Wednesday, March 4, 2020

Penampakan Membawa Maut (Jogja)


Cerahnya sinar mentari di pagi hari mulai menyapa bumi seisinya. Diiringi dengan kicauan burung yang saling bersahutan. Sungguh senandung pagi yang merdu dan indah. Seindah hati Dian yang hari ini akan memulai hari pertamanya menduduki bangku SLTP favorit yang ia idam-idamkan selama ini.

“Mama, ayo buruan. Dian sudah terlambat nih... MOS-nya kan mulai pukul 06.30. Berarti Dian harus sudah sampai sekolah 15 menit sebelum MOS dimulai.” ujar Dian begitu bersemangat.

“Iya Dian, mama tadi baru selesai mengganti popok adik. Ya sudah, ayo kita berangkat.” sahut mamanya. 

Mereka lalu menghentikan angkot yang menuju ke sekolah Dian. Setelah sampai di sekolahnya, Dian langsung bergabung dengan teman-teman barunya. Kebetulan ada beberapa teman SD-nya yang juga diterima di sekolah ini sehingga Dian tidak terlalu merasa asing. Setelah bel sekolah berbunyi, seluruh murid kelas satu berkumpul di lapangan. Mereka mendapat pengarahan dari kepala sekolah dan ketua pelaksana Masa Orientasi Siswa (MOS).

Saat sedang diberi pengarahan, Dian sekilas melihat ke barisan murid laki-laki. Dia sedikit tertegun. Di situ ada siswa memakai seragam hitam-hitam. Dia heran. Harusnya hari ini berseragm putih-putih. Dian ingin melihat wajahnnya, namun cowok itu selalu menunduk. Kalau kakak kelas sampai melihat, dia pasti di hukum, ucap Dian dalam hati. Lalu dia berbisik ke Virda, temannya yang berdiri di dekatnya. 

“Eh, kamu lihat cowok itu di sana. Dia kok pakai baju serba hitam sih? Apa nanti tidak dihukum?” Virda mencari pria yang dimaksud Dian. Namun ia tidak melihatnya. 

“Cowok yang mana Dian? Sejauh mata aku melihat, semuanya pakai seragam putih putih.”

Dian pun kembali melihat ke arah siswa berpakaian serba hitam tadi. Dia terkejut. Ternyata cowok itu sudah tidak ada!! 

Selesai pengarahan, murid-murid dibubarkan. Mereka dengan tertib berjalan menuju ke kelas sementara yang sudah ditetapkan oleh panitia MOS.

Seharian itu diisi oleh berbagai kegiatan MOS. Mulai dari baris-berbaris, perkenalan setiap ruangan di sekolah, guru-guru bidang studi, hingga penjaga kantin dan satpam di sekolah itu. Seluruh penjuru yang ada di sekolah itu diperlihatkan kepada semua murid baru.

Sampai akhirnya mereka memasuki ruangan UKS. 

“Adik-adik, ini adalah ruang UKS sekolah kita. Di sini adalah markas tempat berkumpulnya kakak-kakak Palang Merah Remaja kalian. Nah, kalau dari kalian ada yang berminat untuk mengikuti ekstrakulikuler PMR, ruangan ini akan menjadi sahabat kalian.” ucap kakak pemandu itu.

Dian tak hentinya mengamati secara detail setiap bagian dari ruang UKS tersebut. Di situ ada foto kakak kelas pada saat mengikuti lomba PMR, foto saat membuat tandu dan lain sebagainya. Saat Dian sedang asyik mengamati, tiba-tiba ia mencium bau anyir seperti bau darah. Dian sontak menutup hidungnya. 

“Vir, bau apa sih ini?” bisik Dian kepada Virda. 

“Iya, seperti bau amis. Mungkin karena di sini banyak peralatan medis kali.” jelas Virda sekenanya.

Dian mengangguk. Ia pun sempat berpikir seperti itu. Setelah dari ruang UKS, mereka semua kembali ke kelas. Setelah semua kegiatan MOS hari itu dijalani, murid-murid diperbolehkan untuk pulang. MOS masih berjalan selama dua hari ke depan. Dian menunggu mamanya di pos satpam. Di situ sedang tidak ada satpam yang berjaga, karena sekarang jam makan siang. Mungkin mereka sedang istirahat, pikir Dian.

