Cerita ini adalah kisah nyata yang dialami oleh Sekar dan sepupunya Totok semasa masih remaja dulu, ketika itu mereka masih belum genap 17 tahun, saat itu mereka sedang berlibur di kampung dan tinggal di rumah kakeknya yang biasa dipanggil dengan sebutan mbah Tembong.
Mbah Tembong ini tinggal di kampung Margo Waras yang terletak di kaki gunung Merapi, di sekitar wilayah Kalikuning. Udara di sana masih sejuk, dan hampir setiap hari turun hujan rintik-rintik sekalipun di musim panas. Rumah-rumah di kampung Margo Waras ini rata-rata adalah rumah kampung yang memiliki halaman dan pekarangan sangat luas, selain itu, jarak antara rumah yang satu dengan lainnya pun cukup jauh.
Dulu semasa mereka masih kanak-kanak dan tinggal di kampung itu, di belakang rumah mbah Tembong terdapat telaga. Hampir setiap ada kesempatan, Sekar dan Totok selalu pergi untuk bermain di telaga itu. Mbah Tembong melarang dan selalu bilang, siapa yang nakal dan bandel akan kena campak dalam telaga itu. Tapi Sekar selalu saja punya cara untuk pergi ke telaga itu dan bermain di sana. Dan selalu saja mbah Tembong gagal ketika hendak menghukum Sekar dan Totok di telaga itu.
Di belakang telaga itu pula terdapat tanah pekarangan untuk mbah Tembong bercocok tanam. Dia menanam nanas. Tapi dasar Sekar anak yang nakal dan suka usil, setiap kali pohon nanas itu hendak berbuah, ia ambil sabit atau parang lalu pergi untuk menebang pohon nanas kakeknya. Totok pun ternyata setali tiga uang dengan Sekar. Dia pun ikut-ikutan usil seperti Sekar dan berbuat sama sepertinya dengan menebangi pohon nanas sang kakek setiap kali akan berbuah. Padahal semula Totok adalah anak yang baik, tapi semenjak bergaul dengan Sekar, ia menjadi ikut-ikutan nakal.
Suatu ketika, pernah mbah Tembong menghadang mereka dengan membawa cambuk di tangannya. Sekar dan Totok jadi ketakutan dan mereka pun langsung lari masuk hutan. Sekar bersembunyi di bawah batu besar, sedangkan Totok memanjat pohon jati. Itu semua gara-gara Totok dan Sekar ketahuan sedang menebang pohon nanas mbah Tembong.
Ayah Sekar tidak pernah menyuruh anak perempuannya itu untuk bekerja. Dia menyuruh Sekar untuk tinggal di rumah, belajar memasak, dan belajar mengurus rumah tangga. Berkat paksaan ayah Sekar itulah, sekarang Sekar tumbuh menjadi remaja yang sudah pandai memasak. Sudah bisalah kalau hendak dinikahkan atau sekedar dijodohkan. Namun untuk urusan perjodohan, Sekar memang sedikit sensitif, ia masih ingin bersenang-senang menikmati masa remajanya.
Ketika Sekar duduk di bangku SMA, ayah Sekar membawanya pulang kampung dan menghabiskan liburannya selama 2 minggu di sana. Dia menyuruh Sekar menemani kakeknya. Agar sang kakek tidak merasa bosan karena terlalu sering tinggal sendirian di rumah yang jauh dari anak dan cucu. Nah, kebetulan sepupunya yang juga teman bermainnya di masa kecil dulu yaitu si Totok, juga sedang libur.
Haa... jadi memang klop-lah. Totok pun rupanya tahu kalau Sekar pulang ke kampung hanya untuk menyusahkan kakeknya, sehingga Totok pun ikut-ikutan juga.
Malam itu, Totok mengajak Sekar memanjat ke atas atap rumah. Rumah kampung milik mbah Tembong ini sudah banyak sekali yang direnovasi, dan juga diperbesar menjadi dua tingkat. Di tingkat atas, ada jendela yang bisa dipakai untuk keluar dan kemudian memanjat naik ke atas atap. Dengan berbekal obat nyamuk bakar, sedikit camilan, air mineral, dan sebuah gitar mini, mereka pun memanjat dan naik ke atap. Dari situ mereka bisa melihat telaga dan pohon-pohon nanas yang ditanam oleh mbah Tembong.
Ketika Totok sedang asyik memetik gitar, tiba-tiba dia berhenti, kemudian dengan setengah berbisik ia bertanya kepada Sekar,
“Hey... Sekar, apa kau melihat apa yang aku lihat?” tanya Totok.
Sekar yang tengah minum air langsung melotot dan tersedak-sedak. Ada makhluk aneh yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah telaga itu. Dia berdiri tegak, tapi kepalanya menunduk. Rambutnya tergerai panjang sekali. Sekar dan sepupunya langsung berkeringat ketakutan.
