaki. Coba sebelumnya kasih pemberitahuan, aku bisa berangkat dan pulang kantor pakai motor Mas Dudung,” gerutu Fuad. 

“Mana jalannya gelap dan perut terasa lapar lagi. Mampir warung angkringan Mas Bro dulu deh, minum wedang jahe sambil makan nasi kucing buat ganjal perut dan siapa tahu dapat tumpangan dari pada jalan kaki,” gumam Fuad.

“Haduuh, si*l kenapa warung angkringannya tutup,” gerutu Fuad ketika melihat ternyata warung angkringan yang ditujunya tutup. 

Akhirnya Fuad melanjutkan perjalannya sambil sesekali menengok jam tangannya yang waktu itu sudah menunjukkan pukul 23.00. 

“Wah, harus ambil jalan pintas nih supaya cepat sampai rumah!!” gumam Fuad.

Akhirnya Fuad mengambil jalan pintas melewati jalan setapak di tengah hutan jati. Perkebunan jati itu terletak di seberang desa Fuad, namun sebelum melewatinya harus melalui beberapa petak sawah dan menyeberangi sungai kecil. 

“Tumben malam ini kok sepi yah, oohhh... iya lupa, ada hajatan di desa seberang nanggap wayang, pantesan banyak yang pada pergi ke sana,” gumamnya lagi.

Sesekali Fuad memang bersenandung atau bergumam dan ngomong sendiri, sekedar untuk mengusir rasa takutnya. Karena menurut cerita dari banyak orang, hutan jati itu cukup angker, sering ada suara wanita menangis dari rerimbunan pohon di hutan tersebut. 

Memasuki hutan jati, Fuad diam seribu bahasa, tak hentinya mulutnya berguman melayangkan doa-doa untuk menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat, Fuad mulai melihat cahaya lampu rumah nun jauh di sana. 

“Alhamdulillah... akhirnya sampai juga,” gumam Fuad dengan hati riang.

 Tapi siapa itu? Dilihatnya ada seorang wanita berjalan sendirian melewati jembatan, sambil menggendong bakul.

“Oohh, mungkin itu penjual kacang rebus yang sedang berangkat untuk berjualan di lokasi hajatan di desa seberang, tapi dipikir-pikir... boleh juga nih untuk mengisi perut dari pada keroncongan terus,” pikir Fuad, karena dia masih harus melewati satu desa lagi untuk sampai di rumahnya. 

“Yu, jualan kacang ya, saya beli ya,” ujar Fuad pada wanita itu.

Wanita itu berhenti dan duduk meletakkan bakulnya di tanah sambil membuka bakulnya dan menyerahkan sebungkus kacang rebus yang tampaknya masih hangat dan mengepulkan asap itu.

 “Kok diam saja Yu, apa tidak kemalaman lewat sini?”

Aneh, wanita itu cuma tersenyum saja, tanpa bicara sepatah kata pun. Tidak ada yang mencemaskan, tapi tiba-tiba saja bulu kuduk Fuad merinding dan sepertinya tercium bau-bauan yang wangi.

 “Hati-hati lho Yu kalau lewat disini, kabarnya ada penunggunya,” ujar Fuad seraya memberikan uang seribuan pada wanita tersebut.

Tiba-tiba saja ada angin mendesir pelan diiringi tawa cekikikan pelan dari mulut wanita cantik itu. Dan wanita itu mendekat pada Fuad, dan berbisik... 

“Siapa yang bilang ada penunggunya Mas?” 

Dan tiba-tiba saja suara wanita itu berubah menjadi parau dan dia tertawa-tawa cekikikan, mirip tertawanya kuntilanak.

Spontan Fuad kaget dan merinding seluruh tubuhnya. Seketika itu juga, Fuad jatuh pingsan di tempat.
Keesokan paginya, Fuad sudah berada di teras rumah penduduk desa setempat, dan dia dikerumuni banyak orang.

 “Cepat ambilkan minum, dia sudah sadar,” ujar salah seorang bapak yang belakangan diketahui bernama pak Slamet.

“Nak, tadi malam kamu ditemukan oleh warga pingsan di dekat jembatan, kamu kenapa?” tanya salah seorang warga. 

