Thursday, March 5, 2020

Wanita Misterius di Kantorku (Medan)


Aku belum lama tinggal di Medan dan bekerja di kantor ini, baru sekitar dua bulan, jadi masih masa training. Sebenarnya aku termasuk beruntung karena begitu aku lulus dari sebuah Universitas di Bandung aku diminta kakakku yang tinggal di kota Medan untuk mencoba melamar pekerjaan di sebuah perusahaan atas referensi salah seorang temannya, dan aku mencoba mengikuti sarannya untuk mengadu nasib di kota ini... eh ternyata aku diterima kerja disitu. Namun sebagai seorang Junior Internal Auditor aku kadang mesti kerja lembur bila ada laporan yang tidak sesuai dengan data yang ada, apalagi bila ada data yang masuk terlambat padahal laporan hasil auditor mesti segera disetor ke seniorku... wah bisa semalaman begadang. 

Oh ya di bulan pertama aku masih menumpang di rumah kakak, tapi setelah itu aku berusaha mandiri untuk tinggal di kost. Sebenarnya kakakku dan keluarganya –maksudku suami dan anak-anaknya tidak keberatan aku tinggal bersama mereka, namun aku tidak enak hati kalau terus-terusan merepotkan lagian kayaknya lebih merdeka kalau tinggal di kost... heheheh. Tentu saja aku sering sering menyambangi mereka, sekedar bermain ataupun bantu-bantu sebisaku.

Oh ya ketika aku kerja lembur, aku kadang bisa pulang jam sepuluh malam lebih. Walaupun kantor tempat aku kerja itu berada di sebuah Tower yang ada banyak ruangan perkantoran juga, namun biasanya suasana kantor terasa begitu sepi. Ya iyalah... kan sebagian besar mereka sudah pulang. Suatu ketika aku pernah lembur, kulihat beberapa meja kerja banyak yang kosong karena sudah ditinggal pulang oleh si empunya. Hanya ada dua meja yang masih terisi yaitu bagian administrasi yang menyusun data. 

“Bu Greta, aku pulang dulu ya!” pamitku kepada bu Greta yang sedang sibuk mengerjakan tugasnya

Ia memalingkan wajahnya sebentar ke arahku, mengangguk cepat, lalu kembali tenggelam dalam mengerjakan tugasnya. Bu Greta memang lagi senewen menyusun data yang sudah hampir deadline, makanya raut mukanya begitu serius dan tegang.

Lalu kuhampiri meja yang satunya. “Pak Julius... duluan ya!” sapaku sambil mengetuk mejanya.

Pak Julius tersenyum, “Iya deh silakan, aku masih lembur nih...!” jawabnya pendek.

Aku pun segera melambaikan tangan, aku tidak mau berlama-lama berbasa-basi menyapanya, kasihan mereka lagi sibuk sibuknya menyelesaikan tugas. Lagipula aku juga sudah lelah sekali ingin segera pulang dan sampai kost. Kubayangkan aku mandi berendam air hangat setelah itu tidur... ah nyamannya... 

Setelah menempelkan jari ke mesin absen, aku melangkah keluar menuju lift. Ya, ruang kerjaku ada di Tower yang cukup terkenal di Medan dan berada di lantai tujuh. Tak terbayangkan bila mesin lift mati dan aku mesti jalan kaki dari lantai tujuh ke lantai dasar... wah bisa putus kakiku... hehehe.

Saat lift bergerak menuju ke bawah, dari lantai lima seseorang masuk ke dalam. Semerbak wangi bunga melati langsung tercium. Wuihh... wanita itu... sudah wangi eh cantik pula. Dia memakai setelan pakaian kerja yang begitu serasi, kelihatannya baju yang dipakainya sangat mahal karena dari materialnya saja sudah terlihat kalau itu fashion tingkat tinggi, apalagi tas yang dikenakannya... tas bermerk terkenal dari luar negeri. Dengan sepatu berhak tinggi warna kuning gading cocok sekali dengan pakaian dan tas yang dikenakannya. Rambutnya yang dicat warna pirang kecoklatan pas sekali dengan warna kulitnya yang putih bersih. Riasan wajahnya juga tidak terlalu berlebihan. Bibirnya dipoles lipstick warna merah marun yang membuat bibir itu terasa penuh dan sensual, hidungnya termasuk mancung untuk ukuran orang Indonesia. Hanya saja ada sebuah kaca mata yang bertengger di hidungnya sehingga aku tidak bisa menganalisa bentuk matanya. Anehnya dia memakai kaca mata hitam... kenapa ya? Meskipun demikian kaca mata itu tidak lantas mengurangi pesona dirinya bahkan membuatnya tampak anggun, begitu berkelas dan... misterius!