Saat sedang asyik menunggu mamanya, datang seorang satpam. Namun satpam ini bukan satpam yang diperkenalkan oleh kakak pemandu saat berkunjung ke pos ini. Lalu satpam itu duduk di bangku dalam. Ia selalu menunduk, mukanya datar sekali, sedikit pucat. Dian menyapanya, 

“Permisi ya Pak, aku numpang duduk, lagi nunggu dijemput mama.” 

Satpam itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis ke arah Dian. Tertera nama Wardoyo pada tanda pengenalnya.

Tidak lama kemudian mamanya datang. Rupanya mama harus mengurus adik dulu sehingga terlambat. Dian tersenyum dan tidak mempersoalkan hal itu. Sebelum meninggalkan pos satpam, Dian menoleh ke arah satpam tadi untuk sekedar berterima kasih dan pamitan. Namun satpam itu sudah tidak ada. 

“Loh pak satpamnya ke mana?” cetus Dian.

“Satpam? Dari tadi tidak ada orang di situ.” sahut mamanya dengan heran. 

Sesampainya di rumah, Dian menceritakan apa yang tadi ia alami di sekolahnya. Mamanya tertegun, ia seperti bisa merasakan apa yang Dian rasakan. Namun ia berusaha untuk mengalihkan perhatian Dian.

“Itu cuma kebetulan saja Sayang. Mungkin juga cuma halusinasi kamu. Sudah sekarang makan yang banyak, terus tidur ya...”

Tapi semua terasa aneh buatku, gumam Dian saat ia sedang tiduran di kasur. 

Tak terasa mata Dian pun mulai terpejam. Di alam bawah sadarnya masih terekam kejadian yang dialaminya di sekolah tadi.

Ketika tiba-tiba terbangun, ia sudah berada di sekolahnya.

“Virda... Virda... tolong aku dikejar orang gila!” jerit Dian di koridor sekolah.

Entah dari mana orang gila itu berasal. Saat Dian memasuki gerbang sekolah tadi, tiba-tiba orang gila itu sudah berada di belakangnya dengan pakaian compang-camping dan luka seperti luka bakar di wajah dan tangannya. Orang gila itu terus mengejarnya. Dian lantas memasuki sebuah ruangan dan menguncinya dari dalam. Ia lalu meringkuk di sudut ruangan.

Ia terlihat kelelahan setelah berlarian sepanjang koridor sekolah tadi. Ia kesal karena tidak ada satupun yang menolongnya. Apakah mereka tidak melihat orang gila itu? Perlahan Dian mengamati ruangan yang terlihat seperti ruang UKS. Tapi terasa berbeda. Warna dindingnya seperti sudah kusam. Penuh lumut dimana-mana. Tempat tidurnya juga berubah menjadi tempat tidur usang. Seprainya kusam.

Dian kemudian berjalan melihat-lihat foto yang terpajang. Salah satu foto cukup menarik perhatiannya. Di situ tertera tulisan: 

“LOMBA PMR ANTAR SLTP untuk wilayah DI Yogyakarta.” 

Kalau ini bukan ruang UKS mengapa ada foto lomba PMR? gumam Dian. Padahal waktu kemarin berkunjung kesini, ruangannya masih bagus. Dian terus mengamati satu persatu isi ruangan. Semuanya benar-benar seperti benda antik. Lalu Dian menghampiri meja dekat pintu.

Di situ ada sebuah buku tebal bertuliskan,

“Absensi anggota PMR tahun ajaran 1989/1990.” 

“Loh, kok ada di sini? Ini kan buku absensi tahun 89?” pikir Dian. 

Dia lalu membawa buku absensi itu bersamanya. Mungkin ini arsip untuk pembina PMR, ujarnya dalam hati. Dian lalu membawa buku itu dan ingin membuka pintu yang tadi di kuncinya. Namun Dian kesulitan untuk membuka kunci itu.

“Tidak bisa! Aduuhh... bagaimana ini? Tadi sepertinya gampang sekali ketika aku kunci. Kenapa sekarang jadi susah dibuka?” keluh Dian panjang-pendek. 