Lalu tiba-tiba datanglah bapak dan ibu Fuad yang dijemput oleh seorang warga yang kebetulan mengenal Fuad sebagai anak dari pak Waluyo, warga kampung sebelah. 

“Kenapa kamu Fuad, kok tidak pulang malah tidur disini?” tanya ibunya cemas.

“Tidak apa-apa Bu, Fuad cuma ditemui mbakyu yang menunggu jembatan,” ujar pak Slamet. 

Ternyata semalam Fuad disapa oleh mbakyu, demikian orang kampung biasa memanggil sosok wanita penunggu sungai dan jembatan di desa itu. Namun mbakyu tidak pernah membuat celaka hanya sebatas menggoda saja. Sejak kejadian itu, Fuad takut sekali bila pulang kemalaman. Dan dia lebih memilih untuk tidur di kantor saja.

Tuesday, March 17, 2020

Hantu Sungai (Aceh)


Banda Aceh, Krueng Arakundo telah lama dikenal banyak orang. Arakundo sempat melambung ke seantero Nusantara saat tragedi dakwah di Idi Cut pada Rabu, 3 Februari 1999, yang berakhir dengan tewasnya banyak warga yang dibuang ke Krueng Arakundo. Riak Krueng Arakundo seperti mempunyai karakter tersendiri. Airnya yang keruh dan menguning kadang-kadang deras dan kadang melambat seperti dibawa angin.

Kini sebagian besar zona Arakundo dijadikan lokasi pertambangan pasir oleh warga sekitar untuk mencari nafkah demi keluarga mereka. Setelah lama tak terdengar, kini nama Arakundo mulai mencuat lagi ke permukaan dan menjadi buah bibir warga sekitar. Santer dibicarakan mengenai “penghuni” Krueng Arakundo menyusul tenggelamnya dua bocah warga Blang Gleum, Kecamatan Julok. 

Jasad kedua bocah ini ditemukan secara terpisah oleh tim pencari. Warga sekitar menyakini kedua bocah ini dimangsa Balum Bili atau disebut pasir mengambang dalam bahasa Indonesia, setelah melihat sejumlah hal aneh sebelum tenggelamnya dua bocah itu. Senin (7/9) sekitar pukul 10.00, satu jam sebelum jasad Putri ditemukan tim SAR Aceh Utara, suasana terlihat begitu tegang. Ratusan warga termasuk teman-teman korban tumpah ruah ke pinggir sungai yang di sekitarnya ditumbuhi semak belukar. Kondisi air sungai menguning pekat, sebagian keluarga Putri juga ikut menyaksikan operasi pencarian sambil tertunduk lesu di pinggir sungai Arakundo. Lokasi itu sekitar dua kilometer dari badan jalan Medan-Banda Aceh.

Desas-desus berkembang bahwa kedua bocah ini diambil penunggu sungai, orang Aceh sering menyebutnya Balum Bili. Malah, sebagian besar warga yang hadir berkeyakinan, bocah putri dan temannya seperti dipanggil maut karena lokasi tempat mereka bermain tidak pernah dikunjungi anak-anak dan jarang pula disinggahi warga biasa, kecuali para penambang pasir.

Menguatnya dugaan, para bocah itu dimangsa Balum Bili ketika pencarian yang berlangsung sejak Putri tenggelam, Minggu (6/9) sore hingga Senin pagi belum membuahkan hasil. Lalu, warga melalui Mukim Julok Cut, Tgk Abdullah Harun, berinisiatif meminta Kapolsek Julok Iptu Samsuar AM yang berada di lokasi untuk melepaskan tembakan ke dalam sungai.

Menurut Mukim Julok Cut, warga di sana berkeyakinan Balum Bili takut dengan suara mesiu senjata api. Biasanya korban akan dilepaskan maksimal lamanya dua jam setelah tembakan dilepaskan. Menjelang pukul 11.00, Kapolsek memerintahkan seorang personel polisi melepaskan empat kali tembakan dari senjata AK-47 ke dalam sungai hingga memecahkan keheningan Arakundo. Selama 30 menit berselang, Tim SAR Aceh Utara berhasil menemukan jasad Putri dengan posisi telungkup di permukaan sungai.