“Sebelum dia melihat kita, sebaiknya kita membaca ayat-ayat suci...!!” bisik Sekar.
Namun, sebelum Sekar sempat membuka mulut lagi, makhluk itu telah melihat mereka. Ia menatap dengan matanya yang tajam dan kemudian membuka mulutnya lebar-lebar...!!! Mulutnya besaaar sekali, bisa muat satu penumbuk. Dan matanya... jangan ditanya, matanya merah menyala. Dan mata itu menatap lurus tepat ke arah Sekar dan Totok.
Kedua remaja itu pun jadi ciut nyalinya dan diam membisu, tidak berani beranjak dari tempat mereka berada.
Totok berkata,
“Ayo kita baca Ayat Kursi, baca sebanyak-banyaknya...!!!”
Kedua remaja itupun mulai berkomat-kamit membaca Ayat Kursi...
Tangan Sekar mulai terasa dingin dan gemetaran. Ia pejamkan mata rapat-rapat. Setelah itu, Sekar pun kemudian membuka matanya pelan-pelan, dilihatnya makhluk itu sudah tidak ada. Sekar pun buru-buru mengajak Totok untuk segera turun ke bawah. Malam itu, Sekar dan Totok tidak berani untuk tidur sendirian. Jadi Sekar pun mengendap-endap menumpang tidur di kamar Totok. Kalau saja mbah Tembong tahu, cucu perempuan dan cucu lelakinya tidur satu kamar, pastilah Sekar dengan sepupunya itu akan dipaksa menikah.
Untung dia tak tahu. “Fuihh... selamat!!”
Malam itu, mata Sekar dan Totok hanya berkedap-kedip saja tak bisa tidur. Setelah cukup lama bengong mereka pun mendapatkan ide untuk mencoba game terbaru mereka yaitu “Plants vs Zombie.” Lagipula tak ada game lain untuk dimainkan. Yang jelas, keduanya takkan mau bermain congkak, karena menurut mereka permainan itu sudah ketinggalan jaman. Hingga waktu subuh menjelang, Sekar dan Totok masih asyik bermain “Plants vs Zombie.” Di tengah permainan, Sekar bertanya kepada Totok,
“Kemana makhluk itu menghilang? Ketika aku membuka mata, eh... tiba-tiba saja dia sudah menghilang, benar-benar aneh...!!”
Totok hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, tanda bahwa dia pun penasaran.
Esoknya, ketika akan memasak untuk makan siang, Sekar sibuk di dapur dengan mbah Tembong. Sesaat kemudian mbah Tembong menyuruh Totok untuk pergi memetik daun mangkokan, yang ditanamnya di pematang sebelah telaga. Totok yang masih sedikit merasa gamang dengan telaga itu kemudian mengajak Sekar untuk menemaninya. Mbah Tembong geleng-geleng kepala melihat kelakuan cucunya.
“Dasar anak-anak jaman sekarang, pergi memetik daun mangkokan di siang hari saja, mesthi bawa teman segala...”
Dan di telaga itu...
Ketika sedang asyik memetik daun mangkokan, mereka mendengar suara air berkecipuk dalam telaga. Belum sempat mengetahui lebih jauh, eh... tiba-tiba saja Totok menjerit dan berteriak,
“Wueh tokek! Blahh!!! Bukan... awas... eh... salah, minggir.” teriak Totok yang jadi latah karena kaget dan ketakutan.
Sekar terperanjat dan kaget serasa mau mati berdiri melihat Totok yang sangat bombastis itu. Belum sempat Sekar bertanya kenapa dia menjerit-jerit, eeh... Totok sudah mengambil langkah seribu. Bahkan sama sekali tak menunggu Sekar. Sekar pun jadi bingung dan ikut-ikutan berlari. Mereka berlari bagaikan adu balap. Kalau ada pertandingan, pasti akan menang dan jadi juara.
Sayang, sesampainya di rumah, kaki si Totok tersandung sesuatu dekat anak tangga, dan ia pun terjatuh. Sekar tertawa terbahak-bahak melihat Totok yang melompat-lompat sambil meringis memegangi jari kakinya.
Setelah diperiksa, ternyata jari kakinya bengkak.
“Ah... kasihan Totok.” sesal Sekar dalam hati.
Malam harinya setelah menonton berita malam di televisi, mbah tembong masuk ke kamarnya untuk tidur. Totok yang belum mengantuk mengajak Sekar untuk melihat pertunjukan wayang di balai desa sekaligus bertemu dengan teman-temannya di sana.
Dengan alasan hendak pergi ke warung haji Muis untuk membeli obat nyamuk bakar, mereka berdua pun mendatangi mbah Tembong untuk meminta ijin. Dan mbah Tembong memang mengijinkan tapi dengan diembel-embeli berbagai larangan dan dia juga berceramah panjang lebar tentang moral. Menurutnya anak perempuan tak pantas untuk pergi keluar malam-malam begini.
