Thursday, March 5, 2020

Hantu Lelaki Tanpa Kepala di Rumah Sakit (Medan)


Sebenarnya ini adalah peristiwa yang terjadi bertahun-tahun yang lalu, saat aku masih kuliah dan kost di kota Medan. Meski bukan aku sendiri yang mengalaminya melainkan salah satu teman kost-ku tapi itu sudah membuatku takut setengah mati bila teringat. Yang namanya anak kost dan tinggal jauh dari orang tua, tentu harus lebih mandiri. Bila ada salah satu teman kami yang sakit kami bahu membahu saling membantu. Seperti yang dialami oleh teman sekamarku dulu, namanya Sundari. 

Saat itu aku mengantarnya ke rumah sakit untuk periksa karena seharian dia tiduran terus dan badannya panas. Aku pikir paling setelah diperiksa dokter dia akan dikasih obat lalu bisa pulang... eh ternyata dia harus rawat inap di rumah sakit itu. Dibantu Sundari aku mencoba menelpon orang tuanya meminta persetujuan. Mereka menyatakan akan segera ke Medan tapi mungkin baru esoknya sampai dan meminta kepadaku untuk sementara menjaga anaknya selama ada di rumah sakit, nanti kalau mereka sudah tiba akan segera digantikan.

Untungnya besok adalah tanggal merah sehingga aku bisa meminta bantuan teman kost yang lain untuk menemaniku menjaga Sundari di rumah sakit, toh saat itu malam minggu jadi tidak ada kewajiban bangun pagi besoknya buat kuliah, akhirnya Maria –salah satu teman kost bersedia– katanya buat latihan bagaimana menghadapi suasana kalau salah seorang anggota keluarga ada yang sakit.

Singkat cerita, Maria dan aku menghabiskan malam minggu di Rumah Sakit, tentu saja kami sudah mempersiapkan semuanya termasuk jaket, selimut dan minuman/makanan ringan. Sesuai permintaan orang tuanya, Sundari berada di sal kelas tiga, jadi tidak disediakan tempat tidur bagi yang menjaga, makanya kami membawa jaket dan selimut.

Saat tengah malam, kami kelelahan dan tidak bisa tidur. 

“Anita... kita tidur di luar aja yuk!” ajak Maria seraya kipas kipas koran, “Disini panas banget, sumpek!”

Ya, untuk ruangan kelas tiga para penunggu biasanya berjejalan di lantai lorong rumah sakit untuk tidur, bisa kebayang kan sumpeknya.

“Tapi Sundari gimana?” tanyaku, “Kalau ada apa-apa gimana?” lanjutku lagi.

“Tuh lihat, Sundari tertidur pulas!” tunjuk Maria ke arah teman kami yang terbaring di atas tempat tidur. “Lagian tidak ada jadwal kunjungan dokter di tengah malam begini.”

“Aku sih ikut saja, tapi kalau terjadi sesuatu dengan Sundari dan kita tidak ada yang tahu...!”

“Kita kan bisa giliran tidur, Nit!” potong Maria.

“Maksudmu?” aku bingung dengan ucapannya.

“Gini nih... tiga jam pertama salah satu dari kita bisa tidur, jadi yang terjaga bisa sesekali menengok Sundari, lalu tiga jam selanjutnya bergantian!”

Aku manggut-manggut, benar juga ucapan Maria. Meski hanya tiga jam tidur tapi kalau berkualitas bisa lumayan untuk penyegaran badan.

“Giliran pertama siapa?” tanyaku lagi.

“Kita lempar koin saja, kalau yang muncul gambar garuda berarti aku yang tidur duluan, tapi kalau angka 500 yang nongol ya kebalikannya. Gimana?”

Aku mengangguk, “Oke!”

Lalu Maria melempar koin lima ratus perak warna kuning ke udara dan menangkapnya di telapak tangannya... 

“Hahahah... angka 500!” seruku senang. Yup, aku sudah ngantuk sekali, jadi aku beruntung dapat giliran tidur yang pertama.

Maria menyorongkan mulutnya tanda kesal, tapi mau bagaimana lagi, itu kan usul dia sendiri juga. “Ya sudah, kamu yang tidur duluan!” serunya kemudian dengan nada sedikit kecewa.

Kami berdua lalu keluar dari sal, berjalan bersama menuju koridor rumah sakit di luar ruang. Jarak koridor dengan ruangan tempat Sundari dirawat tidak terlalu jauh jadi tidak sulit bagi kami untuk sesekali menengoknya. Di sebelah kanan koridor tampak taman yang asri, sedang sebelah kiri pinggiran koridor ada beberapa kursi panjang yang diletakkan disitu. Kalau jam besuk tiba, kursi-kursi itu selalu penuh terisi, biasanya ditempati oleh mereka yang mau antri menjenguk pasien, karena di dalam sudah penuh mereka duduk dulu di kursi panjang itu. Tapi kalau malam begini, kursi-kursi itu sebagian besar kosong, maklum para penjaga biasanya memilih tidur di lantai di sisi tempat tidur pasien.

