Banyak yang bilang masa kecil adalah masa paling menyenangkan, bayangkan saja bila kita masih anak-anak, tentu belum ada tanggung jawab yang harus diemban di pundak, hari hari dilalui dengan bermain dengan teman sebaya. Dan yang namanya dunia anak, keceriaan selalu terpancar di wajah. Memang sih kadang ada pertengkaran diantara mereka tapi sebentar kemudian pasti akan berbaikan kembali. Tidak ada istilah memendam marah apalagi dendam. Aku akan selalu ingat masa kecilku saat tinggal di perkampungan di Surabaya, walau itu hanya sebentar.
“Kamu mau kemana Nung?” tanya Ibu ketika melihatku membuka pintu depan.
Ibu sedang duduk santai di kursi kayu panjang di teras depan rumah, ada sepiring kecil pisang goreng dan satu teko air teh dengan empat cangkir kecil mengelilinginya.
“Cuma ingin jalan-jalan saja kok Bu, pingin tahu perubahana yang ada!”
Aku lalu menghampiri ibu dan duduk di sebelahnya, “Tapi aku mau makan camilan dulu!” lanjutku.
“Iya, mumpung masih hangat pisang gorengnya!” ucap ibuku.
Dia lalu menyorongkan piring itu ke hadapanku, kuambil satu dengan sedikit kerepotan karena ternyata pisang itu masih lumayan panas. Tapi memang yang namanya gorengan enaknya ya bila masih panas. kutiup pelan-pelan sambil memegangnya dengan tangan bergantian.
“Disini nggak ada perubahan Nung, anak-anak mudanya banyak yang merantau!”
“Masak sih Bu... nyatanya waktu aku pulang, jalan kampung sudah diaspal, surau kecil dekat rumah pakdhe Darmo juga sudah berubah jadi masjid yang luas dan bagus. Berarti ada perubahan kan?”
Aku mencoba menguraikan, aku sudah sekitar lima belas tahun merantau di luar pulau dan baru bisa pulang sekarang. Sebenarnya pingin sih setiap kali lebaran bisa bersilaturahmi dengan keluarga di kampung tempat aku menghabiskan masa kecil dulu, tapi keadaan tidak berpihak kepadaku. Selepas sekolah dasar aku ikut budhe ke Kalimantan agar bisa melanjutkan sekolah.
Ayah meninggal saat aku duduk di kelas enam sekolah dasar bersamaan itu ibu juga harus menghabiskan banyak waktu di rumah sakit. Yaaa... kecelakaan itu telah merenggut sebagian besar hidup kami. Ayah tidak terselamatkan dan ibu pun mesti di rumah sakit. Jadilah perekonomian keluarga kami macet.
Maka atas inisiatif keluarga besar, kami ketiga anak yang masih kecil-kecil terpaksa terpecah ikut sanak saudara. Aku sebagai anak bungsu kebagian ikut budhe disana, karena kehidupan keluarga budhe juga pas-pasan, sebagian besar dana dialokasikan untuk sekolah dan kelangsungan hidup, urusan pulang kampung jadi terabaikan. Namun aku bersyukur budhe sanggup menyekolahkanku sampai lulus Sekolah Menengat Atas.
Dengan ijazah itu aku beruntung mendapatkan pekerjaan, sebagian uang aku tabung untuk bisa membawaku pulang kembali ke kampung halaman yang sudah begitu lama aku tinggalkan. Dan keinginan itu akhirnya terealisasi, cuti panjang kali ini bisa aku gunakan untuk mengunjungi ibu di kampung.
“Benar juga katamu!” ucap ibu sambil mengangguk-anggukkan kepala, “Mungkin karena aku selalu ada disini jadi perubahan itu tidak terasa ya!”
“Jadi, kamu mau jalan-jalan kemana saja?” tanyanya lagi.
“Ah hanya ingin berkeliling kampung saja kok Bu, mengenang masa kecil dulu!”
