Thursday, March 5, 2020

Sesuatu di Balik Dinding (Jogja)


Terkadang suara misterius dan terdengar aneh bisa menjadi sebuah pertanda dan peringatan kepada kita semua. Bagi yang berjiwa pemberani dan kuat imannya, hal seperti itu tidak akan menjadi masalah untuk dihadapinya. Namun bagi yang berjiwa penakut, hal semacam itu bisa menjadi cobaan yang berat untuk ditanganinya. 

Ada sebuah kisah yang terjadi belum lama ini, yaitu di penghujung tahun 2010 yang lalu. Kebetulan yang mengalaminya adalah kerabatku sendiri yang bernama Wawan dan tinggal di wilayah Yogyakarta sebelah selatan, tepatnya di Gunungkidul. Kisah tersebut adalah tentang pengalaman misteri yang dialaminya yaitu tentang bunyi cakaran di dinding rumah. 

Dan berikut ini adalah kisah selengkapnya sebagaimana diceritakan oleh Wawan.

Wawan Kurniawan lahir di sebuah daerah di kota Klaten, yaitu di Polanharjo. Namun dia sudah lama menetap di kota kelahiran ibunya yaitu di Semin, Gunungkidul. Dalam kesehariannya, oleh teman-temannya, Wawan biasa dipanggil dengan julukan Spiderman. Wawan sendiri tidak paham kenapa bisa dipanggil Spiderman, tapi karena panggilan ini muncul dari teman-temannya, jadi ya dia terima saja. 

Di sini Wawan hendak menceritakan pengalaman yang benar-benar terjadi kepada dirinya dan kisah ini bukanlah rekaan semata. Hanya Allah saja yang tahu betapa ciutnya hati Wawan pada saat peristiwa itu terjadi.

Kisah ini terjadi pada penghujung tahun 2010 yang lalu, waktu itu Wawan masih kuliah di semester empat di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Surakarta. 

Ketika libur panjang, Wawan menghabiskan waktu dengan pulang ke rumah membantu kedua orang tuanya bertani di sawah. Di suatu petang, kalau tidak salah pada pukul 05.30 lebih, Wawan menemani adiknya, Bambang, yang berumur 5 tahun bersepeda di sekeliling rumah, adiknya ini sebenarnya sudah pandai mengayuh sepedanya, tapi ibu Wawan melarangnya bersepeda sendirian tanpa ada yang menemaninya. 

Rumah tempat tinggal keluarga Wawan adalah rumah kampung, yang biasanya berukuran sangat besar dan halamannya juga luas. Keluarga Wawan sendiri hanya menempati sebagian atau separuh saja dari rumah kampung tersebut, yaitu hanya bagian depan saja. Sedangkan separuh rumah bagian belakang yang sebelumnya ditempati oleh almarhum kakek dan neneknya, kini sudah lama dibiarkan kosong tidak ada yang menempati.

Saudara-saudara ibu Wawan tidak ada yang mau menempatinya karena mereka harus tinggal bersama keluarga mereka di lain desa.

Ketika Wawan sedang menemani Bambang bersepeda, Wawan memang membawa kunci rumah belakang karena ibunya menyuruhnya membersihkan bagian dalamnya pada hari itu. Ketika Wawan melihat adiknya bersepeda, Wawan merasa sungguh gembira karena adiknya tumbuh semakin besar dan semakin pandai saja. Setelah itu Wawan berkata kepada Bambang, adiknya, bahwa ia hendak masuk dahulu untuk membersihkan rumah belakang.

“Bambang jangan bersepeda terlalu kencang ya, nanti jatuh.” begitu pesan Wawan kepada adiknya sebelum masuk ke rumah belakang.

Adiknya hanya mengangguk. Ketika Wawan masuk ke dalam rumah tersebut, memang sangat kotor dan berdebu. Tetapi saat itu Wawan tidak langsung membersihkannya karena ia merasa sangat kelelahan setelah hampir seharian berada di sawah. Wawan langsung merebahkan badannya di atas kasur di sebuah kamar yang terletak paling belakang di rumah itu.