“Aduh, apes benar nasibku jadi perempuan, tidak bisa seperti Totok yang bebas berbuat apa saja dan pergi ke mana saja...!!” gerutu Sekar dalam hati.
Sekar ingin seperti Totok yang bisa keluar malam untuk kongkow bersama dengan teman-temannya. Tapi bagaimanapun, Sekar merasa cukup senang karena diajak Totok untuk bertemu teman-temannya karena ada salah seorang teman Totok yang disukai Sekar, namanya Bambang. Menurut Sekar, Bambang itu orangnya ganteng dan suka berkelakar.
Sesampainya di balai desa, teman-teman Totok sudah berkumpul untuk menonton wayang. Bambang juga ada di sana. Bambang adalah teman sekelas Totok dan mereka ini usianya lebih tua setahun dari Sekar.
Sambil asyik nonton wayang, Totok mulai bercerita, dia melihat makhluk itu terjun dengan pelan ke dalam telaga. Tapi waktu itu ia tidak berani memberitahu Sekar, karena khawatir nanti Sekar jadi terkejut dan ketakutan.
“Gila, pantas saja dia bersemangat mengambil langkah seribu ketika memetik daun mangkokan dekat telaga...!!” gerutu Sekar dalam hati.
Totok kemudian berkata,
“Aku pikir mataku yang salah, tapi tiba-tiba saja air dalam telaga itu berkecipuk, seolah-olah ada orang tengah berenang-renang di telaga itu.”
Sekar terdiam. Bambang pun menyambung,
“Ah... kalian ini, apa tidak tahu kalau telaga di belakang rumah kakekmu itu ada makhluk penunggunya. Lagipula kenapa kalian ke sana dan mengganggunya?”
Jantung Sekar jadi berdebar-debar, dan semakin bertambah kencang. Sekar pun bersumpah kalau dia tak pernah mengganggu siapapun.
Setelah mengetahui bahwa di telaga tersebut ada makhluk penunggunya, sejak dari hari itu, Sekar dengan Totok tidak pernah lagi main ke telaga itu dan tidak pernah lagi memanjat sampai ke atap rumah untuk bermain gitar sambil memandangi telaga itu. Pos baru mereka sekarang adalah beranda di tingkat atas. Kadang-kadang mbah Tembong ikut bergabung. Dia goreng kerupuk, bikin air teh, lalu menikmatinya bersama cucu-cucunya di beranda.
Ternyata asyik juga, duduk-duduk dan mengobrol dengan kakek.
Setelah beberapa hari tidak memanjat ke atas atap, tiba-tiba saja hati Sekar merasa rindu ingin bermain gitar di situ. Jadi Sekar pun mengajak Totok ke sana. Totok sebenarnya malas, tapi akhirnya dia setuju saja.
Dan begitulah, sekitar pukul 22.00, Sekar pun memanjat naik ke atap. Ia mainkan gitar dengan senangnya. Sesaat kemudian, Totok menyusulnya.
Ketika sedang asyik bermain gitar, tiba-tiba hidung Sekar mencium bau yang sangat wangi. Benar-benar wangi sekali. Sekar pun merasa gatal ingin menegur. Ia berbisik,
“Eh, wangi sekali baunya. Apa kamu pakai parfum, Tok...?!”
“Woi buat apa dikomentari, hah? Diam-diam sajalah.” gerutu Totok sambil memarahi Sekar.
“Hhh... ya sudahlah...” kata Sekar pelan.
Namun setelah itu, datang bau busuk. Sangat busuk seperti bau bangkai. Sekar pun mulai menutup hidungnya. Dia memberi tanda dengan menendang pelan sepupunya. Namun Totok yang tidak paham malah mulai marah,
“Eh... dibikin rileks saja bisa tidak sih...?”
Hati Sekar mulai merasa tak nyaman. Rasanya seperti ada sesuatu yang merangkak di tembok. Dan tiba-tiba... makhluk itu muncul tepat dari bawah atap tempat mereka sedang berdiri. Sebenarnya Sekar tak begitu menyadarinya. Tapi tiba-tiba saja ia mendengar Totok berteriak,
“Astagfirullah...!!”
Sekar yang terkejut langsung memejamkan mata rapat-rapat. Saat ini sudah tak ada gunanya lagi menyesal telah naik ke atap. Sekar merasa ingin menangis. Mungkin itulah sifat asli perempuan, sedikit-sedikit menangis. Lagipula sudah terlambat untuk menyesal di saat-saat begini.