Sebenarnya aku ingin menyapanya, sekedar mau berbincang dan menanyakan kenapa nasibnya seperti aku... mesti kerja lembur... hehehe... padahal wanita secantik dia tentu tidak sulit untuk mendapatkan pria mapan yang bisa memanjakannya.Tapi... aku tidak ada nyali... terlalu minder untuk itu. Sebagai lelaki muda aku benar-benar terpesona padanya, tapi aku cukup sadar diri bahwa kelas kami berbeda jauh... kalau entar aku dicuekin gimana... malu dooongg... akhirnya selama ada di lift itu kami saling diam tidak menyapa satu sama lain. Sayang sekali... kenapa juga tidak ada orang lain yang masuk lift, seandainya ada tentu aku bisa berkamuflase mengajak ngobrol orang itu lalu merembet ngobrol kepadanya, jadi tidak terlalu mencolok.

 Dan sampai lantai dasar kami pun berpisah, begitu lift terbuka kulihat dia bergegas keluar dan melangkah ke lobi, duduk dengan anggun di sofa dan mulai mengeluarkan handphone-nya, mungkin dia sedang menelpon sopir buat menjemputnya di depan... atau... nggak tahulah... kok aku jadi menerka-nerka sesuatu yang tidak pasti.

“Wah lembur ya Mas Ryan?” tanya pak satpam yang menjaga lantai dasar. Dia tersenyum kepadaku.
“Iya nih, pak Husen shift malam ya?” aku balik bertanya.

Dia mengangguk, “Terus... mau pulang naik apa Mas?” tanyanya kemudian.

“Terpaksa naik taksi Pak...!” kumonyongkan mulutku, dia mengerti maksudku, tanggal tua begini malah harus naik taksi.

“Sesekali Mas...!” sahutnya lalu tertawa kecil.

Aku mengangguk, setelah pintu depan kubuka aku melambaikan tangan ke pak Husen. 

Sesaat sebelum pergi meninggalkan lobi, dari kaca depan aku sempat mencuri pandang ke arah wanita cantik itu, ya dia masih duduk disana. Mungkin dia tahu kalau aku menatapnya, dia melempar pandang ke arahku seraya tersenyum kecil... wah aku jadi malu. Tapi... kenapa juga kaca mata hitamnya itu tidak dia lepas? Ah... masa bodo lah.

Di dalam taksi aku kembali membayangkan si cantik itu... mungkin lain waktu kalau ketemu lagi aku akan berusaha menyapanya. Lalu aku teringat pak Husen, satpam itu pernah satu angkot denganku, mulanya kami juga tidak saling bertegur sapa saat di angkot, tapi ketika kami berdua turun di gedung yang sama kami jadi kenalan dan berteman baik. Apalagi kami juga sering kali bertemu lagi di angkot yang sama, ternyata kami satu jurusan... pantas saja sering bertemu. Nah... siapa tahu kisah perkenalanku dengan pak Husen juga bisa kuterapkan dengan wanita cantik itu... heheheh. Ah sudahlah kok jadi ngelantur gini sih.

Keesokan harinya saat aku sedang istirahat makan siang bersama Pak Julius, aku menceritakan kisah itu.

“Pak Julius, pernahkah bertemu wanita cantik di gedung ini? “tanyaku di sela-sela menyantap makan siang.

“Wah... sering... bahkan selalu! Gedung ini disewa oleh banyak perkantoran! Tahu sendiri kan perkantoran di gedung elit begini tentulah mempekerjakan karyawan yang bonafide... yang gajinya lumayan... jadinya bisa buat merawat diri... jelas cantik cantik lah!” jawab dia panjang lebar.

