Menurut cerita, siapa pun yang pernah mendengar alunan suara gamelan saat tengah malam di Jogja, maka akan betah tinggal di kota pendidikan itu.
Itu yang diucapkan seorang teman kantorku (namanya mas Joko) saat aku ada tugas kantor berkunjung ke Yogyakarta dan menginap di sebuah hotel di daerah Sleman, bertahun-tahun lalu. Itu adalah kedatanganku untuk pertama kalinya di kota yang dijuluki kota gudeg itu. Katanya, mitos itu, atau apapun namanya, ia dapatkan saat ia masih kecil dan katanya lagi, konon hanya orang-orang dari luar Jogja yang kebetulan berada di sana yang berpeluang “diusik” oleh alunan alat musik tradisional itu. Mulanya aku tidak percaya, bahkan kuanggap hanya lelucon dari mas Joko, tapi ternyata... lebih baik aku ceritakan dari awal saja ya.
Kejadian itu berawal saat aku ke Yogyakarta, ada tugas dari kantor untuk menemui beberapa toko cinderamata di sana. Aku adalah assisten manager bagian purchasing di sebuah perusahaan kerajinan tangan atau lebih afdol disebut handicraft. Perusahaan tempatku bekerja memproduksi aneka kerajinan berupa barang-barang ukuran kecil semacam tempat lilin, kotak abu rokok, kotak perhiasan, aneka hiasan dinding dan masih banyak lagi. Sebagian produk adalah desain kami sendiri tapi sebagian lainnya adalah pesanan para pembeli yang membawa gambar desain mereka. Tidak masalah bagi kami untuk memproduksi barang tersebut, tapi biasanya ada kesepakatan bahwa desain itu tidak boleh digunakan selain bagi si pemesan. Karena perusahaan semakin berkembang dan jenis-jenis produknya juga beragam, maka perusahaan bermaksud menggandeng pengrajin dari luar daerah untuk turut serta menyumbangkan hasil kerajinannya di perusahaan kami sehingga bisa berkembang bersama-sama.
“Sartika dari CV Inti Indah!” ucapku pada seorang resepsionis hotel tempat aku akan menginap. Sekretaris di kantor sudah membuat reservasi sebelumnya.
“Oh iya. Untuk tiga hari ya Bu!” jawab si resepsionis.
“Iya!” kataku sambil menyerahkan kartu identitas diri.
Setelah mendapat kunci aku segera bergegas menuju kamar dengan nomor seperti yang tertera. Tidak banyak barang yang aku bawa selain sebuah tas besar berisi pakaian dan sebuah tas kerja. Kamarku ada di lantai tiga, hotel tempat aku menginap memang tergolong berbintang. Ada tersedia banyak kamar dan fasilitas lainnya.
Masuk ke kamar, aku menaruh tas di dalam almari, kusibakkan gorden jendela, dari balik kaca aku bisa melihat pemandangan di bawahnya. Ada sebuah kolam renang ukuran besar di tengah tengah bangunan ini, dan banyak orang baik wisatawan nusantara maupun mancanegara yang asyik berenang di kolam itu.
Karena cukup lelah, aku putuskan rebahan dulu di tempat tidur, aku berangkat dari Medan tadi siang, karena paginya rapat dulu di kantor. Belum sempat aku memejamkan mata, handphone berbunyi, aku segera mengambilnya dari dalam tas.
“Hallo!” ucapku.
“Ibu Sartika? Ini Wenni, ada pesan dari bos tentang sistem pembayaran berjangka!” kata Weni, sekretaris kantor. “Sudah aku email Bu, nanti Ibu bisa melihat langsung permintaan bos, cuma memberitahukan saja Bu!” lanjutnya.
“Terimakasih Wenni!”
“Baik Bu, saya tutup dulu telponnya. Selamat sore Bu!” balasnya sambil mematikan telepon.
Ah bos, mengapa tidak dari pagi tadi saat mengadakan rapat sih? aku menggerutu dalam hati, setelah membuka laptop memang ada sebuah pesan masuk dan ada lampirannya juga. Ternyata bos menggaris bawahi bahwa model pembayaran harus lebih ketat lagi, maklum beberapa buyer/pembeli seringkali lambat dalam hal pembayaran, itu membuat perusahaan kesulitan menjalankan cash flow-nya.