Temuan ini sempat mencengangkan warga, dan dugaan dimangsa Balum Bili seperti tak terbantah lagi. Jasad Putri diangkat ke speedboat dengan rambutnya yang terburai dan badan mungilnya yang sudah kaku. Nyaris seketika keluarga korban berteriak dan menangis histeris saat jasad Putri dirapatkan ke daratan.

Namun, tim SAR kembali menarik speedboat ke tengah sungai agar jasad Putri bisa segera dimasukkan ke kantong mayat yang telah disiapkan. “Kebiasaan dan menurut keyakinan kami di sini bahwa korban itu dimangsa Balum Bili, dan apabila dilepaskan tembakan ke sungai biasanya akan dilepaskan. Bapak kan sudah lihat sendiri bagaimana, setelah tembakan dilepaskan, jasad Putri ditemukan,” kata Tgk Abdullah Harun meyakinkan.

Tgk Abdullah yang ketika itu badannya dibasahi keringat mengaku tidak ada cara lain yang harus dilakukan. Sebab, pencarian yang berlangsung lama masih belum membuahkan hasil. Jika upaya tembakan tidak berhasil, maka jasad korban dipastikan sulit ditemukan kecuali beberapa waktu mendatang. Tidak hanya itu, Fani, teman korban Zubir dan Putri yang selamat, juga mengungkapkan keanehan saat hendak menolong Putri. Dari mata korban terlihat seperti cairan darah, sehingga hal itu memupuskan niat Fani untuk menolong. Belum lagi cerita Nita, kakak Putri, yang mengaku sempat bermimpi aneh selama tiga hari sebelum korban tenggelam.

Percaya atau tidak percaya, Arakundo berpenghuni atau yang sering disebut Balum Bili. Setiap tahunnya, menurut cerita rakyat, memangsa korban. Cerita Balum Bili yang bentuknya seperti kelambu. Hal itu secara turun-temurun dari generasi ke generasi terus dipercaya.

Hantu Lubuk linggau (Palembang)


Namaku Linda, aku tinggal di Lubuklinggau sebuah daerah di kota Palembang. Aku punya cerita, bukan pengalaman pribadi sih. Tapi ini kejadian yang di alami oleh tetangga-tetanggaku, langsung saja ke ceritanya.
Katanya di RT tempat aku tinggal itu banyak penghuninya, tapi Alhamdulillah sampai sekarang aku dan keluarga belum pernah diganggu, (hii..., jangan sampai dech!!) seperti yang dialami oleh tetanggaku yang bernama Om Ndut.

Nah, Om Ndut ini kalau pulang kerja sekitar jam 2an gitu. Dia kerja di sebuah RM besar di depan rumahku, kebetulan rumahku itu pas di pinggir jalan lintas, jadinya depan rumahku ada Rumah Makan yang lumayan gede.

Jam 2 seperti biasa Om Ndut pulang dengan berjalan kaki, tapi di perjalanan kok perasaannya nggak enak, kayak ada yang ngikutin gitu. Tapi dasarnya Om Ndut itu orangnya nggak penakut jadi nyantai saja dia jalannya walau katanya rada merinding. Setelah sampai di depan rumah, Om Ndut dibukain pintu oleh bininya yang lagi hamil muda, tapi dia sempat ngelirik ke depan rumahnya, tepatnya di bawah pohon mangga yang lumayan gede dan serem.

Eh, di sana ada Mbak Kunti pakai gaun putih lagi berdiri sambil tangan kirinya itu ngedekep boneka kumal. Mbak Kunti melepas pandang ke arah Om Ndut. Tapi Om Ndut cuek saja.

Terus cerita kedua, ini dari Sapto (adek temanku yang waktu itu Tahun 2009 baru kelas tiga SMA). Waktu itu malam minggu, biasalah cowok kalau malam minggu suka begadang dan pulang malam or subuh gitu, kalau nggak gitu katanya nggak gaul!

