Liburan kali ini kami berlima berencana menghabiskan waktu liburan di rumah pak Sumadi di desa Sumber Rahayu. Desa Sumber Rahayu terletak agak terpencil, jauh dari keramaian kota, dan merupakan desa yang masih alami dan belum terkontaminasi budaya asing.
Pak Sumadi adalah seorang penjaga sekolah sewaktu kami masih duduk di bangku SMA. Sedangkan kami semua sekarang sudah berstatus mahasiswa semester dua. Andra (aku), Joned, Amron, Ipang, dan Herry adalah lima sekawan yang sejak SMA mempunyai hobi yang sama yaitu berpetualang di alam seperti panjat tebing, arung jeram, mendaki gunung, dan sebagainya. Pokoknya segala kegiatan yang ada tantangannya dan berhubungan dengan alam, pasti kami menyukainya.
Kami berlima memutuskan untuk menghabiskan liburan semester disini karena teringat dulu pak Sumadi pernah bercerita kepada kami bahwa dia tinggal di desa yang asri dan masih alami sehingga membuat kami tertarik untuk mengunjunginya, namun keinginan itu baru terwujud sekarang ini setelah kami semua lulus SMA. Ada satu hal yang membuat kami tertarik untuk mengunjunginya yaitu cerita tentang adanya sebuah tebing yang indah dan sepertinya asyik untuk didaki.
Sewaktu memasuki desa Sumber Rahayu, kami semua sempat merasakan ada sesuatu yang sedikit ganjil. Suasana saat itu begitu sunyi senyap, seakan-akan kampung itu tak berpenghuni. Mobil yang kami tumpangi berlima pun berjalan pelan seolah enggan memasuki desa yang berada jauh dari keramaian kota itu.
“Wah, serem juga nih kampung, seperti kampung mati saja,” kataku mencoba memecah kebisuan.
“Ah, menurutku kampung ini asyik buat berpetualang. Aku berharap mendapatkan pengalaman yang menarik yang belum pernah kualami seumur hidupku. Ketemu kembang desa kek, atau...”
Belum selesai Herry merampungkan kalimatnya tersebut tiba-tiba kami semua terkesima melihat ada seorang nenek berdiri di pinggir jalan. Tampak di tangannya membawa lentera, padahal hari masih siang.
“Hahaha... atau justru ketemu nenek-nenek yang masih gadis??” ejek Ipang melanjutkan kalimat Herry yang belum selesai tadi.
“Ssstt...!! Sebaiknya kita berhati-hati jangan ngomong sembarangan soalnya kita tidak tahu adat disini, lagi pula kita tidak tahu apakah pak Sumadi masih ingat dengan kita,” ujar Amron.
Akhirnya sampai juga kami di sebuah rumah sederhana yang asri. Dari dalam rumah tampak tergopoh-gopoh seorang lelaki paruh baya menyambut kami.
“Eh... kalian semua, akhirnya datang juga! Mari... mari... silahkan masuk,” sambut Pak Sumadi sambil mengajak kami berlima untuk langsung masuk ke rumahnya.
“Enak juga yah suasana desa waktu sore, wah aku jadi langsung pengin jalan-jalan nih,” ajak Ipang.
Namun dengan gugup pak Sumadi segera mengajak masuk rumah dahulu dengan setengah memaksa, bahkan istrinya yang muncul kemudian malah langsung menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam rumah.
Seusai mandi dan istirahat sebentar, langsung kami disuguhi makan malam.
“Pak, ini kan masih sore, baru jam 6 kok sudah makan, nanti saja lah, aku pengin jalan-jalan,” ajak Joned tak sabaran.
Tapi dengan sigap pak Sumadi segera melarang dan menyuruh makan dulu.
“Oke deh, aku sudah lapar juga kok. Oh iya Pak tadi di depan desa aku melihat seorang nenek duduk di pinggir jalan tapi kok siang-siang menyalakan sentir yah, siapa dia Pak?” ujar Amron.
“Makan dulu saja, nanti sehabis makan bapak akan ceritakan semuanya tentang desa ini dan aturan-aturannya,” ujar Pak Sumadi.