Belum selesai aku membaca email dari Wenni, ada telepon masuk lagi. Kupikir itu dari dia lagi, eh ternyata bukan. Di layar handphone tertera nama Susi. Dia itu salah satu teman hangout-ku, kami dulu kuliah di fakultas yang sama, setelah lulus kami mendapat jalan yang berbeda, aku bekerja di sebuah perusahaan handicraft sedang dia menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Suaminya seorang pengusaha yang cukup berhasil.
“Hallo... Tika!” sapa Susi dari seberang.
“Susi, ada apa? Aku lagi ke Yogyakarta nih ada tugas dari kantor!” terangku sambil terus membaca email.
“Yaah... ke Jogja kok nggak bilang bilang sih!” celetuk Susi.
“Cuma tugas kantor, masak mesti bilang bilang sih, kayak pejabat penting aja!” balasku setengah bercanda.
“Bukan begitu Tika...! Kalau ada waktu yang longgar kan aku bisa nyusul kesitu buat kita hangout bersama!” suara Susi terdengar merajuk.
Yaahhh... mulai deh, tapi kupikir-pikir tak apalah. Justru aku senang karena ada teman di sini daripada bengong sendiri di kamar. Toh aku bisa mengatur agar tidak tiga hari penuh aku bekerja, aku bisa padatkan jadwal kunjungan ke art shop sehingga adalah barang satu hari waktu bebas buat aku dan Susi jalan bersama.
“Boleh aja sih, aku bisa padatkan jadwal kok.” jawabku, “Tapi suamimu gimana? Nggak apa-apa kamu tinggal?” lanjutku.
“Mas Effendi lagi pergi keluar kota, dia lagi ke Batam, mungkin sekitar satu mingguan. Aku bengong nih di sini, tidak ada teman hangout yang asyik kayak kamu!”
“Ya udah... kamu kesini saja, hari Sabtu aku bebas kok, aku menginap di...!”
“Sebentar aku ambil pena.” potong Susi.
Dia mencatat nama dan alamat hotel yang aku berikan, kemudian katanya, “Oke deh, aku kesana jumat sore!”
Aku sudah menjelaskan kepadanya kalau sabtu aku ada waktu longgar karena jadwal kerja aku padatkan dalam dua hari yaitu Kamis dan Jumat.
“Perlu dijemput nggak nih?” tanyaku.
“Nggak usah, aku naik taksi saja dari bandara ke hotel tempat kamu menginap!”
Setelah ngobrol sebentar, kami memutuskan pembicaraan karena aku masih ada tugas dan Susi juga ada kegiatan lain.
Ah senangnya jadi Susi, dapat suami orang kaya dan baik pula. Dia pernah cerita padaku kalau suaminya itu membebaskan dia melakukan apa saja asal di koridor yang benar. Mau bekerja silakan, mau jadi ibu rumah tangga juga boleh. Beda dengan diriku, aku masih single dan belum ada pacar, waktuku habis buat bekerja. Yah kalau tidak bekerja mana aku bisa dapat uang? Aku sudah tidak disokong orang tua lagi, aku harus mencari biaya hidup sendiri. Tapi ada untungnya juga, aku jadi lebih mandiri dan itu menempaku menjadi lebih dewasa.
Kembali ke Susi, aku memang senang punya teman seperti dia, humoris, ceria dan tidak membeda bedakan teman. Dia menghargai orang lain, jadi kalau aku keberatan akan sesuatu dia tidak akan memaksa. Aku juga suka kalau ada teman di sini, ada yang diajak ngobrol dan jalan-jalan. Rencana aku akan membeli beberapa barang sebagai oleh-oleh buat teman-teman kantor dan keluarga di rumah.
Malam itu, setelah aku mempersiapkan berkas-berkas yang akan kubawa esok aku mencoba untuk tidur, agar aku merasa segar keesokan paginya. Kalau kurang tidur, mata jadi sembab, badan kurang fit dan buat berpikir juga susah. Karena menempuh perjalanan jauh membuatku lelah dan cepat tertidur.
Namun dalam kondisi setengah terjaga aku merasa mendengar suara gamelan yang mengalun merdu. Kucoba untuk membuka mata agar lebih bisa menangkap suara itu dan buat meyakinkaku apakah suara itu benar adanya ataukah hanya halusinasiku semata. Tetapi setelah aku berhasil membuka mata tidak lagi kudengar alunan gamelan itu. Berhubung aku tidak bisa tidur akupun lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Selanjutnya aku tiduran saja di ranjang sambil menyalakan televisi, biasanya kalau melihat program acara yang tidak begitu aku suka aku akan tertidur sendiri... hahahha...
