Sunday, March 22, 2020

Ternyata Bukan Penjual Kacang


Hari ini Fuad sedang kesal. Pasalnya dia harus mengikuti meeting dengan bos besar yang baru saja datang dari Surabaya, dan seperti biasanya bos besar selalu bertele-tele dalam membicarakan program kerja yang direncanakan. Alhasil, meeting selesai hingga larut malam. Jam 22.00, Fuad baru bisa keluar dari kantor. Karena sudah malam, tidak ada lagi bus angkutan kota yang lewat. Fuad pun segera pergi ke pangkalan ojek terdekat, tapi sial tak ada satupun ojek yang kosong malam itu. Semua sudah di booking. 

“Hhh... seandainya saja aku punya cukup uang untuk bayar taxi...” keluh Fuad menyesali nasibnya yang tidak pernah punya banyak uang.

Dengan terpaksa dia harus pulang dengan berjalan kaki. Sedangkan jarak yang harus ditempuh untuk sampai ke rumahnya adalah sekitar 3,5 kilometer.

“Si*l, gara-gara bos besar datang mendadak aku jadi pulang jalan kaki. Coba sebelumnya kasih pemberitahuan, aku bisa berangkat dan pulang kantor pakai motor Mas Dudung,” gerutu Fuad. 

“Mana jalannya gelap dan perut terasa lapar lagi. Mampir warung angkringan Mas Bro dulu deh, minum wedang jahe sambil makan nasi kucing buat ganjal perut dan siapa tahu dapat tumpangan dari pada jalan kaki,” gumam Fuad.

“Haduuh, si*l kenapa warung angkringannya tutup,” gerutu Fuad ketika melihat ternyata warung angkringan yang ditujunya tutup. 

Akhirnya Fuad melanjutkan perjalannya sambil sesekali menengok jam tangannya yang waktu itu sudah menunjukkan pukul 23.00. 

“Wah, harus ambil jalan pintas nih supaya cepat sampai rumah!!” gumam Fuad.

Akhirnya Fuad mengambil jalan pintas melewati jalan setapak di tengah hutan jati. Perkebunan jati itu terletak di seberang desa Fuad, namun sebelum melewatinya harus melalui beberapa petak sawah dan menyeberangi sungai kecil. 

“Tumben malam ini kok sepi yah, oohhh... iya lupa, ada hajatan di desa seberang nanggap wayang, pantesan banyak yang pada pergi ke sana,” gumamnya lagi.

Sesekali Fuad memang bersenandung atau bergumam dan ngomong sendiri, sekedar untuk mengusir rasa takutnya. Karena menurut cerita dari banyak orang, hutan jati itu cukup angker, sering ada suara wanita menangis dari rerimbunan pohon di hutan tersebut. 

Memasuki hutan jati, Fuad diam seribu bahasa, tak hentinya mulutnya berguman melayangkan doa-doa untuk menenangkan dirinya. Setelah beberapa saat, Fuad mulai melihat cahaya lampu rumah nun jauh di sana. 

“Alhamdulillah... akhirnya sampai juga,” gumam Fuad dengan hati riang.

 Tapi siapa itu? Dilihatnya ada seorang wanita berjalan sendirian melewati jembatan, sambil menggendong bakul.

“Oohh, mungkin itu penjual kacang rebus yang sedang berangkat untuk berjualan di lokasi hajatan di desa seberang, tapi dipikir-pikir... boleh juga nih untuk mengisi perut dari pada keroncongan terus,” pikir Fuad, karena dia masih harus melewati satu desa lagi untuk sampai di rumahnya. 

“Yu, jualan kacang ya, saya beli ya,” ujar Fuad pada wanita itu.

Wanita itu berhenti dan duduk meletakkan bakulnya di tanah sambil membuka bakulnya dan menyerahkan sebungkus kacang rebus yang tampaknya masih hangat dan mengepulkan asap itu.

 “Kok diam saja Yu, apa tidak kemalaman lewat sini?”

Aneh, wanita itu cuma tersenyum saja, tanpa bicara sepatah kata pun. Tidak ada yang mencemaskan, tapi tiba-tiba saja bulu kuduk Fuad merinding dan sepertinya tercium bau-bauan yang wangi.

 “Hati-hati lho Yu kalau lewat disini, kabarnya ada penunggunya,” ujar Fuad seraya memberikan uang seribuan pada wanita tersebut.

Tiba-tiba saja ada angin mendesir pelan diiringi tawa cekikikan pelan dari mulut wanita cantik itu. Dan wanita itu mendekat pada Fuad, dan berbisik... 

“Siapa yang bilang ada penunggunya Mas?” 

Dan tiba-tiba saja suara wanita itu berubah menjadi parau dan dia tertawa-tawa cekikikan, mirip tertawanya kuntilanak.

Spontan Fuad kaget dan merinding seluruh tubuhnya. Seketika itu juga, Fuad jatuh pingsan di tempat.
Keesokan paginya, Fuad sudah berada di teras rumah penduduk desa setempat, dan dia dikerumuni banyak orang.

 “Cepat ambilkan minum, dia sudah sadar,” ujar salah seorang bapak yang belakangan diketahui bernama pak Slamet.

“Nak, tadi malam kamu ditemukan oleh warga pingsan di dekat jembatan, kamu kenapa?” tanya salah seorang warga. 

Lalu tiba-tiba datanglah bapak dan ibu Fuad yang dijemput oleh seorang warga yang kebetulan mengenal Fuad sebagai anak dari pak Waluyo, warga kampung sebelah. 

“Kenapa kamu Fuad, kok tidak pulang malah tidur disini?” tanya ibunya cemas.

“Tidak apa-apa Bu, Fuad cuma ditemui mbakyu yang menunggu jembatan,” ujar pak Slamet. 

Ternyata semalam Fuad disapa oleh mbakyu, demikian orang kampung biasa memanggil sosok wanita penunggu sungai dan jembatan di desa itu. Namun mbakyu tidak pernah membuat celaka hanya sebatas menggoda saja. Sejak kejadian itu, Fuad takut sekali bila pulang kemalaman. Dan dia lebih memilih untuk tidur di kantor saja.

No comments:

Post a Comment

La Planchada