Dengan penuh penasaran akhirnya kami menikmati makan malam dengan tergesa-gesa. Seusai makan sambil minum wedang jahe suguhan, kami duduk di ruang tengah untuk mendengarkan penjelasan pak Sumadi.
“Mas, sebenarnya kedatangan Mas-mas disini agak kurang tepat waktunya, mungkin kalau kalian memperhatikan sejak memasuki desa ini akan terasa aneh kan, ini karena beberapa hari ini arwah Ni Mas muncul lagi,”
“Ni Mas? Siapa itu Ni Mas, Pak?” tanyaku penasaran.
“Maaf Mas, membicarakan asal usul Ni Mas adalah tabu di desa ini, yang penting kita tidak boleh mengganggunya dan cara yang dilakukan oleh warga desa adalah dengan tidak keluar rumah selepas Maghrib dan tidak boleh berkata-kata kotor, tapi ini hanya berlangsung selama sepasar (5 hari) saja, setelah itu rutinitas kehidupan warga akan kembali seperti biasanya,” ujar pak Sumadi serius.
Akhirnya, kami melewatkan malam pertama hanya dengan saling diam, walaupun kadang ada satu atau dua guyonan dari teman-teman, tapi malah terkesan hambar karena suasananya tidak mendukung untuk bersendau gurau.
Keesokan harinya kami sudah bangun pagi-pagi sekali dan sudah mempersiapkan segalanya untuk pergi menuju lokasi tebing seperti yang diceritakan oleh pak Sumadi, dengan diantar oleh pak Sumadi akhirnya kami sampai di tempat tujuan. Untungnya hari itu pas hari Minggu, jadi pak Sumadi juga pas libur, sehingga dapat menemani kami sebagai penunjuk jalan.
Dan memang benar apa yang diceritakan oleh pak Sumadi. Tebing itu masih asli dan sangat indah, berjarak sekitar 400 meter dari batas desa. Pemandangan dari atas tebing pasti akan begitu menakjubkan. Aku mulai membayangkan memandang hamparan sawah dan lingkungan pedesaan dari atas tebing, dan tak sabar untuk segera melakukan pemotretan untuk dokumentasi kegiatan kali ini. Kebetulan sekali bentuk tebingnya sangat memudahkan bagi pemanjat untuk mendakinya. Selain banyak tumpuan juga banyak cekungan untuk pegangan.
Joned sebagai pemimpin petualang, berjalan lebih dulu. Sesampainya di atas, sambil menunggu yang lainnya, Joned melihat-lihat sekeliling tempatnya berdiri, tak jauh dari tempatnya berdiri dilihatnya seorang gadis berdiri menghadap bukit, dan kemudian ia duduk di atas sebuah batu. Bajunya khas orang desa dan di dekatnya terdapat tenggok yang berisi singkong.
“Ah, pasti dia gadis desa sini, tapi kok bisa sampai berada di atas sini ya, lewat mana dia??” pikir Joned penasaran.
Kemudian dia menghampiri gadis itu dan menyapanya.
“Pagi Mbak, sendirian yah?” sapa Joned sok ramah.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Saya Joned Nugroho dari Klaten, biasa dipanggil dengan nama Joned saja. Kalau Mbak namanya siapa?” seloroh Joned lagi, muncul sikap playboynya.
“Rengganis,” ucap gadis itu lirih sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Wah kesempatan nih, waduh tangannya halus banget tapi kok dingin ya,’’ pikir Joned.
“Kok bisa naik ke atas, lewat mana?”
Pertanyaan Joned itu cuma dijawab dengan arah telunjuk Rengganis yang menuju jalan kecil terjal di pinggir bukit. Tiba-tiba...
“Joned, ngapain kamu, eh malah cengar-cengir kok aku tidak dibantu naik,” teriak Amron yang kedatangannya disusul oleh Herry.
“Hoi...!! Sini dong...!! Aku dapet kenalan cewek cantik nih, ayo sini...!!” teriak Joned. Tapi...