Entah bagaimana, Wawan tertidur di situ dan ketika Wawan terbangun, ternyata hari sudah gelap, sudah malam. Wawan sadar ketika ayahnya membuka pintu kamarnya, karena hanya pintu kamar ayahnya yang bisa dilalui untuk menuju ke bagian rumah belakang. Perlu diketahui, lorong tengah yang menghubungkan jalan tembus antara rumah depan dan rumah belakang telah lama ditutup. Jadi hanya bisa masuk melalui kamar ayah Wawan. 

Ketika ayahnya sedang pergi ke kamar mandi, Wawan segera bangkit dari situ dan bergegas menuju ke rumah depan karena Wawan takut tinggal seorang diri di rumah belakang tersebut.

Sesampainya di rumah depan, Wawan melihat jam di dinding rumah. Jam menunjukkan pukul 23.00 tepat. Rupanya sudah lama sekali Wawan tertidur, niat di hati sebenarnya ingin beristirahat sebentar di rumah belakang, tetapi Wawan terlelap. Ketika Wawan berada di rumah depan, Wawan melihat adik-adiknya sudah tidur di ruang tamu, dan kakak Wawan tidur di kamarnya. Wawan yang belum berapa lama terjaga dari tidur tidak dapat memejamkan mata walaupun ia tahu bahwa esoknya ia harus bangun pagi untuk pergi ke sawah. 

Daripada membuang waktu, Wawan kemudian mengambil peralatan lukisnya dan duduk di sebuah sofa yang berada di ruang tamu.

Ketika Wawan asyik melukis tokoh kartun kegemarannya yaitu Spiderman, Wawan mendengar suara-suara aneh di luar rumah. Rumah yang ditempati Wawan ini adalah rumah kampung model lama yang mempunyai banyak jendela yang besar, besarnya sama seperti pintu. Rumah ini telah diperbarui bentuknya dan menjadi semakin besar. 

Bunyi itu kedengaran seperti berada di bawah kolong yang menyekat jalan yang menghubungkan rumah depan dan belakang. Namun Wawan yang sedang sibuk tidak mengindahkan bunyi itu. 

Tapi... 

Lama-kelamaan bunyi itu semakin dekat dan kuat. 

“Krek krek krek...!! Krek krek krek...!!” 

Wawan teringat ibunya pernah mengatakan kepadanya, itu adalah suara cicak yang besar yang suka duduk di celah-celah papan rumah, jadi Wawan tidak merasa khawatir akan ada apa-apa.

Bunyi itu terus-menerus kedengaran, dan yang paling membuat Wawan kaget dan terperanjat adalah, bunyi itu seolah-olah melompat dari bawah kolong terus mencakar-cakar ke jendela rumah. Bulu roma Wawan terus berdiri, ia pun jadi menggigil ketakutan. Wawan merasa heran, kalau kucing yang mencakar, mana mungkin bisa sampai karena rumah depan Wawan mempunyai kolong yang tinggi. Wawan juga berpikir tak mungkin ada burung yang berkuku begini tajam sampai-sampai bunyi cakarannya begitu kuat kedengaran. 

Kemudian Wawan mencoba membaca Ayat Kursi,

“Allahhula ila ha illaaaa huwal...” 

Wawan terhenti, ia menjadi lupa akan bacaannya. Wawan mencoba mengingat-ingatnya kembali, 

“Allahhula ila ha illaaaa huwal...” 

Memang tak bisa baca, lidah Wawan menjadi kaku... kelu... Wawan pun semakin menggigil ketakutan. Langsung tak bisa membaca satupun dari ayat-ayat suci Al-Quran.