Kugigit pisang goreng itu dan kukunyah pelan-pelan, ah enaknya pisang goreng buatan ibu, sudah lama sekali aku tidak merasakannya.
“Ini tehnya diminum!” Ibu menuangkan air teh dari teko kedalam salah satu cangkir kecil.
“Terima kasih Bu!”
“Ibu masuk ke dalam dulu ya, mau mempersiapkan makan. Kamu jangan malam-malam pulangnya, nggak baik anak perempuan keluyuran sendirian di malam hari!”
Aku tersenyum, kulihat ibu beranjak dari kursi, dengan bantuan tongkat yang melingkar di salah satu tangannya ibu tampak tertatih-tatih berjalan meninggalkan teras. Kecelakaan itu terjadi saat ayah dan ibu naik bus dari Surabaya menuju Yogyakarta, tapi naas belum sampai tujuan, bus itu mengalami kecelakaan hebat, sebagian penumpang meninggal dunia dan kebanyakan luka parah, hanya sedikit saja yang terselamatkan. Kecelakaan itulah yang telah merenggut nyawa ayahku dan yang telah membuat kaki ibu terluka parah, salah satu kakinya bahkan menjadi tidak berfungsi dengan baik.
Selesai makan pisang dan meminum secangkir teh, aku segera beranjak keluar. Jam sudah menunjuk pukul lima sore, tidak panas lagi karena matahari juga berangsur menenggelamkan diri. Ditambah suasana mendung yang melingkupi membuat suasana menjadi teduh, memang pas buat jalan-jalan. Sambil menenteng payung lipat aku keluar.
Jalan di depan rumah sekarang sudah diaspal, padahal dulu terakhir kali aku tinggal disini masih berupa jalan tanah, yang kalau hujan akan menjadi sangat becek. Aku jadi ingat saat itu aku dan teman-teman kecilku asyik bermain main air hujan. Sambil berlarian kesana kemari kami menikmati butir-butir air hujan yang semakin lama semakin kencang mengguyur badan. Dimana mereka sekarang ya? Mungkinkah mereka merantau seperti halnya aku?
Beberapa rumah tetangga yang aku lewati juga sudah banyak berubah, sekarang rumah rumah itu sudah lebih cantik, cat warna warni terpoles dengan apik. Lantai juga sebagian besar berubin.
“Nak Inung ya?” sapa seseorang.
Aku menengok ke arah suara itu, seorang perempuan tua sebaya ibu menghentikan kegiatan menyapunya, dia menatapku dengan ragu-ragu, mungkin setelah sekian lama ada perubahan atas diriku yang dulunya masih kecil dan ingusan sekarang sudah menjelma jadi perempuan dewasa. Aku segera menghampiri ibu itu dan menyalaminya.
“ Iya Bu... saya Inung, Yanti ada?” balasku.
Ibu Sastro –nama ibu itu– tertawa renyah, “Aduh Inung... sekarang kamu sudah besar, masih di Kalimantan ya kamu?”
Aku mengangguk, “Yanti?” tanyaku lagi. Yanti itu teman sekolahku dulu, kami sering berjalan bersama saat berangkat dan pulang sekolah.
“Yanti di Arab jadi TKW!” jawabnya lugas tapi dengan nada bangga.
Aku melongo... tidak percaya Yanti berani bekerja keluar negeri, padahal dulu dia itu tampak lemah dan penakut. Ah... mungkin karena keadaaan yang memaksanya, seperti halnya aku dulu yang mesti meninggalkan tanah kelahiranku.
“Yanti nggak mudik?” tanyaku berbasa basi.
“Nggak bisa mudik kecuali masa kontraknya selesai, dia sudah tiga kali dapat kontrak, yang terakhir mungkin dua tahunan lagi kelar, jadi ya paling bisa pulang kembali dua tahun lagi. Ini rumah yang merenovasi juga Yanti dari hasil kerjanya keluar negeri!” urainya panjang lebar, masih dengan aura kebanggaan.
“Salut buat Yanti, hebat..!” ujarku.
