Banyak orang bilang bahwa rumah yang dibiarkan kosong terlalu lama serta tidak pernah diinjak akan dilirik oleh makhluk dunia lain, katanya sih para makhluk itu senang tinggal di situ dan biasanya makhluk itu akan berupaya menganggu manusia dan mengajak bersamanya untuk tinggal di rumah itu.
Dulu aku kurang percaya dengan hal-hal seperti itu, menurutku antara dunia kita manusia dan dunia mereka sudah diberi garis pemisah oleh Sang Maha Pencipta. Tapi dengan kejadian yang aku alami membuatku percaya bahwa kadang kehidupan dunia lain itu bercampur dengan kehidupan kita walau hanya sesaat. Mungkin itu kehendak-Nya agar umat manusia bisa mencernanya, maklum yang namanya manusia pada umumnya ingin segala sesuatunya didasarkan pada hal-hal yang logis, bisa diterima dengan akal sehat dan bisa dibuktikan secara konkrit.
Dengan persinggunganku dengan dunia mereka, aku semakin percaya bahwa ada kehidupan selanjutnya setelah kita menghembuskan nafas, bahkan bisa jadi benar kata orang kalau belum waktunya meninggal maka arwah akan tetap terikat di dunia ini.
Kejadian itu terjadi di sebuah kota kabupaten Kulonprogo di Yogyakarta, saat itu aku sedang main ke rumah salah seorang kakakku yang bermukim di sana sekalian mencoba peruntungan mencari pekerjaan di kota itu, maklum aku sudah sekian bulan menganggur setelah sebelumnya ada pemutusan hubungan kerja di tempat aku bekerja dulu yang kolaps akibat krisis global yang melanda dunia. Perusahaan tempat aku bernaung mengalami kesulitan untuk bertahan, jadilah perusahaan ditutup dan seluruh karyawan diberhentikan.
“Kamu nggak masalah kerja di kota kecil ini?” tanya Rudi kakakku, saat itu kami sedang dalam perjalanan dari Stasiun Kereta Api Lempuyangan menuju rumahnya.
“Kerja dimana saja nggak masalah kok, yang penting ada rejeki. Bosan rasanya luntang-lantung kesana kemari tidak ada kegiatan, di Jakarta sudah sulit mencari pekerjaan karena banyaknya pengangguran tapi lapangan pekerjaan tidak ada!” jawabku memastikannya bahwa aku serius mencari pekerjaan di kota ini.
“Kata ibu, kamu juga mencoba peruntungan berwirausaha? Kenapa tidak ditekuni? Kalau berhasil kan hasilnya bisa lebih tinggi dibanding jadi karyawan?”
Aku tersenyum getir mendengar pernyataan kak Rudi, ya benar aku sudah mencobanya, tapi ternyata tidak semudah itu, perlu keahlian dan ketekunan untuk mewujudkannya, selain ada unsur keberuntungan juga tentunya.
“Iya sih, tapi ternyata tidak segampang bayanganku sebelumnya.” jawabku dengan lesu.
Mungkin kak Rudi menyadari kalau pernyataanya tadi membuatku sedikit down, dia lalu berkata, “Ya mungkin belum rejekinya. Mau jadi karyawan atau jadi wirausaha itu hak pribadi masing-masing. Yang utama kamu nyaman dengan pekerjaan kamu. Aku hanya bisa mendoakan!” terangnya bijak, dia mencoba menenangkan diriku.
“Aku juga cuma karyawan kok!” lanjutnya.
“Nyatanya jadi karyawan juga bisa punya mobil tuh!” selorohku.
Kak Rudi tertawa, lalu guraunya, “Belum jadi milikku sepenuhnya, kan cicilan kreditnya belum lunas. Masih lamaaaaaa...!”