Jam 3 malam Sapto pulang dari main PS di rumah temannya. Kebetulan rumah temannya itu dekat rumah dia, jadinya dia cuma jalan kaki gitu. Kayak biasanya dia jalan kaki sendirian pulang ke rumah, namun dia merasakan  suasana nggak seperti biasanya. Jalan raya sepi banget, terus Rumah Makan juga sepi. Ada apa ya? Batinnya. Dengan nggak sengaja dia nengok ke teras rumah tetanggaku yang cukup luas. Ternyata di teras itu ada Mbak Kunti yang lagi menghadap jendela kaca, terus nyisir rambutnya yang panjang. Terus dia lihatin saja itu cewek, tapi kok kayak terbang gitu kakinya nggak nginjek tanah. Ya sudah, langsung ngibrit dech, sampai-sampai sandalnya putus!

Cerita ke tiga, ini kisah yang di alami temanku namanya keling, si Keling ini kakaknya Sapto. Waktu itu malam Jum’at sekitar jam 00.30 WIB, nggak tahu kenapa dia nggak bisa tidur dan pengen banget keluar ke rumah temannya. 

Akhirnya dia keluarin motor gedenya. Setelah melewati rumahku, nggak jauh ada jalan bersimpang tiga di situ. Di pinggirnya ada tempat Halte Bus, biasa di gunakan buat anak-anak SMP + SMA pulang sekolah. Tiba-tiba dari belakang halte ada Pak Pocong lagi loncat-loncat dan langsung saja si Keling muter motor refleks ngepot. Saking takutnya, Keling nggak kuat bawa motor. Akhirnya dia berhenti dan menggedor-gedor rumah warga.

Hampir semua rumah digedornya, sampai pagar rumahku di terjang sama dia. Otomatis Bokapku dan warga lainnya pada bangun, termasuk aku, aku liat mukanya pucat banget. Lima belas menit kemudian baru dia bisa ngomong dan bercerita apa yang dia liat tadi. Terus dia minta tolong sama Bokapku untuk mengambil motornya yang masih di depan halte. Demikianlah ceritanya. 

Tetak Palak (Palembang)


Pada setiap rencana pembangunan pasti terbentuk dua opini besar dalam masyarakat. Pembangunan di sini tak berarti selalu bersifat fisik seumpama mengaspal jalan raya jurusan ke dusun-dusun, mengecat Jembatan Ampera atau mengeruk Sungai Musi, atau mendirikan gedung bertingkat untuk pedagang kaki lima dan semacamnya. Membuat klub sepak bola profesional untuk menampung bakat sepak-menyepak penduduk lokal atau mengampanyekan tempoyak dan kelempang panggang pada investor yang cinta Tanah Air adalah juga pembangunan. 

Kesatu, pandangan pemerintah yang biasanya berbau kebaikan untuk kepentingan umum. Pemerintah diasosiasikan sebagai malaikat pembawa kabar surga. Tak ada iblis yang bisa menggodanya. Pembangunan ialah jalan suci.

Kedua, pandangan masyarakat yang biasanya berbau mistik karena tak pernah bisa menebak piramida korban di balik pembangunan, seperti soal adanya korupsi atau pihak tertentu yang lebih diuntungkan. Masyarakat bagaikan barisan pengunjung bioskop yang sedang membeli tiket di pintu masuk sembari berkhayal memperoleh adegan mesra dari skenario film yang mereka tak tahu akhir ceritanya.

Bila pembangunan berjalan mulus dan masyarakat merasakan langsung manfaatnya dalam jangka panjang, maka pemerintah dimistifikasi sebagai juru selamat. Masyarakat akan kehilangan sikap kritis atas pemerintah bila rasa haru, dan syukur mereka dimunculkan secara berlebihan. Pemerintah bisa memanfaatkan peluang ini untuk membangun citranya menjadi semakin positif dan bertanggung jawab, tetapi bisa pula mengeksploitasinya untuk membunuh partisipasi-demokratis masyarakat. Rasionalisasi atas pembangunan harus dilakukan secara dua arah antara pemerintah dan masyarakat agar komunikasi menjadi sehat.