“Iya, dia anak yang berbakti sama orang tua!” timpalnya dengan wajah sumringah.
“Maaf Bu, Inung mau pergi dulu...”
“Loh,mau kemana? Kok buru buru?”
“Ah cuma jalan jalan sebentar melihat lihat sekeliling.”
“Ya silakan, mumpung mudik ya?”
Aku mengangguk, setelah menyalami tanganya aku permisi meninggalkannya.
Menyusuri jalan kampung yang sekarang lebih luas, aku bertemu anak anak kecil dan orang orang tua, kalau untuk orang seusiaku tidak banyak yang kutemui, mungkin benar kata ibu kalau banyak anak muda yang merantau.
Aku berjalan menuju sekolahku dulu, sesampai disana kupandangi gedung tempat aku menuntut ilmu. Sekolah itu masih tampak seperti dulu hanya temboknya sudah berganti cat, dulu putih sekarang dicat warna coklat muda terang. Pintu dan jendela kayunya dicat coklat tua. Serasi sekali. Beberapa pohon perdu menghiasi halaman depan sekolah. Namun aku tidak mendapati pohon kamboja yang dulu tumbuh di samping bangunan sekolah, kala itu ada lahan kosong kecil disitu dimana pohon kamboja itu tumbuh, saat jam istirahat kami senang sekali bermain-main di lahan itu, selain tidak panas karena rindangnya pohon, kami juga suka mengumpulkan bunga kamboja, kami sering membuat permainan perlombaan mencari bunga kamboja dengan helai berjumlah genap, siapa yang paling banyak akan jadi pemenangnya. Tidak ada hadiah ataupun tropi kemenangan tapi puasnya hati memenangi pertandingan mengalahkan itu semua. Sekarang lahan kosong itu sudah tidak ada, tembok gedung sekolah sudah berhimpitan dengan pagar tembok keliling. Ya lahan itu sudah tertutup.
Aku bermaksud memasuki halaman sekolah agar bisa melihat dengan seksama kelas-kelas yang pintunya sudah tertutup karena sudah tidak ada aktivitas belajar mengajar, hanya ingin mengenang masa lalu saja, tapi sayangnya pagar sekolah bagian depan terutup rapat, sebuah rantai besi melingkarinya dan sebuah gembok besar menahannya. Kenapa ya sekarang apa-apa selalu dipagari? Dulu tidak ada pagar yang mengelilingi gedung sekolah ini. Pikirku ya sudahlah... sudah senang bisa melihat gedung sekolahku meski cuma dari luarnya saja.
Aku lalu melanjutkan langkah kakiku, sekolahku ini berdampingan dengan lahan persawahan yang sampai sekarang masih terjaga alias tidak berubah jadi bangunan. Lewat jalan pematang di sawah-sawah itu aku bermaksud menerobos mempersingkat jalan. Kalau lewat jalan kampung aku mesti berjalan memutar. Karena mendung dan hari juga menjelang petang, jalan di pematang sawah jadi mengasyikkan. Kalau siang hari... wah panas sekali apalagi bila musim kemarau. Kuhirup udara petang dengan kesungguhan, hawa segar langsung terasa, maklum tidak terpolusi. Angin sepoi sepoi bertiup, menerbangkan helai-helai rambutku yang terlepas dari kucir. Tiba-tiba sekelebat masa lalu hinggap di benakku.
“Ayo kita main-main dulu!” ajak Ningsih kepada kami.
Saat itu, Yanti, Rani, Sari, Ningsih dan aku sendiri –Inung- pulang sekolah lebih awal karena akan ada rapat guru. Senangnya bisa pulang cepat, kami jadi ada waktu buat bermain-main dulu, toh orang tua juga tidak tahu. Kalau kita pulang di jam yang sama seperti biasanya pasti mereka tidak akan curiga, dikiranya kami langsung pulang dari sekolah.
“Main kemana?” tanya Yanti kurang antusias, kayaknya dia ingin langsung pulang.