“Kita tidur disini saja gimana?” ucapku sambil menunjuk sebuah kursi panjang yang berada tidak jauh dari pintu utama sal kelas tiga itu.

“Boleh juga, jadi lebih mudah untuk menengok Sundari di dalam!” Maria setuju dengan usulanku.

“Nih selimutku bisa buat kamu dulu, lumayan kan bisa menghalau dinginnya malam!”

Aku menerima selimut dari Maria dan jaket aku lipat agar menjadi lebih tebal. Jaket itu aku letakkan di ujung kursi lalu aku naik kursi dan menelentangkan badan di atasnya... wah rasanya enak sekali setelah hampir seharian duduk, kemudian kubentangkan selimut yang Maria bawa dan kututupi tubuhku.

“Tidur dulu teman!” seruku kepada Maria. Sekali lagi dia nyengir... heheheh... 

Sebelum mata ini terpejam, sempat kulihat Maria duduk di pinggir koridor sambil melipat tangannya di dada, kutangkap juga raut mukanya yang tampak kelelahan, dia pasti kecapaikan seperti aku. Namun aku mesti efisienkan waktu, daripada mata jelalatan kemana-mana mendingan tidur, toh tiga jam lagi aku mesti bangun untuk gantian sama Maria, bisa ditebak... selanjutnya mataku ini seperti dilem sehingga aku jatuh tertidur, aku tidak tahu lagi Maria sedang apa karena aku sudah terlelap. 

Di tengah asyik-asyiknya tertidur pulas, tiba-tiba badanku seperti ada yang mengguncang-guncang dengan keras. Meski sulit sekali untuk membuka mata tapi aku paksakan juga. Agak samar karena belum sepenuhnya terjaga. Namun begitu kulihat wajah temanku yang tampak tegang dan ketakutan, seketika mataku terbuka lebar.

“Kamu kenapa? Kok tegang sekali? Kan belum ada tiga jam? Masih giliranku tidur kan?” tanyaku bertubi.
“Aku... aku... melihat hantu!” kata Maria terbata.

“Hantu?” aku semakin terbelalak. Kulihat sekeliling... tapi tampaknya tidak ada yang ganjil... hanya susana malam yang sepi dan dingin angin yang berhembus. 

Aku lalu bangkit dari kursi panjang itu dan meminta Maria duduk di sebelahku.

“Hantu... hantu… apa maksudmu?” aku jadi penasaran dengan ucapannya tadi. 

Seumur-umur aku belum pernah melihat hantu –tentu saja aku juga tidak mau.

“Cerita saja!” pintaku tidak sabar.

Lalu meluncurlah cerita Maria, bagaimana ia melihat lelaki tanpa kepala yang berjalan sendiri di koridor itu. Berikut ini adalah cerita selengkapnya dari Maria tentang hantu itu.

“Waktu itu, setelah duduk sejenak aku berjalan-jalan di sekitar koridor ini untuk menghirup udara segar. Suasana koridor sangat sepi hanya beberapa orang saja yang terlihat duduk duduk di samping koridor, itupun lalu mereka pergi satu demi satu masuk ke dalam sal.”

“Karena sepi dan kamu juga tidur dengan pulasnya, aku jadi nggak nyaman berjalan-jalan sendirian di koridor itu, maka aku kembali duduk di samping kursi panjang yang kamu tiduri ini. Sambil duduk aku bermain game di handphone untuk menemaniku mengusir sepi saat aku sendiri. Sesekali aku menoleh kiri kanan untuk sekedar melihat suasana, lalu meneruskan main game lagi. Karena di koridor utama, sesekali aku melihat para perawat maupun dokter melintasi di depanku. Itu sudah lumayan buat mengusir rasa sepi. Terlebih ada kamu, meskipun tidur, itu sudah membuatku merasa tidak sendirian.”

Beberapa saat Maria menghentikan ceritanya, dia menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya melanjutkan ceritanya.

“Beberapa saat kemudian, rasa kantuk mulai menghinggapiku. Kulihat jam di handphone menunjukkan waktu sudah pukul 02.20 dini hari. Mataku sudah perih, sudah tak kuat melanjutkan untuk memainkan game di handphone. Berkali-kali sudah aku menguap. Ingin rasanya aku merebahkan badan ini, tapi nanggung kan... toh 40 menit lagi aku gantian tidur.”