Esok pagi aku bangun karena suara alarm handphone berbunyi. Setelah mandi dan merapikan diri aku keluar untuk makan pagi yang sudah disediakan oleh pihak hotel, selanjutnya aku memesan taksi untuk membawaku keliling kota mengunjungi klien klien perusahaan.
“Jalan Itu menuju Malioboro ya Pak?” tanyaku kepada sopir taksi.
“Iya Bu, pernah mengunjungi?” dia balik bertanya.
“Belum sih, tapi nanti setelah pekerjaan selesai dan ada waktu longgar aku akan mengunjunginya!” jawabku. Malioboro kan nama jalan yang terkenal di Yogyakarta.
“Oh... kerja apa Bu?”
“Kerajinan alias handicraft, Pak. Kami mencari pemasok untuk art shop kami di Medan, tapi kalau ada waktu luang pinginnya ke tempat tempat wisata!”
“Di Jogja banyak tempat pariwisata lho Bu, Saya siap mengantar. Ibu bisa booking taxi saya.” terang pak sopir.
“Oke...” aku mengangguk setuju.
Dalam hati aku merencanakan akan berwisata bersama Susi, tapi aku belum bisa memberi kepastian sekarang karena toh aku juga tidak tahu apakah Susi jadi menyusul aku ke Yogyakarta ataukah tidak. Dia kan belum nongol, yaah... siapa tahu dia berubah pikiran.
Hari pertama aku awali dengan mengunjungi lima buah art shop yang tersebar di sepanjang jalan ini, keesokan harinya aku juga akan mendatangi tiga toko yang tersisa lainnya. Jadi di hari ketiga aku bebas, ada waktu luang buat aku dan Susi jalan-jalan dan mencari oleh-oleh. Kegiatan di lima art shop di hari itu menghabiskan waktu seharian. Sore menjelang petang aku baru tiba kembali ke hotel. Setelah mengisi perut di restaurant hotel buat makan malam, aku kembali ke kamar.
Agenda malam itu cuma satu yaitu tidur!! Aku lelah sekali setelah seharian bekerja. Anehnya, kejadian kemarin malam terulang kembali, aku mendengar alunan suara gamelan yang meskipun lirih tapi cukup sampai di telinga. Karena penasaran, aku keluar kamar, memusatkan konsentrasi pada telinga agar lebih jelas dari mana asal suara gamelan itu. Dari situ aku yakin kalau suara gamelan itu berasal dari seberang kamar... seberang tapi jauh. Ke arah selatan. Saya jadi teringat-ingat pada ucapan mas Joko saat aku mau ditugaskan ke Yogyakarta. Apakah suara gamelan yang saya dengar ada hubungannya dengan mitos itu? Ah... aku tertawa sendiri. Bisa saja suara gamelan itu berasal dari radio, orang lagi latihan atau dari mana saja... kan Yogyakarta itu kota budaya, tentu suara gamelan juga sudah biasa.
Keesokan paginya aku melanjutkan tugas mengunjungi sisa art shop yang kemarin belum sempat kusambangi. Kuharap sorenya semua agenda tugasku selesai. Dan rencanaku berhasil, sore hari semua sudah kelar, akupun langsung menuju ke hotel tempat aku menginap karena tadi susi sms kalau sore ini dia akan langsung ke hotel. Dan ternyata benar sesampai di lobby saat aku mau mengambil kunci kamar, resepsionis memberitahu kalau ada seseorang yang menungguku.
“Susi...!” seruku. Kulihat dia sedang duduk di sofa lobby sambil membaca koran.
“Tika...!” balasnya riang, dia lalu mengembalikan koran ditempatnya dan berdiri untuk menyambutku.
Kami berangkulan dan tertawa bersama.
“Kenapa nggak bilang kalau sudah sampai, kelamaan nunggunya nggak nih?” tanyaku sambil mengguncangkan bahunya.
“Ah belum lama kok, aku sengaja nggak telpon kamu, takut mengganggu kerjamu!” jawabnya kalem.
Kucubit dia dan kuajak ke kamar, “Kita ke kamar saja biar lebih bebas ngobrol, kalau di sini mau berbicara keras kan malu...!”
“Yoi...!” balas Susi.
Kami berdua lalu berjalan bersama menuju kamar tempat aku menginap, senang rasanya ada teman di sini.
“Numpang tiduran dulu ah...!” seru Susi begitu kami sampai di dalam.
