Sunday, March 8, 2020

Sosok Penunggu Jembatan


Kedatangan bos besar dari Jakarta membuat Tono kesal. Pasalnya dia harus mengikuti meeting dengan bos besar, dan seperti biasanya bos besar selalu bertele-tele dalam membicarakan program kerja yang direncanakan. Alhasil meeting selesai hingga larut malam. Jam 20.00 WIB, Tono baru bisa keluar dari kantor. Karena sudah malam, tidak ada lagi angkutan kota yang lewat. Dengan terpaksa dia harus pulang dengan jalan kaki. Sedangkan jarak yang harus ditempuh sekitar 3,5 kilometer.

“Payah, gara-gara bos besar datang mendadak aku jadi pulang jalan kaki. Coba sebelumnya kasih pemberitahuan, aku ke kantor bisa bawa motor.” gerutu Tono. 

“Mana jalannya gelap dan perut terasa lapar lagi. Mampir warung angkringan depan ah, minum wedang jahe sambil makan nasi kucing buat ganjal perut dan siapa tahu dapat tumpangan dari pada jalan kaki.” gumam Tono.

“Haduh, kenapa angkringannya tutup.” gerutu Tono setelah melihat ternyata warung angkringan yang ditujunya tutup.

Akhirnya Tono melanjutkan jalannya sambil sesekali menengok jam tangannya yang waktu itu sudah menunjukkan pukul 20.30 WIB. “Wah harus ambil jalan pintas nih supaya cepat sampai rumah.” gumam Tono.

Akhirnya Tono mengambil jalan pintas melewati jalan setapak tengah hutan jati. Perkebunan jati itu terletak di seberang desa Tono, namun sebelum melewatinya harus melalui beberapa petak sawah dan menyeberang sungai kecil. 

“Tumben malam ini kok sepi yah? Ohhh iya, ada hajatan di desa seberang nanggap wayang, pantesan banyak yang pada nonton.” gumamnya lagi.

Sesekali Tono memang bersenandung atau bergumam ngomong sendiri, sekedar menghilangkan rasa takutnya. Karena menurut cerita orang, hutan jati itu cukup angker, sering ada suara wanita menangis dari rerimbunan pohon tersebut. Memasuki hutan jati, Tono diam seribu basa, tak hentinya mulutnya berguman melayangkan doa-doa untuk menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat Tono mulai melihat cahaya lampu rumah, Alhamdulillah... akhirnya sampai juga. Tapi siapa itu, dilihatnya ada seorang wanita berjalan sendirian melewati jembatan, sambil menggendong bakul.

“Ohh mungkin itu penjual kacang rebus yang mau jualan di wayangan, tapi boleh juga nih untuk ngisi perut sementara dari pada keroncongan terus.” pikir Tono, karena dia masih harus melewati satu desa lagi untuk sampai di rumahnya. 

“Yu, jualan kacang ya, saya beli ya.” ujar Tono pada wanita itu.

Wanita itu berhenti dan duduk meletakkan bakulnya di tanah sambil membuka bakulnya dan menyerahkan sebungkus kacang yang masih mengepul itu.

“Kok diam saja Yu, apa tidak kemalaman lewat sini?”

Aneh, wanita itu cuma tersenyum saja, tanpa bicara sepatah kata pun. Tidak ada yang aneh sih, tapi tiba-tiba bulu kuduk Tono merinding dan sepertinya tercium bau-bauan yang wangi.

“Hati-hati lho Yu, lewat sini kabarnya ada penunggunya.” ujar Tono seraya memberikan uang seribuan pada wanita tersebut.

Tiba-tiba saja ada angin mendesir pelan diiringi tawa cekikikan pelan dari mulut wanita cantik itu. Dan wanita itu mendekat pada Tono, dan berbisik... 

“Siapa yang bilang ada penunggunya Mas?” tiba-tiba wanita itu ngomong dengan suara parau disertai dengan tawa cekikikan.

Spontan Tono kaget dan merinding seluruh tubuh. Seketika itu juga, Tono pingsan di tempat. Keesokan paginya, Tono sudah berada di teras rumah penduduk desa setempat, dia dikerumuni banyak orang.

“Cepet ambilkan minum, dia sudah sadar.” ujar salah seorang bapak yang bernama pak Slamet.

“Nak, tadi malam kamu ditemukan oleh warga pingsan di dekat jembatan, kamu kenapa?” tanya salah satu warga. Lalu tiba-tiba datang bapak dan ibunya yang diberitahu oleh warga yang mengenal Tono sebagai anak dari pak Broto warga kampung sebelah. 

“Kenapa kamu No, kok tidak pulang malah tidur di sini.” tanya ibunya cemas.

“Tidak apa-apa Bu, Tono cuma ditemui mbakyu yang menunggu jembatan.” ujar pak Slamet. 

Mbakyu, demikian orang kampung biasa memanggil sosok wanita penunggu sungai dan jembatan desa, namun mbakyu tidak pernah membuat celaka, hanya sebatas menggoda saja. Sejak kejadian itu, Tono takut sekali bila pulang kemalaman, “Lebih baik tidur di kantor saja lah.” begitu pikirnya.

No comments:

Post a Comment

La Planchada