“Lho mana Rengganis kok hilang, wah pasti gara-gara kalian Rengganis pergi,” ujar Joned sambil memandang jalan terjal yang mungkin dilalui oleh Rengganis.
Selepas siang kami pulang ke rumah pak Sumadi lagi dan sepertinya Joned enggan menceritakan pertemuannya dengan Rengganis. Hingga ketika malam tiba, mendadak tubuh Joned menggigil kedinginan tapi tubuhnya panas.
“Joned kenapa kamu? Wah, susah kalau bawa anak mami, pasti dia kangen ibunya,” kelakar Ipang. Tapi pak Sumadi menanggapinya lain.
“Apa yang terjadi dengan kalian di atas tadi?” tanya pak Sumadi.
“Tidak ada apa-apa kok, entah kalau si Joned,” jawabku.
“Eh, ya, tadi Joned bilang ketemu dengan gadis… namanya siapa Pang?”
“Ooh... namanya Rengganis,” sahut Ipang.
Tiba-tiba wajah pak Sumadi dan istrinya berubah, seperti ketakutan.
“Mas kalian tunggu sebentar disini ya, tapi aku minta ditemani salah satu dari kalian untuk keluar sebentar,” ujar pak Sumadi tambah membuat kami heran.
“Sudah nanti saja saya ceritakan,” lanjut pak Sumadi yang sepertinya bisa menangkap keheranan kami.
Akhirnya Herry yang pergi menemani pak Sumadi keluar rumah.
Tak berapa lama kemudian mereka datang bersama dengan nyai Pariyem, yang dikenal sebagai tabib di desa tersebut. Setelah diberi doa dan mantra-mantra, akhirnya tubuh Joned jadi tenang dan mulai turun panasnya.
“Tolong setelah siuman nanti segera minumkan ramuan ini, sekarang saya harus langsung pulang karena masih ada yang membutuhkan pertolongan saya di rumah,” ujar nyai Pariyem.
Joned masih belum sadar, sepertinya tidurnya sangat lelap. Dan sementara sambil menunggu Joned siuman, akhirnya pak Sumadi bercerita, kalau gadis yang ditemui Joned bernama Rengganis tersebut tak lain adalah Woro Rengganis alias Ni Mas. Dan, hingga Joned kejang seperti itu tadi pasti karena Joned telah bersentuhan atau mungkin bersenggolan dengan tubuh Woro Rengganis.
“Jangankan bersalaman, tersenggol saja sudah bisa terkena sawan-nya, tapi untung belum parah jadi masih bisa tertolong, dan nenek yang kalian temui di gapura desa itu adalah ibunya Woro Rengganis. Dia masih hidup tapi kurang waras, dia selalu membawa lentera kesana-kemari karena ingin mencari anaknya siang maupun malam. Kasihan sekali, ia tak pernah menyadari bahwa putrinya telah tiada,” terang pak Sumadi.
“Tapi Woro Rengganis tidak kejam, hanya sebatas menggoda saja,” imbuhnya.
“Kalau boleh tahu siapa Woro Rengganis, Pak? Kenapa bisa jadi begitu?” tanya Herry penasaran.
Pak Sumadi takut menceritakan kisah Woro Rengganis pada malam hari, setelah esok pagi barulah dia bercerita tentang Woro Rengganis. Tuturnya, dia seorang anak yang lahir dari hubungan wanita desa setempat dengan seorang pria pendatang. Namun setelah Woro Rengganis tumbuh menjadi seorang gadis dewasa, sang ayah yang bejat malah memperkosanya dan akhirnya Woro Rengganis bunuh diri dengan cara menjatuhkan diri dari atas tebing.
Ayahnya sendiri tewas dihakimi massa. Kisah tersebut sudah terjadi sejak 25 tahun yang lalu, tapi ibunda Woro Rengganis sampai sekarang masih berkeliaran sambil menenteng lentera, mencari-cari putrinya. Namun tentu saja tidak akan pernah ketemu sampai kapanpun. Warga sering merasa kasihan melihat penderitaan ibunda Rengganis yang tak pernah putus asa mencari anaknya yang sebenarnya telah tiada itu.
No comments:
Post a Comment