Aku manggut-manggut, sayang aku masih di masa training, jadi gaji yang kuterima juga belum penuh. Untuk ke depannya juga belum tahu apakah aku pasti diangkat sebagai karyawan tetap, sehingga aku belum berani ambil kredit motor apalagi mobil. “Maksudku... perempuan cantik yang terpaksa lembur...” lalu kujelaskan bagaimana sosok perempuan itu.

“Wah kalau perempuan seanggun dan seberkelas itu...!” pak Julius berhenti sejenak... lalu seperti berussaha mengingat ingat sesuatu, kemudian dia menggelengkan kepala. “Kayaknya tidak pernah tuh!”

“Emang Pak Julius sudah berapa lama kerja disini?” aku menyelidik karena kudengar dari teman-teman lainnya, dia itu pindahan dari kantor pusat di Jakarta dan ditempatkan di cabang Medan... ya di Tower ini.

“Kalau kerja sih sudah cukup lama, sekitar lima tahunan... tapi yang di cabang ini... baru tiga bulan kuraang dikit... hahahah” dia tertawa terbahak.

“Huuuuuu...” seruku sambil meninju lengannya, sebelas duabelas dong sama aku, dia baru tiga bulan dan aku baru dua bulan, manalah tahu seluk beluk Tower ini.

“Terus terang, kalau sudah selesai kerja aku pinginnya langsung pulang lalu tidur. Aku tidak sempat jelalatan kayak kamu...” ledeknya.

“Iyaaa... takut dipelototin istri di rumah!” balasku. 

Pak Julius pernah cerita kalau dia dan keluarganya pindah ke Medan.

“Enak ajaaa... emang istriku tahu kalau aku melototin wanita cantik?” elaknya.

“Lah... lantas kenapa nggak mau?” tanyaku sambil mencibir.

Dia geleng-geleng kepala, “Sudah bukan masaku lagi, hal itu sudah lewat. Aku sudah ada istri dan dua anak yang beranjak remaja. Melototin wanita cantik cuma buang-buang waktu. Sekedar lihat sih senang... tapi kalau sampai melotot kayak kamu... enggak lah ya... Emang aku lelaki apaan...!” ujarnya genit terutama di bagian ujung percakapan itu.

“Bukan dipelototin tapi itu anugerah Tuhan... sayang kalau dilewatkan!” tukasku sambil bercanda.

Pak Julius tertawa ngakak, “Terserah kamu ajalah!”

Selesai makan kami pun kembali ke kantor.

Hari berganti hari, aku tidak pernah berjumpa wanita itu lagi. Aku memang jarang kerja lembur, pihak manajemen menerapkan aturan memperketat lembur, kalau tidak terpaksa sekali dan tanpa persetujuan atasan kami tidak boleh lembur. Katanya sih buat berhemat, tapi nyatanya kami semua juga bisa mengatur waktu, sehingga sudah beberapa bulan ini tidak ada lembur lagi.

Waktu itu saat aku masih penasaran terhadapnya, setiap kali naik lift aku selalu menebar pandangan ke sekeliling, siapa tahu berjumpa lagi dengan si cantik itu, masak kerja di gedung yang sama tidak pernah bertemu. Tapi aku tidak pernah bersua lagi dengannya... namun kemudian aku menyadari, bisa saja dia sudah pindah, kan aku juga tidak tahu persis tentang dia. Akhirnya pelan tapi pasti bayangan wanita cantik itu hilang dari ingatanku, apalagi aku juga sudah diangkat menjadi karyawan tetap dan beban pekerjaanku jadi lebih banyak... konsentrasiku pun terfokus ke urusan pekerjaan. Jadi setiap kali naik lift aku tidak lagi melihat kemana-mana kecuali nomor yang tertera di pintu apakah sudah sampai di lantai tujuh. 

Hingga suatu ketika aku terpaksa kembali ke kantor. Aku sudah sampai di rumah kakak. Waktu itu keponakanku yang masih duduk di SMP berulang tahun, kakak mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakannya.

“Om Ryan, mana kadonya?” todong Sheila keponakanku itu saat di akhir acara, teman-temannya sudah pada pulang sekitar jam sembilan malam lebih.

“Tenang aja... aku sudah mempersiapkan kok!” seruku.