Bila pembangunan gagal total dan masyarakat tidak bisa melawan, maka mistifikasi terhadap pemerintah muncul dalam bentuk parodi atau cerita-cerita seram yang menakutkan. Masyarakat akan semakin kehilangan keberanian dan pemerintah bisa memanfaatkan peluang ini untuk mempertajam cakar otoritasnya. Tokoh karismatik, baik di kalangan masyarakat atau di pemerintahan, bisa menggunakan peluang ini untuk memperkuat ketokohannya. Dalam situasi ini biasanya juga muncul sejumlah martir yang dapat diasosiasikan sebagai pahlawan masyarakat sekaligus akan bergentayangan sejumlah penunggang yang mengambil untung secara diam-diam. Rasionalisasi atas situasi ini memerlukan media dialog yang kuat, berpihak, dan independen, seperti paguyuban warga, forum adat, kumpulan pengajian, obrolan bebas di warung kopi, kelompok-kelompok kesenian rakyat, lembaga swadaya masyarakat, media massa, atau organisasi-organisasi sosial-kemasyarakatan dan sejenisnya.

Berangkat dari narasi di atas, kita bisa menghimpun berbagai mitos berupa cerita seram atau parodi dan sekawanannya yang berkembang di tengah masyarakat untuk menilai daya kritis atau model resistensi rakyat terhadap pembangunan. Rumor yang berkembang di masyarakat dalam waktu yang lama biasanya akan menjadi pengetahuan umum dan sangat mempengaruhi kesadaran rasional masyarakat menjadi mistis. Berpikir mistis atau mitos berarti berpikir dari yang masuk akal menjadi abstrak, sedangkan berpikir rasional berarti berpikir dari yang abstrak menjadi logis.

Waktu masih kanak-kanak di dusun, setiap akan pergi bermain, aku selalu mendapat peringatan dari orang tua agar tidak bermain jauh-jauh dari rumah. “Nanti ada orang tetak palak!” pesan orang tua. Ada pula orang tua yang mengingatkan anak-anaknya agar menolak tegas bila ada ajakan seseorang yang membawa mobil boks bergambar gunting. Padahal, di dusun ketika itu sekitar tahun 1970-an, sama sekali tidak ada penduduk yang memiliki mobil pribadi. Kalaupun ada, pastilah mobil itu jenis angkutan penumpang atau truk pengangkut barang. 

Rumor tersebut bergulir dari mulut ke mulut sehingga menjadi kepercayaan kolektif seakan-akan hal itu memang faktual. Efek dari itu, setiap orang mengalami kecemasan terhadap orang asing yang datang ke dusun kami. Ada resistensi atas sesuatu atau sesosok hal yang sesungguhnya abstrak. Jangankan membayangkan bentuk gunting penetak kepala yang pastilah berukuran raksasa, melihat lekuk-lekuk badan mobil pun kiranya jarang dialami penduduk. Namun, fantasi akan hal itu sudah memadati kepala setiap orang dusun, sehingga celakalah bagi siapa pun yang tidak waspada, lengah, atau egois dari sistem keamanan bersama di dusun. 

Tetak palak artinya potong kepala. Rumornya, pekerjaan itu sengaja dilakukan oleh orang kota (Palembang) yang datang khusus ke dusun-dusun. Sasarannya anak-anak dan remaja. Mungkin karena gampang dibujuk dan dilumpuhkan. Kepala-kepala yang sudah dipotong diangkut ke Palembang, dikumpulkan di satu tempat untuk dijadikan material “proyek.” Makna proyek di sini ialah pembangunan fisik. Gambaran yang sering dicontohkan orang tua ialah proyek Jembatan Ampera. Dikatakan bahwa dalam beton-beton tiang dan badan jalan di Jembatan Ampera itulah potong-potongan kepala anak-anak itu dimasukkan. 

Di kepala anak-anak pun terlintas betapa proyek atau pembangunan itu sangat mengerikan, berdarah-darah, dan penuh dengan tumbal berupa jiwa manusia. Bila kita tafsir berdasarkan konteks sosial-politik tahun 1960-an hingga 1980-an, ada dua resistensi masyarakat dusun di balik rumor tetak palak ini. Kesatu, penolakan terhadap simbol kota (seperti mobil boks, gunting raksasa, dan Jembatan Ampera) yang dibayangkan kejam atau pembunuh. Kedua, penolakan terhadap pembangunan (atau proyek) yang dibayangkan sebagai pemakan tumbal berupa kepala manusia.