Bunyi itu terus berlagu, hilang sejenak di jendela yang berada di belakang Wawan, kemudian terdengar di jendela berikutnya, dan seterusnya hingga berada lebih kurang 2 meter jaraknya. Hilang sejenak bunyi cakaran di jendela itu, kemudian berpindah ke pintu rumah, pergerakan dari bunyi cakaran itu sangat teratur. 

Wawan merasa sungguh pusing dibuatnya, sedangkan dari jendela dan seterusnya sampai menuju ke pintu rumah adalah berbentuk L dan mempunyai beranda dan tembok yang menghalang.

“Astaghfirullah hal azim.” 

“Ya Allah...”

Bunyi itu terus berlalu dan mencakar-cakar hingga ke jendela kamar kakak Wawan dengan pergerakkannya yang teratur. Bahkan bunyi itu juga kedengaran seperti mencakar-cakar kaca jendela rumah belakang 

“Ziinngg... zziinngg... zziinngg...!!!” dan kemudian menghilang. 

Bunyinya terdengar tak enak di telinga. Wawan langsung berpikir, adakah bunyi itu akan berputar-putar mengelilingi rumahnya? Wawan sudah terlalu takut dan menggigil, namun rupanya hal itu tidak terjadi.

Pada keesokan harinya, ketika Wawan sarapan, ia menceritakan kepada ibunya tentang yang dialaminya semalam. Ibunya kaget dan memarahi Wawan karena tertidur di sana sampai malam,

“Rumah belakang itu sudah kosong dan pasti sudah dihuni makhluk lain, itulah sebabnya kau diikuti, kau tahu, mirip muka kau...!! Bisa-bisanya tertidur, di petang hari lagi...!!” 

Beliau kemudian memberitahu Wawan, 7 tahun yang lalu ketika mereka belum begitu lama menetap di sini, ibu Wawan juga pernah mengalami peristiwa yang menyeramkan ini. Ketika itu beliau sedang menjahit baju, dan bunyi cakaran itu datang. Tetapi suara itu berhenti sejenak, datang lagi, dan kemudian berangsur-angsur menghilang.

Selesai sarapan, Wawan terus menuju ke pintu untuk memakai kaus yang berada di atas tembok beranda rumah. Wawan melihat sekilas ke pintu rumah, kelihatan seolah-olah pintu rumah itu terkena noda tanah dengan bekas cakaran yang jelas kelihatan. Wawan meneruskan memakai kaus dan kemudian melangkah memeriksa semua pintu dan jendela.

Ternyata, semuanya bertanah dengan bekas cakaran tersebut. Wawan menjerit memanggil ibunya yang berada di dalam rumah, untuk datang melihat.

Ibunya pun terperanjat dan tidak bisa mempercayai apa yang sedang dilihatnya...

Seminggu setelah peristiwa itu terjadi, Wawan sekeluarga pergi ke rumah budhe Sulis, yaitu kakak ibunya yang berada di desa Karang Rejo. Ayah Wawan menceritakan tentang pengalaman yang terjadi kepada Wawan seminggu yang lalu. Rupa-rupanya, sepupu Wawan, juga mengalami hal yang sama seperti dirinya, pada waktu yang sama. Pada hari Jumat yang sama, dan jam masih belum menunjukkan pukul 12 malam, semuanya sama. 

Budhe Sulis pun segera menunjukkan bekas-bekas cakaran yang belum juga hilang dan masih terdapat di dinding rumahnya dengan bekas tanah yang melekat. Sama seperti yang terdapat di rumah Wawan.

Budhe Sulis mengatakan, itu mungkin adalah makhluk piaraan peninggalan kakek Wawan yang sudah meninggal dunia. Mungkin ia datang untuk mencari tuan baru, dan tanah itu juga mungkin berasal dari tanah kubur.

“Ah, ada-ada saja dunia makhluk halus ini...” seloroh Wawan tak habis pikir.

No comments:

Post a Comment

La Planchada