Akhirnya ia pasrah. Dian sudah kehabisan tenaga untuk membukanya. Dian terus melihat keluar jendela, barangkali ada teman atau guru yang lewat untuk menolongnya. Benar saja, tak lama kemudian segerombol siswi lewat. Sepertinya mereka kakak kelas, karena Dian tidak mengenal mereka sama sekali.

Dian kemudian berteriak. Anehnya, suaranya tidak bisa keluar sama sekali! 

Lalu ia mencoba berteriak lagi, namun tidak ada sedikitpun suara yang keluar dari mulutnya. Dian lalu bergerilya mencari benda keras untuk memecahkan kaca jendela itu. Dian menemukan vas bunga. Segera ia ambil dan melemparkannya ke kaca jendela. Namun Dian sangat terkejut karena kaca itu tidak pecah!

Dian bingung, ia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. 

“Ada apa ini?” ucapnya dalam hati. 

Dian lantas menangis bingung. Perlahan ia mencium bau anyir di ruangan itu. Dian hampir mual karena tidak tahan mencium baunya. Dengan sekuat tenaga ia bangkit lalu kembali melemparkan vas bunga. Seperti tadi, meski mengenai kaca jendela, namun kacanya tidak pecah.

Dalam kondisi putus asa, Dian terus berteriak-teriak meski suaranya tidak terdengar sama sekali. Tidak lama kemudian melintas siswa berpakaian serba hitam yang dilihatnya saat upacara hari pertama MOS. Siswa itu lewat di depan ruang UKS dengan wajahnya yang terus saja menunduk. Dian kembali berteriak. Sepertinya siswa itu mendengarnya. Dia berhenti dan perlahan menengok ke arah Dian.

Dian sangat berharap siswa itu dapat menolongnya. Namun Dian histeris saat melihat wajah siswa hitam itu. Matanya merah menyala, mukanya penuh luka bakar yang melepuh. Siswa hitam itu menyeringai ke arah Dian. Ia pun menjerit histeris dan tersadar dari tidurnya.

Mendengar jeritan Dian, mamanya masuk ke kamar dengan tergesa.

“Dian, ada apa? Kenapa kamu teriak-teriak begitu? Ada apa Sayang?” ucap Mama panik. 

Dian langsung memeluk mamanya dan menangis. Ternyata itu semua hanya mimpi. Saat ia melihat ke jam dinding yang menunjukkan pukul 17.30, ia pun teringat kalau tadi ia tidur siang, namun ia tetap menangis di pelukan mamanya. Tubuhnya basah penuh keringat. Setelah tenang, Dian menceritakan semua yang terjadi dalam mimpinya. Ia terlihat sangat ketakutan.

Dian menjadi takut untuk berangkat sekolah esok harinya. Mamanya berusaha menasihatinya bahwa itu semua hanya mimpi, hanya bunga tidur, itu semua tidak nyata. Tapi Dian merasa semua seperti nyata. Esok paginya Dian terlihat tidak bersemangat seperti biasanya. Ia bahkan tidak mau sarapan. Padahal mamanya sudah membujuknya, namun Dian tetap tidak mau.

Akhirnya Dian berangkat sekolah tanpa sarapan. Saat sampai di kelas ia menemui Virda dan menceritakan kembali mimpi yang dialaminya. Tanggapan Virda pun sama dengan mamanya. Tak lama kemudian bel berbunyi, seluruh murid berkumpul di lapangan. Mereka kembali mendengar pidato dari Kepala Sekolah dan ketua pelaksana MOS. Murid-murid mendengarkan dengan khidmat. Begitupun dengan Dian. Saat sedang mendengarkan, ia merasa sedikit pusing, mungkin karena tadi ia belum sarapan. Lama-lama pandangannya kabur sebelum kemudian pingsan.

Saat membuka mata, ia bingung ada dimana. Ternyata ia berada di ruang UKS. Sementara Virda berdiri di sampingnya. 

“Kamu tadi pingsan di lapangan.” ujar Virda tanpa ditanya.

“Syukurlah sekarang kamu sudah membaik. Sebentar aku belikan teh hangat di kantin...” Dian ingin mencegah Virda. Namun temannya itu sudah langsung melesat ke kantin. 

Dian takut karena teringat akan mimpinya kemarin yang kini menyergapnya. Ya Allah, lindungi aku. Namun baru sebentar memejamkan mata, Dian mendengar pintu terbuka. 