“Ya kemana kek... yang penting main-main dulu, kalian ada ide nggak?” Ningsih balik bertanya.
“Main air di sungai aja!” aku memberi usulan
“Wah, kalau basah nanti ketahuan orang tua kalau kita tidak langsung pulang!” sahut Yanti keberatan.
“Bisa dimarahi orang tua nanti!” tambah Rani.
“Iya, orang tua bisa marah!” timpal Sari membenarkan pernyataan Rani.
“Lha kemana dong?” tanyaku kepada mereka.
“Mmhmm... di kebun sebelah kuburan saja!” ujar Rani sambil tertawa riang.
“Haahh...? Ngapain main kesitu, kamu nggak takut ya?” Yanti membelalakkan mata.
“Halah... ini kan siang hari? Mana ada hantu!” sergah Rani cepat.
“Iya… hantu kan takut kepanasan! Nggak punya topi sih!” timpal Ningsih cekikikan.
Kami tertawa mendengar gurauan Ningsih. Singkat cerita kami sepakat bermain kesitu.
Kebun itu terletak di samping kuburan desa, sebenarnya itu mau diperuntukkan untuk perluasan area pemakaman nantinya, tapi karena masih lumayan banyak yang belum terisi… heheheh... maka kebun itu ditanamai aneka tanaman, kami tidak tahu siapa yang menanamnya, yang jelas ada empat pohon buah besar disitu: pohon sawo, pohon mangga, pohon jambu dan pohon nangka. Juga ada banyak pohon pisang disana sini. Sedang rerumputan tumbuh liar disitu.
Kebun itu jadi seperti arena bermain buat anak-anak. Bahkan bagi anak tanggung yang sudah sekolah di Sekolah Menengah Pertama dan Atas, biasanya mereka hadir untuk sekedar berpesta buah bila pohon pohon mulai memperlihatkan buah yang bergelantungan disana sini. Kami anak-anak Sekolah Dasar tentu saja kalah dengan mereka. Tapi sayang, saat kami bermain disitu pepohonan sedang tidak berbuah. Karena masih belum siang, kami jadi bebas lepas bermain-main karena tidak ada saingan.
“Wah sayang tidak ada pohon yang berbuah!” seru Ningsih agak kecewa.
Kami mengikuti perkataannya dengan menengadahkan kepala ke atas melihat pohon-pohon itu, memang tidak ada satupun yang berbuah. Bahkan pohon pisang juga belum memperlihatkan buah pisangnya.
“Ya nggak apa-apa? Kita kesini kan cuma mau main?” ujar Yanti menenangkan kami semua.
“Betul… betul!” serempak kami mengamini ucapan Yanti.
“Emang kita mau main apa disini? Petak umpet?” timpal Rani setengah memberi usul.
“Wah asyik tuh... bisa main petak umpet di kuburan… hihihihihi... sereemmm!” gurauku.
“Huuh… ogah ah main petak umpet di kuburan!” elak Sari cemberut.
“Takut nih yeeee!” ejekku, diikuti cekikikan teman-teman yang lain.
“Bukan takut, tapi... kata orang orang tua… kalau mengganggu kuburan bisa kena tuah!” Sari membela diri.
Entah apa benar atau tidak yang diucapkannya, yang jelas kami tidak jadi main petak umpet. Kami akhirnya bermain sekedarnya. Kami berlomba mencari barang berharga di area kuburan, tapi itu bukan uang atau barang yang bernilai ekonomis, kami hanya mencari barang yang menurut kami lucu dan asyik. Siapa nanti yang mendapatkan barang paling lucu dialah pemenangnya.
“Oke... waktunya sampai nanti suara adzan Dzuhur terdengar, lalu kita kumpul disini!” Ningsih memberi aturan permainan.
Kami berlima selanjutnya berpencar mencoba peruntungan mendapatkan barang yang sekiranya menurut kami lucu dan aneh. Kususuri makam sejengkal demi sejengkal seraya mata ini melotot berkonsentrasi melihat lihat apakah ada barang yang dimaksud... teman-temanku juga demikian.