Kubuka tas kerjaku, kok tidak ada ya... akupun lalu membongkar semua isi tas dengan mengeluarkan di atas meja. Ku periksa satu demi satu, ternyata memang tidak ada.

“Manaaa...?” rengeknya. “Lupa belum beli kaliiiii...”

“Sebentar... sebentar!” kucoba untuk mengingat dimana aku menaruhnya.

“Ya Tuhan... tertinggal di meja kerjaku!” teriakku ketika aku teringat kalau kado itu aku masukkan ke amplop coklat. Sebenarnya aku sudah memasukkanya di dalam tas, tapi ketika aku mengeluarkan smartphone-ku amplop itu ikutan ketarik keluar dan aku lupa memasukkannya kembali.

“Yaah... gimana dong... masak nggak kasih kado sih?” rajuk Sheila kecewa.

“Ada apa sih?” kakakku Anita ikutan nimbrung.

“Kado Sheila ketinggalan di kantor!” jawabku.

“Ya sudah besok aja... kan ini sudah malam!” kata kak Anita.

“Mama nih... nggak seru dong... masak kado telat ngasihnya!” Sheila merajuk lagi.

“Tapi kan Om Ryan sudah seharian kerja, lalu kesini... eh masak mesti kembali ke kantor... capai dong! Jangan manja gitu dong Sheila!” hardik kak Anita. Sedang Sheila hanya cemberut saja, dia tidak berani berdebat dengan mamanya.

Kutengok jam yang melingkar di tanganku, baru jam sembilan malam lebih sedikit. Kalau pakai motor masih keburu untuk kembali ke kantor. Aku sekarang sudah punya motor sendiri sehingga kemana-mana lebih leluasa.

“Kak Anita aku ke kantor dulu!” seruku.

“Loh kenapa? Kadonya besok juga nggak apa-apa kok... kayak nggak ada hari lain saja! Santai sajalah!” balas kakakku seakan melarangku kembali ke kantor.

“Ternyata kunci kost-ku juga tertinggal, sekalian aja ambil kado buat Sheila!” jawabku berbohong, padahal aku hanya mau mengambil kado itu saja.

 “Kamu tuh ya... teledor banget!” balasnya sambil geleng-geleng kepala.

“Oke deh aku keluar dulu Kak!” kataku seraya berjalan tergesa menuju halaman depan tempat aku memarkir motor.

Selanjutnya aku menelpon kantor, berharap pak Husen kerja shift malam, bila tidak pun masih ada satpam lain.

“Pak Husen kerja shift malam nggak?” 

“Oh... Mas Ryan. Iya ini aku kebetulan kena giliran jaga malam. Kenapa Mas?” 

“Saya mau kembali ke kantor buat ambil kunci kost yang ketinggalan, Pak Husen bisa bantu kan?” tanyaku lagi.

“Oh bisa Mas, nanti saya antar ke lantai tujuh!”

“Terima kasih Pak, saya segera kesana!”

Aku segera bergegas keluar dan tancap gas menuju kantor, kalau memakai motor bisa lebih cepat, lagipula jam-jam segini jalanan tidak begitu padat seperti saat bubaran kantor di sore dan petang hari, kuharap aku sampai kantor tidak terlalu malam.

“Lha... kenapa sampai ketinggalan Mas? Nggak bisa masuk kost dong,” sambut pak Husen begitu aku sampai di lobi.

“Iya nih...!” seruku tergesa.

“Nanti pak Jaya yang akan menemani Mas Ryan ke lantai tujuh!” terangnya.

Pak Jaya juga satpam seperti pak Husen, tapi dia sudah senior dan lama kerja disini jadi sama pengelola dipercaya menyimpan kunci-kunci seluruh ruangan kantor. Salah satu tugasnya adalah mengontrol dan memeriksa setiap perkantoran apakah sudah terkunci atau belum, dan bila ada sesuatu dan mesti kembali ke kantor seperti aku ini mesti lewat pak Jaya untuk bisa memasuki ruangan kantor.