“Vir, kamu ya?” tanya Dian tanpa menoleh. 

Rasanya kepalanya sangat berat. Dian mengulang pertanyaannya karena tidak ada jawaban. Kali ini Dian pun panik. Apalagi ia mulai mencium bau amis seperti dalam mimpinya. Sementara secara perlahan cat tembok UKS yang tadinya berwarna putih bersih mengelupas lalu muncul titik-titik lumut. Lama-lama lumut itu bertambah banyak. Dengan sekejap ruangan UKS berubah menjadi seperti ruangan tua, persis seperti dalam mimpinya!

“Tolong jangan ganggu aku.” pinta Dian sambil menangis. 

Tiba-tiba ia melihat bayangan di balik gorden di depannya. Bayangan itu sangat tinggi. Bau amis semakin jelas tercium. Bahkan Dian hampir muntah karena mual dengan bau amis itu. Dian memberanikan diri bangkit meski tubuhnya masih lemas. Ia pikir pintu UKS akan sulit terbuka seperti dalam mimpinya. Ternyata tidak. Ia berjalan tertatih-tatih keluar UKS mencari Virda.

Namun suasana sekolahnya sudah berubah. Warna catnya, pintunya, bahkan sekolah ini hanya ada 2 tingkat, padahal seharusnya ada 3 tingkat. Dian semakin panik dan berusaha mencari gerbang untuk keluar. Seharusnya sekolah ini ramai, tapi mengapa menjadi sepi begini, keluh Dian. Saat Dian sedang berjalan menuju gerbang, ia melihat Virda sedang berdiri. Ia menghampirinya dan mengajaknya untuk pulang.

“Vir, ayo kita pulang saja. Ada yang tidak beres dengan sekolah ini. Kamu lihat kan semuanya berubah?” 

Namun Virda hanya menatap Dian. Wajahnya sedikit pucat. Tiba-tiba, Virda menyeringai dan menatap Dian dengan tajam. Wajahnya begitu menakutkan. Dian terkejut dan spontan berlari ke arah gerbang.

Begitu mencapai gerbang, ia menengok ke pos satpam di dekatnya dan melihat satpam yang kemarin dikenalkan oleh pembina MOS ada di situ. Namun dia tidak sendirian. Satpam lainnya yang bernama Wardoyo juga ada di situ. Dian terperanjat karena muka keduanya sangat seram, berlumuran darah dan matanya sangat merah. Keduanya tengah menatap ke arahnya sehingga Dian menjerit histeris dan langsung berlari keluar gerbang sekolah.

Namun tiba-tiba...

“Braakkkkkkk...!!!!” 

Tubuh Dian dihantam mobil yang tengah melintas dengan kecepatan tinggi. Tubuh Dian melayang sebelum kemudian jatuh di atas aspal. Kondisinya sangat mengenaskan. Dian tewas seketika. Virda yang sejak tadi mengejar Dian, terpukau melihat pemandangan mengerikan di hadapannya.

“Diaaaaaaaaaaaann...!!!” jerit Virda histeris. 

Virda tidak kuasa melihat kondisi tubuh temannya yang hancur bermandikan darah. Beberapa guru dan orang-orang yang melihat kejadian itu segera melakukan pertolongan dan melarikan tubuh Dian ke rumah sakit. Namun semua sia-sia. Nyawa Dian sudah tidak tertolong lagi. Mama dan papanya yang datang ke rumah sakit langsung pingsan melihat kondisi anaknya. Sampai kemudian jasad Dian dibawa pulang dan dimakamkan, mamanya masih sering jatuh pingsan.

Sebenarnya sudah banyak orang yang tahu jika sekolah itu sangat angker. Setiap tahunnya pasti ada siswanya yang tewas dengan cara mengerikan, terutama pada saat MOS. Pada tahun 90-an sekolah ini juga pernah terbakar dan puluhan muridnya tewas terbakar. Namun pemerintah merenovasi bangunan tersebut dan sekolah itu kembali berdiri. Sejak direnovasi tersebut, banyak siswa yang mengalami kejadian aneh. Bahkan pernah terjadi kesurupan massal, sekitar 2 tahun lalu. Entahlah, sampai kapan semua ini akan berakhir. 

Semoga tidak ada korban lagi seperti Dian di tahun berikutnya.

1 comment:

La Planchada