Saat sibuk mencari cari, tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah barang yang tidak asing, barang itu kecil dan berwarna kuning. Yup... itu sebuah anting kecil. Kuambil anting itu dan mengamatinya, benarkah anting ini terbuat dari emas? Pada anting itu ada pahatan tokoh kartun terkenal saat itu. Tapi anting itu cuma sebelah alias satu biji saja, pasti dari seorang anak yang antingnya terjatuh, begitu pikirku. Segera kumasukkan anting itu kedalam saku baju, aku lalu melanjutkan aktivitasku mumpung waktu belum habis, siapa tahu bisa mendapatkan barang yang lebih bagus dan memenangkan pertandingan?
Sekian jam berada di pemakaman, suara adzan pun akhirnya terdengar sayup dari arah desa, aku lalu bergegas kembali ke tempat kami semula. Begitu juga dengan teman temanku yang lain, kulihat mereka berlarian menuju kebun itu, maklum kami mesti segera menentukan pemenangnya untuk selanjutnya kami harus segera pulang ke rumah masing masing.
“Ayo sekarang menunjukkan barang temuan kita masing-masing!” ujar Ningsih seraya mengambil sesuatu dari dalam saku bajunya. Ternyata dia mendapat sebuah sapu tangan motif kotak-kotak yang sudah lusuh.
“Nih temuanku... sapu tangan kotak-kotak!” serunya sambil meletakkan sapu tangan itu di atas rerumputan.
“Aku mendapatkan ini nih!” lanjut Sari membuka tangannya. Ternyata dia berhasil mendapatkan sebuah permen yang masih utuh belum terbuka, dia juga ikutan menaruh hasil temuannya di samping sapu tangan temuan Ningsih.
Diikuti Yanti yang memperlihatkan kaleng minuman bekas yang masih tampak bagus, lalu diriku mempertontonkan hasil temuanku.
“Hah… anting? Dari emas ya?” teriak Rani tampak terpikat.
“Kayaknya sih… kan warnanya kuning! Sayang cuma satu alias sebelah!” jawabku kalem.
Rani mengambil anting itu dari tanganku dan mengamatinya, dia tampak terkagum kagum.
Kalau kamu sendiri? Kamu dapat apa?” tanyaku penasaran, aku ingin tahu barang apa yang didapat olehnya. Kalau barang hasil dari teman-teman lainnya sepertinya kurang istimewa dibanding punyaku, kalau kepunyaan Rani juga kurang berharga tentu akulah juaranya.
Rani menanggalkan tas punggungnya lalu membuka restletingnya, dia mengeluarkan sesuatu.
“Aku dapat ini!” ucapnya sambil meletakan sebuah pisau kecil yang sedikit berkarat.
“Pisau karatan!” seru kami berbarengan, tidak percaya dengan apa yang didapat Rani, selain tidak ada istimewanya juga kami agak takut.
Sejenak kemudian kami sibuk beradu pendapat untuk membuat penilaian siapa sekiranya yang memenangkan perlombaan ini.
“Menurutku hasil temuan Inung yang berupa anting itu yang paling bagus!” ucap Ningsih sambil memandang kami satu demi satu. “Menurut kalian gimana?”
“Mmhmm... bisa juga tuh! Kan dari emas!” timpal Yanti mendukung Ningsih.
Teman-teman yang lain mengangguk-angguk tanda setuju. Dalam hati aku tertawa puas. Tidak sia-sia aku melototi jengkal demi jengkal tanah kuburan itu.
“Kalau yang menang dapat apa nih?” aku berseru dengan riang.
“Apa ya...?”
“Dapat barang ini semuanya saja?”
“Eh jangan... ingat ini barang dari kuburan… bisa kena tuah!”
“Hiiii... entar bisa didatangai hantu loh!”
“Nah lalu apa dong...!”
Bersahut-sahutan kami melempar usulan.