Bersama pak Jaya kami naik lift menuju ke lantai tujuh. Setelah membuka pintu ruangan kantor aku segera mengambil amplop coklat yang berisi kado buat Sheila dan menyelipkan di balik jaketku. Kado itu tidak terlalu besar karena berisi seuntai kalung emas dengan bandul inisal huruf “S”.

“Terima kasih Pak Jaya sudah membantu!” ucapku seraya menjabat tangannya. 

“Sama-sama Mas!” jawabnya sambil membalas jabatan tanganku. Dia lalu mengunci kembali pintu kantor.
“Maaf Pak Jaya, saya mau ke toilet dulu, kalau mau turun duluan silakan!” pintaku.

 Akibat udara dingin dan terpaan angin selama aku naik motor menuju kantor, aku jadi ingin buang air kecil.
“Silakan Mas, saya duluan ya!” 

Kami lalu berpisah, pak Jaya duluan ke lift untuk turun, sedang aku berbelok arah menuju toilet. Suasana begitu sepi, maklum tidak ada yang kerja lembur saat itu, tapi tidak masalah... toh aku bisa menyalakan lampu. Cahaya lampu yang terang membuat suasana tidak terlalu mencekam. Keluar dari toilet aku segera menuju lift, saat ini yang kuinginkan hanya satu, segera kembali ke rumah kak Anita dan menyerahkan kado kepada Sheila.

Di dalam lift aku juga sendirian, tapi tidak lama kemudian ternyata dari lantai lima ada seorang yang masuk. Aku mencium bau wangi bunga melati, itu mengingatkanku akan seseorang yang dulu pernah aku temui di lift. Oh... ya ternyata benar... wanita cantik itu. Kulirik dia... ya benar dia! Kayaknya... baju, tas, sepatu yang dia kenakan sama seperti saat dulu aku bertemu dengannya. Tapi entahlah... aku tidak ingat benar. Hanya kaca mata hitam itu yang menancap erat di ingatanku dan tidak pernah kulupakan.

“Wah kerja lembur ya?” kali ini aku mencoba memberanikan diri menyapa dirinya. Dia diam saja. Tidak bergeming, menengokku sedikit pun tidak.

“Sombong kali...” gerutuku dalam hati.

Tapi segera kutepiskan kekecewaanku. Kalau aku jadi dia, bukan tidak mungkin mesti berhati-hati dengan orang baru. Apalagi di lift ini hanya kami berdua... bisa saja dia curiga kepadaku, apalagi sudah malam begini.

Menyadari posisiku, akupun ikut terdiam. Nggak enak rasanya menganggu orang lain meski maksudku cuma bertegur sapa, namun kalau dia enggan ya sudah tidak apa-apa.

Sesampai di lantai dasar aku keluar, entah kenapa kami berdua bertubrukan, mungkin karena sama-sama ingin segera keluar. Dia sampai terjatuh, dan tas yang ada di genggamannya ikutan jatuh.

“Maaf...!” aku segera menyodorkan tanganku untuk membantunya berdiri kembali dan mengambilkan tasnya.

Aneh tangannya begitu dingin... ah mungkin karena udara malam ini dan AC kantor yang kelewat dingin. Dia tersenyum ke arahku tapi tidak menjawab sepatah katapun. Namun dia menyambut uluran tanganku.

“Ryan Suhendra!” aku segera menyebutkan namaku, berharap dia juga akan menyebut namanya sehingga besok aku bisa pamer ke pak Julius kalau aku sudah berkenalan dengan wanita yang pernah aku ceritakan sebelumnya.

Dia memandang ke arahku, tapi kaca mata hitam itu... iiih sebal aku melihatnya, kenapa juga tidak dia lepaskan? Mata adalah jendela hati, kita bisa menebak apakah yang tergambar di pancaran bola mata seseorang apakah itu lelah, sedih, gembira atau yang lain.

“Ini sudah malam... nanti mau pulang dijemput sopir atau...” belum selesai aku bicara seseorang menepuk keras bahuku. Aku sampai kaget dan memalingkan muka ke arah orang yang melakukan itu.

“Pak... Pak... Pak Husen?” tergagap aku menyebut nama itu. Aku gelagapan malu campur kaget, kenapa sampai tidak sadar kalau pak Husen menghampiriku bahkan dia sampai harus menepuk bahuku,

“Mas Ryan kenapa?” tanyanya dengan tatap mata curiga dan tampak cemas.