Kasus ini bisa disimpulkan sebagai proses pengetahuan masyarakat yang dibangun berdasarkan mitos atau mistifikasi. Korban pembangunan atau modernisasi atau kotanisasi atas dusun ialah fakta yang sesungguhnya, dan masyarakat dusun setidaknya di dusunku melakukan resintensi melalui kesadaran mistis.

Dak Kalo Kalangan. Ungkapan dak kalo kalangan merupakan ejekan orang kota terhadap orang dusun yang kurang pergaulan alias kuper. Orang kuper biasanya diasosiasikan kampungan atau memang betul-betul baru datang dari kampung untuk tinggal di kota atau orang yang sudah lama hidup di kota, tetapi tetap bergaya kampung alias lugu atau apa adanya (naif). Hal yang sesungguhnya dipertentangkan ialah gaya hidup modern yang diidentikkan secara sembrono pada masyarakat kota dan gaya hidup tradisional yang dilekatkan secara kasar pada masyarakat dusun. Nyatanya, takaran gaya hidup modern sendiri sebetulnya kabur karena lebih bersifat artifisial atau komersil, bukan pada nilai peradaban dan kemanusiaan. Sementara itu, gaya hidup tradisional yang banyak mengandung kearifan terus ditimang-timang dalam gerakan turisisme pemerintah (atau wakil orang kota) tanpa rasa malu.

Ejekan dak kalo kalangan ini tidak khas berlaku di kalangan masyarakat kota. Di kalangan masyarakat, di dusunku justru sering muncul ungkapan ejekan ini. Biasanya ejekan tersebut terlontar oleh orang yang sudah sering bepergian bolak-balik dari dusun ke kota (Palembang) terhadap orang dusun yang tidak tahu gaya kehidupan modern yang berkembang di kota. Setidaknya, gaya modern itu ialah menurut ukuran subyektif orang yang biasa pulang-pergi dari dusun ke kota tersebut.

Dak kalo kalangan sama artinya dengan “tidak pernah ke pasar.” Kata pasar yang dimaksud di sini ialah acara pesta atau keramaian yang tersambung erat dengan penampilan seseorang dalam pesta tersebut. Kalau kita telusuri dari dusun ke dusun di seluruh wilayah Sumatera Selatan, pesta atau keramain tersebut memang sudah menjadi tradisi masyarakat. Pernikahan, syukuran kelahiran anak, khitanan anak, peringatan hari-hari besar nasional atau hari-hari besar Islam, dan sekawanannya merupakan media pesta tersebut. Musik dangdut dulu musik tanjidor atau rebana yang sekarang diminimalkan dengan organ tunggal adalah salah satu bentuk hiburan yang digelar. Di situlah acara joged dan nyawer dipertunjukkan oleh setiap hadirin, selain menjadi ajang perkenalan, juga menjadi tempat persaingan para muda-mudi. 

Apa yang dapat dilihat dari keseluruhan pesta itu tak lain ialah penampilan dalam rupa gaya berpakaian, gaya rambut, jenis, dan model pakaian atau sepatu, serta seberapa tebal jumlah rupiah yang ada dalam dompet. Poin ini bisa disimpulkan sebagai proses pengetahuan masyarakat yang dibangun berdasarkan kesadaran mistifikasi (mistis atau semu). Rasionalisasi atas tindakan bergaya hidup modern atau komersil atau konsumsi tinggi sesungguhnya bukan pada penampilan di pesta (atau lah biaso kalangan), melainkan kerja keras dengan ilmu dan keterampilan yang spesialis sebagaimana orang-orang di negara industri.

Ujung ceritanya, masih banyak masalah-masalah serupa di atas yang berkembang subur di masyarakat dusun dan kota yang menarik dianalisis. Mungkin, dalam kehidupan sehari-hari, kita pun merupakan bagian dari suatu rumor atau mitos dan rasionalisasi tindakan tertentu. Sehingga pengetahuan atau kesadaran kita terus bertumpang-tindih dan berputar-putar antara mistis, kritis, dan rasional. Bisa jadi dalam hidup sehari-hari kita di dusun atau di kota sesungguhnya sedang menghimpun mitos dan hal itu tidaklah berarti buruk atau sama sekali bodoh. Sebetulnya, kita sedang membangun kreasi dan imajinasi dengan mitos itu. 

La Planchada