“Iya silakan, aku tinggal mandi dulu ya? Gerah nih!” aku menaruh tas kerja di atas meja dan meninggalkan Susi.
Selesai mandi kuhampiri temanku itu, “Kamu mau mandi nggak?”
“Ya jelas dong, biar badanku jadi segar!” katanya sambil diiringi tawa kecil, dia lalu bangkit dari ranjang dan bergegas menuju kamar mandi. Tak seberapa lama suara gemericik air terdengar.
“Nanti malam kita mau kemana nih?” tanyanya setelah selesai mandi.
“Kalau makan di luar aja gimana? Esoknya baru seharian kita menghabiskan waktu, maaf Susi aku lelah sekali nih!” jawabku dengan nada lesu, aku memang kelelahan setelah bekerja seharian. Mendingan tenaga disimpan buat esok hari.
“Aku juga capai kok, oke acara malam ini makan di luar aja lalu tidur, besok baru kita jalan!”
Malam itu kami keluar untuk makan di sebuah rumah makan khas masakan Yogyakarta. Setelahnya kami kembali ke hotel untuk berisitirahat.
“Masakan di rumah makan tadi enak ya!” seru Susi. “Bisa buat referensi kalau ada teman kita yang main ke Jogja!”
“Ajak dong suamimu... buat mencicipi makanan referensimu! Lumayan kan sekalian buat bulan madu kedua!” selorohku.
“Mestinya ajak pacarmu tuh!” balasnya.
“Belum laku nih... belum ada pacar!”
Kami berdua lalu tertawa.
“Sudahlah, nanti kalau sudah waktunya akan datang sendiri, Tuhan sudah mengatur semuanya!” urai Susi bijak.
Aku mengangguk setuju, “doanya ya...biar cepat dapat pendamping!”
Malam itu kami tidur bersama di kamar ini, aku sangat kelelahan sehingga aku cepat tertidur dengan pulas, tampaknya sih Susi juga demikian, tapi aku kurang tahu pasti. Namun di saat aku terbuai tidur yang nyenyak, lagi-lagi aku seperti dibangunkan oleh suara alunan gamelan, sama seperti malam sebelumnya suara itu terdengar lirih tapi sangat jelas tertangkap telingaku.
“Ehmm... eh... mhmm... ada apa?” tanya Susi sambil menguap.
Dengan mata sedikit terpejam, Susi tampak masih mengantuk saat kubangunkan.
“Kamu kenapa?” tanyanya lagi, kali ini dia mencoba untuk membuka mata.
“Kamu tadi mendengar suara gamelan nggak?” tanyaku.
“Suara gamelan??” serunya terkejut, mulutnya sampai melongo. “Enggak tuh! Yang kudengar tadi malah kamu yang mengorok?”
“Ah kamu...!” aku merajuk.
“Oke, sekarang kamu cerita ya ke aku? Pelan-pelan saja, sebentar aku ambilkan minum!” Susi bangun dari ranjang dan mengambil air mineral yang ada di meja, lalu diberikan kepadaku.
Setelah minum beberapa teguk aku lalu bercerita kalau sudah tiga malam ini aku mendengar suara gamelan di tengah malam, juga tentang ucapan mas Joko rekan kerjaku di Medan yang asal Jogja itu kalau “Di Jogja, siapa pun yang pernah mendengar alunan suara gamelan di tengah malam, akan betah tinggal di kota pendidikan itu.”
“Lha malah bagus tuh! Berarti kamu berjodoh dengan kota ini... maksudku kamu akan tinggal di sini... siapa tahu pula jodohmu orang Jogja... heheheh!” gurau Susi.
Aku terbahak, “Amin... amin... doanya deh. Sudahlah Susi, kita tidur lagi saja!” pintaku, kalau tidak diputus sekarang wah aku bisa diledek terus sama Susi. Lagian aku juga masih mengantuk.
Tiga hari berlalu, dan aku mesti kembali ke kantor pusat di Medan. Cerita tentang alunan gamelan yang kudengar tiap tengah malam itu juga lalu menguap begitu saja, kuanggap itu hanya mitos.
Sekitar tiga tahun kemudian tak pernah kusangka kalau aku akan diangkat sebagai manager cabang yang menangani pemasok barang... dan aku ditempatkan di Yogyakarta. Di kota itu aku juga mendapatkan jodohku. Sekarang aku dan suamiku serta dua anakku hidup berbahagia di kota gudeg itu.
Nama hotelnya apa?
ReplyDelete