“Kita ukirkan inisial nama Inung di pohon mangga itu saja!” ujar Rani. “Aku kan ada pisau!”
“Bagus juga tuh idenya!” sambar Ningsih.
Lalu kami berlima berjalan menuju pohon mangga, dengan sigap Rani mengukirkan inisial huruf “I” di batang pohon yang kuat itu, lumayan dalam dia membuat pahatan.
“Terus barang barang ini gimana?” tanya Sari begitu kami selesai mengukir huruf I itu.
“Lebih baik kita kembalikan ke area pekuburan seperti semula.”
“Biar tidak kena tuah!”
“Betul betul!”
Kami kemudian beramai ramai mengembalikan temuan kami di tanah pekuburan itu, lalu pulang kembali ke rumah masing masing.
Aku tersenyum mengingat kejadian itu, aku jadi penasaran melihatnya apakah masih ada inisal namaku disitu. Semoga pohon itu masih ada... heheheh. Kudapati kebun itu sudah berubah jadi area pekuburan juga, tapi untunglah pohon mangga itu masih tegak berdiri disitu bahkan tampak menjulang dan rindang, beberapa bakal buah yang masih kecil-kecil bergelantungan di dahannya. Kudekati batang pohon itu, gila... huruf “I” itu masih ada... tapi kenapa huruf itu tampak masih baru? Apakah ada yang memahat ulang?
“Aku yang selalu mengukirkannya!”
Suara seseorang dari arah belakang membuatku terkejut, aku menengok kearah suara itu, kulihat Rani tersenyum ke arahku.
“Kamu... Ra... Ra... Rani...!” aku benar-benar tidak percaya ada Rani di hadapanku. Aku segera menghambur ke arahnya dan memeluknya. Aneh... Rani seperti patung yang membatu, dia tidak membalas pelukanku.
Setelah aku renggangkan pelukanku kutatap wajahnya, tampak pucat.
“Untuk apa kamu selalu mengukirnya kembali? Mengenang masa kecil ya!” candaku sambil tertawa.
Rani menggeleng.
“Terus apa dong?”
“Aku kesepian sekali disini!”
“Ha… ha… ha!” aku tertawa, “Oh kamu nggak ikutan seperti kita ya? Yang terpaksa merantau untuk merajut masa depan, yah namanya juga anak juragan krupuk, duitnya sudah menggunung tidak perlu lagi merantau kayak aku!” candaku, tapi setelah itu aku merasa menyesal telah menertawakannya, mungkin dia merasa kesepian karena teman-teman sebayanya banyak yang meninggalkan kampung ini.
“Aku... aku kesepian sekali, maka kembali kuukirkan inisial namamu untuk mengisi hari hariku disini!” suara yang keluar dari mulutnya terdengar galau dan sangat menyedihkan. Aku bisa menangkap kalau dia tidak mengada-ada.
“Tidak apa-apa kan kalau aku selalu memahat kembali?” tanyanya lagi.
Aku terdiam, ada keanehan di ucapan dia. Kesepian disini? Apa maksudnya disini itu... di kampung karena tidak ada teman sebayanya atau disini di kuburan ini? Ah secepatnya kutepiskan pikiranku yang mengatakan kesepian di kuburan ini... tidak mungkin, jelas tidak mungkin. Siapa pula yang mau menghabiskan waktu di tempat seperti ini?
“Boleh kan?” dia mengulanginya, karena agak lama tidak ada respon dariku.
Aku tersentak, lalu segera kujawab “Aduh... kamu tuh, aku jadi tersanjung lho...!” Aku tidak bisa menyembunyikan kebanggaanku memiliki teman masa kecil yang tidak melupakanku.
Aku lalu berbalik ke arah pohon itu dan meraba ukiran itu.
“Lihat Rani... ukiran kamu bagus tuh, ada bakat mengukir rupanya, kenapa nggak jadi seniman ukir aja!” aku mencoba meledeknya agar suasana mencair.