Selama perjalanan kami bercakap ringan tentang segala hal, dari berita terkini yang sering hadir di televisi dan termuat di koran sampai cerita remeh seadanya. Sebenarnya kak Rudi dulu bekerja di kota Jakarta seperti halnya aku, tapi dia tidak tahan dengan suasana ibukota yang panas, macetnya yang tidak ketulungan sampai waktu yang menurutnya hanya habis di jalan, makanya dia mencoba peruntungan mencari pekerjaan di kota yang lebih kecil dan lebih tenang seperti kota Kulonprogo ini. Walaupun dari segi penghasilan kalah jauh daripada saat dia kerja di Jakarta, tapi tampaknya memang itu yang dia inginkan. Dan ternyata keberuntungan berpihak kepadanya, dia kini bekerja di kota itu. Beda dengan diriku yang dulu berusaha mengejar karier mati-matian eh... malah terkena pemutusan hubungan kerja.
“Kita hampir sampai.” serunya.
Aku melihat dari jendela kaca mobil, tidak ada satupun rumah di situ, hanya sebuah jalan aspal yang membelah areal persawahan yang sangat luas di kiri dan kanan jalan. Pohon-pohon besar berjajar di sepanjang pinggiran jalan.
“Rumahku di perumahan kecil jauh dari kota. Yah meski kecil tapi rumah sendiri. Kalau mau membeli rumah di perkotaan wah harganya sudah tidak terjangkau.” jelasnya kemudian.
Dia membelokkan kemudi mengikuti tikungan jalan.
“Eh itu rumah siapa?” tanyaku saat melihat sebuah rumah mewah, rumah itu berdiri di samping kiri jalan ini, yang dibangun beberapa meter dari tikungan yang tadi kami lewati, meski ada tembok tinggi dan pagar besi yang membatasi pandangan, tapi bangunan tingkat duanya terlihat menonjol, kesan mewah langsung bisa tertangkap.
“Rumah orang kaya yang kelebihan duit!” jawab kakakku sekenanya.
Meski hanya sekilas, aku sempat melihat kalau pagar besi itu dalam kondisi tertutup, ada rantai dan gembok yang mengikatnya.
“Punya siapa sih? Kok rapat sekali! digembok pula!” sahutku.
“Aku juga kurang tahu, sejak aku tingal di perumahan, rumah itu sudah ada, kulihat rumah itu juga selalu dalam kondisi tertutup rapat, tapi... pernah sih aku melihat sebuah mobil masuk ke dalamnya... mungkin mau membersihkan rumah atau apalah aku kurang hiraukan itu semua!”
“Mhmmm.” aku cuma bergumam.
Pikiranku kembali membayang ke rumah itu, meski tampak kokoh dan mewah tapi aku bisa menangkap kalau rumah itu sudah lama dibiarkan tidak berpenghuni. Suasana rumah itu terkesan angker dan penuh misteri, aura yang terpancar hanyalah dingin dan senyap. Tapi ada sesuatu yang menggangguku, aku merasa ada getaran aneh yang menghubungkan diriku dengan rumah itu. Namun aku segera menepiskannya, kupikir itu cuma khayalanku saja, mungkin aku terbawa suasana film-film horror yang pernah kulihat.
Setelah beberapa saat, kami sampai di sebuah perumahan untuk kalangan rakyat biasa saja, rumah-rumah ukuran kecil berjajar dengan cat warna warni. Kami lalu melanjutkan laju mobil menuju rumah kakak yang ternyata ada di ujung perumahan ini,
“Nah sampailah kita!” serunya seraya memarkir mobil di pinggir jalan di depan rumah. Karena perumahan kecil jadi tidak ada garasi di rumah kakak. Kami lalu mengeluarkan barang-barang bawaanku yang ditaruh di bagasi belakang, setelah itu bersama-sama kami masuk ke dalam rumah.
“Ini kamarmu!” tunjuknya, dia membuka pintu kamar. Aku masuk dan meletakkan bawaanku di lantai, aku melihat-lihat sekeliling kamar yang meski kecil tapi tertata rapi.