“Karena kelelahan duduk, tak sengaja aku menyelonjorkan kaki. Aku tak menyadari kalau kakiku akan menghalangi atau paling tidak mengganggu orang yang melintas. Maklum sudah malam begini siapa yang lewat, kalaupun ada perawat atau dokter yang lewat tentu mereka akan menegurku untuk memberitahu mau lewat,” jelas Maria.

Maria meneruskan ceritanya, “Saat itulah, ketika aku setengah sadar karena diserang rasa kantuk yang amat sangat, tiba-tiba aku melihat ada seseorang yang berjalan ke arahku. Samar saja... kau tahu kan suasana disini. Aku tak memperdulikannya, kupikir itu hanyalah salah satu penjaga pasien yang kegerahan dan ingin menghirup udara segar. Sosok itupun melintasi di depanku. Aku cuek saja.”

“Setelah beberapa saat baru aku menyadari ada sesuatu yang aneh. Mestinya kakiku yang terselonjor akan menghalangi jalannya orang itu, dan bila tidak menghindar tentunya orang itu akan jatuh terjengkal. Tapi kenapa orang itu berjalan tanpa terganggu atau terhalangi kakiku, padahal jelas-jelas dia melintasi kakiku?” lanjutnya.

“Akupun secara refleks menatap orang yang sudah berjalan beberapa meter di depanku. Barulah aku menyadari... ternyata orang itu tidak punya kepala, aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang kulihat, aku sampai mencubit tanganku dan mengucek mata berkali kali... namun mataku tidak keliru... orang yang melewatiku tadi tidak punya kepala. Rasa takut itupun muncul, aku merinding sampai berdiri bulu kudukku. Apalagi suasana koridor itu sangat sepi hanya ada kita berdua, itupun kamu sudah tidur! Makanya aku membangunkanmu!” pungkas Maria.

Aku yang mendengar cerita Maria hanya bisa melongo, tiba-tiba aku juga ikut merinding apalagi sebentar lagi jadwalku untuk gantian jaga. Maria yang tidur dan aku yang mesti berjaga... waduh...

“Maria... aku tidak berani terjaga sendirian, aku takut nih!” ucapku dengan bibir bergetar, rasa kantukku pun langsung hilang.

Kulihat sekeliling koridor dimana kami duduk tampak sangat sepi, angin berhembus dengan kencang, tak seberapa lama rintik hujan juga turun, meski tidak hujan lebat tapi itu sudah membuat suasana makin mencekam.

“Apalagi aku Maria... rasa kantukku yang tadi menyergap sekarang menghilang begitu saja. Aku juga ketakutan nih...!”

“Lhah trus gimana?”

“Mhmmm... kita kembali saja ke sal deh... daripada disini tapi ketakutan. Kalau di dalam sal meski agak kepanasan tapi banyak temannya!”

Lalu kami berdua segera bergegas meninggalkan koridor dan kembali ke dalam Sal.

“Loh... nggak jadi tidur di kordidor Dik?” tanya seorang bapak tua yang kebetulan sedang duduk di sudut tempat tidur di sebelah tempat tidur Sundari. Beliau sedang menjaga anaknya yang lagi sakit demam berdarah.

“Enggak Pak, tadi di koridor malah bertemu hantu!” jawab Maria sambil bersungut-sungut. Aku menganggukkan kepala sebagai tanda kalau hal itu benar adanya.

Bapak itu manggut-manggut lalu meminta Maria untuk bercerita, dan meluncurlah cerita horror itu persis seperti yang dia sampaikan tadi kepadaku.

“Wah... kalau cerita tentang hantu tanpa kepala di Rumah Sakit ini sudah pada tahu Dik. Meski bapak ini belum pernah melihatnya langsung tapi beberapa penjaga pasien dan petugas Rumah Sakit pernah mengalaminya. Katanya sih setiap kali ada penampakan hantu lelaki tanpa kepala itu sebagai pertanda akan ada pasien yang meninggal dunia.” Sejenak Bapak itu menghentikan ceritanya, setelah menghela napas dia pun melanjutkan ceritanya.

“Ada hantu di rumah sakit itu biasa Dik! Namanya juga rumah sakit... kan selalu saja ada yang meninggal disini, jadi tidak perlu takut. Toh mereka para hantu itu juga tidak mengganggu kita. Itu malah sebagai cambuk bagi kita untuk lebih mendekatkan diri pada yang Maha Kuasa.”

Aku dan Maria mengangguk mendengar nasihat bapak tua itu, memang benar apa yang dia katakan.

1 comment:

La Planchada