Pasti sudah cukup lama makhluk itu merangkak di tembok. Tapi makhluk itu tak mengganggu mereka. Setelah itu dia pun kembali turun dan mengarah ke telaga. Dilihat dari caranya menuju ke telaga benar-benar aneh. Makhluk itu bisa dibilang tidak berjalan, dibilang terbang juga tidak, kelihatannya seperti berjalan lurus dan cepat, seperti menaiki skateboard.
Canggih juga dia.
Setelah sampai dekat telaga, dia berhenti. Sekar dan Totok hanya diam sambil memperhatikan saja. Saat ini mereka ragu, ingin segera pergi dan lari ke kamar, namun hatinya berkata lain, ingin melihat sampai habis.
Tiba-tiba... tiba-tiba... makhluk itu mengangkat mukanya.
Astagaaa... matanya merah menyala!!
Dia menjulurkan tangannya yang ternyata bisa melar sampai panjang seperti karet tepat ke arah Sekar dan Totok dan seperti mau menerkam mereka. Sekar dengan Totok langsung ambil langkah seribu. Sekar berebut dengan Totok untuk masuk ke rumah melalui jendela. Ketika mereka sedang sibuk saling dorong untuk bisa memanjat ke jendela, makhluk itu seperti mengeluarkan bunyi,
“Whoarggghhh...!!!”
Sekar berhasil masuk duluan. Kemudian Sekar segera menarik tangan Totok. Tapi Totok yang masih berada di luar jendela berkata,
“Sudahlah, jangan tarik-tarik tanganku...!!”
Tapi Sekar niatnya baik ingin menolong Totok, mengingat Sekar sudah berhasil masuk terlebih dahulu. Begitu kaki Totok sudah berhasil memijak di jendela, walaupun tidak cukup kuat, Sekar langsung menarik tangan Totok dengan keras. Totok pun jatuh terjerembab ke dalam kamar. Kemudian Sekar cepat-cepat menutup jendela. Totok mengaduh kesakitan. Ia merasakan sakit sekali serasa mau mati! Sekar pun memeriksa muka Totok,
“Ya Allah... dahinya berdarah!!”
Darah tak berhenti mengalir, bahkan sampai ada yang masuk ke dalam mulut. Sekar yang masih terkejut melihat darah menjadi kebingungan. Sekar segera berlari ke kamar untuk mengambil handuk kemudian membekap luka di dahi Totok. Setelah itu ia berikan air mineral untuk diminum.
Waktu itu sudah tengah malam, Sekar tak tahu lagi harus berbuat apa. Mau pergi ke klinik, sudah terlalu malam. Kaki Sekar gemetaran. Sekar mengetuk pintu kakeknya. Terkejutlah mbah Tembong ketika diberitahu perihal kecelakaan yang dialami Totok. Langsung dia bangun dan mencari obat yang ia simpan untuk menghentikan pendarahan. Kemudian segera membersihkan luka di dahi Totok sambil memarahi kedua cucunya itu.
“Kalian ini apa tak ada kerjaan, hah? Tengah malam panjat ke atap, kamu ini anak perempuan! Tidak sopan, tahu tidak?!” teriak mbah Tembong dengan marah.
“Kalian sedang main apa sampai berdarah-darah begini? Besok aku laporkan ke bapak kalian, bersiaplah!!” lanjut mbah Tembong
“Bab-bab, bib-bib, beb-beb!! Fuiih... lama juga kena ceramah dari kakek.” gerutu Sekar.
Totok dan Sekar sepakat untuk tidak memberitahu mbah Tembong tentang makhluk aneh itu. Biarkan sajalah, takut kena marah lagi. Sampai sekarang, setiap kali mereka pulang kampung, Sekar dengan Totok tertawa terbahak-bahak jika ingat akan kejadian malam itu. Mereka akan naik ke atap ketika ada sepupu-sepupu yang lain di situ. Kalau hanya berdua saja mereka tak berani, lagipula memang tak boleh. Sekar sudah kapok.
Namun semenjak mereka berdua menjadi dewasa, hubungan Sekar dengan Totok tidak seakrab dulu ketika mereka masih berusia belasan tahun. Selain jarang bertemu, kadang mereka juga tak tahu harus mengobrol tentang apa. Mungkin juga karena malu, karena Totok laki-laki, sedangkan Sekar perempuan. Sudah pada tumbuh dewasa. Sudah boleh menikah pula.
Terkadang Sekar dan Totok merasa kangen akan masa-masa yang telah lampau itu. Sayangnya, mereka berdua sekarang agak segan jika bersantai hanya berduaan saja. Padahal dulu setiap kali pulang kampung, Sekar pasti langsung mencari-cari Totok, demikian pula Totok, diapun mencari-cari Sekar. Sekarang hanya basa-basi bertegur-sapa.
Namun ada satu hal yang pasti, rahasia tentang makhluk penunggu telaga yang mereka simpan hingga kini, akan aman untuk selamanya...
No comments:
Post a Comment