“Kakak mau istirahat sebentar, kamu bebas mau ngapain. Anggap aja rumah sendiri, nanti malam kita makan di luar saja sekalian membawamu keliling kota melihat suasana malam hari!”
Aku mengangguk, dia lalu masuk ke kamarnya, kulihat ia merebahkan diri di atas tempat tidur. Dia pasti kecapaian karena setelah seharian kerja dia langsung menjemputku di stasiun. Akupun lalu masuk ke kamar yang diperuntukkan untukku. Kubuka koper yang aku bawa dan mengeluarkan isinya. Pakaian dan surat-surat penting aku taruh di almari sedang sebagian barang aku taruh di atas meja. Akupun lalu merebahkan badan di atas tempat tidur, aku juga kelelahan. Entah mengapa, bayangan rumah kosong itu kembali hadir di benakku, aku jadi kesulitan memejamkan mata. Rumah itu... mengapa seperti magnit yang menarikku?
Karena kak Rudi bekerja, maka nantinya tiap pagi sampai menjelang petang aku akan sendirian di rumahnya, karena itu olehnya aku diajak keliling kompleks dan diajak pula keluar menuju kota terlebih dahulu.
“Kamu kalau di rumah saja pasti jenuh! Kakak ada motor, walaupun butut tapi lumayan bisa buat jalan-jalan keliling kota!” begitu ucapnya kala itu.
Tentu saja aku senang karena aku punya alat transportasi sendiri sehingga aku leluasa pergi kesana kemari, kalau aku hapal tentu tidak terlalu bergantung kepadanya. Apalagi lokasi perumahan ini cukup jauh dari perkotaan, angkutan juga sangat jarang lewat sini.
“Kamu bebas mau kemana saja, kalau ada apa-apa tinggal kontak aku!” ucapnya kepadaku saat menyerahkan kunci motornya.
Hari ini hari ketujuh aku tinggal di kota kecil ini, aku sudah mengetahui jalan-jalan dan bahkan sesekali aku menyambangi tempat kuliner yang enak. Tentu saja aku juga rajin membaca informasi lowongan kerja dibantu kak Rudi, dia juga aktif menjalin relasi dan mencari info bila ada lapangan kerja yang tersedia di beberapa koleganya. Sayang rejeki belum berpihak kepadaku, mungkin masih perlu kesabaran.
Hari menjelang sore saat aku bermaksud pulang kembali ke rumah kakak, kukendarai motor dengan santai sekalian menikmati alam di sore hari yang kebetulan tidak terlalu panas karena mendung menghiasi langit. Namun saat aku memasuki jalan yang diapit hamparan sawah itu, gerimis mulai jatuh dari langit. Aku mempercepat laju motorku berkejaran dengan hujan yang akan turun sebentar lagi, apalagi tidak lama aku akan sampai di perumahan dimana kak Rudi bermukim. Jalanan ini biasanya juga sepi jadi aku lebih leluasa mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Akan tetapi setelah melewati tikungan itu hujan mulai turun meski belum begitu deras, aku terpaksa berhenti di bawah pohon untuk mengambil jas hujan.
“Payah, tidak ada jas hujan di dalam bagasi motor!” gerutuku. “Apa lebih baik nekat saja menerobos hujan ya?” begitu pikirku.
Namun mendadak aku tertegun tatkala kulihat rumah mewah itu ternyata terbuka pintu pagarnya. Dan kulihat seorang pedagang angkringan nongkrong di depannya.
“Apa mungkin dia juga sedang berteduh? Kenapa aku tidak kesana saja untuk ngobrol mengisi waktu sambil minum wedang jahe hangat? Siapa tahu dia mengerti seluk beluk rumah ini yang sudah membuatku penasaran, lumayan kan buat mengisi waktu buat menunggu hujan reda?” silih berganti kalimat-kalimat itu hadir di benakku.
Akupun lalu naik motor kembali dan mengalihkan arah menuju pedagang angkringan itu.
“Pak, minta wedang jahenya satu!” kataku sambil memarkir motor di emperan rumah agar tidak kehujanan. Lalu aku berjalan mendekati pedagang angkringan itu.