Tidak ada sahutan dari Rani, aku tiba-tiba merasakan keheningan... sepi sekali. Aku memutar kepala ke arah belakang, tidak ada Rani disitu. Kemana dia? Secepat itukah dia pergi? Kenapa aku tidak mendengar suaranya sama sekali bila dia meninggalkanku? Entah mengapa bulu kudukku berdiri, angin yang bertiup serasa sangat dingin menerpa tubuhku, ditambah petang mulai bergeser, suara adzan maghrib samar terdengar.
Aku jadi ragu dengan diriku sendiri, benarkah tadi aku bertemu Rani? Ataukah tadi cuma pikiranku saja? Ah... aku mencoba menepiskannya. Lebih baik aku segera pulang menemui ibu, dia pasti sudah menungguku. Apalagi aku juga mulai merasa ketakutan sendirian di kuburan petang begini.
Aku membalikkan badan sebentar untuk mengamati kembali pahatan huruf “I” itu, ada perasaan aneh yang seketika menyergapku. Namun saat mataku beradu dengan pohon itu, huruf “I” itu tidak lagi terlihat baru, memang ada bekas sayatan disitu tapi sudah tidak terlacak lagi hurufnya, belum selesai rasa bingung ini terjawab tiba-tiba aku dikagetkan dengan sepasang kaki yang menggelantung di atasnya.
Terkejut luar biasa, aku refleks mendongakkan kepala ke arah atas... dan… ya Allah... aku benar-benar tidak percaya dengan yang aku lihat. Aku melihat sosok perempuan muda tergantung di atas pohon itu, lidahnya menjulur keluar, dan matanya melotot. Rambutnya yang tergerai sedada melambai-lambai ditiup angin. Aku tidak bisa menerka siapa dia itu karena wajahnya sudah rusak.
“Nung... tolong aku! Leherku sesak sekali, aku sulit bernafas!” ucap perempuan muda itu terdengar sedih dan putus asa, sambil melambaikan tangan minta pertolongan.
Aku kaget sekali, suara itu sama persis dengan suara Rani teman kecilku. Tapi itu hanya sekelebat saja karena sosok itu langsung menghilang. Tak ingin berlama-lama, akupun segera mengambil langkah seribu meninggalkan areal pekuburan itu.
Sampai rumah, segera kucari ibu, ternyata beliau baru selesai shalat Maghrib. Ibu melepas mukenanya dan melipatnya dengan rapi. Sedang aku diam sebentar untuk mengatur nafas.
“Kenapa kamu pucat sekali dan terengah-engah kayak dikejar anjing, Nung?” tanya ibu heran. “Kan kamu lagi datang bulan, jadi nggak perlu tergesa pulang untuk melaksanakan shalat Maghrib?” lanjutnya lagi.
“Iya Bu!” jawabku seraya mendekatinya dan duduk di sebelahnya, “Ibu ingat temanku yang bernama Rani? Nama lengkapnya Mutiarani anaknya bapak Wardjono yang juragan krupuk itu!”
“Oooh... iya... Rani...! Ibu tentu ingat!” jawabnya tenang.
“Dimana dia sekarang ya Bu?” tanyaku lagi.
“Dia...!” Ibu diam sejenak, seperti ada ganjalan untuk menceritakan lebih lanjut. Aku jadi semakin penasaran, “Dia... dimana?” ulangku lagi seraya mengguncangkan bahu beliau.
“Rani sudah meninggal, Nak!”
Aku benar-benar kaget dengan ucapan ibu, “Me... me... meninggal?”
Ibu mengangguk, “Beberapa tahun lalu Rani bunuh diri... dia gantung diri di pohon mangga di kebun kosong di samping kuburan itu. Makanya tidak ada yang berani menebangnya walau sekarang kebun itu sudah dipergunakan sebagai perluasan kuburan. Kata orang sih Rani depresi karena hamil tapi pacarnya tidak mau bertanggung jawab...”
Aku tidak bisa mencerna cerita ibu selanjutnya, karena pandanganku jadi kabur dan aku tidak ingat apa-apa lagi.