“Loh... kenapa? Nggak ada apa-apa tuh!” jawabku bingung.

“Mas Ryan tadi bertingkah aneh... sekeluar dari pintu lift merunduk dan seperti memegang sesuatu... lalu ngomong sendirian!”

“Aku... Oh... aku tadi membantu seorang wanita yang tasnya jatuh...!” Kupalingkan wajahku ke samping untuk menunjukkan wanita itu kepada pak Husen... tapi dia sudah tidak ada di sampingku.

Celingukan keputar pandangan di sekeliling ruangan lobi. Wanita itu benar-benar tidak ada. Aku jadi semakin bingung, tidak mungkin dia bisa begitu cepat meninggalkan lobi ini.

Melihatku kebingungan pak Husen berucap, “Kita duduk dulu saja, Mas Ryan bisa menceritakan sebenarnya ada apa?”

Kuikuti langkahnya menuju sofa lobi. Suasana sudah sepi jadi kami bisa leluasa berbincang. Kuceritakan kalau aku tadi bersama seorang wanita di dalam lift, kami bertrubukan saat mau membuka pintu lift sehingga tas wanita itu terjatuh, tentu saja aku berusaha membantunya. Sekeluar dari pintu kami berpincang tapi terputus karena pak Husen menepuk bahuku. Dan wanita itu sudah menghilang begitu saja. Pak Husen mengangguk-angguk mendengar ceritaku, tapi dari raut mukanya bisa terlihat dia agak cemas campur ketakutan.

“Kenapa Pak?” aku jadi penasaran.

“Mmmhh... bagaimana kalau kita melihat layar CCTV yang terpasang disitu!” dia menunjuk sebuah kamera CCTV yang terpasang di sudut ruangan yang sudah pasti menyoroti siapa saja yang keluar masuk lift.

Aku mengangguk tapi campur heran, ada apa ini...?

Di ruangan keamanan, pak Husen berbincang sebentar kepada penjaga layar kamera.

“Mari Mas Ryan, tolong bisa melihat layar ini dengan seksama!” pinta teman pak Husen sambil mempersilakan duduk di sampingnya. Kami bertiga lalu menonton layar itu yang sudah diputar mundur.

Disitu aku bisa melihat, begitu pintu lift terbuka tidak tampak orang lain kecuali diriku, juga seperti kata pak Husen tadi, aku terlihat merunduk dan memegang sesuatu dan mencoba mengangkatnya, serta saat aku berjalan keluar tampak aku berbincang sendirian, tapi dari tingkahku terlihat seperti berbicara dengan seseorang, hanya saja orang itu tidak ada.

“Tapi Pak... aku tadi bersama seorang wanita! Aku yakin betul Pak... tapi kenapa dia tidak ada di layar ya?” seruku tidak percaya.

“Wanita berkaca mata hitam!” teriak teman pak Husen.

“Iya benar... wanita berkaca mata hitam... aku tidak salah lihat kok!” seruku mantap untuk memastikan kalau aku tidak keliru.

“Tapi...” dia berhenti sejenak, lalu menghembuskan napas dari mulutku dengan sedikit berat. Dia menatapku lekat lekat sebelum akhirnya berkata, “Mas Ryan, ingin tahu yang sebenarnya?”

Aku segera mengangguk cepat, karena benar-benar penasaran.

“Wanita misterius berkaca mata hitam itu hantu, Mas...!” 

Aku terperanjat mendengar ucapannya, bagaimana mungkin...?

Tanpa diminta satpam itu lalu menceritakan, bahwa bukan hanya aku yang melihat penampakan itu, meski tidak semua karyawan atau orang yang ada di perkantoran ini melihatnya tapi sudah ada beberapa orang yang mengalami peristiwa demikian. Wanita cantik yang selalu muncul dari perkantoran dari lantai lima saat malam hari dan berkaca mata hitam, sampai saat ini tidak ada bukti nyata yang bisa menyatakan kalau wanita itu memang ada. Aku terdiam terpaku, wanita misterius itu sekelabat hinggap di benakku dan membuatku gemetaran.

No comments:

Post a Comment

La Planchada