“Ini wedangnyaMas!” ucap si pedagang.
“Bapak juga numpang berteduh ya?” tanyaku sambil menerima segelas wedang jahe itu. Karena masih panas aku belum bisa langsung meminumnya, aku mesti meniup dulu.
Bapak itu menggeleng, lalu jawabnya, “Saya berjualan di sini kok!”
Aku kaget mendengarnya, mana mungkin dia berjualan di depan rumah orang? Jauh dari pemukiman penduduk pula? Siapa yang mau beli? Kalau hanya mengandalkan orang-orang yang lewat seperti halnya aku... wah... bisa rugi dong! Kan tidak banyak orang yang lewat jalan ini kecuali para penghuni perumahan rakyat itu. Keanehan lainnya... Belum sempat aku menyeruput wedang jahe itu, aku dikagetkan lagi dengan munculnya seorang perempuan dari dalam rumah mewah itu. Dia sangat cantik dengan rambut hitam sebatas bahu dan... dia tersenyum ke arahku.
“Maaf Mbak, numpang berteduh!” kataku berbasa-basi.
“Iya Mas, hujan deras sekali. Silakan masuk rumah saja biar tidak kedinginan!” sapanya lembut.
Lagi-lagi aku terkejut. Masuk rumah? Baik sekali perempuan itu... eh terlalu baik malah! Tapi... hati kecilku menangkap sebuah keganjilan. Kenapa hanya aku yang ditawari masuk? Kenapa dia sama sekali tidak menyapa si pedagang angkringan?
“Maaf Mbak, di sini saja. Nggak pesan wedang jahe Mbak?” aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Siapa tahu dia juga mau minum wedang jahe dan mau menemaniku minum bareng di teras rumah ini.
Dia diam saja, pedagang angkringan itu juga diam, sepertinya mereka tidak mau saling melihat. Aku jadi semakin bingung. Biasanya si pedagang akan menawarkan jualannya apalagi dia juga cuma numpang berteduh di sini.
“Pak, nggak nawarin wedang jahe ke Mbak itu?” tanyaku kepada si pedagang angkringan.
Dia menengok ke arahku lalu ke arah perempuan itu, dan di saat itulah aku melihat kengerian yang luar biasa. Kulihat mata kedua orang itu beradu, aku menangkap kebencian dan kemarahan di mata si pedagang angkringan. Matanya berubah menjadi merah menyala. Sedang sorot mata si perempuan menyiratkan kepuasan walau terlihat begitu dingin dan misterius. Aku belum lama tinggal di kota ini jadi aku tak ingin masuk dalam lingkaran masalah, maka aku segera mengambil uang di dompet dan membayarkan ke pedagang seraya menyerahkan kembali gelas yang belum sempat aku minum itu.
Aku segera bergegas mengambil motor dan meninggalkan rumah itu. Meski hujan turun dengan deras aku tidak peduli. Malamnya, ketika kak Rudi kembali dari tempat kerja, aku menceritakan kejadian itu. “Untung kamu tidak masuk ke rumah itu!” seru kak Rudi tegang.
“Memang kenapa Kak?” tanyaku heran.
“Menurut cerita banyak orang, ada kuntilanak yang menunggu rumah itu, dia suka meminta korban. Beberapa tahun lalu gempar adanya berita kalau seorang pedagang angkirngan yang kebetulan lewat jalan itu termakan bujukan si kuntilanak. Pedagang itu tidak pernah muncul lagi sedang gerobak angkringannya tergeletak begitu saja di depan rumah mewah itu.”
Aku bergidik mendengar penjelasan kak Rudi, pantas aku melihat kemarahan dan kebencian di mata pedagang itu, rupanya dia tertahan di rumah itu lantaran perempuan kuntilanank telah memperdayanya... hiiiiiii... ngeri...!!!!
Rumah itu beneran ada apa nggak?
ReplyDelete